Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEGENDA KYAI JAMBRONG GUNUNG KIDUL (Part 3 AND)


JEJAKMISTERI - "Met, coba kau cium ini," kuacungkan bilah parang itu ke depan hidung Slamet. Pemuda itu mengendusnya sebentar, lalu...

"Bwueh...! mambu wedhus! (bau kambing)," Slamet meludah ke tanah. "Sudah jelas ini, sudah sopitif, pasti si Pardi itu yang semalam nyolong kambing milik warga!"

"Yang jadi pertanyaan Met," aku menimang nimang parang itu sambil berpikir keras. "Apa yang dilakukan Pardi terhadap kambing yang dicurinya itu di tengah hutan sana?"

"Lho, bukannya tadi sampeyan bilang kalau jejak yang mengarah ke hutan itu cuma sebuah trik untuk mengelabuhi kita Mas?" tanya Slamet.

"Itu tadi Met, sebelum aku melihat Pardi dengan segala gerak geriknya yang mencurigakan itu," ujarku. "Setelah melihat apa yang diperbuat Pardi tadi, aku jadi berubah pikiran. Aku yakin, dia benar benar membawa kambing itu ke tengah hutan. Kenapa dan untuk apa, itu yang perlu kita selidiki Met."

"Hmmm, apa mungkin di tengah hutan sana sudah ada orang yang menunggunya dan siap untuk membeli kambing hasil curiannya Mas?" Slamet berspekulasi.

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

"Lha itu, Pardi yang kata Retno cuma pemuda pengangguran bisa membeli cincin emas yang lumayan besar, darimana dia bisa dapat uang kalau bukan dari hasil penjualan kambing curian itu."

"Menurutmu, kapan ia membeli cincin itu Met?"

Slamet hanya mengangkat bahu, tanda tak mengerti.

"Ingat, dia mencuri kambing itu baru semalam. Mustahil kalau dia bisa secepat itu membeli cincin. Lagipula, dia baru saja keluar dari dalam hutan. Di hutan mana ada toko emas Met. Dan yang lebih mencurigakan, saat dia merasa terancam oleh tindakan Retno tadi, dia justru kembali lari ke dalam hutan, bukan lari ke arah desa. Dugaanku Met, memang, ada yang menunggunya di dalam hutan sana, yang siap membayar kambing curian Pardi dengan sebuah cincin emas."

"Aha!" Slamet menjentikkan jarinya. "Aku ingat Mas. Perampok toko emas yang beritanya sedang viral itu! Yang masih menjadi DPO sampai sekarang!"

"Tepat sekali!"

"Kalau begitu, lebih baik segera kita laporkan saja sama Mas Cipto Mas, biar nanti diteruskan ke Pak Kadus desa ini."

"Tidak Met."

"Lho, kenapa Mas?"

"Kita mesti mencari bukti yang lebih konkrit dulu."

"Jadi?"

"Kita buntuti Pardi ke tengah hutan sana."

"Weh, ini sudah melenceng jauh dari tujuan kita semula Mas. Kita kesini kan...."

"Apa salahnya kalau kita menyelam sambil minum air Met. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Sambil menyelidiki Pardi, kita bisa sekalian mencari sarang Mbah Jambrong, dan juga membantu Retno mencari jasad bapaknya."

"Ya ya ya. Aku paham Mas. Eh, tapi Mas, soal si Retno itu, apa sampeyan ndak curiga juga sama dia?"

"Kenapa memangnya?"

"Dia kan perempuan, tinggal sendirian di tempat seperti ini, lalu semalam berani keluyuran sendirian ke kuburan dan ke rumah Mas Cipto, seolah gadis itu tak punya tasa takut sama sekali. Padahal di desa ini kan lagi santer santernya isu soal macan jadi jadian itu. Lalu, satu lagi Mas, jangan lupakan juga soal senapan yang dia miliki itu."

