WAKIDI - KEKASIH DUNIA LAIN
JEJAKMISTERI - Sunyi membusanahi malam, hening menyapa dalam takbir gelap bertatahkan purnama tak sempurna. Daun-daun engan bergayang karena para anak-anak angin tak datang menggoda, sunyi laksana telaga tak bersuara hanya berkerling-kerling riak air menepi dipantulan sinaran diam.
Sungguh suatu malam yang tak bersuara nan irama laksana gentayangan hantu yang sedang bergelindang datang berkunjung dinuasa malam ini dan bersunyi diri. Dan memang kini hantu-hantu satu persatu menampakkan diri dengan segala rupa menakutkan siapa saja, angin mulai meniupi tengkuk meremangkan bulu kuduk yang kian bertambah ramai berbaris dilengan-lengan mengisyaratkan hantu-hantu menyapa dalam malam.
Kesunyian itu memiliki kelembutan tangan-tangan sutra. Namun dapat menggenggam hati dengan rasa sakit yang dalam dengan kesepian. Kesunyian adalah teman kesepian sebagai mana sahabat dari kegembiraan spiritual. Jiwa pemuda yang sakit hati karena kesunyian adalah sebagai bunga matahari yang layu tak terangkai. Ia merupakan makhluk yang paling sial ditepi telaga malam ini. Karena ia dikoyak dua kekuatan. Kekuatan pertama adalah mengangkatnya dan menunjukkan keindahan hidup melalui awan mimpi-mimpi indah ketika bersama. Sementara kekuatan kedua adalah menjatuhkannya kedasar kesunyian bumi, memenuhi mata dengan tangis serta menyergap raga ke dalam kesunyian di kegelapan.
Wakidi masih berdiam ditepi telaga dibawah pohon waru yang mendoyong kearah telaga, hatinya hancur, ketika kekasih hatinya berpaling ke lelaki lain yang sudah beristri namun kaya harta duniawi.
Menjadi pribadi penyendiri hidupnya, dan hanya ditepi telaga itu dia berdamai dengan dirinya sendiri. Ketakutannya pada para hantu ia bunuh sendiri dengan luka hati yang kian membiru serupa bara, satu persatu hantu-hantu itu pergi, dan entah sudah berapa malam ia menghabiskan malam-malamnya ditepian telaga. Kini samar-samar terdengar suara gamelan mengayun hati untuk menikmati dan alunan dawai kecapi seakan-akan menabuh hati untuk disinggahi. Wakidi menyimak suara gamelan itu dengan seksama dan dicarinya sumber dari gamelan itu dengan beranjak melangkah mencari datangnya suara yang menyapa. Suara-suara itu kian menjadi jelas ketika Wakidi melangkah mencari sumber dari suara gamelan tersebut, entah sudah berapa jauh ia melangkah menuju sumber suara, dan kini tampak sebuah rumah berbalai-balai luas dimana sumber dari suara gamelan bermelodi dawai kecapi itu datang.
Tampak beberapa lelaki pakaian abdi dalem kraton berblangkon dan seorang putri berkebaya putih-putih dengan rambut tergerai tak bersanggul memainkan dawai kecapi dengan nembang dengan merdunya. Rumah itu bermotif rumah lama lembang berukiran memanjang berada dibawah pohon beringin besar nan tua kembar diantara sisi kiri dan kanannya, harum bunga melati dan mawar begitu semerbak menyelimuti rumah itu. Wakidi terdiam menikmati alunan gamelan itu dengan sedikit agak jauh dari rumah itu, takutnya ia mengganggu acara dari alunan gamelan tersebut, tetapi matanya tak berkedip kelihat sosok yang nembang sambil memainkan dawai-dawai kecapinya dengan mahir, begitu cantik nan polos tak ber mik up dan bergincu.
