Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETELAH ANAKKU MENINGGAL (Part 6) - Terjebak

Situasi semakin sulit, sebaiknya segera pergi dari sini. Sebelum semuanya terlambat.


Saya terlewat menjelaskan terkait hal ini; Pak Dulah adalah orang yang memeluk agama islam. Namun, islam yang dianutnya adalah yang lekat dengan adat-adat kejawen.

Banyak praktek-prakteknya yang menggunakan sebuah ritual-ritual khusus. Pak Dulah merupakan salah satu tokoh yang banyak dikenal oleh kalangan-kalangan tertentu berkat keahliannya dalam hal spiritual.

Sesampainya di kuburan Guntoro, Pak Dulah kembali melakukan hal serupa dengan yang dilakukannya di rumah Guntoro.

Mulutnya komat-kamit merapalkan sebuah mantra sambil mengelilingi kuburan Guntoro. Sementara Suntono, Anwar dan Joko hanya menunggu sedikit jauh dari tempat Pak Dulah.

“Bismillahirrahmanirrahim. Sir eling jatining urip, ya ingsun sejatining urip, sira sejatining Allah, ya ingsun sejatining Allah, sir iku Rasulullah pangucap iku Allah, jasad Allah badan putih tanpa getih, sir Alla rasa Allah, sir rasa jatining Allah, iya ingsun jatining Allah”

“Mas, ewangi aku, iki cekeli sentere (Mas, bantu saya, ini pegang senternya)” ucap Pak Dulah. Suntono menghampiri Pak Dulah, lalu meraih senter di tangannya.

Suntono menyenteri ke arah Pak Dulah dan Kuburan Guntoro. Andai, jika tidak menggunakan senter dan tidak ada 2 lampu pijar di area kuburan itu, mungkin mereka seperti di dalam gua, gelap.

Saat itu, Pak Dulah membuat pagar gaib. Gunanya, untuk menghalangi sosok pocong itu tidak mengganggu dan bergantayangan lagi di desa.

“Semoga berhasil” harapan Pak Dulah.

Tapi, ternyata usaha Pak Dulah tidak dibiarkan mulus.

Tiba-tiba angin berhembus kencang, hingga menghasilkan bunyi yang terdengar di telinga Pak Dulah dan yang lainnya. Terdengar banyak suara kepakan burung muncul dari arah jalan lalu terbang berkeliling di atas area pemakaman.

“Manuk opo kui mabur bengi-bengi ngene?” (burung apa itu terbang malam-malam begini?) tanya Suntono, Anwar dan Joko. Pak Dulah yang juga menyadarinya pun turut melihatnya. Burung itu hanya terbang berputar-putar di atas area pemakaman.

Tidak lama setelah itu, tiba-tiba, bau amis yang sangat menyengat tercium yang entah dari mana asalnya. Pak Dulah menutup kedua lubang hidungnya dengan tangannya.

Sementara, Anwar, Joko dan Suntono bertambah heran dan terus bertanya- tanya mengenai burung dan bau amis yang datang tia-tiba.

Feeling Pak Dulah mulai merasakan tidak enak, dia menangkap rasa yang tak semestinya ada di sekitarnya. Dengan cermat, Pak Dulah lantas melihat ke setiap penjuru area pemakaman dengan senter.

“Sentere gowo rene, Mas” (Senternya bawa kesini, Mas)

“Ningali nopo, Pak?” (lihat apa, Pak?) tanya Suntono.

Pak Dulah tak menjawabnya, dan tetap dengan aktivitasnya yang tengah mencari sesuatu yang membuatnya merasa tidak enak.

Detik berikutnya,Pak Dulah terkejut, senter dan tatapan mata Pak Dulah berhenti di arah jalan masuk pemakaman. Ternyata,sosok yang akan ditanganinya sekarang ada di depan mata berbalut kain hitam kumal,matanya tajam menyala diantara kegelapan malam,menatap tajam ke arah Pak Dulah.

Pak Dulah mencoba mendekat ke tempat sosok itu berada, namun, sesaat setelah ia melangkahkan kakinya yang kedua, terdengar suara dari sosok itu.

“Ono urusan opo kowe neng kene?” (ada urusan apa kamu disini?) tanya sosok itu.

Pak Dulah mengarahkan cahaya senternya ke arah sosok tersebut, lalu berkata “Kenopo kowe ganggu wong-wong neng kene?” (kenapa kamu mengganggu orang-orang disini?) pertanyaan itu dilontarkan oleh Pak Dulah, saat mendengar perkataan sosok pocong Guntoro.