"Hmmm, masuk akal juga," gumamku. "Tapi itu bisa kita selidiki nanti Met. Sekarang kita fokus dulu untuk menyelidiki Pardi, sebelum dia terlalu jauh masuk ke dalam hutan."

"Siap! Kalau begitu, tunggu apa lagi Mas, ayo kita kemon!"

Berdua, kamipun mulai melangkah menyusuri jalan setapak yang menuju ke arah hutan. Namun baru beberapa tindak kami berjalan, langkah kami terhenti oleh suara derit pintu yang disusul dengan sebuah seruan dari arah belakang kami.

"Hey, kalian mau masuk ke hutan tanpa aku?!"

Serempak aku dan Slamet menoleh, dan kami dibuat takjub seketika. Beberapa langkah dibelakang kami, kini telah berdiri Retno yang dengan gagahnya menyandang ransel dan senapan berburu di pundaknya. Jaket dan celana jeans yang membungkus tubuhnya, serta sepatu kets dan topi koboy yang dikenakannya, menandakan kalau gadis itu telah siap untuk ikut berpetualang bersama kami.

"Retno? Kau...."

"Ya. Aku ikut!" tandas gadis itu sambil melangkah mendekat ke arah kami.

"Tapi..."

"Kalian orang asing disini, sama sekali tak tau seluk beluk hutan ini. Terlalu berbahaya jika kalian nekat masuk tanpa didampingi oleh orang yang paham kondisi di dalam hutan sana."

"Hati hati Mas," Slamet berbisik sambil menyikut pinggangku. "Jangan sampai kecantikannya melunturkan kecurigaan kita terhadap gadis itu. Bisa bisa nanti justru kita yang dijadikan tumbal sama dia."

"Apa?!" Retno mendelik ke arah Slamet.

"Eh, enggak, kamu cantik kalau pakai pakaian seperti itu," ujar Slamet asal.

"Modus!" dengus gadis itu, lalu beralih menatap ke arahku. "Tunggu apa lagi, ayo kita berangkat."

Aku hanya mengangkat bahu. Sadar bahwa percuma saja untuk mencegah niat gadis itu untuk ikut, akupun kembali melangkah. Retno berjalan di depan kini, menjadi penunjuk jalan untuk aku dan Slamet. Langkah gadis itu terlihat sangat lincah dan ringan, seolah sudah terbiasa menjelajah hutan ini.

Semakin dalam kami masuk ke dalam hutan, maka suasana menjadi semakin gelap dan sunyi. Pepohonan yang semakin tumbuh rapat dan rimbun, membuat sinar matahari siang tak mampu menembusnya. Entah sudah berapa jam kami berjalan, aku tak tau pasti. Rasa lelah mulai terasa, saat kami sampai di sebuah kaki tebing yang menjulang di depan kami.

"Kalian siap mendaki?" Retno berbalik dan menatap ke arah kami.

Aku menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada lutut, sambil berusaha untuk mengatur nafasku yang nyaris putus. Demikian juga dengan Slamet. Untuk mengimbangi langkah Retno yang sedemikian cepat dan lincah di dalam hutan saja kami sudah nyaris kewalahan. Apalagi kini harus mendaki tebing yang lumayan terjal itu.

"Sebentar, kita istirahat dulu," ujarku di sela sela nafas yang memburu.

"Ah, kalian payah!" setengah meledek Retno lalu duduk diatas sebuah batu besar.

"Gila, kau..., jangan jangan kau keturunan Tarzan ya. Enteng saja jalan di hutan begini," dengusku lagi sambil menatap tebing bukit yang harus kami daki itu. Tebing cadas yang gersang dan panas. Tak ada pepohonan yang tumbuh disana. Hanya rumpun semak semak dan rumput ilalang yang menyelimuti bukit itu. Dan dengan matahari yang semakin terik karena mulai condong ke arah barat, aku yakin kalau pendakian yang akan kami lakukan tak akan mudah.

