Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAMBAK RAMBUT KUNTILANAK

JejakMisteri - Jambak Rambut Kuntilanak (Penyelusuran ke Sarang Kuntilanak). 

“Mir, temenin gw yuk!” ajak Hendra yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarku.

“Kemana?”

“Jalan-jalan ajalah, yuk!” 

“Malem-malem? Jalan-jalan kemana nih?” tanyaku.

“Temenin gw penyelusuran.”

“Bilang kek dari tadi, duh gw lagi mager banget, Hen.”

“Ayolah, lu temenin aja, gak usah ngapa-ngapain.”

“Ujung-ujungnya, gw lagi yang kena kan?” Hendra pun cengengesan.

“Ayo, Mir! Bantuin temen lah.”

“Jawab dulu, mau penyelusuran kemana?”

“Ke Rumah Kosong di Jalan Gading, tau kan lu?”

“Ya.”

“Katanya banyak Kuntilanaknya, gw pengen tau bener atau gak.”

“Hadeh, gak ada kerjaan amat dah.”

“Yuk, yuk, ntar gw kasih sesajen.”

”OK! Nasi Bebek Penyet Komplit ya. Deal?”

“Sip,” balas Hendra sambil mengangkat jempolnya.

“Gw siap-siap dulu bentar, hus!”

Aku pun ke luar kosan. Di parkiran, Hendra sudah berdiri menungguku.

“Udah, Mir?” tanyanya.

“Hayu lah.”

“Lu bawa siapa, Mir?”

“Gak bawa siapa-siapa, lah katanya tadi gw gak usah ngapa-ngapain.”

“Kalau ada apa-apa gimana?”


“Ya.. ntar juga pada datang sendiri.” Dilema memang, kalau mengajak Tebo nanti Kuntilanaknya malah dipinang. Terus... dibawa ke pohon nangka di samping kosan. Ujung-ujungnya tiap malem pada berisik. Tidak jarang malah mengintip penghuni kosan pas lagi mandi.

Kalau bawa Si Hitam atau Si Kingkong, bisa-bisa belum mulai sudah pada bubar duluan. Atau.. malah bikin rusuh, kaya kejadian di penyelusuran sebelumnya. Jadi, kali ini biar aku sendiri saja, toh cuman Kuntilanak.

Hendra mengajakku berjalan ke jalan utama. Disana sudah ada sebuah mobil minibus, terparkir di pinggir jalan. Terlihat beberapa orang sudah menunggu kehadiran kami.

“Banyak juga ya?” tanyaku.

“Berdelapan, sama lu.”

Setelah memperkenalkan diri, aku pun langsung masuk ke dalam mobil, duduk di kursi paling belakang, di samping Hendra.

“Mas, kata Hendra penyelusuran terakhir rusuh ya?” tanya salah satu teman Hendra, sebut saja Saiful.

“Iya,” balasku. 

“Itu gara-gara apa, Mas?”

Tidak mungkin aku bilang, itu semua karena ulang Si Kingkong melepaskan beberapa Jin anak kecil yang disekap oleh Jin Pesugihan.

“Ada yang sompral dan songong, jadi pada marah,” balasku.

“Saran gw sih, nanti jangan ada yang sompral. Jaga sopan santun. Takutnya nanti ada yang ikut pulang kan berabe,” sambungku.

“Iya, Mas.”

Kami pun sudah tiba di lokasi penyelusuran. Sebuah rumah megah yang sudah lama terbengkalai. Rumahnya memilki dua lantai. Cat temboknya sudah kotor menghitam dan hampir semua jendelanya sudah pecah.

Dari pagar depan sampai teras depan, sudah ditumbuhi ilalang. Jujur, aku lebih takut bertemu ular daripada penghuni rumah ini.

“Gimana, Mir?” tanya Hendra.

“Gimana apanya?” Aku bertanya balik.

“Rumahnya lah, rame gak?”

“Oh.. ya mayan sih, tadi udah ada yang duduk atas atap sama balkon,” balasku.

“Kunti?”

“Huuh.”

Kami semua pun masuk ke dalam. Hawanya terasa sangat dingin sekali. Tiba-tiba, suasananya berubah menjadi lebih pengap. Beberapa anggota penyelusuran sudah mulai merasakan perubahan itu.