Mendengar Pak Dulah yang berbicara, Suntono, Anwar dan Joko kebingungan.

“Enten nopo, Pak?” (Ada apa, Pak?) tanya Joko pada Pak Dulah.

Pak Dulah tidak menjawabnya, hal itu membuat mereka bertiga semakin penasaran lalu membalikkan badannya. Mereka terkejut sesaat setelah membalikkan badannya, karena ternyata, ada sosok pocong Guntoro tengah berdiri manatap ke arah mereka dengan bentuk dan wajah yang menyeramkan.

“Pak Dulah!!! Pocong Guntoro, Pak Dulah” teriakan panik mereka bertiga, lalu berlari ke belakang Pak Dulah. Kini, mereka berempat saling berhadapan dengan sosok Pocong Guntoro.

“Neng kene dudu alammu. Lungo kowe seko kene!” (disini bukan alammu. Pergi kamu dari sini!) ucap Pak Dulah dengan suara lantang.

Sosok pocong tersebut tidak menjawab, dia hanya menatap Pak Dulah tanpa bersuara.

“Aku tekon sekali meneh, kenopo kowe ganggu wong- wong neng kene?” (Aku tanya sekali lagi, kenapa kamu ganggu orang-orang disini?)

Sosok Pocong Guntoro itu tertawa mendengar perkataan Pak Dulah, suaranya menggelegar di telinga Pak Dulah. Mendengar itu, Suntono, Anwar dan Joko seketika ketakutan, mereka hanya bisa berdoa dengan ayat-ayat suci yang mereka bisa.

“Ora usah melu campur” (gak usah ikut campur) ucap sosok pocong Guntoro. Pak Dulah tak gentar, ia masih dalam keberaniannya dan terus melancarkan aksinya. Namun, sepertinya upaya Pak Dulah belum berpengaruh terhadap sosok yang berada di hadapannya.

Tidak lama setelah itu, gerombolan burung-burung yang sedari tadi berterbangan di atas pemakaman tiba-tiba turun dan terbang mengganggu Pak Dulah, Suntono, Anwar dan Joko.

“Iki kayane suruhane pocong kuwi” (ini sepertinya suruhannya pocong itu) ucap Pak Dulah sambil mengusir burung- burung yang terus menggaggunya.

Cukup lama Pak Dulah disibukkan dengan burung-burung yang tiba menyerangnya itu. Karena hal itu, penglihatan Pak Dulah terganggu dan fokusnya teralihkan dari sosok pocong Guntoro.

Saat burung-burung itu mulai menghilang, tapi, kini Pak Dulah dikejutkan dengan pemandagan yang dilihatnya saat itu.

Area kuburan yang semula hanya ada 4 orang termasuk dirinya, dan sesosok pocong Guntoro. Namun, sekarang, tidak hanya itu, puluhan pocong tiba-tiba datang dan mengelilinginya. Mata Pak Dulah terbelalak saat menyadari hal itu.

“Astagfirullahaladzim” ucap Pak Dulah. Suntono, Anwar dan Joko pun demikian. Saat itu, mereka seperti maling yang sudah dikepung oleh kerumunan warga yang menemukannya.

Siapa sangka, yang awalnya hanya berhadapan dengan pocong Guntoro, sekarang, mereka dihadapkan oleh puluhan sosok pocong yang sedang mengepung dan siap menyerang mereka kapanpun.

Pak Dulah, Suntono, Anwar dan Joko terdersak, mereka dalam posisi yang sulit. Di hadapan mereka berdiri sosok pocong Guntoro, Bersama puluhan pocong mengelilingi keberadaannya.

“Pak Dulah, saking pundi asale pocong kabeh kuwi?” (dari mana asalnya pocong sebanyak itu?) tanya Suntono.

“Pak Dulah, piye iki?” (gimana ini?)

“Mending saiki dewe mlayu, kabur seko kene.... Nggeh, Pak?” (mending sekarang kita lari saja, kabur dari sini.... Benar kan, Pak?) ucap Anwar kepada Pak Dulah dengan suara berbisik dan terbata-bata karena saking ketakutannya.

“Kowe arep mlayu lewat endi, Mas? Deloken kae, pocong semono akehe” (kamu mau lari kemana, Mas? Lihat saja, ada pocong sebanyak itu)

“Mlayuno, nek kowe memang wani” (lari saja, kalau kamu berani) kata Pak Dulah, dia gantian menantang Anwar

Mendengar jawaban Pak Dulah, Anwar melihat Joko dan Suntono, lantas bertanya “piye?” (gimana?), Suntono dan Joko saling melihat.