"Goa goa yang kau cari itu, berada di atas sana," Retno menunjuk ke atas bukit. "Jadi mau tak mau kita harus mendaki. Kecuali kalau kalian memilih untuk menyerah dan kembali ke desa dengan tangan hampa."

"Cih! Siapa juga yang mau menyerah!" ujarku sengit. Merasa tertantang, aku kemudian bangkit dan mulai mendaki jalan setapak yang mengarah ke puncak bukit. "Ayo kita buktikan, siapa yang akan sampai di puncak duluan!"

"Hahaha, ternyata sangat mudah ya memancing semangatmu," Retno tertawa dan mengikuti langkahku. Sementara Slamet berjalan tersaruk saruk sambil tak henti hentinya menggerutu.

Pendakian yang berat kami lalui tanpa banyak berkata kata. Peluh telah membajir di sekujur tubuh. Tenagapun semakin terkuras habis. Tapi usaha kami tak sia sia. Meski dengan perjuangan yang berat, akhirnya kami sampai di puncak.

Berbeda dengan punggung bukit yang kering dan terjal, di puncak bukit ini diselimuti oleh hutan pinus dan kayu putih, ditambah dengan angin yang bertiup lumayan kencang, membuat rasa lelah kami sedikit bisa terobati.

Sejenak kami menjatuhkan tubuh di rerumputan, sekedar untuk melemaskan otot yang tegang. Retno membuka ranselnya dan mengeluarkan sebotol besar air minum dan beberapa bungkus cemilan.

"Nih, minum dulu," gadis itu mengulurkan botol air minum di tangannya, yang segera disambut dengan rakus oleh Slamet. Bergantian kami minum dari botol itu. Segar sekali rasanya.

"Ah, beruntung kau membawa bekal, kalau tidak..."

"Kalian akan mati kehausan disini," lagi lagi Retno tertawa. "Kalian sih, terlalu gegabah. Masuk ke hutan tanpa persiapan, itu sama saja kalian cari mati."

"Kukira tak akan sejauh ini kita harus pergi," ujarku membela diri.

"Hahaha, Ya sudah,kita istirahat dulu sebentar," Retno kembali tertawa dan duduk di sebelahku. "Kalian ini, orang orang yang aneh ya."

"Aneh gimana maksudmu?" tanyaku pura pura heran. Padahal dia bukan orang pertama yang menganggapku aneh.

"Ya aku nggak habis pikir aja, hanya demi untuk membuat sebuah tulisan, kalian rela jauh jauh datang kemari," jawab gadis itu sambil mengotak atik senapan berburunya.

"Yach, namanya juga hoby. Seperti dirimu, seorang gadis memegang senapan seperti itu juga terlihat aneh dimataku," ujarku.

"Sialan!" lagi lagi gadis itu tertawa sambil memukul lenganku. Aku hanya tertawa kecil. Sepertinya gadis itu mulai bisa sedikit akrab denganku.

"Oh ya, si Pardi itu, orang seperti apa dia?" tanyaku mulai mencoba mengorek informasi.

"Kenapa kamu menanyakan orang itu? Bukannya menanyakan soal legenda yang sedang kau cari?"

"Penasaran aja, sepertinya lumayan nyentrik orangnya. Kalau soal legenda itu kan kemarin sudah dengar ceritanya dari Mbah Mangun."

"Nyentrik dari Hongkong!" Retno bersungut. "Dia itu orang yang sangat menyebalkan tau. Pemuda pengangguran yang suka godain perempuan. Dan aku adalah salah satu korbannya. Kamu lihat sendiri kan tadi, tingkahnya sangat menyebalkan."

"Jangan terlalu sebal sama orang, nanti lama lama bisa jadi suka lho."

"Ih, amit amit deh!" Retno bergidik sambil mengetuk ngetuk keningnya dengan menggunakan buku buku jari tangannya. Aku tergelak melihat tingkah absurdnya itu.

"Dia sering ke hutan ya?" tanyaku lagi.

"Siapa?" Retno menoleh ke arahku.

"Ya si Pardi itu."