“Merinding banget gw,” ucap salah satu anggota. Aku pun hanya tersenyum mendengar reaksi mereka.

Saiful mulai mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, merekam situasi sekitar.

“Oalah malah pada nge-vlog,” ucapku dalam hati.

Bosan, aku mencari tempat duduk sambil menunggu mereka selesai nge-vlog. Terlihat sebuah papan kayu tergeletak dekat tembok. Tidak pakai lama, aku duduk di sana, sambil menyandarkan punggung ke tembok.

“Ada apa sih rame-rame.” Terdengar suara wanita dari plafon yang bolong. 

“Iya,” sahut suara wanita lainnya.

“Ih, cakep banget.”

“Aku mau yang itu ah...” 

“Itu cakep juga, yang duduk di deket tembok.”

Aku pun menengadah, terlihat beberapa Kuntilanak sedang duduk di plafon yang bolong, sambil ongkang-ongkang kaki.

“Eh, dia liat kemari, hihihihi,” ucap salah satu Kuntilanak diiringi tawa genitnya.

“Ya Allah, udah mati aja mati begitu, gimana pas hidup,” ucapku dalam hati.

Jumlahnya tidak hanya satu atau dua, tapi sudah puluhan Kuntilanak berkumpul, mengelilingi kami. Sebagian besar duduk di plafon dan tangga. Salah satu Kuntilanak mulai melayang-layang di atas kepala Hendra.

“Jangan ganggu dia, nanti ada yang marah,” ucap salah satu Kuntilanak yang lebih senior. Dia sedang duduk di dekat tangga, matanya terus menatap ke arah Hendra. Aku hanya bisa tertawa geli, melihat tingkahnya.

“Yang ini aja, deh.” Kuntilanak itu terbang ke salah satu anggota dan memeluknya dari belakang. Suara tawa ‘mereka’ pun saling bersahutan.

Kuntilanak yang sedang duduk di plafon sudah mulai turun mendekati Hendra dkk. Ada yang sedang menatap dari dekat. Ada juga yang meraba-raba anggota tubuh anggota lain.

“Pegel ya?” kataku pada Saiful yang sedang memegang kamera.

“Iya, Mas,” balasnya.

“Ada yang nyender di pundak lu tuh,” ucapku.

“Yang bener, Mas?”

“Iya, dua biji pula.”

“Trus gimana, Mas?”

“Baca doa aja dalam hati, ntar juga pergi sendiri.”

Kuntilanak itu mulai tidak nyaman, sedikit demi sedikit mulai menjauh dari Saiful.

“Ih.. kayanya dia bisa liat kita deh,” keluh Kuntilanak itu.

“Masa sih?” balas Kuntilanak lainnya.

“Coba kamu cek!” perintah Si Kuntilanak Senior.

Salah satu Kuntilanak mulai melayang ke arahku. Dia melambai-lambaikan tangannya, tepat di depan wajahku. Aku tak bergeming, berpura-pura tidak melihat. Setelah itu, dia mulai mengibas-ngibaskan rambut panjang ke wajahku, geli rasanya. Lagi-lagi, aku berusaha menahannya.

“Kayanya gak bisa liat,” ucap Kuntilanak itu lalu melayang menjauh dariku, kembali mendekati Saiful.

“Masa sih?” Datang Kuntilanak lain mendekat. Dia mulai membelai-belai rambutku, menyandarkan tubuhnya yang bau itu. Aku menutup mata, berusaha konsentrasi untuk melepaskan sukma.

“Nakal banget sih lu!” ucapku sambil menjambak rambutnya dari belakang.

“Ah.. sakit!” teriak Kuntilanak itu.

“Mangkanya gak usah iseng, mandi sana badan lu bau.”

“Ampun-ampun.”

Seketika suasana ruangan menjadi riuh, banyak suara saling bersahut-sahutan.

“Dia bisa liat ternyata.”

“Iya.. ih, kabur ah.”

“Kasian Si Reni.”

“Argh.. lepasin aku, sakit tau!” ucapnya.

“Pergi! Jangan ganggu, gak tau orang lagi mager apa!”

