Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

RAMBUT DI MANGKUK MIE AYAM

JejakMisteri - Rambut di Mangkuk Mie Ayam. Wildan memarkirkan mobil di samping Pujasera. Aku sudah turun duluan dan menunggu di depan pintu masuk. Tidak lama Wildan menyusul.

“Yuk!” ajak Wildan.

Kami pun mengelilingi Pujasera, melihat-lihat menu makanan apa yang dijual. Ada belasan resto, yang menjual aneka makanan dan minuman. Aku pun mengamatinya satu persatu.


“Jadi mau makan apa, Dan?”

“Hmm ... gw lagi males makan nasi. Makan mie aja yuk!”

“Ya udah lu pilih yang mana, gw sih bebas.”

“Yang itu aja.” Wildan menunjuk resto di pojok kiri, yang cukup ramai.

“Kenapa gak yang itu aja.” Aku menunjuk resto di sebrangnya, yang agak sepi.

“Sepi gitu, berarti kurang enak makanannya.”

“Ah so tau, kalau rame gw males antrinya. Dah laper banget nih.”

“Gw ngalah dah. Tadi katanya bebas, tetep aja lu yang milih,” keluh Wildan seraya berjalan ke arah resto rekomendasiku. Aku mengikutinya dari belakang.

Di depan resto, terpampang menu olahan mie. Kami berdiri sebentar sambil melihat menu dan harganya.

“Cocok?” tanyaku.

“Ya udah.” Wildan masuk ke dalam.

“Selamat malam,” sapa salah satu pekerja resto. Kami hanya membalasnya dengan senyum.

Setelah memilih tempat duduk. Tidak lama pramusaji pun datang, memberikan kertas menu.

“Langsung aja, Mbak.” Sebelumnya Wildan sudah memilih menu duluan.

“Mie Ayam Bakso plus Ceker pedas ya.”

“Saya yang tanpa Ceker,” pesanku.

“Minumnya?”

“Es teh manis aja, dua.”

“Ditunggu ya, Mas.” Pramusaji itu menuju kasir dan memberikan daftar pesanan kami.

“Kenapa gak yang itu aja si, Mir?” bisik Wildan, yang masih mengingikan makan di resto sebrang.

“Yang rame belum tentu enak.”

“Kalau gak enak, gak mungkin rame.”

“Lu gak inget makan Soto di jembatan dulu? Enak dan rame tapi...”

“Ada bocah kencingin kuah sotonya. Huek, jadi jijik kalau inget itu, Mir.” Wildan memotong ucapanku.

“Mangkanya.”

“Di sini aman kan?”

“Insya Allah.”

“Kalau di sana?”

“Argh.. lu mancing-mancing.”

“Aman?” Aku menggelengkan kepala.

“Oh.. ya sudah lah sekarang gw ikhlas makan di sini.” Wildan pun tertawa.

Pramusaji mengantarkan dua mangkuk mie ayam beserta minumannya. Setelah itu kembali ke tempat duduknya di dekat kasir.

“Baca doa dulu!” perintahku pada Wildan yang sedang mengaduk-aduk Mie Ayam.

“Pasti.”

Beberapa saat kemudian...

“Tuhkan kurang enak, Mir,” bisik Wildan.

“Masa sih?” Aku pun mengaduk-aduk Mie Ayamnya. Setelah menambahkan sedikit sambal, lalu menyantapnya.

Ehem!

“Nah kan....” Wildan tersenyum.

“Kali ini lu salah, Mir,” sambungnya.

Lagi-lagi aku berdehem, merasakan seperti ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokan. Sudah kucoba meminum beberapa teguk teh, tapi rasa gatalnya belum juga hilang. Curiga, aku memfokuskan padangan pada mangkuk mie di hadapanku.

“Rambut?” pikirku ketika melihat ada beberapa helai rambut di mangkuk mie.

Aku mengaduknya perlahan. Ternyata jumlahnya lumayan banyak. Spontan aku menoleh ke kiri dan kanan melihat situasi resto.

“Ah... pantesan,” gumamku.

“Napa, Mir?”

“Kagak.” Aku membaca doa sambil memegang memegang ujung meja. Seketika itu rambutnya menghilang.

“Coba lu makan lagi,” pintaku pada Wildan.

“Gak enak, Mir. Dagingnya bau, entar gw muntah gimana?” Wildan menolak.

“Percaya sama gw, coba lagi. Nih liat gw aja makan.”

Wildan pun akhirnya menurut dan kembali memakan Mie Ayam itu.

“Loh kok?”

“Enak kan?”

“Iya... rasanya bisa berubah, aneh banget.” Wildan melanjutkan makan.

“Nanti gw ceritain,” balasku ikut melanjutkan makan.