Enggaklah, ngapain dia ke hutan. Orang seperti dia lebih suka keluyuran ke kota sana. Eh, tapi belakangan ini memang sering aku melihat dia keluar masuk hutan ding. Nggak tau ngapain. Aku sih curiga, dia cuma modus aja buat ngintipin aku."

"Hmm, sampai segitunya ya. Berarti dia memang benar benar penggemar beratmu."

"Asem!" kembali kulihat Retno memberengut.

"Kalau kejadian yang semalam itu, maksudku warga yang kehilangan kambing itu, apa memang sering terjadi?"

"Enggak! Dulu memang pernah beberapa kali ada warga yang kehilangan ternak. Tapi setelah pelakunya tertangkap, nggak pernah ada kejadian lagi. Ya baru semalam itu ada kejadian lagi. Memang, belakangan desaku agak kurang aman. Beberapa kali aku mendengar warga mengeluh kehilangan gabah atau beras, bahkan pernah ada yang kehilangan nasi beserta lauk pauk yang disimpan di atas meja. Lucu sih kedengarannya. Sepertinya maling itu memang orang yang sedang kelaparan."

"Sedikit aneh ya," gumamku.

"Apanya yang aneh?" kembali Retno menatapku.

"Ya maling itu, kok bisa sampai segitunya. Padahal bisa saja kan dia mencuri barang barang yang lebih berharga."

"Mangkanya itu, tadi kubilang kalau itu mungkin perbuatan orang yang kelaparan."

"Bisa jadi sih. Kalau menurutmu, siapa kira kira orang yang pantas untuk dicurigai?"

"Entahlah," Retno mengangkat bahu.

"Kalau si Pardi?"

"Ah, sepertinya tak mungkin. Dia memang orang yang brengsek. Tapi untuk mencuri, rasanya tak mungkin. Kalau memalak iya."

"Syukurlah kalau begitu."

"Kok syukur?"

"Ya kalau si Pardi nggak suka mencuri berarti kamu aman."

"Aku?"

"Iya. Kalau Pardi nggak suka mencuri, berarti kemungkinan dia untuk mencuri hatimu juga kecil."

"Sialan!" Retno berdiri dan menghentakkan kakinya ke tanah. "Lama lama kamu menyebalkan ya."

"Hahaha, hei, kamu mau kemana?" seruku saat melihat Retno berjalan menjauh dariku.

"Mau jalan jalan. Stress aku lama lama ngobrol sama kamu!" sahut gadis itu tanpa menoleh.

"Ah, aku kan cuma bercanda! Jangan ngambek gitu dong! Dan jangan keluyuran sembarangan, ini diatas gunung, nanti..."

"Aku bukan anak kecil!"

Aku hanya tersenyum kecut melihat tingkah gadis itu, lalu mengalihkan perhatianku kepada Slamet yang sejak tadi tak terdengar suaranya. Ah, pantas saja. Anak itu ternyata telah mendengkur pulas diatas hamparan rerumputan.

"Woy! Met! Bangun! Bisa bisanya kamu tidur di tempat seperti ini!" kuguncang tubuh anak itu. Ia menggeliat bangun lalu mengucek ucek matanya.

"Emmmm, ngantuk Mas," Slamet menoleh ke kanan dan kekiri, memperhatikan situasi di sekelilingnya. "Lho, Retno kemana Mas?"

"Mangkanya cepetan bangun! Retno ngambek dan kabur tuh! Ayo kita susul! Bahaya kalau sampai dia..."

"Alah, dia kan anak sini Mas, mana mungkin..."

"Kamu ini ya, kamu nggak inget soal si Pardi? Aku semakin yakin laki laki itu bersembunyi di sekitar sini bersama para perampok itu. Tadi Retno bilang kalau belakangan ini warga sering kehilangan makanan. Aku yakin si Pardi itulah yang..."

"Eh, bau apa ini Mas?" Slamet mengendus endus. Akupun segera ikut menajamkan indera penciumanku.

