PENARI DI BALIK PONDASI JEMBATAN
JejakMisteri - Penari di Balik Pondasi Jembatan. Malam ini, Hendra mengajakku bermain futsal bersama teman-temannya. Dia tidak mau bilang siapa teman-temannya itu. Setiap kali ditanya jawabannya pasti rahasia. Khawatir nanti tidak ada teman lain. Aku pun mengajak Wildan yang sedang asik berbaring di kasurnya.
“Loh? Lu juga ikut, Dan?” tanya Hendra ketika aku dan Wildan menghampiri mobil.
“Iye, daripada gw di kosan sendirian. Ntar diisengin,” balas Wildan sambil melirik ke arahku.
“Kok gw?” elakku.
“Siapa lagi yang suka nyuruh demit ketok-ketok jendela kamar gw.”
“Ibu Kos kali.”
“Ya kali Ibu Kos ngelayang-layang. Kan kamar gw di lantai dua.”
“Oh iya.”
“Udah woy, buruan naek! Malah ribut di sini,” sela Hendra.
Aku dan Wildan masuk ke dalam mobil. Benar dugaanku wajah-wajah orang di dalam mobil sudah tidak asing lagi. Orang yang pernah diajak Hendra untuk penelusuran ke Rumah Sarang Kuntilanak.
“Halo Kak Amir,” sapa Saiful yang duduk di bangku depan.
“Eh ada Saiful,” balasku.
Tentunya aku ingat dengannya. Soalnya pada saat penelusuran itu, pundaknya dijadikan tempat bersandar Kuntilanak.
“Ini bukan mau penelusuran kan?” tanyaku.
“Ah masa penelusuran sih? Katanya mau maen futsal. Si Amir bohong ini ma gw!” ucap Wildan kesal.
“Gw kan nanya, Dan! Soalnya ini orang-orangnya sama kaya penelusuran dulu.”
“Maen futsal kok, Dan. Panik amat,” balas Hendra.
“Oh.. oke.”
“Pulangnya baru penelusuran,” sambung Hendra disertai tawa.
“Jebakan ini sih, parah si Amir.”
“Gw juga gak tau, Dan. Hendra ditanya rahasia mulu jawabnya,” balasku.
“Emang beneran mau penelusuran, Dra?” sambungku.
“Enggak kok. Gw demen aja liat Wildan panik.”
“Parah.” Wildan memukul lengan Hendra yang duduk di dekatnya.
Obrolan kami bertiga sukses menjadi bahan tertawaan teman-teman Hendra lainnya. Wildan yang awalnya telihat kaku pun sudah mulai bisa mencair. Menceritakan pengalaman-pengalamannya selama tinggal sekosan denganku. Hingga tak terasa mobil sudah sampai di tempat futsal.
Tempatnya agak jauh dari keramaian kota. Namun, parkirannya terlihat lumayan ramai. Sampai detik ini, aku tidak tau alasan Hendra memilih tempat ini.
Kuperhatikan deretan pohon bambu yang mengitari pagar area parkiran. Di sana sudah banyak wanita-wanita berdaster putih sedang bergelantungan.
Di bagian samping gedung lapangan futsal, ada lahan kosong yang ditumbuhi rerumputan yang tinggi. Makhluk yang ada di sana sangat jauh berbeda dengan yang ada di parkiran. Didominasi oleh Siluman Ular dengan anak buahnya.
Seperti biasa, aku tidak mengajak siapa pun saat ini. Takut terjadi bentrokan dengan makhluk-makhluk yang ada di sini. Tau sendiri kan bagaimana isengnya para penjagaku.
“Liat apa sih, Mir? Daritadi serius amat. Ada sesuatu ya?” tanya Hendra ketika mataku sedang mengamati pohon besar di dekat pintu masuk.
“Enggak,” balasku singkat.
“Amir tuh kalau bilang enggak, pasti aslinya iya,” ucap Wildan.
“Emang ada apa, Kak?” tanya Saiful.
“Ah gak usah kepo, biarin aja.” Aku berjalan masuk ke dalam gedung.
“Tuhkan.”
“Tuhkan apaan, Dan? Mau liat?” tanyaku pada Wildan.
“Ampun, Mir.”
Di dalam gedung ternyata sudah ada beberapa teman Hendra yang menunggu. Kali ini aku tidak mengenalnya sama sekali. Mungkin mereka teman kelasnya di kampus. Setelah membagi tim, kami mulai bermain futsal.
Hendra sudah mem-booking lapangan ini selama dua jam. Selama itu pula aku terganggu dengan sosok wanita yang berjalan kayang. Yang daritadi naik-turun di jaring pembatas antar lapangan. Entah maunya apa.
Di sela-sela istirahat, kami berkumpul di pinggir lapangan.
“Kak, kapan penelusuran lagi?” tanya Saiful.
“Waduh, males ah.”
“Bukannya abis futsal mau penelusuran?” ucap Hendra. Sukses membuat cubitan keras Wildan mendarat di perutnya.
“Aw, sensi banget ni anak.”
“Emang mas bisa liat?” tanya salah seorang teman Hendra.
