TEGAL SALAHAN (Part 1)
***Genderuwo Jajan Bakso***
JEJAKMISTERI - Namanya Kang Tarno. Dia ini adalah tetangga ane Gansist. Pekerjaannya, selain sebagai petani juga nyambi berjualan bakso keliling kampung. Kang Tarno memang terkenal sebagai sosok yang sangat rajin dan ulet dalam bekerja.
Ia berjualan dari siang hingga larut malam, berkeliling dari satu desa ke desa lain. Berbeda dengan tukang bakso keliling yang kebanyakan menggunakan gerobak, Kang Tarno berjualan dengan menggunakan rombong yang dipikul. Bukan tanpa sebab. Letak desa yang berada di kaki perbukitan dengan jalanan yang kebanyakan masih berbatu dan naik turun, membuat sedikit kesulitan kalau harus berjualan dengan menggunakan gerobak.
Seperti hari itu, jam sepuluh pagi Kang Tarno sudah siap untuk berangkat berjualan. Setelah membaca Bismillah, dipikulnya rombong bakso yang lumayan berat itu. Ia menyusuri setiap jalanan desa sambil sesekali memukul mukul mangkok dengan menggunakan sendok. "Ting...ting...ting," demikian suara sendok beradu dengan mangkok yang menjadi ciri khas bakso Kang Tarno. Bisa dipastikan setiap terdengar suara itu, maka tak lama lagi Kang Tarno bakalan lewat.
Selain terkenal enak, bakso Kang Tarno juga sangat murah. Satu mangkok hanya ia hargai seribulimaratus rupiah. Tak heran kalau jualan beliau sangat laris. Kami anak anak desa juga sangat menyukainya. Untuk anak anak, Kang Tarno tak pernah mematok harga. Berapapun kami membeli selalu dia layani dengan ramah. Kadang, cukup hanya dengan uang duaratus atau tigaratus perak, kami sudah bisa menikmati satu atau dua buah bola bakso yang ditusuk dengan lidi lalu diolesi kecap dan saos. Terasa sangat lezat dinikmati sambil berjalan pulang dari sekolah.
Namun hari itu sepertinya bukan hari keberuntungan bagi Kang Tarno. Berkeliling desa dari jam sepuluh pagi sampai jam dua sore, baru tiga mangkok bakso yang berhasil ia jual. Kang Tarno tak patah semangat. Ia memutuskan untuk melanjutkan jualannya ke desa sebelah.
Panas terik dan keringat yang bercucuran tak ia pedulikan. Sambil memikul rombong baksonya ia berjalan ke arah utara, menuju ke desa Tarumas. Alhamdulillah, di desa itu ia berhasil menjual lima mangkok bakso.
Sejenak Kang Tarno beristirahat di poskamling yang ada di sudut perempatan jalan. Sambil menikmati sebatang rokoknya, sesekali Kang Tarno kembali memukul mukul mangkok dengan menggunakan sendok, berusaha menarik perhatian para pembeli.
Habis rokok sebatang, tak juga ada pembeli yang datang. Kang Tarnopun kembali memikul rombong baksonya, berjalan ke arah barat, menyusuri jalan raya beraspal menuju ke arah desa Patrolan.
Matahari telah hinggap di punggung bukit Asem di sebelah barat, saat Kang Tarno tiba di desa Patrolan. Beberapa mangkok bakso kembali berhasil ia jual. Saat adzan maghrib berkumandang, Kang Tarno singgah di sebuah warung kopi. Limabelas mangkok bakso telah berhasil ia jual. Jadi ia merasa pantas untuk menghadiahi dirinya dengan secangkir kopi hitam kesukaannya.
Selepas Maghrib, Kang Tarno kembali melanjutkan jualannya. Kali ini ia menuju ke arah selatan, ke desa Mojoretno. Namun, di desa itu sepi. Tak seorangpun yang tertarik untuk membeli baksonya.
Kang Tarno tak patah semangat. Ia mengubah arah langkahnya menuju ke arah timur. Desa Kedhungsono menjadi harapan terakhirnya. Biasanya di malam hari banyak pemuda desa yang nongkrong di poskamling. Mereka langganan tetap Kang Tarno.
Namun harapan tinggal harapan. Sampai di desa itu keadaan juga tak kalah sepi. Tak ada seorangpun yang nongkrong di poskamling. Kang Tarno menurunkan rombong baksonya, lalu duduk di bangku kayu yang ada di poskamling itu. Untuk mengusir rasa sepi, Pak Tarno menyalakan radio kecil yang memang selalu ia bawa saat berjualan. Siaran wayang kulit menemani laki laki itu menikmati rokok kreteknya. Sesekali ia bersenandung, mengikuti alunan suara sinden yang menembangkan gendhing gendhing jawa dari radio kecilnya.
Sampai hampir tengah malam, tak juga ada pembeli yang datang. Pelan Kang Tarno membuka laci tempat uang di rombong baksonya. Beberapa lembar uang ia keluarkan, lalu ia hitung. Baru balik modal, ditambah sedikit keuntungan.
Kang Tarno menghela nafas. Mungkin memang hanya segitu rezekinya hari ini. Setelah merapikan kembali rombong baksonya, Kang Tarnopun kembali berjalan. Kali ini ia memutuskan untuk pulang saja. Percuma juga kalau dilanjutkan berjualan. Hari sudah lewat tengah malam. Tak ada lagi orang yang berkeliaran di jalan.
Sambil memikul rombong baksonya yang terlihat masih sangat berat, Kang Tarno berjalan ke arah utara, melewati area Tegal Salahan menuju ke desa Kedhungjati.
Meski banyak yang bilang kalau area Tegal Salahan ini angker, namun Kang Tarno tak pernah merasa takut. Toh selama ini, setiap pulang berjualan ia selalu lewat di tempat itu. Dan tak pernah sekalipun ia mengalami hal hal yang aneh.
Namun malam itu ada yang berbeda. Kang Tarno merasakan tengkuknya sedikit merinding saat mendekati buk yang ada diantara tanjakan dan turunan jalan Tegal Salahan. Udara juga terasa lebih dingin. Angin yang bertiup sepoi sepoi membawa aroma bau prengus yang menusuk indera penciumannya.
Kang Tarno menghentikan sejenak langkahnya. Dari tempatnya berdiri, terlihat dua sosok bayangan hitam tinggi besar duduk diatas buk beberapa meter di depannya. Satu di sebelah kanan jalan, satu lagi di sisi seberangnya.
"Djanc*k! Apes tenan dino iki. Wes dodolan ra payu, mulih malah dicegat mbah Ndruwo!" (Djanc*k! Apes benar hari ini. Sudah jualan nggak laku, pulang malah dicegat mbah Ndruwo!) gerutu Kang Tarno dalam hati.
Sempat terbersit niat di hati Kang Tarno untuk berputar balik dan mencari jalan lain. Namun niat itu segera ia urungkan. Jalan memutar terlalu jauh. Bisa bisa baru pagi hari nanti ia sampai di rumah.
Akhirnya, setelah mulutnya komat kamit entah mengucapkan kalimat apa, Kang Tarno kembali berjalan dengan kepala sedikit menunduk, berusaha untuk tidak mengacuhkan keberadaan kedua makhluk itu.
Namun, nasib baik rupanya masih enggan untuk berpihak pada Kang Tarno. Saat ia lewat tepat di depan kedua makhluk itu, serempak kedua sosok hitam itu melompat turun dari atas buk dan menghampirinya. Sontak Kang Tarno segera menurunkan rombong baksonya. Kedua lututnya bergetar hebat. Laki laki itu jatuh terduduk diatas jalan berbatu yang sedikit basah oleh embun.
Lewat sudut matanya, Kang Tarno mengamati kedua sosok hitam tinggi besar itu. Sangat menyeramkan. Seluruh tubuh makhluk itu diselimuti oleh rambut lebat berwarna keabu abuan yang terlihat kasar. Dan wajahnya, lebih menyeramkan lagi. Mata bulat besar sebesar lampu senter berwarna merah menyala, hidung pesek besar dengan lubang hidung sebesar pantat gelas, dan mulut lebar dengan sepasang taring sebesar pisang raja yang mencuat dari kedua sudut bibirnya.
Yang lebih menyeramkan lagi adalah, salah satu dari kedua sosok itu memiliki payudara yang sangat besar dan panjang, menggelambir turun hampir menutupi seluruh perutnya yang buncit, tanpa ada sehelai benangpun yang menutupinya. Sangat menjijikkan.
"Bakso, rong mangkok!" (Bakso, dua mangkok!" salah satu dari sosok itu menunjuk ke arah rombong bakso Kang Tarno. Suara makhluk itu terdengar sangat serak dan berat.
Kang Tarnopun mulai sibuk meracik dua mangkok bakso pesanan makhluk itu dengan tangan gemetar. Tak butuh waktu lama, dua mangkok bakso siap dihidangkan. Dan tak menunggu lama juga, tanpa memperdulikan kuah bakso yang panas mengepul, kedua makhluk itu menenggak seluruh isi mangkok sampai tandas tak tersisa.
"As*, duduh panas ngono kok nekat diglogok. Opo ra mlonyoh cangkem'e?" (anj*ng, kuah panas gitu kok nekat ditenggak, apa nggak melepuh tuh mulutnya.) batin Kang Tarno heran.
"Imbuh! Rongpuluh mangkok!" (Nambah! Duapuluh mangkok!") kembali makhluk itu menunjuk rombong bakso Kang Tarno.