"Seperti bau daging panggang Mas," ujar Slamet.

"Iya, ini..., gawat! Ini bau daging kambing bakar Met! Itu berarti..."

"Pardi...!!!"

"Perampok itu...!!!"

"Retno...!!!"

"Gawat...!!!"

"KYAAAAAAAAAA....!!!"

**

"Retno...!!!"

"Dari arah sana Mas!" Slamet menunjuk ke arah kiri sambil berlari mendahuluiku. Akupun bergegas mengikutinya.

"Asem! Kenapa jadi begini sih? Kenapa sampeyam biarakan Retno keluyuran sendirian Mas?" omel Slamet sambil terus berlari.

"Ndak usah ngomel! Kayak nggak tau sikapnya dia seperti apa!" gerutuku tak mau kalah, meski sebenarnya aku memang merasa sangat bersalah. Andai saja....

"Oooppsss...! Stop! Berhenti Mas!"

Nyaris saja aku menubruk Slamet yang berhenti tiba tiba. Beruntung refleksku masih bagus, hingga dapat mengerem laju lariku. Kalau tidak, mungkin kami sudah menjadi perkekedel di dasar jurang yang menganga di hadapan kami.

"Hampir sa..."

"Sssstttt...!!!" Slamet memberiku kode untuk diam sambil merunduk di sebalik sebuah batu. Melihat gelagat yang tak baik itu, akupun segera mengikuti apa yang dilakukan oleh anak itu.

"Lihat ke dasar jurang sana Mas," bisik Slamet sambil menunjuk ke bawah.

"Wedhus!" umpatku begitu melihat apa yang ditunjukkan oleh Slamet. Nun jauh dibawah sana, di dasar jurang nampak nyala sebuah api unggun dengan seekor kambing jantan yang terpanggang diatasnya. Dua orang laki laki duduk tak jauh dari nyala api itu, sementara tak jauh dari mereka, nampak Pardi sedang menodongkan senapan berburu kepada Retno yang kini telah terikat di sebatang pohon.

"B*j*ng*n memang si Pardi! Jadi ini yang dilakukannya di bukit ini! Dua orang itu pasti perampok toko emas yang menjadi buron itu Mas, dan si Pardi itu jadi antek mereka. Nyolong makanan di desa untuk ngasih makan mereka. Pantas saja dia tadi bisa pamer cincin emas. Ternyata hasil rampokan!" geram Slamet.

"Kita harus menyelamatkan Retno Met," desisku tak mau kalah.

"Aku tau Mas! Tapi kita ndak boleh gegabah! Kita kalah jumlah! Apalagi senapan Retno sudah dirampas sama mereka."

"Terus baiknya gimana Met?"

"Kita minta bantuan ke desa saja Mas."

"Kelamaan Met, keburu mereka kabur. Apalagi Retno sudah disandera sama mereka. Kalau Retno keburu diapa apain gimana coba?"

"Iya juga ya. Terus gimana dong Mas?"

"Tiga lawan dua rasanya tak begitu buruk Met. Apalagi kalau kita bisa merebut senapan itu. Dan kita juga masih punya ini," kuacungkan parang milik Pardi yang kini berada di tanganku.

"Kita perlu rencana matang Mas."

"Aku yakin Met, mereka pasti sudah tau kalau Retno datang bersama kita. Jadi kemungkinan mereka juga akan mencari kita. Kita turun diam diam, lalu kira sergap si Pardi itu. Rebut senapannya, dan boom! Kita lumpuhkan mereka bertiga."

"Sepertinya mudah." gumam Slamet.

"Ya." sahutku.

"Mudah diucapkan, tapi tak semudah itu dilaksanakan Mas! Sampeyan lupa kalau mereka itu perampok? Tentu mereka tak bisa dianggap enteng Mas. Kita juga belum tau, selain senapan Retno itu mereka masih punya senjata lain atau tidak!" gerutu Slamet.

"Kamu punya rencana yang lebih baik?" tantangku.

