NASI GORENG BERDARAH
JejakMisteri - Nasi Goreng Berdarah. “Mir.. lu laper gak?” tanya Wildan yang sedang memegang kemudi mobil.
“Laper.”
Selama perjalanan dari Cirebon ke Karawang, kami memang belum makan. Cemilan di mobil pun sudah raib, masuk ke dalam perut. “Malem-malem begini mau makan dimana?” tanyaku.
“Cari yang di pinggir jalan aja.”
“Pecel ayam, sate atau nasi goreng?” tanyaku sambil melihat ke luar mobil.
“Nasi goreng aja deh.”
“Sip.” Aku edarkan pandangan, mencari tukang nasi goreng terdekat.
“Tuh... ada tukang nasi goreng.” “Mana?”
“Di kiri, deket pohon beringin.”
Wildan pun mengarahkan mobilnya ke sana. Lalu, memarkirkan mobilnya di bawah pohon beringin.
Aku lebih dulu keluar dari mobil, mencari tempat duduk. Sedangkan Wildan, berjalan menghampiri gerobak untuk memesan nasi goreng.
“Mir.. pedes gak?” teriak Wildan yang sedang berdiri di samping gerobak nasi goreng.
“Pedes,” sahutku.
Setelah memesan, Wildan duduk di sampingku. Kami pun mengobrol-ngobrol sebentar, sambil menunggu pesanan datang.
Tidak terlalu menunggu lama. Dua piring nasi goreng sudah tersedia di hadapan kami.
Ya... memang sedang tidak ada pembeli, selain kami.
Wildan langsung menyantapnya dengan lahap, sedangkan aku masih belum mau menyentuhnya.
“Ini nasi gorengnya kok merah?” tanyaku bingung, sambil menatap nasi goreng di hadapanku.
“Merah?”
“Iya.”
“Gak ah, normal-normal aja,” balas Wildan sambil menyantap nasi goreng.
Bau amis menyeruak, menusuk hidungku. Aku mengendus-endus, mencari sumber bau tersebut.
Hue!
Mual, spontan tanganku menutup mulut dan hidung, agar tidak muntah. Sekarang aku sudah tau, baunya berasal dari nasi goreng itu.
“Napa sih lu nutup mulut gitu? Lagian bukannya dimakan malas diendus-endus doang.”
“Perut gw gak enak, mual,” balasku masih menutup hidung dan mulut dengan tangan.
“Ya udah gw makan aja dah, mubazir tau.”
“Jangan!”
“Kasian tau, udah dibikinin gak dimakan,” ucapnya sambil menggeser piringku ke dekatnya.
Aku terus menatap piring yang dimakan Wildan. Warnanya tidak berubah, masih merah.
“Astagfirullah,” ucapku ketika melihat potongan ayamnya berubah menjadi potongan jari dan telinga.
“Napa, Mir?” tanya Wildan heran.
“Udah jangan dimakan.” Aku langsung merebut piringku dan membuang nasi gorengnya ke tanah.
Benar dugaanku, nasinya kini berubah menjadi belatung-belantung kecil.
“Nanti gw ceritain dah. Sekarang lu balik ke mobil aja, biar gw yang bayar.”
“Beuh tumben baik.”
Wildan pun kembali ke mobil, sedangkan aku mau berhadapan langsung dengan si penjual nasi goreng.
“Nasi gorengnya enak, Dek?” tanya tukang nasi goreng yang berdiri membelakangiku.
“Enak, Pak.”
“Jangan bohong,” ucap Bapak itu membalikan badannya.
Wajahnya hancur. Matanya keluar menggantung di pipi. Rahang bawahnya sudah tak berbentuk, dengan darah yang terus menetes.
Aku sempat kaget dan mundur satu langkah. Perlahan kutatap wajahnya, ternyata tidak se-menyeramkan makhluk-makhluk yang pernah kutemui.
Tiba-tiba, aku mendapatkan ‘flashback’. Seorang bapak sedang melintas rel kereta api, sambil mendorong gerobaknya. Kereta api pun datang. Lalu, menyambar tubuh dan gerobaknya dengan cepat.
“Sakit, Dek..,” ucap Bapak itu lirih.
“Salah bapak sendiri, nyebrang gak liat-liat.”
“Tolong... sakit, Dek....”
“Gak!” ucapku, lalu membalikan badan dan kembali ke mobil.
“Sudah tau lagi lapar, malah dikasih begituan,” keluhku kesal.
Baru saja mau membuka pintu mobil. Terdengar seseorang menertawaiku. Aku tengok ke atas pohon beringin. Si Kingkong, salah satu penjagaku, sedang nangkring di salah satu dahan pohon.
“Oh gitu... jail ya... liat aja aku laporin ke Kakek,” ucapku dalam hati.
“Mangkanya... fokus, Mir, fokus..,” balasnya lalu tertawa.
“Orang lapar disuruh fokus.” Aku pun langsung masuk ke dalam mobil.
“Berapa Mir?” tanya Wildan yang sedang menghidupkan mobil.
“Gratis!” balasku agak ketus, gara-gara masih kesal dengan ulah Si Kingkong.
“Biasa aja kali, gitu amat.”
“Mending buruan balik dah.”
“Iya... iya.. sabar.”
Mobil sudah menjauh dari tempat itu.
“Mir... Mir,” panggil Wildan.
“Apa?”
“Diem aja lu.”
“Perut gw lagi gak enak banget nih.”
“Salah sendiri tadi gak makan, malah dibuang.”
“Emang enak banget ya?” tanyaku sambil tersenyum licik.
“Enak kok.”
“Kenyang?”
“Iya.”
Aku pun tertawa puas sekali.
~SEKIAN~