Gadis itu tersenyum manis, semanis gula jawa kepada Wakidi, dan Wakidi pun membalas dengan senyuman pula karena ia merasa senyum itu dilemparkan kepada dirinya karena memang ia tak melihat siapa-siapa dalam area tersebut. Suara gamelan pun terhenti, kini gadis itu menghampiri Wakidi yang memang tak beranjak sedikit pun dari tempat duduknya ketika mendengarkan gamelan dan tembang sang dara. Hai suka ya sama musik gamelan..
"kata sang gadis sambil mengulurkan tangan untuk berjabatan".
Iiiyaaa "jawab Wakidi engan sedikit gagap karena tertegun".
Aku Sri Roro Ambarwati, "sang dara memperkenalkan diri".
Wakidi "jawab Wakidi singkat dengan masih gugup".
Mereka pun saling berkenalan dengan penuh senyuman seakan hati Wakidi telah terlahir kembali setelah mendapat amunisi baru dari senyam senyum sang dara Sri Roro Ambarwati atas perjumpaan malam ini yang mana dari malam-malam sebelumnya hati Wakidi merupakan hati yang mati suri atas luka hati ditinggal kekasihnya pergi.
"Aku sering melihat kau ditepi telaga itu beberapa hari ini" kata Sri Roro.
"Iiyaa" jawab Wakidi.
"Ada apa" tanya Sri Roro.
Aku bingung, aku mencintainya melebihi mencintai diriku sendiri, dua minggu lalu cinta Romlah menjadi penghiburku, menyanyikan lagu-lagu kebahagiaan untukku dimalam hari dan membangunkanku dipagi yang menyingkap makna kehidupan dan rahasia alam ini. Inilah cinta sesungguhnya surgawi yang bebas dari rasa cemburu, kekayaan dan tak merusak jiwa dalam kesenangan. Merubah bumi menjadi surga dan hidup manis nan indah. Dipagi hari ku jumpai dia dengan mengajaknya berkeliling telaga mendengarkan suara himne air beriak menuju ketepian seperti buah keabadian dalam semesta ini. "Wakidi mengeluarkan uneg-uneg hati dan melanjutkannya kembali kisahnya, sedangkan Sri Roro mendengarkannya dengan perhatian muka manis". Kini dia meninggalkanku sendirian, pergi dengan seorang lelaki yang sudah beristri nan kaya raya, sebagai seorang pencinta yang percaya bahwa mimpi-mimpi adalah suatu muara penghibur, dan kesenangan adalah mencintainya dengan setulus hati, tetapi hati ini terluka membiru sebiru amarah bara dalam tungku.
"Kau seperti penyair atau pujangga kang mas Wakidi" kata Sri Roro dengan senyum.
Wakidi pun tersenyum mendengar pujian dari Sri Roro. Tiap kali ketika ku ingin kedamaian dari kebisingan kota, aku selalu ketepi telaga itu, mendengarkan gemercik air telaga dan megerisik dahan-dahan pohon sekitarnya sedang Romlah bergelayut mesra dibahuku dan membisikan puisi-puisi indah menggetarkan jiwa yang dibisikkan ke telingaku. Semua keindahan itu kini musnah laksana seorang bayi yang terpisah dari air susu ibunya, melukai hatiku. Ia memenjarakan diriku dalam kegelapan dan kesepian seperti seekor burung kepodang yang berada dalam sangkar ketika melihat kawanan kepodang lainnya yang terbang bebas berpasangan pasangan dilangit langit sana, – sakitnya tuh disini. "Wakidi mengeluarkan semua luka hatinya yang memang butuh teman untuk mengungkapkannya malam ini".
Hanya beberapa saat mereka pun saling akrab, saling berbagi saling mengisi dengan canda-canda selayak tembang tembang manis mengisi satu kekosongan dengan untaian kata-kata senyuman. Angin berhembus sepoi-sepoi, bintang-bintang saling berkerling mata dengan sang bulan dan birunya langit sebagai ajang bersatunya bulan yang dikerubung ribuan bintang-bintang sepanjang malam, para serangga menyanyikan himne malam sedangkan daun-daun dan rumpun ilalang bergoyang beriringan membentuk formasi tarian alam semesta ini didua hati yang sedang saling mengisi.
