Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETELAH ANAKKU MENINGGAL (Part 7) - Perlawanan

Perlawanan pun dimulai. Malam itu, area kuburan seakan menjadi sebuah arena pertempuran antara sekumpulan manusia dengan setan yang terus-terusan meneror desa.


Malam itu, Suntono dan Joko bingung melihat rekannya yang berubah menyeramkan. Matanya melotot, sambil sesekali mengeluarkan suara tawa. Anehnya lagi adalah, kedua tangan Anwar menjadi bersedekap seperti mayat yang sedang dikafani.

“Pak, Anwar” ucap Suntono kepada Pak Dulah dengan wajah panik sambil menunjuk kedua tangan Anwar.

“Kae, Guntoro, saiki neng kene” (Itu, Guntoro, sekarang ada disini) kata Pak Dulah.

Bersamaan dengan Pak Dulah saat mengucapkan kata ‘Guntoro’, Anwar tertawa lagi. Kali ini, tawanya adalah tawa yang mampu membuat bulu kuduk orang yang mendengarnya berdiri seketika.

“War? Ora, kowe ora Anwar! Ngopo kowe neng awake koncoku!?” (War? Tidak, kamu tidak Anwar! Untuk apa kamu ada di tubuh temanku!? sentak Suntono sambil menjauh darinya.

“Tenang, Yang Maha Kuasa selalu menyertai hambanya yang sedang berjuang dalam kebenaran”

“Gak usah wedi” (gak usah takut) ujar Pak Dulah.

“Mas Joko, kowe geser mrene” (kamu geser kesini) Pak Dulah yang sedari tadi hanya berdiri memandang, kini memberi sedikit kalimat penenang kepada Suntono dan Joko.

Setelah itu, Pak Dulah agak mendekat kepada Suntono dan Joko yang sedang menahan tubuh Anwar yang dari tadi hanya tergeletak di atas tanah.

“Ngopo kowe saiki neng kene?” (mau apa kamu sekarang disini?) tanya Pak Dulah.

“Opo urusanmu?” (apa urusanmu) jawab sosok Guntoro yang berada di tubuh Anwar dengan senyum yang seakan meledek Pak Dulah.

“Kowe jawab aku, opo kowe tak gawe loro?” (Kamu jawab pertanyaanku, atau kamu aku buat sakit?) ancam Pak Dulah.

“Hahahahaha..... Kowe iku iso opo?” (kamu itu bisa apa?) Pak Dulah semakin diremehkan.

“Iki ora urusanmu, urusanku karo wong-wong sing tau gawe aku loro sewaktu aku iseh urip. Lungono kowe seko kene” (ini bukan urusanmu, urusanku hanya dengan orang-orang yang pernah menyakitiku semasa aku hidup. Pergilah kalian semua dari sini)

“Ojo kowe main-main” (kamu jangan main-main) amarah Pak Dulah tersulut karena sosok Guntoro yang mempermainkannya. Makhluk yang sejatinya memiliki derajat yang lebih rendah dari manusia malah mempermainkan dan meremehkannya.

“Tenang, Pak” Suntono berusaha meredam amarah Pak Dulah.

Pak Dulah duduk bersila di atas tanah di samping tubuh Anwar, ditaruhlah tangan kanannya diatas kepala Anwar. Pak Dulah mulai merapalkan doa-doa, memohon bantuan dan perlindungan kepada Sang Pencipta seluruh makhluk, alam semesta dan seisinya.

Menerima untaian-untaian doa yang dirapalkan Pak Dulah, sosok Guntoro yg berada di tubuh Anwar berontak,Suntono dan Joko pun berkali-keli tak berdaya menahannya.Berkali-kali sosok Guntoro berusaha menyakiti Pak Dulah dengan cara memukul, mendorong, mencekik, tapi usahanya sia-sia.

Setiap tangannya mendekat ke Pak Dulah, selalu dipentalkan oleh pelindung tak terlihat di sekujur tubuh Pak Dulah.