"Blaik! Kelakon dirampok Ndruwo tenan ki! Rongpuluh mangkok, gek iki mengko dibayar po ora yo?" (Sial! Beneran dirampok Ndruwo ini! Duapuluh mangkok, kira kira ini nanti dibayar apa enggak ya?) gerutu Kang Tarno dalam hati.
Namun laki laki itu tak kuasa menolak permintaan kedua makhluk hitam besar itu. Lenyap sudah seluruh isi dandang baksonya, setetes kuahpun tak ada yang tersisa. Kang Tarno terduduk lemas, membayangkan kerugian besar yang akan ia derita malam itu.
"HAAAIIIIIIIIKKKKKKKK.....!!!!!" kedua makhluk hitam tinggi besar itu bersendawa dengan sangat kerasnya. Bau nafas busuk menguar dari mulut keduanya, membuat Kang Tarno merasa mual bukan kepalang.
"Dhuwit'e!" (Uangnya!) salah satu dari makhluk hitam besar itu mengulurkan beberapa lembar uang puluhan ribu. Entah uang beneran atau bukan, Kang Tarno tak sempat memeriksanya. Laki laki itu langsung memasukkannya begitu saja ke dalam laci rombong baksonya.
Dan begitu kedua makhluk itu menghilang dibalik kegelapan, Kang Tarno juga langsung ngibrit, setengah berlari menaiki tanjakan jalan Tegal Salahan sambil memikul rombong baksonya yang kini terasa sangat ringan.
***
Keesokan harinya, sebelum berangkat ke pasar untuk berbelanja, Kang Tarno menyempatkan diri memeriksa laci rombong baksonya. Dan benar saja, bukan lembaran uang puluhan ribu yang ia temukan, tapi hanya beberapa lembar daun sirih yang mulai mengering. Lemas seketika sekujur tubuh Kang Tarno. Dengan wajah lesu, akhirnya Kang Tarno menceritakan kejadian yang ia alami semalam kepada bapak mertuanya.
"Sudah, tak perlu kamu pikirkan kejadian itu. Sekarang kamu ke pasar saja, belanja. Nih, pakai uang bapak dulu. Nanti kamu jualan saja seperti biasa. Dan daun sirih itu, biarkan saja di dalam laci rombongmu. Jangan dibuang, siapa tahu bisa membawa keberuntungan." begitu nasehat sang bapak mertua, sambil memberikan beberapa lembar uang puluhan ribu untuk modal belanja Kang Tarno.
Meski sedikit bingung, toh Kang Tarno menuruti begitu saja saran dari bapak mertuanya. Dan benar saja. Entah memang kebetulan atau bagaimana, sejak peristiwa itu, jualan bakso Kang Tarno maju pesat. Sekarang ia sudah memiliki kios bakso di pasar kecamatan yang lumayan ramai, dan tak perlu lagi bersusah payah memikul rombong keliling kampung untuk menjajakan baksonya.
*****
***Mbah Gabug***
Nama aslinya Mbah Sinem. Tapi kebanyakan orang memanggilnya Mbah Gabug, karena ia memang gabug (=mandul, bhs. Jawa), tak memiliki anak sama sekali. Suaminyapun sudah lama meninggal. Jadilah ia tinggal sendirian di gubuk reot di pinggir desa.
Perawakannya kurus kecil, rambutnyapun telah memutih semua, karena usianya memang sudah diatas tujuhpuluh tahun. Meski begitu, ia masih kuat bekerja di sawah atau ladang, karena untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, ia memang mengandalkan tenaganya untuk bekerja di sawah atau ladang orang.
Pendengarannya sudah sangat jauh berkurang. Sehingga kalau bicara dengannya harus dengan setengah berteriak. Itupun kadang harus diulang ulang karena ia belum jelas mendengar apa yang kita teriakkan.
Satu lagi, ia memiliki kebiasaan yang sedikit nyleneh. Meski perempuan, tapi ia pecandu rokok tingwe nomor wahid. Sangat jarang bisa menemui nenek ini tanpa ada lintingan tembakau di sela sela jarinya. Di kantongnyapun selalu ada slepen, tempat khusus untuk tembakau dan beraneka ragam perlengkapan membuat rokok tingwe.
Mbah Gabug adalah sosok yang baik dan ramah. Meski kalau diajak ngobrol suka nggak nyambung karena pendengarannya yang kurang, tapi ia selalu ramah pada semua orang. Karena itulah hampir semua warga desa menyukainya.
Mbah Gabug, sosok sederhana itu ternyata juga pernah membuat geger seluruh penghuni desa. Kejadiannya beberapa puluh tahun yang lalu. Berawal dari Yu Sarni yang kehilangan anak bungsunya yang bernama Wulan. Yu Sarni menuduh Mbah Gabuglah yang mengajak pergi Wulan, karena menurut Lilis teman Wulan, Wulan memang diajak pergi sama Mbah Gabug saat sedang mencari kepompong bersama Lilis di Tegal Salahan.
"Aja ngawur kowe Ni, ngarani uwong sak gelem'e dhewe. Gek arep tak nggo apa aku ndhelikne anakmu. 'Ra enek gunane. Malah ngrugekne aku no, wong anakmu ki panganane sak cikrak amoh!" (Jangan ngawur kamu Ni, menuduh orang seenaknya. Buat apa aku menyembunyikan anakmu. Nggak ada gunanya. Malah merugikan aku, orang anakmu makannya sepengki bobrok gitu (maksudnya makannya banyak sekali)) begitu kilah Mbah Gabug saat Yu Sarni menanyakan soal keberadaan anaknya.
"Halah, 'ra sah selak Mbah, wong enek seksine kok. Kae lho, Lilis anake Kang Parman, mau awan nggolek enthung bareng Wulan neng tegal'e Kang Bejo. Terus sampeyan teko ngajak lungo Wulan. Nganti saiki Wulan ra mulih mulih. Cah cilik ki 'ra bakal ngapusi Mbah!" (Halah, nggak usah mengelak Mbah, orang ada saksinya kok. Itu lho, Lilis anaknya Kang Parman, tadi siang mencari kepompong bersama Wulan di ladangnya Kang Bejo, terus sampeyan datang mengajak pergi Wulan. Sampai sekarang Wulan tak pulang pulang. Anak kecil nggak bakalan bohong Mbah!) sengit Yu Sarni berteriak teriak sambil bertolak pinggang dan menunjuk nunjuk muka Mbah Gabug. Perang mulut melawan orang yang kurang pendengarannya memang banyak menguras energi. Nafas Yu Sarni sampai kembang kempis menahan emosi.
"Pitenah kuwi! 'Ra bener babar blas! Aku yo nduwe seksi lho. Akeh malah seksine. Kae, takon'na si Darmi, Sumi, Mijem, Tukijah, Tuminah, Sukarni, Parti, Sanem, Manem, gage, takonana kabeh, sedino 'ki mau aku buruh tandur neng sawah'e Parti, bar maghrib lagi mulih!" (Fitnah itu! Nggak benar sama sekali! Aku juga punya saksi kok. Banyak malah saksinya. Coba tanya sama si Darmi, Sumi, Mijem, Tukijah, Tuminah, Sukarni, Parti, Sanem, Manem, coba, tanyain semua. Seharian ini tadi aku buruh menanam padi di sawahnya Parti, habis maghrib baru pulang.) Mbah Gabugpun tak kalah sengit berteriak sambil sesekali membetulkan tali kutangnya yang melorot.
Adu mulut di malam hari itupun menarik perhatian warga. Orang orang berdatangan untuk melerai mereka. Tapi bukan hal yang mudah melerai dua orang perempuan yang sedang disulut emosi itu. Apalagi memang sudah sejak lama antara Yu Sarni dan Mbah Gabug ini hubungannya kurang baik. Sudah lama mereka tak saling tegur sapa bila bertemu, entah apa sebabnya. Sampai sampai Pak Bayanpun dipanggil untuk turun tangan.
Saksi saksi yang tadi disebutkan oleh Yu Sarni dan Mbah Gabugpun dipanggil. Anehnya, semua membenarkan ucapan Yu Sarni dan Mbah Gabug. Lilis bilang kalau memang tadi siang ia dan Wulan sedang mencari kepompong di ladang Kang Bejo saat Mbah Gabug datang dan mengajak Wulan pergi. Anak usia sembilan tahun itu tak mungkin berbohong, apalagi yang bertanya adalah Pak Bayan, pamong desa.
Sedangkan saksi dari Mbah Gabug yang jumlahnya hampir se-RT itu juga membenarkan bahwa seharian ini Mbah Gabug bersama mereka buruh menanam padi di sawah Yu Parti yang terletak di utara desa, bertolak belakang dengan tempat anak anak itu mencari kepompong di ladang Kang Bejo yang letaknya di sebelah selatan desa.
Wargapun bingung, tak bisa menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Sampai akhirnya Pak Modin yang juga ikut datang kesitu mendekati Lilis dan bertanya.
"Nduk, tenan to sing ngajak lunga Wulan mau Mbah Gabug?" (Nduk, benarkah yang mengajak pergi Wulan tadi Mbah Gabug?) tanya Pak Modin pada anak itu.
"Nggih, leres Pak," (Iya, benar Pak,) jawab anak itu polos.
"Mbah Gabug sing ngajak lunga Wulan mau, nganggo klambi opo?" (Mbah Gabug yang mengajak Wulan pergi tadi pakai baju apa?) tanya Pak Modin lagi.