Mereka berdua ragu, begitupun Anwar, sebenarnya ia juga tidak berani jika harus berlari melewati puluhan pocong di depannya itu, terlebih jika dia harus melewatinya sendirian.

“Wes, Mas. Ojo gegabah, ewangi dongo wae, ojo pedot leh mu dongo, njaluk perlindungan seko Sing Kuoso” (Sudah, Mas. Jangan gegabah, bantu doa saja, jangan putus kalian memanjatkan doa, minta perlindungan dari Yang Maha Kuasa) ujar Pak Dulah.

Suntono, Anwar dan Joko, sebenarnya mereka bukanlah seorang pemberani yang serta merta ikut kemanapun Pak Dulah melangkahkan kakinya. Jika bukan karena permintaan Petinggi, mungkin mereka tak akan mau melakukan hal konyol seperti ini.

Tidak ada yang bisa mereka bertiga lakukan kecuali berdoa dengan doa-doa yang mereka bisa, menjalankan apa yang dikatakan Pak Dulah, sambil sesekali memjamkan matanya,berharap puluhan pocong di sekelilingnya hilang.

“Pak Dulah, pripun carane nyingkirke pocong-pocong niku?” (bagaimana caranya melenyapkan pocong itu?)

“Dewe ora iso nyingkirke makhluk-makhluk kuwi, termasuk pocong Guntoro” (kita tidak bisa melenyapkan makhluk-makhluk itu, termasuk Pocong Guntoro)

“Dados, pripun, Pak?” (Jadi, bagaimana, Pak?)

“Dewe mung iso gawe makhluk-makhluk kuwi lungo seko kene” (Kita tidak bisa melenyapkannya dari sini, kita hanya bisa membuatnya pergi dari sini)

“Makhluk-makhluk kuwi, juga ciptaane Gusti Allah sing nduwe takdir tetep ono lan terus ganggu menungo koyo dewe” (makhluk-makhluk itu, juga ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang punya takdir tetap ada dan akan terus mengganggu manusia seperti kita)

“Lajeng, nopo sing saged dewe lampahken, Pak?” (lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak?)

Pak Dulah menghela napas, ia seperti bingung harus memakai cara apa agar kelaur dari situasi ini. Dia menyadari, ada kekuatan besar diantara pocong Guntoro dan puluhan sosok pocong itu.

“Tenang, Mas. Aku nduwe rencana” (aku punya rencana)

“Ikuti perintahku”

Pak Dulah mengambil sesuatu dari dalam tas yang terbuat dari karung goni yang ia bawa sedari tadi. Dia mengeluarkan 2 buah dupa dari dalam tasnya.

“Mas, dupo iki sumet, tancepke pojokan kono karo kono” (Mas, dupa ini nyalakan, lalu tancapkan di ujung sana dan sana) ucap Pak Dulah menyuruh Suntono, Anwar dan Joko. Mereka bertuga membantu untuk menyalakan 2 buah dupa dan ditancapkan di timur dan baratnya ia berdiri.

“Kangge nopo, Pak?” (buat apa, Pak?) bisik Anwar dengan suara gemetar.

“Melu wae perintahku! Percoyo!” (Ikuti perintahku! Percayalah!)

“Cepat, Mas!”

Walau dalam keadaan takut dan ragu, mereka bertiga berusaha membantu. Tidak dengan membaginya menjadi 2, mereka bertiga memilih bersama-sama menyalakan dan menancapkan dupa itu satu-persatu.

Setelah itu, Pak Dulah mulai merapalkan doanya. Agar mudah dimengerti, kalimat doanya, saya akan langsung tuliskan dalam Bahasa Indonesia.

“Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada- Mu dari kejahatan syaitan dan dari kejahatan tiap-tiap yang mempunyai kejahatan dan dari kejahatan yang dating kepadaku. Dengan rahmat-Mu wahai Dzat yang paling Belas Kasih diantara semua Belas Kasih”

Setelah membaca itu, Pak Dulah kembali merogoh tasnya. Dia mengeluarkan bubuk putih yang terbungkus plastik bening dan tidak terlalu besar.

“Nopo niku, Pak?” (apa itu, Pak?) tanya Suntono kepada Pak Dulah.

“Uyah” (garam) jawab Pak Dulah.

Pak Dulah membuka plastiknya, lalu mengeluarkan garamnya dengan tangan kanannya.

“Mas, jupuk iki” (ambil ini) kata Pak Dulah, meminta Suntono, Anwar dan Joko juga mengambil garam yang dia keluarkan.