"Enggak sih Mas."

"Ya sudah kalau begitu. Ikuti saja rencanaku. Hari sudah sore, sebentar lagi malam. Waktu yang bagus untuk beraksi Met."

"Hmmm, okelah! Ayo kita hajar mereka Mas. Mudah mudahan sayembara yang dibuat oleh pemilik toko emas yang kerampokan itu masih berlaku."

Kamipun segera mengendap endap dan menuruni tebing yang lumayan terjal itu. Sengaja kami sedikit memutar, melewati sisi tebing yang ditumbuhi oleh pepohonan dan semak semak yang rapat, agar kehadiran kami tak sampai ketahuan oleh mereka.

Tanpa meperdulikan onak duri yang menggores kulit, kami semakin mendekat ke dasar jurang itu, sambil terus memperhatikan ketiga target yang kami tuju. Pardi nampak masih menodongkan senapan ke arah Retno.

Dengan jantung berdebar kami terus mendekat, sampai samar samar aku mulai bisa mendengar suara Pardi yang menginterogasi Retno. Benar dugaanku, mereka sudah tau kalau Retno datang bersama kami.

"Sudahlah Di, ndak usah kau buang buang tenaga menanyai perempuan itu. Aku yakin, kedua temannya itu pasti akan datang untuk menyelamatkannya. Kita tunggu saja. Begitu mereka datang, langsung saja kita habisi!" kudengar salah satu dari perampok itu berkata.

"Iya kalau mereka datang sendiri! Kalau mereka justru kembali kedesa dan mengajak warga menggerebek kesini, bisa mati konyol kita Kang," ujar Pardi setengah berteriak, karena jarak mereka agak berjauhan.

"Halah, kaupikir aku sebodoh itu apa! Semua sudah kuperhitungkan Di! Sudahlah, tinggalakan saja perempuan itu. Nggak bakalan bisa lari ini. Sekarang kita makan dulu. Sudah berapa hari aku tak makan enak, cuma makan makanan setengah basi yang kau curi dari warga. Coba dari kemarin kemarin kamu berinisiatif untuh mencuri kambing begini." ujar si perampok yang satunya lagi. Pardipun akhirnya mendekat ke arah api unggun. Senapan milik Retno ia sandang di bahunya.

"Ini kesempatan Bagus Met! Selagi mereka asyik makan, kita bebaskan Retno!"

"Bagaimana dengan senapannya Mas?"

"Itu kita pikirkan nanti. Yang penting Retno bebas dulu."

"Ya sudah, ayo kita kesana Mas."

Kembali kami mengendap endap mendekat ke arah Retno yang terikat di batang pohon.

"Ssssttt..." Slamet mendesis begitu kami sudah dekat dengan posisi pohon tempat Retno terikat. Gadis itu menoleh. Slamet buru buru meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi kode kepada Retno untuk diam. Gadis itu sepertinya paham, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah depan.

Sambil merunduk, aku mendekati pohon itu dengan parang terhunus di tanganku. Tali tambang yang mengikat tangan Retno tak begitu besar. Mungkin tambang bekas mengikat kambing yang kini telah menjadi kambing guling itu. Sekali tebas, pasti tambang itu langsung putus, dan Retno bisa bebas, demikian pikirku.

Namun ternyata semua tak semudah yang kupikirkan. Saat tinggal selangkah lagi aku sampai di tempat Retno terikat, tiba tiba salah satu perampok itu menyambar senapan yang tersandang di bahu Pardi dan menodongkannya ke arah Retno.

"Kecoak busuk!!! Keluar kalian, atau kuledakkan kepala gadis itu!"

"Wedhus! Kita ketahuan Met!" desisku.

"Keluaaarrr...!!!" bentak si perampok itu dengan suara menggelegar. Mau tak mau aku dan Slametpun keluar dari tempat persembunyian kami.

"Dasar orang orang bodoh! Nyari mampus kalian berani memata matai kami!" perampok yang memegang senapan itu mengokang senjatanya lalu mengarahkannya ke kepalaku, dan...