"Ngagem klambi ijo Pak, kalih tapih jarik bathik. Klambine apik banget Pak, kados tiyang badhe jagong," (Pakai baju hijau pak, sama kain jarik batik. Bajunya bagus banget Pak, seperti orang mau pergi kondangan)
"Kowe ngerti, Wulan dijak lunga nyang ngendi? (Kamu tau Wulan diajak pergi kemana?)
"Criyose badhe dijak mlampah mlapah teng kutha Pak." (Katanya mau diajak jalan jalan ke kota Pak)
"Sing ngajak lunga Wulan mau sikile napak lemah ora nduk?" (Yang mengajak pergi Wulan tadi kakinya menginjak tanah enggak nduk?)
"Mboten ngertos Pak." (Nggak tau Pak.)
"Mbah Gabug sing ngajak lunga Wulan mau budeg ora nduk?" (Mbah Gabug yang mengajak pergi Wulan tadi budeg enggak nduk?)
"Mboten Pak. Wong pas kula bisik bisik kalih Wulan dhewek'e mireng kok." (Enggak Pak. Orang pas saya bisik bisik sama Wulan saja dia bisa dengar kok.)
Pak Modin menganguk anggukkan kepala, lalu mendekati Pak Bayan.
"Wis genah iki Pak. Genah nek Wulan digondhol dhemit Tegal Salahan. Apik'e gek ndang digolek'i Pak, mumpung durung kasep." (Sudah jelas ini. Sudah jelas kalau Wulan dibawa dhemit Tegal Salahan. Sebaiknya cepat dicari Pak, sebelum terlambat), kata Pak Modin pada Pak Bayan.
Pak Bayanpun segera mengarahkan warganya untuk melakukan pencarian. Namun, belum juga mereka beranjak dari tempat itu, dari kejauhan nampak Wulan datang. Gadis itu berlari lari kecil sambil bernyanyi nyanyi seperti anak yang sedang kegirangan. Di tangannya menenteng bungkusan plastik hitam.
Yu Sarni segera menyambut anak bungsunya itu. Para wargapun merasa lega. Mereka tak perlu bersusah payah lagi untuk mencari Wulan.
Pak Bayan dan Pak Modin segera menanyai Wulan. Anak itu bercerita kalau ia diajak jalan jalan ke kota oleh Mbah Gabug. Kota yang sangat besar katanya. Banyak bangunan bangunan besar dan megah. Banyak kendaraan kendaraan bagus yang lalu lalang di jalan yang halus dan mulus. Melihat kereta api, pesawat, bahkan ia melihat ada mobil yang bisa terbang. Ia juga dibelikan makanan yang enak enak dan baju baju yang bagus bagus. Semua disimpan dalam kantong plastik yang dibawanya. Namun saat kantong plastik itu dibuka, isinya ternyata hanya daun pisang kering dan potongan potongan kayu lapuk. Pak Modin segera membuang jauh jauh benda itu.
"Sudah jelas sekarang masalahnya. Tak ada yang perlu diributkan lagi. Yang penting Wulan sudah kembali dengan selamat. Lain kali, jangan biarkan anak anak keluyuran sendirian di Tegal Salahan. Yu Sarni, ajak anakmu pulang, mandikan ia bersih bersih, dan pakaian yang ia pakai sekarang, sebaiknya jangan pernah dipakai lagi." kata Pak Modin.
"Benar kata Pak Modin Yu. Dan sebaiknya sampeyan juga harus minta maaf sama Mbah Gabug." sambung Pak Bayan.
"Emoh! Ra sudi aku njaluk ngapura!" sungut Yu Sarni sambil ngeloyor pergi dari tempat itu.
"Huh! Ora mbok jaluk'i ngapura aku yo 'ra pathek'en nduk nduk!" teriak Mbah Gabug sambil masuk ke dalam rumah dan membanting pintu.
Orang orang hanya bisa geleng geleng kepala melihat kejadian itu. Sepertinya peristiwa malam itu tak bisa mengakhiri perseteruan antara Yu Sarni dan Mbah Gabug.
*****
NB: sekarang Mbah Gabug sudah meninggal, sekitar tahun 2000-an kalau nggak salah. Al Fatihah buat almarhummah, semoga beliau tenang di alam sana
***********************
***Hantu Tanpa Kepala Penghuni Randhu Growong***
Musim kemarau. Sawah sawah di area Tegal Salahan mulai mengering. Dan sawah yang biasanya ditanami padi itupun berubah fungsi menjadi lapangan sepak bola bagi kami anak anak desa Kedhungjati.
Meski tak jarang mendapat omelan dari para pemilik sawah, karena sawah yang dijadikan lapangan bola tanahnya akan memadat dan sulit untuk digarap saat musim penghujan nanti datang, tapi kami anak anak mana peduli. Yang kami tahu adalah kami bisa bebas bermain dan senang. Tak jarang justru kami yang menyalahkan dan menuduh si pemilik sawah itu pelit dan galak.
Seperti sore itu, begitu matahari condong ke arah barat, aku dan teman temanku sudah berkumpul di sawah milik Mbah Mo yang berada di Tegal Salahan. Setelah membagi kelompok dan membuat gawang dari dahan dahan kering yang banyak bertebaran di tempat itu, permainanpun dimulai.
Permainan berjalan seru. Kami saling menyerang dan bertahan. Sorak sorai bergema saat ada yang berhasil mencetak gol. Sampai pada suatu saat, aku menendang bola terlalu kencang. Alhasil, bola itu membumbung tinggi meninggalkan arena permainan dan ..., bleeesssss! Bola yang terbuat dari plastik itu sukses tertancap pada ranting pohon yang berujung runcing.
"Yaaaaahhhh ...!!!" seru teman temanku serempak bernada kecewa. Bahkan Joko si pemilik bola terlihat mengomel panjang pendek.
Aku yang merasa bersalah kemudian berinisiatif untuk mengambil bola itu. Sambil berlari lari kecil aku memasuki ladang milik Kang Sardi, tempat dimana bola itu tersangkut di ranting pohon.
Ternyata posisi bola itu lumayan tinggi. Ane harus memanjat untuk bisa mengambil bola itu. Dengan cekatan kupanjat pohon yang lumayan besar itu. Dan, Hap! Bola berhasil aku raih. Sejenak kuamati bola itu. Ternyata robek lumayan besar. Tak mungkin bisa dipakai lagi.
Kulempar bola itu kebawah, lalu aku merosot turun dari pohon itu. Saat itulah tanpa sengaja aku melihat ke arah pohon randhu besar yang berada di tengah tengah ladang Kang Sardi. Pohon randhu itu sangat besar, dan memiliki lubang di pangkalnya. Karena itulah orang orang menyebutnya pohon randhu growong.
Lubang di pangkal pohon randhu itu lumayan besar. Anak seusiaku bisa masuk dengan mudah ke dalam lubang itu. Tapi bukan lubang itu yang menarik perhatianku, tapi sesuatu yang berada di dalam lubang itu. Aku yakin, benda itu adalah sebuah bola.
Dengan cekatan aku segera merosot turun dari atas pohon, lalu berlari lari kecil ke arah pohon randhu itu. Benar saja, sebuah bola plastik berwarna putih hitam teronggok manis didalam lubang itu. Wah, rejeki nomplok nih. Pasti ada anak yang sengaja menyembunyikan bola itu disitu. Peduli amat, aku yang menemukan bola itu, berarti bola itu kini jadi milikku.
Segera kuambil bola itu, lalu kubawa berlari kembali ke sawah sambil berteriak lantang.
"Woooiiiiii ...! Lihat, aku nemu bola!" teriakku sambil menendang bola itu ketengah sawah, yang segera disambut oleh teman temanku.
"Wah, asyiiiikkkk! Bisa main lagi kita!" seru Wawan yang menyambut bola yang kutendang tadi.
"Eh, nemu dimana kamu Wi?" tanya Joko heran.
"Didalam lubang randhu growong," jawabku singkat. Namun jawabanku yang singkat itu membuat semua teman temanku tertegun. Bahkan Wawan segera menjauhkan kakinya dari bola itu.
"Beneran kamu nemu disana?" tanya Bimo penuh selidik.
"Iya. Kenapa memangnya?" tanyaku heran melihat ekspresi wajah teman temanku yang berubah kecut.
"Itu kan pohon angker Wi," kata Joko. "Mending kamu balikin saja deh, daripada nanti kenapa kenapa. Kita main pakai bolaku yang tadi saja."
"Bolamu sobek. Sudah kubuang tadi," kataku sedikit kesal.
"Ya udah, kita udahan aja mainnya. Bola itu kamu balikin saja ke tempatnya. Siapa tau itu bola milik setan." kata Bimo.
"Ah, cemen kalian," ejekku. "Ini kan cuma bola. Mana ada setan main bola. Sudah, kita pakai saja. Nanti kalau setannya marah biar aku yang dimarahi!"
"Jangan sembarangan kalau ngomong Wi, ini tempat angker lho," Wawan mengingatkan.
"Alah, bilang saja kalau kalian penakut. Lihat, nggak papa kan," kataku sambil menendang bola itu keras. Bola melayang dan masuk tepat ke dalam gawang.
Meski awalnya ragu, toh akhirnya teman temanku terpengaruh juga oleh kata kataku. Permainanpun berlanjut, dan masalah soal bola itu dengan segera mereka lupakan.