Selesai makan, kami langsung beranjak dari tempat duduk.

“Dan, biar gw aja yang bayar,” ucapku sambil berdiri.

“Asik.. tumben.” Wildan ikut berdiri.

“Ya gak apa-apa, ada yang musti gw omongin sama ibu-ibu itu.” Aku mengarahkan pandangan pada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di balik meja kasir.

“Ya udah, gw duluan ya. Mau beli Pop Ice.”

“Ya ampun.. tapi lu gak mau tau, Dan?”

“Enggak ah, takutnya malah mual ntar.”

Wildan pun berjalan ke luar resto, sedangkan aku sudah berdiri di depan kasir. Ibu kasir sudah menyambutku dengan senyuman hangat. Aku membuka dompet dan memberika satu lembar uang 100.000.

“Bu, boleh saya tanya?” ucapku sambil menunggu uang kembalian.

“Ya, ada apa, Dek?”

“Udah berapa lama restonya sepi?”

“Beberapa bulan terakhir ini agak sepi. Langganan yang biasa datang juga udah gak pernah kemari,” ucap Ibu itu sambil memegang uang kembalianku.

“Ini Dek kembaliannya.” Ibu itu memberikan kembalian.

“Hmm... maaf nih, Bu. Kayanya resto ibu ada yang jailin,” ucapku blak-blakan.

“Ibu juga merasa begitu. Banyak yang makan di sini komplen. Ada yang bilang dagingnya bau dan busuk, padahal selalu baru. Rasa Mie dan bumbunya juga katanya hambar dan gak enak. Padahal dari dulu resepnya selalu sama.” Ibu itu menjelaskan dengan mata berkaca-kaca.

“Intinya, ada yang menyimpan sesuatu di sini. Supaya resto ibu tidak laku. Ibu gak perlu cari tau siapa orangnya. Yang jelas, sekarang ibu harus berusaha mengusirnya.”

“Gimana caranya, Dek?”

“Setiap hari, ibu siapkan satu ember air. Terus dibacain al Fatiha, ayat kursi dan tiga Qul. Setiap selesai membaca satu kali, tiupkan ke embernya. Lakukan sebanyak tiga kali. Sebagai bonusnya, ibu baca atau putar murotal Qur’an khusus surat Al Baqarah juga. Nanti, airnya bisa dipergunakan untuk mengepel lantai restonya. Lakukan rutin, insya Allah, jin negatifnya gak bakal betah.”

“Wah... makasih banyak, Dek.”

“Sama-sama, Bu.” Aku pun berlalu ke luar resto.

“Wildan kemana ya?” ucapku dalam hati sembari berjalan mengelilingi resto.

Ting!

Ada pesan Whatsapp dari Wildan.

[Mir, gw udah ada di mobil] [Loh? Kagak jadi beli Pop Ice?]

[Kagak, malu gw banyak bocah]

[Wkwkwkwk]

Aku pun berjalan menuju parkiran. Wildan sudah menungguku di balik setir mobil.

“Gimana, Mir?” tanyanya ketika aku masuk ke dalam mobil.

“Beres.” Aku tersenyum lebar.

“Emang tadi kenapa sih? Kok bisa begitu?”

“Ih.. tadi katanya gak mau tau.”

“Kepo juga gw, Mir.” Wildan pun tertawa.

“Resto tadi ternyata dikerjain sama orang.”

“Dikerjain gimana?”

“Ada orang yang mau bikin resto itu gak laku.”

“Terus....”

“Nah orang itu, nyimpen sesuatu di sana.”

“Nyimpen apaan?”

“Pocong.”

“Ish... ngeludah?”

“Kagak, kalau ngeludah sih makanannya jadi enak, kaya...”

“Kaya apa?”

“Kaya resto di sebrangnya,”

“Oh pantesan lu kagak mau makan di sana. Tapi biasanya kan ngeludah tuh Poci.”

“Yang ini enggak, dia cuman diem doang deket tempat godokan mie. Terus ngibas-ngibasin rambutnya.”

“Dih... emang pocong ada rambutnya? Pan ketutupan sama kain kafan.”

“Lu juga kalau pake topi, masa gw bilang gak ada rambut.” Wildan pun tertawa.

“Terus sama lu diapain?” tanya Wildan.

“Lu tadi liat gw doa sambil megang meja?”

“Iya.”

“Nah itu gw lagi ngusir tuh Poci, balik ke yang ngirimnya.”

“Emang lu tau yang ngirimnya siapa?”

“Lah tadi kan lu mau makan di sana.”

“Oooh... okay, pantesan.”

Percakapan selesai, kami pun pergi meninggalkan Pujasera dengan hati yang senang. 

~SEKIAN~
close