“Opo sing mbok lakuke? Culke awakku! Aku gak ono urusane karo kowe! Opo sing mbok goleki seko aku?” (apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku! Aku tidak ada urusan denganmu! Apa yang kalian cari dariku?) teriak sosok Guntoro dengan suara meronta-ronta seperti sedang menahan kesakitan.

“Makhluk terkutuk! Kowe iseh tekon?” (kamu masih tanya?) umpat Pak Dulah sambil terus merapalkan doa-doanya. Sosok Guntoro semakin meronta-ronta menerimanya. Tapi, Pak Dulah tidak berhenti, ia terus membacakan doa-doa.

Tapi, tanpa Pak Dulah sadari, sosok Guntoro telah keluar dari tubuh Anwar, ia kembali dengan wujud aslinya, yakni pocong hitam dengan wajah menakutkan, ia berdiri di tengah-tengah pemakaman, sementara Anwar pingsan dan tergeletak di atas tanah.

Mengetahui itu, Suntono dengan sigap menahan tubuh Anwar.

Malam itu benar-benar sulit bagi Pak Dulah, ternyata, sosok pocong Guntoro tidak seperti yang ia kira, dia lebih kuat dan memiliki energi yang sanggup membuat manusia yang melawannya merasa kesulitan.

Pocong Guntoro berdiri menatap ke arah Pak Dulah dengan tatapan tajam penuh amarah. Wajahnya yang gosong dipenuhi darah dan nanah tak hanya membuat siapa saja yang melihatnya merasa takut, tapi juga mual, karena bau yang ditimbulkan teramat sangat tidak sedap menusuk kedua lubang hidung yang mencium baunya.

“Koncomu dijogo, Mas” (temanmu dijaga, Mas) tandas pak Dulah, perkataannya seakan menyiratkan akan terjadi hal besar setelah ini.

Dan benar...

Makhluk-makhluk mengerikan yang sempat hilang, kini kembali datang lagi. Tidak hanya koloni pocong, tapi banyak lagi, kuntilanak, bahkan makhluk-makhluk yang tak jelas bagaimana bentuknya menyebar di segala penjuru area pemakaman dengan pocong Guntoro berada di tengah-tengah.

Makhluk- makhluk yang bahkan tak terhitung oleh Pak Dulah, Suntono dan Joko. Mereka seperti koloni demit dengan pocong Guntoro sebagai petingginya.

Angin tiba-tiba berhembus sedikit kencang, menghantam batang-batang pohon dan rerumputan liar hingga menimbulkan sebuah suara yang jelas hingga ke telinga.

“Pak Dulah! kita pergi saja dari sini” ucap Suntono.

Tapi, Pak Dulah masih enggan pergi, sebelum mendapat jawaban dari misteri ini.

Malam itu terasa berjalan sangat lama, Suntono dan Joko sudah tidak sanggup lagi bergerak, walau fisiknya mampu jika dipaksa untuk berdiri dan bergerak, namun, mentalnya telah hancur karena menerima berbagai hal-hal yang diluar nalar kepalanya.

Berbeda dengan Pak Dulah yang sudah biasa menghadapi hal semacam ini. Walau raganya sudah berumur dan fisiknya terbatas, namun mentalnya masih kuat.

Pak Dulah kembali mempersiapkan dirinya, tapi, saat ia bergerak maju tiba-tiba “Brrukkkk.....” Pak Dulah terjatuh, terpental cukup jauh hingga dekat Suntono dan Joko karena kekuatan besar dari pocong Guntoro.

“Pak! Pak Dulah mboten nopo-nopo?” (Pak Dulah tidak apa- apa?) Joko pun menghampiri dan membantu Pak Dulah.

“Heemmmm” Pak Dulah mengangguk. Dengan bantuan Joko, Pal Dulah kembali berdiri.

“Huh.... Huh....” Nafas Pak Dulah ngos-ngosan. Benar. Pak Dulah memang lelah, tapi ia selalu menolak jika diajak pergi dari sini dan kembali saja ke Desa.

Pak Dulah kembali bergerak, ia berjalan perlahan sambil merapalkan doa-doa yang hanya dia yang mengerti.