Sampai menjelang maghrib, baru kami menyudahi permainan dan pulang. Bola itupun kubawa pulang. Lumayan dapat bola gratis, masih bagus pula, batinku sambil berjalan pulang.
Sampai rumah aku langsung mandi, makan, lalu berangkat ke mushalla untuk belajar mengaji. Di mushalla, ternyata teman temanku masih juga membicarakan soal bola itu. Mereka seolah menyalahkanku yang mengambil dan membawa bola itu pulang.
Kesal, akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Belajar sebentar di rumah lalu beranjak untuk tidur.
***
"Tangi!" (Bangun!) samar samar kudengar suara berat dan kasar. Dengan malas aku membuka mata. Siapa sih yang membngunkanku di tengah malam begini?
Kulihat di ujung tempat tidurku nampak seseorang sedang berdiri sambil menggoyang goyangkan kakiku. Sedikit takut kuperhatikan orang itu. Sepertinya laki laki. Menggunakan pakaian komprang serba hitam khas seorang petani, lengkap dengan caping anyaman bambu yang bertengger di atas kepalanya. Wajahnya tak terlihat jelas, karena caping yang dikenakannya sedikit kebesaran hingga menutupi sebagian wajahnya.
Aneh, gumamku dalam hati. Siapa orang ini, dan kenapa bisa masuk ke kamarku? Dan, janggal rasanya kalau malam malam mengenakan pakaian komprang dan caping seperti itu.
"Sam ..., sampeyan sinten?" (Kam ..., kamu siapa?) tanyaku dengan suara gemetar. Rasa takut mulai menjalariku.
"Bocah ra nggenah! Balekno ndhasku!" (Bocah kurang ajar! Kembalikan kepalaku!) seru laki laki itu lagi, masih dengan suara serak dan berat. Aku semakin ketakutan mendengar ucapannya itu. Kepala? Kepala apa maksudnya?
"Ndhas? Ndhas nopo nggih Mbah?" (Kepala? Kepala apa ya Mbah?) tanyaku dengan suara yang semakin gemetar. Keringat dingin mulai membanjiri sekujur tubuhku. Aku sadar, sosok di depanku ini bukan manusia.
"Iyo, Ndhas! Ndhasku sing mbok nggo bal balan sore mau! Ki lho sawangen, aku nganti bingung nggolek'i ndhasku!" (Iya, kepala! Kepalaku yang kau pakai buat main bola sore tadi! Nih, lihat, aku sampai bingung mencari kepalaku!) sentak sosok itu sambil membuka capingnya.
Aku terkesiap, saat melihat dibalik caping itu ternyata tak ada kepala sama sekali. Hanya ada sebatang leher hitam setengah membusuk dengan darah hitam kental mengalir dari ujungnya. Bau busuk menguar menusuk indera penciumanku.
"Whuaaaa ....!!!! Bapaaakkkk ....!!!!!" sontak aku berteriak sekencang kencangnya, membuat seisi rumah menjadi gempar. Bapakku yang waktu itu masih menikmati kopinya sambil mendengarkan siaran wayang kulit di radio segera menghambur ke dalam kamarku. Begitu juga Simbok yang sedang menidurkan adikku di kamarnya juga ikut panik.
"Le, bangun Le! Mimpi apa kamu sampai teriak teriak begitu?!" Bapak mengguncang guncang bahuku. Aku masih meronta ronta diatas tempat tidurku, karena dalam pengelihatanku sosok tanpa kepala itu masih berdiri diam di sudut kamarku. Padahal menurut bapakku, saat itu mataku masih terpejam.
"Istighfar Le, nyebut, mimpi apa to, kok sampai ketakutan gitu?" Simbok ikut mengguncang guncang kakiku.
"I .., it ..., itu Pak, ada ..., ada orang nggak ada kepalanya!" seruku panik sambil menunjuk nunjuk ke sudut kamar dengan mata yang masih terpejam.
"Wah, kena sawan nih anak," kata bapakku. "Tolong ambilkan air putih Mak."
Simbok segera berlari ke dapur, mengambil segelas air putih, lalu kembali ke kamar dan menyerahkan gelas itu kepada bapak. Bapak komat kamit sebentar sambil sesekali meniup niup air di dalam gelas.
"Nih, minum dulu biar tenang," kata Bapak sambil membantuku untuk duduk. Segera kutenggak air dalam gelas itu sampai tandas. Entah apa yang dilakukan bapak pada air itu. Yang jelas setelah aku meminumnya, perasaanku menjadi sedikit tenang. Sempat kulirik sudut kamarku. Sudah tak ada lagi sosok tanpa kepala yang tadi menerorku.
Setelah melihatku sedikit tenang, bapak lalu menanyaiku. Akupun menceritakan semua mimpi burukku tadi. Juga soal bola yang kutemukan di dalam lubang pohon randhu growong di ladang Kang Sardi.
"Ada ada saja," gerutu bapak setelah mendengar ceritaku. "Dimana bola itu kau simpan?"
Aku menunjuk ke kolong tempat tidurku, tempat dimana bola itu kusimpan. Bapak lalu mengambil sehelai kain mori dari dalam lemari, lalu digunakannya kain itu untuk membungkus bola yang kutemukan itu.
"Biar besok bapak kembalikan bola ini ke tempatnya. Lain kali, kalau nemu sesuatu di Tegal Salahan, jangan sekali kali diambil, kecuali kamu mau didatangi pemiliknya." kata bapak lagi.
***
Keesokan harinya, baru aku tahu kalau ternyata bukan hanya aku yang didatangi makhluk tanpa kepala itu. Tapi semua teman temanku yang ikut main bola di Tegal Salahan juga mengalami hal yang sama. Bahkan Joko dan Wawan sampai sakit demam selama tiga hari.
Pagi pagi sekali, bapak mengembalikan 'bola' yang telah dibungkus kain mori itu kedalam lubang pohon randhu growong. Tak lupa bapak juga meletakkan pencok bakal dan membakar dupa dibawah pohon itu.
NB : Sosok hantu tanpa kepala ini juga pernah ditemui oleh seorang maling yang dulu pernah disesatkan oleh penghuni Tegal Salahan. Kisahnya bisa dibaca di thread Tegal Salahan yang sebelumnya
*****
***Gedebog Pisang Itu Ternyata...***
Malam ini, Kang Sukri dan Lik Mukri mendapat jatah giliran lep (mengairi sawah). Disaat musim kemarau begini, kegiatan lep memang digilir, untuk mencegah terjadinya perebutan air diantara para petani.
Air memang sangat berharga bagi para petani, terutama disaat musim kemarau begini. Banyak dari mereka yang memilih untuk tidak menggarap sawahnya dan membiarkannya terbengkalai karena tidak adanya air. Terutama yang letak sawahnya jauh dari kalen (saluran irigasi).
Yang sawahnya dekat dengan kalen, sedikit masih beruntung. Meski harus bersusah payah, mereka masih bisa menggarap sawahnya, meski dengan air yang terbatas. Dan karena kererbatasan air itulah terkadang sering terjadi percekcokan diantara para petani, dari yang perang mulut sampai ada yang saling baku hantam hanya gara gara rebutan air. Oleh karena itulah kegiatan lep ini dijatah dan digilir.
Jam sebelas malam Kang Sukri dan Lik Mukri telah sampai di Dam (bendungan) kali Bagor. Dari Dam inilah air dari sungai dialirkan ke kalen, untuk selanjutnya dialirkan ke sawah sawah mereka.
"Wah, pantesan air di kalen ngalirnya kecil banget, orang mampet begini," gerutu Lik Mukri sambil menyorotkan senternya ke arah pintu air yang mengalirkan air dari kali ke kalen. Sampah dedaunan dan rumput rumput kering nampak tersangkut dan menyumbat mulut pintu air itu.
"Hmmm, ini harus dibersihkan Lik," Kang Sukri ikut melongok ke bawah.
"Itu aku juga tahu," sahut Lik Mukri. "Ya sudah, kamu yang turun, biar aku terangi dari sini."
"Harus nyemplung ya Lik?" tanya Kang Sukri sedikit ragu. Membayangkan dinginnya air sungai, membuatnya bergidik ngeri.
"Ya iyalah, gimana mau membersihkan kalau nggak nyemplung!" kata Lik Mukri.
"Tapi ..., dingin Lik. Dan kayaknya lumayan dalam airnya," Kang Sukri kembali melongok ke bawah. Pusaran air yang berputar putar deras membuat nyalinya sedikit ciut. Dia memang sedikit penakut orangnya. Melihat pusaran air itu, ia sudah membayangkan hantu air yang dulu pernah diceritakan oleh kakeknya.
"Halah, kamu ini lho, sudah tua bangka begitu kok sama dingin saja takut. Atau harus aku yang turun?" kata Lik Mukri sedikit kesal.
Kang Sukri tak bisa membantah lagi. Ia yang memang lebih muda dari Lik Mukri, karena dia adalah keponakan laki laki itu, mau tak mau harus menuruti perintah sang paman.
"Buka saja pakaianmu, biar nggak basah," kata Lik Mukri lagi.
Lagi lagi Kang Sukri hanya bisa menurut. Ia celingak celinguk sebentar sebelum membuka seluruh pakaiannya. Biar bagaimanapun, tempat ini sangat terbuka. Bisa berabe kalau ada yang melihat ia telanjang bulat di tengah malam buta begini.