"DOORRRR...!!!"

**

"Modyar tenan aku!"

"GRRRRRRR...!!!"

"WHUUUUSSSS...!!!!

"ARRRRGGGGHHHH...!!!"

Semua terjadi begitu cepat. Moncong senapan yang menyalak, umpatanku yang tak sempat mengelak, suara geraman dari arah sebelah, kiriku, sekelebat bayangan yang melompat ke depan dan menerjang si perampok bersenjata, serta erang kesakitan seolah terjadi secara bersamaan.

Aku jatuh tersungkur saat sesuatu yang terasa sangat panas menerjang betisku. Rupanya bidikan si perampok itu meleset. Kepalaku memang lolos dari terjangan peluru. Namun sebagai gantinya, peluru dari senapan itu sukses mendarat di betisku. Sementara beberapa langkah di depanku, nampak Retno tengah bergumul dengan si perampok yang tadi menembakku.

Retno? Tunggu! Bukankah tadi dia dalam posisi terikat di batang pohon? Bagaimana bisa....

"GRRRRRR....!!!"

"ARRRGGHHH...!!!"

Kembali kudengar geraman dahsyat yang disusul dengan jerit kesakitan. Aku tercekat, saat menyaksikan beberapa langkah di depanku Retno menggeram sambil mendongak ke atas langit. Darah segar mengalir dari segumpal daging segar yang tergigit di mulutnya. Sementara perampok yang bergumul dengannya nampak berkelojotan meregang nyawa dengan leher terkoyak dan darah yang mengalir deras membasahi rerumputan.

"Met! Senapannya!" seruku pada Slamet yang masih berdiri mematung dengan kedua lutut bergetar.

"Ah, sial!" umpatku begitu menyadari bahwa Slamet sudah tak bisa diandalkan lagi. Aku mencoba bangkit, meski dengan tertatih karena peluru yang menembus betisku.

Tidak! Aku tak boleh kalah! Aku tak boleh mati konyol disini! Terhuyung aku melangkah ke depan, berlomba dengan Pardi yang juga berlari menuju ke arah senapan yang kini tergeletak diatas rerumputan itu.

"Arrggghh..!!! Sial!" aku kembali mengumpat sejadi jadinya, saat menyadari bahwa gerakanku kalah cepat dengan Pardi. Luka tembak di betis kiriku membuatku tak leluasa untuk bergerak.

"GRRRRRRR....!!!" kembali suara geraman dahsyat itu terdengar, disusul dengan tubuh Retno yang merangkak menghadang langkah Pardi. Langkah laki laki itupun tertahan. Wajahnya terlihat pucat pasi menatap ke arah Retno yang merangkak di depannya. Ini kesempatan bagus untukku. Dengan masih tertatih aku beringsut dan meraih senapan itu.

"Di! Lariii...!!!" teriak perampok yang satunya lagi, sambil berlari menerobos semak semak yang lumayan rapat. Tanpa menunggu diperintah untuk keduakalinya, Pardipun menyusul si perampok itu. Retno yang sudah kehilangan kendali, sepertinya tak mau membiarkan kedua perampok itu lolos begitu saja. Sambil meraung keras ia melompat dan mengejar mereka. Bukan berlari seperti layaknya manusia, tapi merangkak dengan kedua tangan dan kakinya, mirip seekor harimau yang mengejar mangsanya.

"Kyai Jambrong!" kudengar Slamet mendesis.

"Bodoh!" sentakku. "Cepat kejar! Jangan sampai Retno membunuh mereka berdua!"

"DOORRR...!!!" kutembakkan senapan ke udara, untuk memberi efek kejut kepada Slamet. Berhasil! Slamet tersentak dan tersadar. Pemuda itu segera menyambar parangku yang terjatuh, lalu berlari menyusul Retno menerobos semak belukar yang rimbun itu, meninggalkanku yang berjalan tertatih tatih menyusulnya.