“Bisa, nih sekarang lagi liat.”
“Liat apa?”
“Liat kamu lah, emang liat apaan?”
“Maksudnya, liat makhluk gaib.”
“Kata siapa?”
“Tuh, kata Hendra.”
“Gosip doang itu sih.”
“Bohong, emang beneran dia bisa liat begituan,” sela Wildan.
“Diem kali, Dan.”
“Di sini ada begituan gak, Mas?” tanya teman Hendra lainnya.
“Mereka tuh ada di mana-mana. Di sini pun pasti ada.”
“Oh begitu, bentuknya apa, Mas?”
“Pocong.” Aku menatap ke arah Wildan.
“Apaan sih, Mir. Jangan nakutin dah.”
“Ada di mana sekarang?” tanya Hendra.
“Liat aja mata gw ke mana.”
“Gak usah becanda, Mir.” Wildan menggeser tempat duduknya, mendekatiku. Aku pun tertawa.
“Beneran ada?” tanya Wildan.
“Kagak,” balasku.
“Ah kirain beneran,” ucap Hendra.
“Yuk! Maen lagi aja, gak usah dipikirin yang begituan sih. Entar mereka ke-geer-an terus ngikut sampe rumah.” Aku bangkit dan berjalan ke lapangan.
Kami pun bermain satu babak lagi. Diakhiri dengan kemenangan teamku. Sebelum pulang, kami mengobrol sebentar di parkiran.
“Lapar gak?” tanya Hendra. Dia paling mengerti soal urusan perut.
“Huuh,” balasku.
“Cari makan dulu lah kita,” ajaknya.
“Lu yang bayar, Kan?” Dengan cepat Wildan menjawab ajakan Hendra.
“Aman.”
“Asik.”
Mobil meninggalkan tempat parkir.
“Dan, lu gak pamitan dulu sama tuh cowok,” ucapku.
“Cowok?”
“Iya, pocong yang tadi. Kasian dicampakan.”
“Bah! Beneran ada pocong, Ya?” tanya Hendra.
“Iya, dia ngintilin si Wildan terus pas balik dari kamar mandi.”
“Pantesan, gw merinding mulu pas di kamar mandi,” balas Wildan.
“Sial banget dah lu, Dan. Masa yang ngikut pocong absurb begitu.”
“Absurb gimana?”
“Pocongnya cowok, tapi agak kemayu gitu.”
“Banci maksudnya?”
“Huuh.”
“Astaga.”
Mobil pun masih melaju dengan cepat, melewati jalan yang sudah sangat sepi. Ya, karena sekarang sudah jam 11 malam.
“Makan di mana?” tanya teman Hendra yang memegang kemudi, sebut saja Ogi.
“Tempat biasa aja,” balas Saiful.
Mobil terus melaju, jika tidak salah ini arahnya menuju perbatasan antara kota dan kabupaten. Berarti akan melewati sebuah jembatan besar.
Dugaanku benar, mobil melewati jembatan bercat merah. Di dekatnya ada sebuah lapangan agak besar. Yang dijadikan pusat jajanan malam.
Di ujung jembatan, aku melihat seorang wanita sedang menari. Berpakaian serba hijau dengan bercak-bercak merah.
Wanita itu sepertinya tau akan kehadiranku. Dia terus menatap ke arah mobil yang kutumpangi.
“Ada apa, Mir? Daritadi diem aja,” ucap Wildan.
“Ah, enggak.”
“Pasti ada apa-apa, Kan?”
“Biasa aja sih, kan udah malem juga. Terus lewat jembatan yang dibangun di zaman Belanda. Pasti banyak lah begituannya,” jelasku.
“Oh, emang ada apa aja?” tanya Hendra.
“Kebanyakan Kuntilanak sih, gelantungan dan duduk di tiang jembatan.”
“Ih, serem aja.”
Mobil berhenti di pinggir jalan, dekat dengan lapangan pusat jajanan malam. Aku masih bisa merasakan ada energi yang besar mengikutiku. Penuh dengan amarah. Namun aku masih berusaha menutup rapat-rapat gerbang dialog.
“Lesehan aja yuk!” Hendra berjalan mendekati pedagang wedang jahe. Di dekatnya sudah ada tikar dan meja kecil. Kami pun duduk di sana. Satu persatu dari kami memesan makanan dan minuman.
Aku masih belum bisa berkonsentrasi penuh. Sosok itu rasanya semakin mendekat.
“Mir? Lu kagak kenapa-napa, Kan?” tanya Hendra.
“Hah?”
“Pasti ada sesuatu nih,” selidik Wildan.
“Kagak.”
“Kagak apaan, orang daritadi lu nengok ke belakang mulu. Ada apaan sih di belakang?” ucap Wildan sambil menoleh ke belakang.
“Kagak, Dan.”
“Jangan bohong, cerita aja.”
“Ada cewek lagi nari, daritadi ngikutin kita.”
“Seriusan?”
Aku pun mengangguk pelan.
“Energinya gede banget, tapi lebih ke arah negatif.”