"Sudah, nggak bakalan ada yang ngintip," hardik Lik Mukri melihat keponakannya itu nampak ragu. Paling juga dhemit yang mau ngintip malam malam begini."
Sial! Umpat Kang Sukri dalam hati. Sudah tau dia penakut, malah ngomongin soal dhemit!
Kang Sukri segera melepas semua pakaiannya. Dan tanpa mengenakan sehelai kainpun, laki laki itu segera terjun kedalam kedhung. Benar saja, air dalam kedhung itu lumayan dalam. Kini hanya kepala Kang Sukri yang terlihat menyembul diatas permukaan air.
Segera Kang Sukri berenang mendekat ke pintu air, lalu dengan cekatan ia menyingkirkan dedaunan dan rerumputan yang menyumbat mulut pintu air itu. Dari atas Lik Mukri meneranginya dengan senter.
"Hati hati Kri, jangan sampai salah memegang ...."
"As*"!" umpatan Kang Sukri memotong ucapan Lik Mukri.
"Djanc*k ki! Malah misuhi wong tuwek!" (Sialan! Malah ngata ngatain orang tua!) bentak Lik Mukri sambil melemparkan bongkahan tanah kering ke arah Kang Sukri. Untung lemparannya tak tepat sasaran.
"Ora lho Lik! Iki lho, ra sengaja ndemok ta*"! (enggak lho Lik! Ini lho, nggak sengaja megang kotoran!) teriak Kang Sukri dari bawah membela diri.
"Oh, tak kira misuhi aku," (Oh, kirain ngata ngatain aku,) kata Lik Mukri sambil tertawa geli, membayangkan Kang Sukri yang tanpa sengaja memegang benda menjijikkan itu.
"As* tenan! Ngerti kancane apes malah diguyu!" (Sialan betul! Tahu temannya apes malah diketawain!) kali ini umpatannya benar benar ditujukan kepada Lik Mukri, namun cuma ia ucapkan dalam hati.
Kang Sukri segera melanjutkan pekerjaannya. Hampir limabelas menit ia berkutat dengan sampah sampah itu, sampai mulut pintu air benar benar bersih dan air mengalir dengan lancar ke arah kalen.
"Sudah beres Lik," kata Kang Sukri sambil kembali mengenakan pakaiannya. Badannya sedikit menggigil kedinginan. "Coba tadi kita bawa kopi Lik, kan lumayan buat mengusir dingin begini."
"Kau pikir kita piknik, pakai bawa kopi segala! Sudah, ayo lanjut, keburu pagi nih!" gerutu Lik Mukri sambil kembali menyusuri galengan(pematang) kalen. Sambil berjalan mereka membersihkan sampah sampah yang menghambat aliran air. Juga menutup lubang lubang yang mengalirkan air ke sawah orang. Pokoknya malam itu aliran air hanya khusus untuk dialirkan ke sawah mereka.
"Eh, sebentar Lik!" Kang Sukri menahan langkah Lik Mukri. "Sampeyan dengar nggak?"
Lik Mukri menghentikan langkahnya, lalu menelengkan kepala, mencoba mempertajam pendengarannya. Dari kejauhan, terdengar gemericik air yang sepertinya mengalir dengan deras.
"Wah, gawat! Jangan jangan ..." Lik Mukri segera mempercepat langkahnya. Nalurinya sebagai seorang petani kawakan mengatakan kalau telah terjadi sesuatu yang tak diharapkan.
Dan benar saja, setelah melangkah beberapa meter, mereka mendapati galengan kalen telah jebol. galengan dari tanah yang telah lama mengering karena kemarau panjang itu memang mudah sekali ambrol saat tiba tiba terkena air. Air yang sudah susah payah mereka alirkan dari kali ke kalen, kini kembali tumpah membanjir ke kali.
"Wah, celaka Kri! Tanggulnya jebol!" gerutunya sambil menyorotkan lampu senternya ke arah tanggul yang jebol selebar lebih dari satu meter itu. "Padahal tadi pas kita berangkat belum jebol lho."
"Waduh! Gawat ini Lik! Bisa gagal lep kita malam ini." Kang Sukri ikut mengamati tanggul yang jebol itu.
"Kita perbaiki saja dulu Kri, sementara pake apa dulu gitu kek," kata Lik Mukri sambil melihat sekeliling, mencoba mencari sesuatu untuk menambal tanggul yang jebol itu.
"Pakai gedebog pisang saja Lik, tuh di pinggir kali banyak pohon pisang liar. Bisa kita pakai buat menambal tanggul yang jebol ini." usul Kang Sukri.
"Wah, tumben otakmu encer Kri. Ya sudah, yuk kita cari gedebog pisang. Sama kayu atau bambu buat patoknya." mereka berduapun segera sibuk menebang dua pohon pisang yang lumayan besar. Juga beberapa batang pohon semak liar seukuran lengan untuk dijadikan patok.
Mereka harus kerja ekstara keras malam itu. Batang pohon pisang mereka potong potong sepanjang kurang lebih satu setengah meter, lalu mereka pasang melintang pada tanggul yang jebol itu. Tak lupa mereka menancapkan patok batang semak yang telah mereka runcingkan ujungnya untuk menahan batang pisang itu agar tidak hanyut terbawa air. Sela sela batang pisang itu mereka sumbat dengan rerumputan dan tanah liat agar air tidak merembes.
Tak sia sia mereka bekerja keras. Tanggul darurat yang mereka buat hampir selesai. Tinggal sedikit lagi. Tapi sepertinya mereka masih butuh sebatang gedebog pisang lagi agar tanggul yang mereka buat benar benar sempurna.
"Wah, sepertinya gedebognya masih kurang Lik," seru Kang Sukri sambil mengelap keringatnya yang bercucuran di dahinya.
"Iya. Ya sudah, aku tak nyari lagi. Sepertinya tadi aku melihat masih ada gedebog pisang yang tergeletek di pinggir kali. Kamu disini saja. Bereskan tuh sela sela batang pisang yang belum rapat, biar airnya nggak merembes." perintah Lik Mukri.
Segera laki laki itu turun kembali ke pinggir kali. Benar saja, ada sebatang pohon pisang yang tergeletak disitu, sepertinya bekas ditebang orang. Dan ukurannya juga pas banget, Lik Mukri tak perlu lagi memotongnya. Ia tinggal memanggulnya naik menuju ke kalen.
"Alhamdulillah Kri, masih ada batang pisangnya," teriak Lik Mukri sambil berjalan tertatih tatih diatas pematang sawah yang sedikit licin oleh embun.
Kang Sukri yang tengah sibuk menyumbat sela sela tanggul yang masig bocor menoleh. Dan betapa terperanjatnya ia saat melihat apa yang dipanggul oleh pamannya itu. Bukan gedebog pisang seperti yang dibilang oleh Lik Mukri, tapi sesosok pocong dengan bagian kepala di depan dan kaki di belakang.
"Lik, ku ...., kuwi ...., sing mbok pikul ...., Whuuuuaaaaaaaa .....!!!!" sontak Kang Sukri lari tunggang langgang sambil berteriak, "Guwak'en debogmu Lik! Ayo mulih wae!" (Buang saja gedebogmu Lik! Ayo pulang saja!)
Lik Mukri tentu saja kebingungan melihat tingkah keponakannya itu. Segera diperhatikannya gedebog pisang yang dipanggulnya. Darahnya tersirap seketika, sekujur tubuhnya gemetaran, begitu menyadari bahwa yang ia panggul bukanlah batang pisang, melainkan sesosok pocong dengan wajah yang tepat mengarah ke wajahnya. Mata sosok itu menyala merah, menampakkan wajahnya yang sangat menyeramkan. Wajah yang telah membusuk dengan gigi geligi meringis seolah mentertawakannya.
Sontak Lik Mukri segera melempar sosok itu ke tengah sawah, lalu dengan sekuat tenaga lari sekencang kencangnya menyusul sang keponakan, sambil berteriak lantang, "Sukriiiiiiii ...!!! Baj*ng*n kowe! Ngerti wong tuwek arep dikereg pocongan malah ditinggal mlayu!!!" (Sukriiii ...!!! Sialan kamu! Tahu orang tua mau dimangsa pocong malah ditinggal lari!)
Dan rencana lep mereka malam itupun gagal total.
===============
***Penganten Wurung***
Di desaku, ada sebuah adat atau tradisi, dimana setiap warga yang ingin mengadakan hajatan, wajib menyediakan sesajen berupa panjang ilang yang nantinya akan diletakkan di tempat tempat yang dianggap keramat di sekitaran desa, lalu dibacakan doa doa oleh orang tua yang dianggap 'ngerti' sambil membakar dupa atau kemenyan.
Panjang ilang sendiri merupakan wadah yang terbuat dari janur (daun kelapa yang masih muda) yang dianyam membentuk seperti keranjang kecil yang diisi dengan berbagai macam sesajen.
Tradisi ini sudah dipercaya secara turun temurun. Dan hampir semua warga desa menghormatinya. Tak ada yang berani melanggar tradisi itu, kecuali satu orang, dan itu berakibat sangat fatal.
Pak Harjo namanya. Sebenarnya dia bukan warga asli Kedhungjati, tapi pendatang dari daerah lain. Suatu saat beliau ingin mengadakan pesta pernikahan anak perempuannya. Pesta yang akan digelar dengan sangat meriah, mengingat Pak Harjo ini termasuk orang yang berada.
