Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

WANITA DI TENGAH REL KERETA

JejakMisteri - Wanita Di Tengah Rel Kereta. Pukul delapan malam, jadwal terakhir kereta menuju Bandung. Aku masih menunggu, duduk di bangku, di pinggir rel kereta. Kupandangi area di tengah rel kereta. Mataku tiba-tiba terpaku pada tiang listrik di peron tengah.


Aku sudah berusaha untuk mengalihkan pandangan. Namun seperti ada sesuatu menarikku untuk terus melihat ke sana. Kuambil ponsel dan mulai bermain game. Sesekali aku melihat ke sana.

Sama-samar, terlihat seorang wanita sedang berdiri di samping tiang listrik. Aku fokus, untuk memastikan apakah itu manusia atau bukan. Ada noda darah di pakaiannya. Semakin lama semakin jelas. Dia berjalan, mondar-mondir di tengah rel kereta. Tiba-tiba.. kepalanya berputar 180 derajat. Melihat ke arahku.

“Duh, kenapa harus ngeliat ke sini sih,” pikirku lalu kembali menatap layar ponsel. Aku bisa merasakan kalau dia mulai mendekat.

Dari ekor mata, kulihat dia berdiri. Tak jauh dari tempatku duduk. Kepalanya terkulai ke kiri dengan wajah hancur. Satu kakinya terlihat remuk, hanya tersisa sebagian. Dan gaun putihnya penuh dengan noda darah.

“Kenapa harus pake wujud asli sih,” keluhku dalam hati. Sepertinya dia mendengar keluh kesahku. Mulai berjalan mendekat dengan kaki terpincang-pincang.

“Kamu bisa melihatku?” tanyanya, berdiri di hadapanku.

Aku pura-pura tidak mendengar dan melihatnya. Terus menatap ke layar ponsel.

“Apa kamu bisa melihatku?” tanyanya lagi.

Lagi-lagi aku tidak memperdulikannya. Kubuka tas, lalu mengambil ear phone. Kusenderkan kepala ke tembok di belakang bangku. Dan mulai mendengarkan lagu, sambil menutup mata.

Tiba-tiba, aku merasakan hawa dingin di paha. Rasa dinginnya melekat ke kulit, khas bangsa Kuntilanak. Bau darah menyeruak, menusuk hidungku. Lagu rock yang kudengar terasa seperti lagu mellow. Argh... dia sudah mulai mentransferkan perasaannya padaku. Aku membuka mata. Terkejut, ketika melihatnya sedang berbaring di pangkuanku.

“Tuhkan kamu bisa melihatku,” ucapnya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Spontan aku beranjak dari kursi dan meninggalkannya.

Tak lama kereta yang kutunggu pun datang. Cepat-cepat aku naik dan mencari tempat duduk. Penumpang untuk jadwal terakhir tidak terlalu banyak. Aku mengambil tempat duduk di samping jendela.

“Kenapa kamu pergi?” tanya Wanita itu, yang sudah duduk di sampingku.

“Mbak mending turun, daripada nanti nyasar gak bisa pulang,” ucapku melalui batin.

“Aku tidak akan pergi sebelum kamu menolongku.” Tangan dinginnya mulai menyentuh tanganku. Gambaran demi gambaran mulai muncul di pikiranku.

Wanita itu sedang berjalan, menyusuri rel kereta. Sesekali duduk di bangku di tengah peron. Dia menunduk dan menangis. Seperti sedang menghadapi masalah pelik.

“Aku tak sanggup menafkahi anakku,” ucapnya pelan dengan bibir bergetar.

“Terus, kemana suamimu?” tanyaku.

“Dia pergi dengan wanita lain.” 

Gambaran berlanjut, dia bangkit dari bangku. Berjalan mendekati rel kereta dengan langkah ragu. Dia menutup mata dan berdiri di pinggir rel kereta. Air mata terlihat membasahi pipinya. Beberapa saat kemudian, kereta pun datang. Lalu dia melompat ke tengah rel. Hingga tubuhnya tersambar kereta itu. Mati seketika.

“Kenapa kamu melakukan hal bodoh macam itu?” tanyaku kesal.

“Aku terpaksa. Anakku membutuhkan uang untuk makan dan biaya sekolah. Aku malu, setiap hari harus mengutang ke sana kemari. Sampai tidak ada seorang pun yang mau lagi meminjamkan uang.”

“Apa dengan melakukan itu, masalahmu langsung selesai? Bahkan sudah mati pun kamu masih tersiksa. Aku saja jijik melihat bentukmu.”

“Setidaknya anak-anakku sekarang bisa hidup dengan layak.”

“Maksudmu?”

“Salah satu tetanggaku pernah bilang. Jika aku melakukan itu, maka anak-anakku akan mendapatkan uang santunan.”

“Dan dengan bodohnya kamu mengikuti ucapannya?”

“Mau bagaimana lagi?”

“Berapa lama anak-anakmu bisa hidup tanpa kehadiran seorang ibu dan ayah? Santunan itu hanya sementara, tapi pandangan buruk orang-orang terhadapmu, akan terus menghantui anak-anakmu kelak.”

Wanita itu pun menangis tersedu-sedu.

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Sekarang lebih baik kamu pergi. Jangan mengikuti dan mengangguku.”

“Tapi kamu belum menolongku?”

“Enggak!”

“Tolong sampaikan maaf pada anak-anakku.”

“Percuma! Semuanya sudah terlambat. Seharusnya kamu berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh itu.”

“Tolong...”

“Pergi atau aku terpaksa berbuat kasar.”

“Dasar manusia jahat!”

“Ih...” Aku mulai membaca doa. Pelan-pelan kutiupkan padanya yang masih duduk di sampingku.

“Aduh panas tau!”

Dia masih tidak mau pergi. Lalu kutiupkan ke wajahnya yang rusak itu.

“Perih.. ampun,” ucapnya seraya terbang ke luar gerbong.

Akhirnya aku bisa terbebas dari gangguan wanita jelek itu.

~SEKIAN~
close