Bagai maling yang dikepung oleh warga yang siap menangkapnya, makhluk-makhluk mengerikan yang sangat banyak itu kini mengelilingi Pak Dulah, Suntono, Joko dan Anwar yang masih tergeletak.

“Mung aku sing iso, opo aku iso kuat?” (Hanya ada aku disini, apa aku bisa kuat?) batin Pak Dulah sambil melihat Suntono, Joko dan Anwar.

Diantara mulutnya yang masih merapalkan doa-doanya, Pak Dulah merasa bimbang. Dia menyadari, jika tidak akan lama lagi energinya akan habis dan akan beresiko jika ia harus tumbang disini. Bagaimana dengan mereka? Pak Dulah semakin bimbang.

“Bismillah....” Pak Dulah memantapkan hati dan pikirannya, ia harus membuat celah atau menghilangkan setan- setan yang berada di depannya agar dia dan yang lainnya bisa pergi dari sini.

Pak Dulah terus membaca ayat-ayat suci sambil mengarahkan tangannya ke arah semua makhluk-makhluk yang berada di sekelilingnya. Mulutnya kepayahan, nafasnya semakin ngos-ngosan. Energi dan mentalnya semakin terkuras. Pak Dulah memaksakan dirinya sebelum mencapai batasnya.

Hingga, beberapa saat kemudian, makhluk-makhluk itu mulai menerima reaksi dari apa yang dilakukan Pak Dulah. Beberapa diantara makhluk-makhluk itu terihat terbang mendekat ke arah Pak Dulah, mereka melakukan perlawanan, tapi, Pak Dulah lebih unggul dari mereka.

Setelah berkali-kali melakukan perlawanan, satu-persatu dari mereka menghilang menyisakan pocong Guntoro yang tetap tegak berdiri di tengah-tengah pemakaman.

Pak Dulah kembali mencari tas nya lagi.

“Tasku, tasku neng endi?” (tasku dimana?) tanya Pak Dulah dengan raut muka kepayahan.

“Golekke tasku” (Carikan tasku)

Mendengar itu, Suntono dan Joko mencari tas Pak Dulah ke arah yang sempat mereka pijaki.

Tak lama, Joko menemukannya berada agak jauh dari tempatnya.

“Ternyata, Pak Dulah iseh nduwe pusoko” (ternyata, Pak Dulah masih memiliki pusaka) gumam Suntono sambil menyaksikan Pak Dulah yang sedang bergerilya melawan pocong Guntoro dan semua makhluk penghuni pemakaman.

Tak lama kemudian, Pak Dulah berhasil mengeluarkan benda dari dalam tasnya. Bentuknya seperti keris dengan balutan kain coklat pada genggaman tangan Pak Dulah.

Seketika Pak Dulah mengarahkannya ke pocong Guntoro sambil mulutnya yang terus berkomat-kamit. Pak Dulah perlahan melangkahkan kakinya ke depan, ke arah pocong Guntoro

“Pak Dulah!” teriak Suntono, ia khawatir dengan hal yang akan dilakukan Pak Dulah. Tapi, Pak Dulah tak gentar, ia tetap yakin bergerak ke depan.

“Jok! Ayo bantu doa, mboh ono pengaruhe opo ora, sing penting dewe doa wae terus” (entah memberi pengaruh atau tidak, yang penting kita berdoa terus)

“Moco opo, Sun?” (baca apa, Sun?) tanya Joko, dia benar- benar seperti orang bodoh disituasi seperti ini.

“Ayat Kursi” jawab Suntono cepat.

“Bismillah, Jok!”

“Allaahu laailaaha illa huwal hayyul qayyuum. Laa ta'khudzuhu sinatuw walaa nauum. Lahuu maa fissamaawaati wamaa fil ardhi. Man dzalladzii yasyfa'u 'indahuu illa bi idznih.