Jauh jauh hari, segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana pesta itu telah dipersiapkan. Para warga juga tak mau ketinggalan. Dengan sukarela mereka datang membantu.
Sepertinya semua akan berjalan lancar, sampai pada dua hari sebelum hari H, terjadi sedikit perdebatan. Para tetua yang mengingatkan tentang tradisi sesajen panjang ilang ini, nampaknya berbeda pendapat dengan tuan rumah. Ya, Pak Harjo keberatan, bahkan menolak untuk membuat sesajen. Katanya hal seperti itu tidak sesuai dengan kepercayaannya.
Suasana menjadi sedikit tegang, namun toh akhirnya Pak Harjo masih tetap dengan pendiriannya. Warga meski sedikit kecewa, tapi mereka juga tidak bisa memaksa.
"Biarkan saja, kalau memang seperti itu keinginannya. Toh kita sudah berusaha mengingatkan. Ya semoga saja tidak sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan," kata mBah Mo, salah satu tetua di desaku, mencoba menenangkan warga yang sedikit emosi.
Namun sepertinya harapan tak sesuai kenyataan. Belum selesai mBah Mo bicara, mendadak cuaca yang awalnya cerah dan panas karena memang musim kemarau, berubah seketika. Mendung bergulung dari arah selatan, berarak perlahan mendekati desa Kedhungjati. Angin yang awalnya sepoi sepoi berubah menjadi kencang, menerbangkan debu debu dan dedaunan kering yang berserakan di jalanan. Tak lama, hujanpun turun dengan sangat derasnya, disertai tiupan angin kencang. Sangking kencangnya tiupan angin, tratak (tenda sederhana yang terbuat dari bambu dan beratap terpal) yang telah mereka bangun dengan susah payah selama dua hari, roboh.
Warga mulai kasak kusuk. Mereka menganggap bahwa hujan dan angin kencang ini bukan hujan dan angin biasa. Tapi teguran dari yang mbaureksa Tegal Salahan, karena Pak Harjo tetap bersikukuh untuk tidak membuat sesajen panjang ilang.
***
Sehari sebelum hari H, semua persiapan sudah lengkap. Tratak yang roboh itupun sudah dibangun kembali. Warga bersyukur, tak ada kejadian apa apa lagi setelah hujan dan angin kencang tempo hari.
Malam harinya, warga berkumpul menemani keluarga Pak Harjo tirakatan. Berdoa memohon kepada sang pencipta, agar diberikan kelancaran dalam acara pernikahan nanti. Rasa sukacita dirasakan oleh semua yang hadir di situ. Mereka tidak menyadari, bahwa malapetaka sedang mengintai.
Saat warga sedang asyik mengobrol sambil menikmati hidangan yang disediakan oleh tuan rumah, tiba tiba dikejutkan oleh suara gaduh dari dalam kamar calon mempelai perempuan.
Usut punya usut, ternyata Mbak Yuni, anak perempuan Pak Harjo, yang juga adalah calon mempelai perempuan, menghilang dari dalam kamarnya. Sudah dicari ke kamar mandi, dapur, bahkan ke kebun sekitar rumah, tapi tak ada hasil.
Akhirnya, para wargapun beramai ramai ikut mencari. Mereka berpencar ke segenap penjuru desa. Sampai saat menjelang shubuh, gadis calon pengantin itu ditemukan tertidur diatas buk yang ada di Tegal Salahan. Sedikit aneh sebenarnya, karena beberapa warga sudah beberapa kali mengitari tempat itu, namun mereka tak melihat keberadaan Mbak Yuni. Baru saat pagi hampir menjelang, anak gadis Pak Harjo itu diketemukan.
Kondisinya sangat mengenaskan. Seperti orang linglung. Bahkan saat ditanya siapa namanyapun, gadis itu hanya tertawa tawa dan menceracau tak jelas.
Acara pernikahanpun terpaksa ditunda. Tak peduli dengan undangan yang sudah disebar, tak peduli dengan segala makanan yang sudah dimasak dan siap dihidangkan, bahkan tak peduli dengan keluarga besan yang tiba tiba pamit pulang. Yang ada di pikiran Pak Harjo hanya satu, keadaan anak perempuannya yang sangat mengkhawatirkan itu.
Segala macam carapun ditempuh untuk menyembuhkan sang anak, orang pintar, paranormal, psikiater, bahkan konon katanya pernah sampai dibawa berobat ke Jakarta, tapi hasilnya tetap nihil. Dan pernikahan yang telah dipersiapkan dengan matang itupun terpaksa dibatalkan. Pihak dari calon pengantin laki laki yang membatalkan. Mereka tak ingin mendapatkan menantu yang mengalami gangguan jiwa.
Sampai akhirnya, entah karena malu atau apa, keluarga Pak Harjo memutuskan untuk pindah dari desaku, dan kembali ke kampung halamannya. Rumah, sawah, dan ladangnya, semua dijual.
Sampai saat ini, aku masih belum paham, kenapa peristiwa itu bisa terjadi. Apakah benar karena Pak Harjo tak bersedia memasang sesajen panjang ilang atau karena sebab lain. Yang jelas, mungkin pepatah lama ini harus kembali kita ingat lagi, bahwa dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
============
***Bayi Sundel Bolong***
Jam sembilan malam. Belum terlalu larut memang. Tapi suasana desa Kedhungjati sudah mulai sepi. Sudah menjadi kebiasaan bagi para warganya, begitu matahari terbenam di ufuk barat, mereka memilih untuk beristirahat di rumah masing masing, setelah lelah bekerja seharian di sawah atau ladang mereka.
Demikian juga halnya dengan Kang Bejo. Laki laki itu nampak duduk santai bersandar di kursi kayu ruang tamu rumahnya. Alunan gendhing gendhing jawa mengalun dari radio transistor, menemaninya menikmati kopi hitam kental dan rokok tingwe kesukaannya. Sedang Yu Darmi, sang istri, masih nampak sibuk melipat baju yang siang tadi dicucinya.
"Sudah jam sembilan, kok acara wayang kulitnya belum dimulai ya? Apa penyiar radionya ketiduran?" Kang Bejo meluruskan punggungnya, lalu memutar tombol tuning di radio transistor yang ada di atas meja.
"Sampeyan itu lho pak, kok radioooo saja yang diurusin! Apa ndak bosen setiap malam dengerin wayang kulit terus. Mbok ya sekali kali gantian istrinya ini yang diurusin!" gerutu Yu Darmi sambil memasukkan baju baju yang telah ia lipat kedalam lemari.
"Soal ngurusin istri itu gampang. Lagipula masih sore ini. Anakmu juga belum tidur," sahut Kang Bejo sambil melinting tembakau.
"Alah, sampeyan ini memang paling bisa ngelesnya," Yu Darmi menghampiri sang suami lalu duduk di sampingnya. "Mau nambah lagi kopinya?"
"Ndak usah Bune, masih banyak ini kopinya," Kang Bejo menyeruput sedikit kopinya, lalu meletakkan kembali gelasnya ke atas tatakan. "Kalau masih ada tolong ambilkan saja singkong goreng yang kamu bikin tadi sore itu."
"Oalah pakne pakne, lha wong singkong goreng sudah sampeyan habiskan gitu lho, kok masih dicariin." Kata Yu Darmi.
"Hehehe, iya to? Lupa aku. Tak kirain masih ada," Kang Bejo tergelak sesaat, lalu menyulut rokok lintingannya. Asap tembakau berbau pepak mengepul memenuhi ruangan.
"Makannya, rokoknya itu dikurangi. Masih muda kok sudah pelupa gitu. Jangan jangan nanti juga lupa kalau sudah punya istri," gerutu Yu Darmi.
"Ya enggak lah, kalau sama istri ya nggak bakalan lupa to. Masa sama istri cantik begini lupa," gemas Kang Bejo mencubit hidung Yu Darmi, membuat pipi perempuan itu merona merah.
"Gombal!" seru Yu Darmi sambil menyandarkan kepalanya ke bahu sang suami. Kang Bejo hanya tersenyum. Sejenak suasana menjadi hening. Hanya alunan gendhing gendhing jawa yang terdengar mengalun dari radio tua diatas meja itu.
"Eh, Kang, sampeyan dengar nggak?" tiba tiba Yu Darmi kembali menegakkan kepalanya.
"Dengar apa to?" Kang Bejo ikut menajamkan indera pendengarannya.
"Kecilkan dulu suara radio sampeyan," seru Yu Darmi. Kang Bejopun menurut, memutar tombol volume di radio tuanya.
"Tuh, dengar nggak? Kayak suara bayi nangis," kata Yu Darmi lagi.
"Alah, paling anaknya Sardi tuh lagi rewel. Biasa kan, kalau malam gini suka nangis minta netek," gerutu Kang Bejo yang merasa keasyikannya terganggu, lalu kembali mengeraskan volume radionya.
"Dengar dulu pakne," Yu Darmi gantian memutar tombol volume radio. "Tuh, lain suara tangisnya. Bukan bayinya Kang Sardi kayaknya. Kalaupun itu suara bayinya Kang Sardi, itu bukan suara tangis minta netek Pak. Mbok coba sampeyan lihat dulu, jangan jangan anak Kang Sardi sakit atau bagaimana."
"Iya iya," Kang Bejopun segera beranjak bangun. Lalu beranjak keluar setelah membetulkan lilitan kain sarung di pinggangnya. Tak lupa dibawanya lampu senter untuk penerangan. Pelan Kang Bejo melangkah menuju ke rumah Kang Sardi yang letaknya hanya beberapa meter dari rumahnya. Mereka memang tetangga dekat.