“Sampun, Pak. Lajenge, pripun?” (sudah, Pak. Lalu bagaimana?)

“Berdoalah. Njaluk perlindungan seko Gusti Allah Kang Maha Agung, njaluk kekuatan gawe iso ngadepi kabeh sing ng ngarepmu iki (Berdoalah. Minta perlindungan dari Allah SWT, minta kekuatan untuk menghadapi semua yang ada di hadapanmu sekarang”

“Doamu kuwi, woco bolak-balik. Nek uwis, sebul uyah kuwi, njuk tabur, balangke neng arah pocong-pocong kae. Ngerti?” (doamu itu, baca berkali-kali. Jika sudah, tiup garam itu, lalu tabur, lemparkan ke arah pocong-pocong itu. Ngerti?)

Mereka bertiga mengangguk. Dengan keraguan di dalam hati masing-masing, mereka meniru apa yang dilakukan Pak Dulah, meski tau, kemungkinan buruk bisa saja terjadi dan akan menimpa mereka.

Tapi, yang terjadi selanjutnya bukanlah seperti yang diinginkan. Anwar, adalah yang paling penakut diantara Suntono dan Joko. Tangan dan kakinya tiba-tiba gemetar saat hendak menirukan apa yang dilakukan Pak Dulah, yaitu menaburkan garam ke arah pocong-pocong di sekitarnya.

Selanjutnya, tubuh Anwar gontai, membuat Suntono dan Joko curiga terhadapnya.

“Lho, War!”

“War! Kowe kenopo, War!?” (kamu kenapa, War!?)

Suntono dan Joko bersahutan melihat geliat Anwar yang mencurigakan.
Tiba-tiba....

Brruuukkkk.....

Tubuh Anwar seketika ambruk dan pingsan. Suntono dan Joko yang menyadarinya pun langsung menghampiri tubuh Anwar yang tergeletak di atas tanah..

“Pak Dulah! Anwar!” ucap Joko pada Pak Dulah.

Menyadari itu, Pak Dulah lantas menghampiri Suntono dan Joko. Dia melihat tubuh Anwar tergeletak tak sadarkan diri.

“Jarke” (biarkan) kata Pak Dulah. Dia seperti tau apa yang akan terjadi selanjutnya.

Benar saja, tidak lama setelah Pak Dulah mengatakan itu, mata Anwar tiba-tiba terbuka, lalu menatap satu-persatu orang yang berada di hadapannya dengan tatapan tajam.

“War!”

“War!”

Anwar tak menggubris perkataan Suntono dan Joko dan masih terus menatap orang-orang di sekitarnya.

Selang beberapa detik, Anwar semakin terlihat aneh, tidak hanya melihat dengan tatapan menyeramkan, kai ini, terdengar tawa yang mengerikan. Sementara Pak Dulah, Suntono dan Joko hanya diam memperhatikan.

“War.... War.... Sadar War.....” Suntono kembali memanggil-manggil Anwar sambil menampar-nampar kedua pipinya, berharap agar dia cepat sadar.

“Jarke sek, Mas. Deloken bar iki” (Biarkan saja, Mas. Liihat saja setelah ini) ujar Pak Dulah. Perkataannya itu malah membuat Suntono dan Joko semakin penasaran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada Anwar.

Pak Dulah menghela napas, lalu bertanya “Kowe ngopo pindah rene?” (kamu mau apa pindah kesini?) ucap Pak Dulah diantara ketegangan malam itu. Suntono dan Joko pun tercekat mendengar perkataan Pak Dulah.

Sesaat setelah perkataan Pak Dulah itu, tiba-tiba, tawa Anwar semakin kencang, hanya saja, kali ini suaranya bukan seperti suara Anwar.

“Ss-sopo kowe?” (siapa kamu?) tanya Suntono, ia sadar, jika suara yang keluar dari mulut Anwar bukanlah suara Anwar.

“Sun, suoro guyune” (suara tawanya) bisik Joko.

“Opo kowe iseh ora sadar to, Mas?” (apa kamu masih tidak sadar to, Mas?) tanya Pak Dulah kepada Suntono. Anwar menoleh, tatapannya tajam ke arah Suntono, sambil sedikit tersenyum ia berkata “Kowe pengen eroh?” (kamu ingin tau?)

“Kowe pengen eroh?”Anwar bertanya lagi dengan suara lebih keras dan tawa yang menyeramkan.

“Ternyata bener”gumam Pak Dulah pelan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close