“Iya... iya.”

Aku lepaskan genggaman. Kuntilanak itu langsung terbang menembus plafon.

Bau anyir bercampur busuk mulai menyeruak memenuhi ruangan. Aku sudah tau, ini pasti tanda kedatangan Kuntilanak Merah. Sepertinya Kuntilanak tadi mengadu pada pimpinannya.

Tidak hanya satu, ada dua Kuntilanak Merah mulai turun dari plafon. Dari wajahnya terpancar amarah yang lumayan besar.

“Pergi!” teriaknya sambil melotot ke arahku.

“Hihihihi....” Kuntilanak Merah kedua tertawa melengking. Suara tawanya sampai terdengar oleh beberapa anggota.

Beberapa anggota mulai mengalami sesak nafas, karena tubuhnya dihimpit oleh anak buah Kuntilanak Merah itu. Yang lain, ada yang pusing, mual dan pundaknya berat. Dengan cepat aku berlari mendekati mereka, mengusir anak buahnya itu.

“Dra, pulang sekarang!” ucapku pada Hendra yang nampak panik.

“Tapi, Mas...,” sela salah satu anggota.

“Pulang sekarang atau makin parah. Pemimpinnya udah marah banget itu.” 

Mereka pun menurutiku, mulai membereskan barang dan ke luar dari rumah. Namun ada yang masih belum puas. Kuntilanak Merah itu masih mengejar salah satu anggota, mendorongnya hingga jatuh tersungkur.

“Woi!” teriakku mambalikan badan, bertolak pinggang dan melotot pada Kuntianak Merah itu.

“Jangan macam-macam kamu anak kecil,” balasnya.

“Yeeee.. mau gw kepang tuh mulut?” terdengar suara dari sosok yang aku kenal. 

“Tebo, ngapain lu dimari?” tanyaku pada Sosok Genderuwo itu.

“Disuruh Si Macan, padahal gw lagi asik tidur tadi.”

“Hey! Tadi apa lo bilang? Badan borokan gitu, mau gw cakar-cakar?” ancam Tebo pada Kuntilanak Merah itu. 

“Beuh, kaya kulit lu halus aja, Bo,” ucapku.

“Diem, Mir!” balasnya.

“Anak ini udah ganggu kami, dia juga melukai anak buahku,” balas Kuntilanak Merah itu.

“Emang lu apain anak buahnya, Mir?” bisik Si Tebo.

“Gw jambak, abis ganggu banget.” Si Tebo pun tertawa.

“Pergi, jangan balik kesini lagi!” ucap Kuntilanak Merah.

“Iya, ini udah mau pulang, lu malah dorong temen gw,” balasku.

“Cepat pergi!”

“Cerewet bener ini cewek jelek, Mir. Gw iket di pager aja gimana?” ucap Si Tebo.

“Jangan, ntar kalau ada orang lewat kasian.”

“Ya udah, sip. Dah balik, ntar makin rame. Gw lagi males buang-buang energi lawan beginian. Mau lanjut tidur lagi.”

“Awas ya, kalau ada anak buah lu yang ngikut. Gw makan ntar,” ancam Si Tebo pada Kuntilanak Merah itu. Kuntilanak yang tadi menonton di balkon dan atap, langsung berhamburan masuk ke dalam rumah.

“Gimana, Mir?” tanya Hendra.

“Aman, gak ada yang ngikut kok.”

“Udah pada enakan?” tanyaku pada semua anggota penyelusuran.

“Alhamdullilah, Mas. Udah gak mual sama pusing lagi,” balas Saiful.

“Sebelum pulang baca doa dulu.”

Kami semua sudah masuk ke dalam mobil. Pergi meninggalkan lokasi penyelusuran itu.

“Mir, tadi kenapa sih sampe marah?” tanya Hendra.

“Hmm...” Aku tidak bisa mengungkap alasannya. Kan aneh, masa gara-gara aku menjambak rambut Kuntilanak.

“Mereka keganggu aja sama kehadiran kalian,” ucapku.

“Owh begitu, emang lu gak minta izin dulu, Mir?”

“Enggak,” balasku cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 

“Pantesan.”

~SEKIAN~
close