"Di, wes turu po?" (Di, sudah tidur ya?) seru Kang Bejo sambil mengetuk pintu rumah Kang Sardi.
"Belum Kang," terdengar sahutan dari dalam, disusul suara sandal jepit diseret diatas lantai tanah. Tak lama pintupun terbuka.
"Ada apa to Kang? Kok tumben?" tanya Kang Sardi setelah membukakan pintu.
"Anakmu rewel po?" Kang Bejo balik bertanya.
"Enggak tuh Kang," jawab Kang Sardi setelah mempersilahkan Kang Bejo masuk. "Wong sudah tidur dari tadi kok."
"Oh, ya sudah kalau begitu. Tak kirain anakmu lagi rewel. Tadi aku kayak dengar suara bayi nangis soalnya." Kang Bejo berniat untuk kembali pulang. Namun langkahnya terhenti saat sayup sayup suara tangis bayi itu kembali terdengar.
"Lho, itu, terdengar lagi suaranya," Kang Bejo menelengkan kepalanya, mencoba mempertajam indera pendengarannya. Kang Sardipun mengikuti gerakan tetangganya itu.
"Wah, iya ya kang, bayi siapa ya yang nangis malam malam begini? Perasaan cuma aku yang punya bayi di desa ini." gumam Kang Sardi.
"Sebentar Di, kok sepertinya ...," Kang Bejo lebih mempertajam lagi pendengarannya, lalu berseru, "benar Di, suaranya berasal dari arah tegalan sana!"
"Iya Kang, benar," Kang Sardi ikut berseru. "Jangan jangan ...."
"Jangan jangan apa Di?" tanya Kang Bejo.
"Enggak Kang, beberapa hari ini kan heboh berita di radio soal orang yang membuang bayi di kota sana. Jangan jangan itu juga bayi yang dibuang orang yang tak bertanggung jawab." kata Kang Sardi.
"Masak sih? Tapi itu kan di kota sana Di. Di desa ini, mana ada orang yang tega membuang bayi?" kata Kang Bejo lagi sedikit ragu.
"Bisa saja kan, orang kota sengaja membuang bayinya di sini, biar nggak gampang ketahuan sama polisi." sergah Kang Sardi.
"Hmmm, iya juga ya. Terus gimana baiknya sekarang Di?" tanya Kang Bejo lagi.
"Kita lihat saja yuk Kang. Kan kasihan kalau itu bayi beneran." usul Kang Sardi.
"Iya kalau bayi beneran, kalau bayi jadi jadian gimana? Tegalan itu kan angker Di. Apalagi malam malam begini. Apa nggak sebaiknya kita ajak bapak bapak yang ronda saja buat menemani kita?" Kang Bejo nampak masih ragu. Ia masih ingat kejadian yang menimpa istrinya beberapa bulan yang lalu, saat istrinya digandhuli glundhung pringis di area Tegal Salahan itu.
"Kita lihat berdua saja dulu Kang, nanti kalau beneran bayi, baru kita panggil bapak bapak yang ronda malam. Bisa malu kita kalau kita mengajak mereka sekarang dan ternyata nggak ada apa apa." kata Kang Sardi meyakinkan.
"Hmmm, ya sudah kalau begitu, ayo kita lihat. Jangan lupa kamu bawa senter sama golok." kata Kang Bejo akhirnya.
"Iya Kang, sebentar aku ambil senter dulu, sekalian pamit sama ibunya anak anak," jawab Kang Sardi.
Akhirnya, berdua mereka menyusuri jalanan Tegal Salahan yang gelap dan sunyi itu. Semakin mereka melangkah, suara tangis bayi itu semakin jelas terdengar. Sesekali mereka berhenti sesaat dan saling pandang, berusaha menentukan dimana posisi tepatnya asal suara itu.
"Sepertinya dari arah sana Kang," Kang Sardi menunjuk ke arah tegalan milik mBah Kromo, beberapa meter di sebelah barat mereka.
"Kamu yakin Di? Itu kan tegal mBah Kromo. Nggak ada apa apa disana selain barongan ori (rumpun bambu berduri.)" tanya Kang Bejo.
"Yakin Kang, jelas suaranya dari arah sana. Dan jika benar itu bayi yang dibuang, bisa saja kan, orang yang membuang itu sengaja membuangnya di tempat yang sepi dan sulit ditemukan orang." Kang Sardi meyakinkan.
"Iya juga ya. Ya sudah, ayo kita lihat kesana. Tapi hati hati. Ladang mBah Kromo lebat banget semak semaknya. Takutnya ada ular atau apa gitu." ajak Kang Bejo.
Mereka berduapun segera berbelok menuju ke ladang itu. Lebatnya semak dan rerumputan mereka terobos begitu saja. Sesekali mereka membabat rumpun semak dan ilalang untuk memudahkan jalan mereka. Nyamuk nyamuk liar yang ganas menyerang kulit mereka tak mereka hiraukan lagi, saat suara tangis bayi itu terdengar semakin jelas.
Dan benar saja, setelah agak lama mencari kesana kemari, akhirnya mereka menemukan apa yang mereka cari. Sesosok bayi mungil nampak tergolek di bawah rumpun bambu. Bayi yang terbungkus kain kumal itu nampak menangis sambil menggerak gerakkan kaki dan tangannya.
"Gusti Allah, siapa orang bejat yang tega menelantarkan bayi tak berdosa di tempat seperti ini?!" Kang Sardi segera menyerahkan senter dan goloknya kepada Kang Bejo, lalu memungut dan menggendong bayi itu. Ditimang timangya bayi itu sampai tangisnya terhenti.
"Kita bawa pulang saja ya Kang?" usul Kang Sardi.
"Kamu yakin Di?" tanya Kang Bejo.
"Ya iyalah Kang, masa bayi mungil begini mau kita tinggalkan begitu saja di tempat seperti ini. Coba lihat, dia sudah kedinginan. Badannya juga bentol bentol digigitin nyamuk." Kang Sardi masih tetap menimang nimang bayi itu agar tenang dan tak menangis lagi.
"Enggak. Maksudku kamu yakin itu bayi beneran?! Di tempat seperti ini lho. Dan ...," Kang Bejo mengarahkan lampu senternya ke arah bayi itu. Melihat ada cahaya yang mengarah ke arahnya, bayi itu menoleh dan tertawa kesenangan sambil kembali menggerak gerakkan kaki dan tangannya.
Kang Bejo tersenyum. Siapa yang tak terpukau melihat tingkah bayi yang lucu begitu. Namun senyum Kang Bejo tak bertahan lama, saat melihat perubahan yang drastis pada wajah bayi itu. Tawa bayi itu semakin keras, seiring dengan perubahan pada bibirnya yang semakin melebar. Sepasang taring kecil tumbuh mencuat di sudut bibirnya. Kulit wajah bayi yang awalnya halus mulus, pelan namun pasti berubah menjadi keriput, matanya yang bening lambat laun terlihat memerah, memancarkan cahaya yang menyeramkan. Dan kedua daun telinganya semakin lama terlihat semakin memanjang dengan ujung yang berubah menjadi lancip.
"Di ..., i ..., itu ...." Kang Bejo tergagap sampai tak sanggup meneruskan kata katanya. Kang Sardi yang saat itu belum menyadari perubahan pada bayi yang digendongnya, menatap heran pada Kang Bejo.
"Kenapa sih Kang? Kok jadi kayak ketakutan gitu?" tanya Kang Sardi heran.
"Di, buang saja bayi itu. Ayo kita pulang," kata Kang Bejo setelah sedikit merasa tenang.
"Tapi Kang, masa sampeyan tega sih membuang bayi cantik begini?" protes Kang Sardi.
"Sudah, jangan banyak ngomong." Kang Bejo segera merebut bayi itu dari gendongan Kang Sardi. "Ini bukan ...."
"Kembalikaaaannnnn bayikuuuuu .....!!!" sebuah suara tinggi melengking memotong ucapan Kang Bejo.
Serempak Kang Bejo dan Kang Sardi menoleh. Dan betapa terkejutnya mereka saat menyadari bahwa dibelakang mereka telah berdiri sesosok perempuan berambut panjang dan bergaun putih kumal dengan wajah yang sangat mengerikan. Wajah yang hancur membusuk dengan puluhan atau mungkin ratusan belatung yang menggeliat geliat menjijikkan.
"Di, sundel bolong Di, ayo lari," bisik Kang Bejo sambil pelan pelan meletakkan bayi itu diatas tanah.
Begitu bayi itu berhasil diletakkan, sontak Kang Bejo dan Kang Sardi lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu, diiringi oleh suara tawa si perempuan yang melengking tinggi.
"Hihihihihihihihihi........!!!!!!!"
Part 8 : Arwah Perempuan Yang Mati Gantung Diri
Masih ingat kisah tentang perempuan gantung diri yang pernah aku ceritakan di thread sebelumnya? Nah, ternyata kisah tersebut tidak berhenti pada apa yang telah aku ceritakan itu Gansist. Masih ada kisah kisah lain setelah kejadian itu. Dan di part ini aku akan coba menceritakannya.