Tiap malam Wakidi selalu berkunjung kerumah lembang berukiran tua itu, rumah yang halamannya dihampari bunga bunga melati dan mawar semerbak mewangi, menambah sahdu kebersamaan mereka berdua antara Wakidi dan Sri Roro Ambarwati. Mereka berdua pandai bersyair, dalam setiap canda dan pelukan mesra selalu dibisikan ayat-ayat cinta. “Aku akan menjadi taman surga yang nyata dalam hatimu. Dan hatiku menjadi tempat tinggal bagi kecantikanmu. Dadaku akan menjadi kuburan atas semua kesedihanmu. Aku mencintaimu laksana bunga mawar dan melati ikhlas menebarkan wangi. Aku menyakinimu seperti suara adzan yang berkumandang setiap hari dari kubah-kubah masjid nan megah. Aku mendengarkan jiwamu selayak pantai yang selalu setia mendengarkan cerita-cerita ombak kala berkejaran ketepi. Seperti sang pelaut yang rindu kampung halaman dan sang kekasih, seperti seorang yang lapar di perjamuan makan“. Bisik Wakidi kepada Sri Roro, lalu sang dara kekasih pun menjawab. “Aku akan mengingatmu seperti sang petani menabur bulir padi disawah, hingga menunggu dengan setia ketika waktu panen akan tiba. Seperti gembala penunggang kerbau tersenyum manis ketika melihat hijaunya padang rumput. Cintamu membuatku sangat nyaman bermanja dipelukanmu, laksana bunga-bunga yang begitu ikhlas disetubuhi kumbang. Dan aku akan mereguk manis cintamu seperti embun yang menetas disubuh pagi yang begitu sejuk menyetubuhi daun-daun disemesta ini, aku menemukan perlindungan atas nama cinta dan rindu bagai segerombol burung-burung yang rindu pada dahan-dahan tempat bernaung. Sebentar lagi pagi mawar dan melati-melati akan segera meminum embun di kuncup dan rekah dengan senyum mewangi, pulanglah wahai kekasihku hari segera berujung kepada pagi.
Wakidi kini pun bermurah senyum selalu tersenyum kepada siapa saja yang temuinya, juga kepada si Romlah mantan kekasihnya. Selalu berdandan selayak pangeran terganteng dikolong jagat ini, berwangi badan setiap hari, kerjanya jadi lebih giat, itu karena pompa semangat yang selalu dihembuskan oleh Sri Roro Ambarwati ketika perjumpaan maupun akan melangkah pulang. Usaha dagangnya begitu maju pesat beberapa hari ini, hingga para tetangga heran dengan larisnya semua dagangan dirumahnya. Hanya berselang satu minggu dari keterpurukan menyepi ditepi telaga di tiap malam, kini Wakidi menjadi orang kaya baru dikampungnya, omzet dagangannya pun sudah dua, tiga truk setiap harinya, ia merekrut sepuluh teman-temannya yang nganggur untuk membantu dirinya dalam berdagang. Dan dalam dua minggu Wakidi sudah bisa membeli dua unit mobil pik up dan satu sepeda motor untuk sarana transportasi dagangannya. Menjadi sosok yang lebih dermawan dari sebelumnya, itu pun juga merupakan nasehat dari Sri Roro Ambarwati serta begitu taat dalam beribadah.
Sebulan sudah Wakidi menjalin hubungan dengan Sri Roro Ambarwati, bunga-bunga cinta begitu mekar semerbak mewangi dalam hatinya, apalagi kini dia menjadi juragan baru dikampungnya sudah tak ada lagi yang meremehkan dia, dan Wakidi menjadi sosok idola baru dimata para perawan yang mengenalnya, tetapi Wakidi adalah Wakidi tak kan goyah imannya walau dikerubung puluhan perawan yang menyukainya, cintanya hanya satu yaitu Sri Roro Ambarwati seorang.