“Aih, jadi gak nafsu makan gw. Balik yuk!” ucap Wildan.
“Lah, tadi lu sendiri yang suruh cerita, Dan,” balas Hendra.
“Biasanya kan dia gak mau cerita.”
“Terus gimana, Kak?” tanya Ogi.
“Ini lagi nahan dia biar gak ngedeket.”
“Aku mati di sini,” ucap Penari itu.
“Mereka semua menipuku,” sambungnya.
Aku memejamkan mata, terpaksa membuka gerbang dialog dengannya. Tentunya melalui batin.
“Menipu bagaimana?” tanyaku.
“Mereka bilang aku diundang untuk acara pembangunan jembatan. Ternyata semua itu bohong!” Penari itu meninggikan suaranya.
Dia mulai memberikan gambaran. Sebuah acara yang cukup meriah di zamannya. Lokasinya tepat di bawah jembatan.
Terlihat banyak pria dan wanita Belanda sedang duduk, sambil menyaksikan pentas kesenian. Seorang wanita berparas ayu, naik ke atas panggung. Menari dengan indahnya, sambil diiringi gamelan.
“Itu kamu?” tanyaku. “Iya,” balasnya.
“Siapa namamu?”
“Ajeng.”
Setelah menari, seorang warga desa membawanya ke belakang panggung. Di sana sudah menunggu seorang pria berperawakan tinggi besar, berkulit putih dan berambut pirang. Pria Belanda.
Terjadi obrolan antara Ajeng, warga desa dan Pria Belanda itu. Selanjutnya, Ajeng diajak ke sebuah rumah.
“Aku diminta melayani pria itu!” ucap Ajeng.
“Kenapa kamu mau?”
“Terpaksa, jika aku menolak maka dia bisa saja membunuhku.”
“Sama saja, Kan?”
“Aku tidak menduga akan seperti ini.”
Setelah memuaskan nafsu bejatnya. Pria Belanda itu kemudian menyiksa Ajeng. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Ajeng. Ajeng pun menjerit kesakitan, terus meminta ampun.
Namun semakin lama situasi tidak terkendali. Tangan besar Pria Belanda itu mencekik leher Ajeng dengan keras. Ajeng pun meronta-ronta, berusaha teriak tapi suaranya tertahan.
Saat Ajeng tidak sadarkan diri, Pria Belanda itu masih terus memukuli tubuhnya. Sampai akhirnya, dia menembak tubuh Ajeng dengan senapan besar yang dibawanya. Darah pun mengalir, membasahi tubuh Ajeng.
Beberapa warga desa masuk ke dalam kamar, menggotong tubuhnya yang bersimbah darah. Mereka membawa ke sebuah tiang beton, yang dijadikan pondasi jembatan. Kemudian tubuh disandarkan di antara beton dengan posisi bediri.
“Aku masih bernafas,” ucap Ajeng.
“Hah?”
“Mereka menguburku hidup-hidup.”
“Apa kamu tau alasannya?”
“Tumbal. Itu yang kudengar,” balasnya.
“Untuk kelancaran pembangunan jembatan, harus ada nyawa yang ditumbalkan. Mereka meminta nyawa seorang penari,” imbuhnya.
“Lalu, apa maksudmu mendatangiku? Toh aku tidak akan bisa berubat apa-apa.”
“Aku hanya ingin bercerita, menumpahkan kekesalanku.”
“Ngomong-ngomong apa yang kamu lakukan pada orang-orang itu.”
Ajeng pun tertawa melengking.
“Kamu mau melihatnya?”
“Tidak.”
“Aku hancurkan mereka satu persatu, sampai mereka semua mati dan pergi meninggalkan desa.”
“Ya sudah, sekarang kamu boleh pergi. Aku mau makan.”
“Apa aku boleh datang dan bercerita lagi?” tanyanya.
“Kamu harus minta izin ke dia.” Aku menatap ke atap lapak wedang jahe. Di sana salah satu penjagaku sedang duduk santai.
“Monyet itu?”
“Saya bukan monyet. Dasar wanita jelek!” protes si Kingkong.
“Kingkong, bukan monyet,” balasku.
“Sama saja.”
Ajeng terbang melayang ke arah jembatan.
“Huh, liat saja nanti saya ikat dia di tiang jembatan,” ucap Si Kingkong.
“Jangan! Kasian.”
“Lagian kamu ngapain ke sini?”
“Saya kira dia punya niat jahat padamu. Ternyata hanya ingin berbicara saja.”
“Ya sudah sana pergi! Aku mau makan.”
Si Kingkong pun menghilang.
“Jadi gimana, Mir?” tanya Wildan.
“Beres, udah pergi.”
“Siplah, bisa makan dengan tenang kita.”
“Tapi....”
“Tapi apa?”
“Itu cowok masih ngikutin lu, Dan.”
“Usirlah!”
“Udah gak apa-apa, Dan. Biar pas tidur ada guling tambahan,” ledek Hendra.
“Balik ah gw!”
“Jalan kaki?”
“Eh, iya.”
Kami pun tertawa melihat tingkah Wildan.
~SEKIAN~