Ya'lamu maa baina aidiihim wamaa kholfahum walaa yukhiithuuna bisyayim min 'ilmihii illaa bimaa syaaa. Wasi'a kursiyyuhussamaawaati wal ardho. Walaa yauduhuu hifdhuhumaa wa huwal'aliyyul 'adhiim”

“Terus Jok! Ojo mandek!” (TerusJok! Jangan berhenti) suruh Suntono, mereka terus membaca ayat kursi dengan suara lantang. Sementara Pak Dulah terus merapalkan doa nya sendiri sambil mengarahkan pusakanya ke arah pocong Guntoro.

Diantara ketegangan yang belum mereda itu, Anwar kesadarannya pulih, hal itu membuat Suntono dan Joko teralihkan perhatiannya kepada Anwar.

“Pak Dulah! Anwar sadar” seru Joko kepada Pak Dulah.

“Ra usah ngomong neng Pak Dulah! Deloken Pak Dulah! Dewe wae sing ngurus Anwar” (Gak usah ngomong ke Pak Dulah! Lihatlah Pak Dulah! Kita saja yang ngurus Anwar) ucap Suntono kepada Joko.

Saat sadar, mata Anwar seketika langsung terbelalak melihat Pak Dulah yang tengah berhadapan dengan pocong Guntoro.

“Sun! Pak Dulah!” ucap Anwar.

“Iyo, War! Dewe neng kene wae” (Iya, War! Kita disini saja) jawab Suntono.

“Mas! Kowe kabeh siap-siap, bar iki dewe lungo seko kene” (Kalian semua bersiap, setelah ini kita pergi dari sini) ucap Pak Dulah dengan suara keras. Hal itu lantas membuat Suntono, Anwar dan Joko terkejut mendengarnya.

Sementara, pocong Guntoro yang mulai menggeliat di depan Pak Dulah, ia seperti kesakitan menerima perlawanan Pak Dulah. Tidak hanya cukup disitu, suara erangan kesakitan pun terdengar keluar dari sosok pocong Guntoro.

Disisi lain, Pak Dulah menghentikan langkahnya, ia berhenti, berdiri dengan tetap mengarahkan pusakanya ke arah pocong Guntoro.

“Lungono kowe seko kene setan terkutuk!” (Pergilah dari sini setan terkutuk!) umpat Pak Dulah. Keringat Pak Dulah deras mengalir disekujur tubuhnya, nafasnya semakin terengah karena banyak mengeluarkan energi, beberapa kali Pak Dulah goyah karena kelelahan.

Tapi, Suntono yang melihat Pak Dulah dari kejauhan pun seakan mengerti jika Pak Dulah sudah mencapai batasnya. Suntono lantas berlari menghampiri Pak Dulah lalu menahan tubuh Pak Dulah dari belakang.

“Pak Dulah” ucapnya. Disitu, Suntono dapat merasakan jika tubuh Pak Dulah bergetar, mungkin karena kelelahan.

Tak lama kemudian, sosok pocong Guntoro seketika hilang tanpa meninggalkan jejak. Seiring dengan itu, Pak Dulah bernafas lega. Tapi selang sebentar Pak Dulah terjatuh, dada dan perutnya terasa bergemuruh, membuatnya memuntahkan cairan berwarna hitam dari dalam tubuhnya.

“Nopo berhasil, Pak?” (Apa kita berhasil, Pak?) tanya Suntono dengan suara terbata-bata.

“Kali iki, Mas. Iki mung sementara” (Untuk kali ini, Mas. Ini hanya sementara)

“Ayo, ndang lungo seko kene” (Ayo, cepat pergi dari sini) ujar Pak Dulah dengan suara lemas.

“Ayo, Jok! War!” ajak Suntono kepada 2 temannya
Dengan dibantu Suntono, Pak Dulah berjalan keluar pemakaman. Sementara Joko, membantu Anwar yang masih lemas.

“Guntoro sampun ilang, Pak?” (Guntoro sudah hilang, Pak?) tanya Anwar.

“Durung, Guntoro durung ilang. Tapi aman kanggo sementara” (Belum, Guntoro belum hilang. Tapi aman untuk sementara) ujar Pak Dulah.