Disuatu hari Wakidi mendatangi rumah Sri Roro Ambarwati lebih sore tetapi dia tak menemui rumah yang dicari, dia berkeliling sampai tujuh kali namun tak ketemu rumah yang dicarinya. Merinding bulu kuduknya, kesenyapan malam menyapa dengan serangkum bisik-bisik kesunyian, suara burung hantu mendengkur saling bersautan, menambah merindingnya suasana malam. Jalan yang dia lalui kemarin-kemarin itu yang terang dan bersih, kini pekat berbusana jelaga-jelaga malam nan berkabut, dengan rumput-rumput liar memanjang, kegelapan menyelimuti Wakidi, harum bunga kamboja menebar segala penjuru angin meniup. Kesasar kah aku “Wakidi berguman“. Wakidi bulatkan tekat terus mencari walau bulu-bulu kuduk kian meremang berdiri semua, hingga dia mengusap beberapa kali lengan dan tengkuknya untuk menghalau rasa takut yang kini menaungi.
Tibalah kini ia disebuah tanah yang agak lapang ada pohon beringin dua yang satunya kokoh berdiri yang satunya lagi tumbang separuh termakan usia, ia melangkah dengan keraguan dan ketakutan dalam gelapnya malam bulu tengkuk dan badannya bertambah berdiri semua pertanda kekuatan gaib mengitari tanah lapang tersebut, dari atas pohon beringin terdengar suara burung gagak berkoar beberapa bertambah tidak tenang kini perasaan wakidi. Tiba-tiba kakinya tersandung sesuatu yang berserakan ditanah tersebut, ketika dia menunduk untuk melihat apa yang menyandung kakinya, ia berteriak dan berlari tunggang langgang menjauh dari area tanah lapang tersebut, karena yang dilihatnya adalah nisan-nisan tua yang berserakan ditanah tersebut, mungkin itu sebuah makam kuno yang tak telihat oleh Wakidi.
Wakidi terus berlari menjauh dengan jatuh bangun untuk pergi sejauh mungkin dari tanah agak lapang itu, hingga lengan dan kakinya terluka oleh tusukan duri dan sayatan rumput yang memanjang didaerah itu, tetapi langkah larinya terhenti oleh suara yang ia kenali dengan betul ketika memanggilnya. “Kang mas Wakidi aku disini kenapa kau lari”. Suara itu tak lain dan tak bukan adalah suara Sri Roro Ambarwati. Wakidi berhenti berlari dan memandang kebelakang, ternyata Sri Roro Ambarwati dan beberapa orang laki-laki dan perempuan telah berdiri ditempat dimana dia berlari untuk pertama kali. Dengan terdiam Wakidi mengantur nafas yang serasa menyesakkan dada karena lari ketakutan, dikucek-kuceknya matanya untuk memastikan apa benar dia Sri Roro Ambarwati atau bukan, akhirnya Wakidi mendekat kearah Sri Roro Ambarwati dan bebepa orang yang mendampinginya, “Ada apa kang mas berlari“. Tanya Sri Roro. “Aku kesasar aku kelilingi tempat ini sampai tujuh kali tetapi tak kutemui rumahmu, hingga aku mengarah ke pohon itu dan disana banyak nisan-nisan tua berserakan dan mungkin itu makam tua“. Wakidi menerangkan dengan nafas yang masih tersengal sengal tak beraturan. Sri Roro tersenyum sambil mengandeng lengan Wakidi dan berkata “mungkin kang mas kesasar, ayo kerumahku“. Wakidi masih merasa bimbang dan masih menoleh kiri kanan, kini semak belukar dan rumput-rumput yang tumbuh memanjang sudah tak ada lagi yang ada hanya hamparan taman bunga yang di penuhi oleh mawar dan melati wangi merebak.