Kejadian pertama dialami oleh mBah Kromo, pemilik ladang yang digunakan untuk gantung diri oleh perempuan itu. Jadi waktu itu mBah Kromo ini sengaja datang ke ladang untuk menebang beberapa batang pohon bambu yang memang banyak tumbuh di ladangnya. Nantinya bambu bambu itu akan ia gunakan untuk memperbaiki pagar rumahnya yang telah usang dan lapuk dimakan rayap. Sekedar info, di kampungku rata rata orang masih menggunakan pagar hidup berupa tanaman semak yang akan diberi gapit dari bambu agar kelihatan lebih rapi. Selain terlihat asri dan sejuk, daun dari semak pagar ini juga bisa dimanfaatkan untuk makanan ternak.
Nah, saat itu sore hari. Mbah Kromo mulai sibuk menebang beberapa batang pohon bambu, membersihkan ranting rantingnya, lalu mengikatnya menjadi satu agar lebih mudah saat membawanya pulang nanti.
Tanpa sadar, sampai hari menjelang maghrib, pekerjaan mBah Kromo baru selesai. Kakek tua itu sempat beristirahat di gubuk kecil yang ada di ladangnya, duduk melepas lelah sambil melinting tembakau.
Saat sedang menikmati rokok tingwenya, sayup sayup mBah Kromo seperti mendengar suara perempuan menangis. Mbah Kromo yang merasa sedikit heran lalu berusaha mencari asal suara itu. Dan benar saja, dibawah pohon sengon besar yang ada di ladangnya, nampak seorang perempuan duduk memeluk lutut sambil menangis tersedu sedu. Entah mengapa, mBah Kromo sama sekali tak ingat kalau pohon itu adalah pohon yang digunakan untuk gantung diri oleh perempuan warga Kedhungsono beberapa hari yang lalu. Mbah Kromo memang sudah berniat untuk menebang pohon itu, karena menurut kepercayaan warga setempat, kalau ada pohon yang pernah membuat orang meninggal, entah itu karena jatuh saat memanjat, digunakan untuk gantung diri, dan lain sebagainya, harus cepat cepat ditebang agar tidak membawa sial. Hanya saja mBah Kromo belum punya waktu untuk menebangnya.
Meski sedikit heran, mBah Kromo mencoba mendekati perempuan itu. Dalam hati ia bertanya tanya, siapa gerangan perempuan yang menangis di ladangnya saat surup (waktu menjelang maghrib, waktu yang dipercaya sebagai waktunya para makhluk halus keluar dari dunianya) begini.
"Nduk, kenapa menangis?" tanya mBah Kromo waktu itu dengan nada sedikit ragu.
Perempuan itu tak menjawab. Ia masih terus menangis sambil duduk memeluk lutut dan menundukkan kepalanya bertumpu pada lututnya, membuat mBah Kromo tak bisa melihat wajahnya.
"Sudah sore lho ini, sudah mau maghrib. Pulang saja sana, ndak baik perempuan keluyuran di ladang surup surup begini." bujuk mBah Kromo lagi.
Lagi lagi perempuan itu tak menjawab. Justru suara tangisnya semakin terdengar keras. Mbah Kromopun semakin bingung. Rasa kasihan mulai timbul di hatinya.
"Kamu kenapa to? Lagi ada masalah? Takut pulang? Mbah antar pulang mau?" lagi lagi mBah Kromo mencoba membujuk.
"Mbah," akhirnya perempuan itu menjawab juga, meski tetap dengan kepala yang menunduk. Suaranya terdengar sangat serak, seperti orang yang tercekik. Mungkin karena terlalu lama menangis. "Boleh saya minta tolong?"
"Ya boleh to. Sebagai manusia kan memang sudah semestinya saling tolong menolong. Mau minta tolong apa? Nanti mBah bantu kalau mBah mampu," jawab mBah Kromo sok bijak.
"Tolong betulkan letak kepala saya mBah," perempuan itu berdiri lalu mengangkat kepalanya. Bukan menengadah seperti manusia pada umumnya, tapi ia menggunakan tangannya untuk menarik rambutnya yang panjang hingga kepalanya terangkat. Dan saat perempuan itu melepaskan tangannya, kepala perempuan itu kembali lunglai dan terkulai ke belakang. Benar benar terkulai, sampai bagian belakang kepalanya menyentuh punggungnya, seolah olah tak ada tulang leher yang menyangga kepala itu. Tentu saja mBah Kromo kaget bukan kepalang melihat kejadian ganjil itu. Sadarlah ia bahwa perempuan yang ada di hadapannya itu adalah perempuan jadi jadian.
"Juwabang bayiiiiikkkk!!!! Dhemit edan!!! Bisa bisanya nakut nakutin orang yang sudah tua bangka begini!!!" seru mBah Kromo sambil ngibrit lari meninggalkan tempat itu.
"Hihihihi...., kok malah lari to mBah? Tadi katanya mau membantu," seru perempuan itu sambil berjalan terpincang pincang seolah ingin mengejar mBah Kromo. Dan karena jalannya yang terpincang pincang itu, membuat kepalanya yang sudah gondal gandul itu berayun ayun kedepan dan kebelakang dengan sangat elastis, membuat mBah Kromo semakin ngibrit ketakutan.
***
Kejadian kedua, dialami oleh Mas Slamet, seorang tukang ojek yang kebetulan saat itu sedang mengantar Yu Sri, pedagang pakaian, pulang dari pasar menuju ke rumahnya di desa Kedhungsono.
Saat itu juga sore hari. Seperti biasa, Mas Slamet yang sudah menjadi langganan Yu Sri ini memilih untuk lewat jalan Salahan. Meski jalannya kurang bagus dan terkenal angker, tapi lewat jalan situ lebih cepat, daripada harus memutar lewat jalan desa Patrolan.
Tak ada firasat apa apa saat itu di hati Mas Slamet. Seperti biasa, ia Mengantar Yu Sri sampai ke rumahnya, lalu kembali ke pasar juga lewat jalan yang sama. Dan saat sampai di buk yang ada diantara tanjakan dan turunan jalan desa salahan, Mas Slamet melihat seorang perempuan duduk memeluk lutut diatas buk sambil menangis tersedu sedu.
Merasa iba, apalagi saat itu juga sudah hampir menjelang maghrib, Mas Slametpun menghentikan sepeda motornya tepat di depan perempuan itu.
"Kenapa Mbak? Kok surup surup nangis disini?" tanya Mas Slamet pada perempuan itu.
"Saya takut pulang Mas, takut dimarahi sama bapak dan simbok," jawab perempuan itu disela sela isak tangisnya.
"Lho, kenapa takut? Mbak punya salah apa sama simbok bapak sampeyan? Sampai takut dimarahi gitu?" tanya Mas Slamet lagi.
"Anu Mas, saya ..., saya hamil, dan pacar saya nggak mau bertanggungjawab. Simbok dan bapak pasti akan sangat marah kalau sampai tahu kalau saya hamil." jawab perempuan itu sambil masih tetap menangia tersedu sedu.
"Oalah Mbak Mbak, makanya, jadi perempuan itu jangan gampang dirayu laki laki. Kalau sudah begini kan repot jadinya." seru Mas Slamet sambil geleng geleng kepala. "Ya sudah, ayo saya antar pulang. Ndak papa dimarahi orang tua, wong memang Mbak yang salah kok. Daripada surup surup Mbak nangis disini, nanti malah digondol wewe gombel, lebih repot lagi jadinya."
"Tapi ..., tapi saya ..., ndak punya uang Mas," kata perempuan itu sambil masih tetap menunduk.
"Ndak papa, ndak usah bayar. Kasihan aku melihat nasubmu ini. Ya susah, ayo naik. Rumahmu dimana to?" tanya Mas Slamet lagi.
"Makasih Mas, rumahku di situ, nggak jauh kok," perempuan itu akhirnya naik ke boncengan motor Mas Slamet setelah menunjuk ke selatan, ke arah desa Kedhungsono.
Mas Slametpun segera memutarbalik motornya, lalu kembali menjalankan motornya menaiki tanjakan yang menuju ke arah desa Kedhungsono.
"Sebentar, sebentar Mas, berhenti dulu," tiba tiba saat berada di tengah tengah tanjakan, perempuan itu berseru sambil menepuk pundak Mas Slamet. Mas Slamet yang terkejut segera menghentikan motornya di tengah tanjakan yang terjal itu.
"Ada apa lagi to? Ada yang ketinggalan?" kata Mas Slamet sedikit kesal.
"Ndak kok Mas, ini lho, kepalaku mau jatuh, biar aku benerin dulu sebentar." jawab perempuan itu.
"Apa?! Ke ..., kepa ...la mau jatuh?!" kaget Mas Slamet menengok ke belakang. Dan benar saja, kepala perempuan itu terlihat terkulai ke belakang sampai entah berapa derajat. Yang jelas kepala dengan rambutnya yang panjang itu nyaris menyentuh punggung si perempuan.
"Djanc*k!!! jebul sampeyan ki dhemit to!" sontak Mas Slamet memutar gas sekencang kencangnya. Namun sial, karena posisi motor berada di tanjakan yang curam, motor itu justru malah slip dan tak mau jalan. Panik Mas Slamet melompat dari sadel lalu lari sekencang kencangnya ke arah desa Kedhungsono, tanpa memperdulikan motornya yang terjengkang di tengah jalan dengan kondisi mesin menyala.
"Hihihihihihi.....!!!!" tawa seram perempuan itu masih terdengar nyaring meski Mas Slamet sudah jauh meninggalkan lokasi itu.
[BERSAMBUNG]
*****
SELANJUTNYA