“Fokus balik disek, mengko dibahas meneh nek wis tekan” (Fokus pulang dulu, nanti dibahas jika sudah sampai rumah) tambah Pak Dulah dengan suara serak.

Mereka berempat berjalan pulang menuju desa Glagah dengan sisa energi yang mereka punya.

“Ing pundi niki, Pak?” (kemana ini, Pak?) tanya Joko.

“Petinggi” jawabnya singkat.

Saat tenaga dan energi mereka berempat yang sudah habis dan kepayahan, mereka masih dipaksa untuk berjalan pulang ke rumah petinggi desa Glagah yang berjarak cukup jauh.

Hampir 1 jam perjalanan mereka tempuh dengan keheningan dan doa yang selalu terpanjat dari dalam hati.

Adzan subuh berkumandang saat mereka sampai di pelataran rumah Petinggi. Meski terdengar samar karena jaraknya yang cukup jauh, tetapi membuat tenang mereka yang mendengarkannya.

“Assalamualaikum, Pak...... Pak........” seru Suntono sambil mengetuk pintu rumah Petinggi.
Butuh berkali-kali sampai akhirnya ada sahutan dari dalam.

“Ya... Sebentar....” Jawab seseorang dari dalam
Pintu rumah petinggi terbuka, Petinggi pun terlihat dari luar.

“Pak” ucap Suntono.

Petinggi menyipitkan mata, memperhatikan siapa gerangan tamu subuh-subuh begini di depannya.

“Suntono? Pak Dulah?”

“Astagfirullah” ucapnya terkejut saat menyadari orang-orang di hadapannya adalah orang-orang yang ia percaya menangani masalah pocong Guntoro di desanya.

Petinggi buru-buru membuka pintunya lebar-lebar, mempersilakan mereka masuk dan memberinya ruang untuk merebahkan badan.

“Jok, iki podo kenopo?” (ini semuanya kenapa?) tanya Petinggi kepada Joko yang berada di dekatnya.

“Ceritane dowo, Pak” (ceritanya panjang, Pak)

“Lha iyo piye? Aku njaluk dijelaske” (Lha iya bagaimana? Aku minta dijelaskan) gertak Petinggi.

“Buk.... Buk e..... gaweke teh anget karo gawake kayu putih” (buatkan the hangat dan kayu putih) ujar Petinggi menyuruh istrinya yang ada di belakang.

Setelah itu, Joko menjelaskan setiap detail kejadian yang dialaminya dengan Suntono, Anwar dan Pak Dulah. Segala hal-hal mengerikan pun tak luput dari ucapannya. Petinggi yang mendengarnya pun bergidik, ia seperti tak percaya dengan apa yang dikatakan Joko.

“Leres niku, Pak?” (Benar itu, Pak?) tanya Petinggi kepada Pak Dulah memastikan.

Pak Dulah mengangguk. Melihat respon Pak Dulah, Petinggi tertunduk lemas sambil memegang kepalanya.

“Terus piye Glagah iki.....” (lalu bagaimana Glagah ini) ucap Petinggi mengkhawatirkan keadaan desa.

“Sementara, iso tenang, Pak. Sementara, pocong kae ora iso metu kelayaban. Tapi, ora suwe. Awak dewe kudu cepet golek dalan” (Sementara, kita bisa tenang, Pak. Sementara, pocong itu tidak bisa berkeliaran. Tapi, tidak lama. Kita harus cepat cari jalan keluar) pungkas Pak Dulah.

Sementara, Petinggi hanya diam mendengar perkataan Pak Dulah. Dia harus kembali cepat memikirkan cara untuk dapat melenyapkan si iblis pocong Guntoro itu selamanya dari desanya.

Matahari perlahan terbit dari timur, melenyapkan gelap bersama terang yang perlahan mulai merayap menyinari desa Glagah.

Pagi itu, setidaknya bisa membuat Pak Dulah, Suntono, Anwar dan Joko tenang, karena artinya, mereka mampu melewati malam yang panjang dengan nyawa yang masih berada di dalam tubuhnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close