Besuk siang datanglah kemari, kang mas akan melihat sesungguhnya rumahku ini, dan nanti rawatlah dengan baik agar hatiku senang dan juga abdi serta bibi emban akan senang pula, karena aku dan semua yang tinggal disini ingin kang mas yang merawatnya. “Kata Sri Roro“. Terus kamu mau kemana kog aku yang merawat rumah yang besar ini. “Jawab Wakidi“. Aku tetap disini kang mas, tolong bantu aku merawat tempat ini, ”Sri Roro berucap”. Iyaa aku berjanji akan merawat tempat ini, ”jawab Wakidi“. Sekarang pulanglah besuk siang datanglah kemari ajak, temanmu membantu membersihkan dan merapikan rumahku ini. Setelah mencium kening Sri Roro, Wakidi melangkah pulang.
Selepas bakda dhuhur Wakidi mengajak Diran dan marmin untuk menuju rumah Sri Roro Ambarwati, perasaan Wakidi mulai tak tenang ketika tidak mendapati jalan yang dia kehendaki, hanya semak belukar dan rumput serta ilalang yang menjulang separoh badan, tetapi dia terus berjalan, “Ini jalan yang tadi malam aku berlari hingga jatuh bangun“. Wakidi berguman dalam hati dan terus berjalan menerobos semak belukar didepannya. Mas bos kita kemana “tanya Marmin“. I ya mas bos kemana “Diran juga bertanya“. Ikuti saja aku ya jangan membantah atau kupotong gajimu jika kau pergi meninggalkan aku sendiri di tempat, apa pun yang terjadi temanni aku “Kata Wakidi”. Diran dan Marmin hanya diam saja. Tak berselang lama tibalah Wakidi ditanah lapang pohon beringin kokoh berdiri dan sisinya tumbang separoh, banyak burung berkicau ramai dikedua pohon tersebut. Hati Wakidi semakin tak karuan kakinya mulai gemetaran ketika melangkah menuju apa yang dilihat dibawa pohon beringin kembar tersebut, berserakan nisan kayu yang mulai rapuh dimakan usia dan ditengah-tengahnya ada sebuah nisan batu berkijing batu gunung yang besar membujur. Dengan gemetaran Wakidi mendekati batu nisan tersebut dan mulai membaca tulisan aksara jawa tersebut, tetapi Wakidi tak bisa membacanya, dibawa tulisan jawa kuno ada tulisan arab dengan huruf yang dapat diartikan Wakidi sebagai tanggal dan tahun, “Ran kamu orang jogya tolong dibaca tulisan jawa itu”. Diran pun mengejanya dan berkata “Raden Ajeng Sri Roro Ambarwati“. Mendengar penururan Diran, Wakidi lemas memeluk nisan Sri Roro Ambarwati sambil meneteskan air mata, hingga membuat Diran dan Marmin terheran heran. Ran, Min kau bersihkan area makam-makam ini dan kau hitung semua nisan itu besuk kita ganti nisan-nisan yang tua dengan yang baru “kata Wakidi“. Dan kita buat nanti taman bunga yang di penuhi mawar dan melati. ”Kata Wakidi lagi“.
Wakidi kini lebih tegar dari sebelumnya, dia dengan khusuk berdoa diatas pusaran Sri Roro Ambarwati mendoakan agar mendapat tempat yang layak disisiNya. Doa-doa tahlil pun dikumandangkan dikediamannya dan jelang senja selalu mengunjungi makam tersebut untuk berdoa
atas nasehat-nasehat dari Sri Roro Ambarwati hingga Wakidi kini menjadi orang sukses dalam dunia dagangnya. ”TERNYATA KEKASIHKU DARI DUNIA LAIN“ sambil berlalu dan beriqtifar sepanjang jalan yang ditempuh.
SEKIAN