"Djancuk!" kembali aku mengumpat. Rasa nyeri di betisku semakin menjadi jadi. Tapi aku tak mau menyerah. Jika benar yang merasuki Retno adalah Kyai Jambrong, maka ini adalah kesempatan emas bagiku untuk berinteraksi dengannya.

Sambil menahan rasa nyeri di betisku, kusibak semak belukar itu. Dan betapa terkejutnya aku, saat mendapati bahwa dibalik rumpun semak itu ternyata ada mulut goa yang gelap menganga.

"Met?!" seruku memanggil Slamet yang sepertinya telah masuk kedalam goa tersebut. Tak ada jawaban. Akupun memutuskan untuk memasuki goa yang gelap itu. Senapan masih kuacungkan ke depan dengan posisi siap tembak, sementara sebelah tanganku merogoh ponsel yang ada di saku celanaku. Kunyalakan senter di ponselku. Dan kembali aku dibuat terkejut saat menyaksikan isi dari goa tersebut.

Tulang belulang berserakan memenuhi lantai goa tersebut. Jelas itu tulang belulang manusia. Aku semakin yakin, bahwa goa ini adalah sarang Kyai Jambrong yang sedang kucari. Dan tumpukan tulang belulang di lantai goa itu menurut dugaanku pastilah mayat mayat yang selama ini telah dicuri oleh makhluk jadi jadian itu.

"Met?!" kembali kupanggil Slamet yang sekarang entah berada dimana. Suaraku menggema, menandakan bahwa dasar goa ini lumayan dalam.

"Ssstttt....!!! Disini Mas," kudengar Slamet menjawab dengan setengah berbisik. Aku lalu mengarahkan sorot senterku kearah asal suara itu. Nampak Slamet tengah berdiri bersandar di dinding goa dengan kaki gemetaran. Aku segera menghampirinya.

"Wedhus! Tempat macam apa ini, penuh dengan tengkorak manusia! Hati hati jalannya Mas, jangan sampai sampeyan menginjak tulang tulang itu," ujar Slamet mengingatkanku.

"Mana Retno Met?" tanyaku begitu aku sampai di tempat Slamet berdiri.

"Sepertinya didalam Mas. Kita susul saja, takutnya nanti kenapa kenapa," jawab Slamet.

Kamipun berjalan pelan pelan, semakin masuk kedalam goa yang gelap itu. Sorot senter di ponselku sesekali kuarahkan kekanan dan kekiri, berjaga jaga kalau saja perampok itu tiba tiba muncul dan menyerang kami.

Ruang di bagian dalam goa itu ternyata cukup lapang, meski dipenuhi dengan bebatuan karang yang mencuat tajam di bagian lantainya, membuat kami harus lebih hati hati lagi dalam melangkah. Banyak lorong lorong yang bercabang dibagian kiri dan kanan dinding goa. Mirip seperti labirin. Pantas saja orang orang bilang kalau sudah masuk ke sarang harimau jadi jadian ini sangat kecil kemungkinan untuk bisa keluar hidup hidup.

"Bikin tanda Met, biar kita nanti ndak tersesat dan bisa keluar lagi," bisikku pada Slamet yang berjalan di depanku.

"Tenang saja Mas, sejak tadi aku sudah bikin tanda kok di dinding goa dengan parangku ini," jawab Slamet, juga sambil berbisik.

"Banyak lorong Met, kira kira ke lorong yang mana ya Retno masuk?"

"Aku juga ndak tau Mas, ndak ada jejak sama sekali. Bisa..., eh, coba dengar baik baik Mas!" Slamet menelengkan kepalanya, mencoba menajamkan indera pendengarannya. Akupun segera melakukan hal yang sama. Benar saja! Samar samar kudengar suara menggeram yang diiringi suara jerit kesakitan dan teriakan teriakan bernada kemarahan.

"Dari arah sana Mas!" Slamet menunjuk ke arah lorong yang berada di sisi kiri kami.

"Kita kesana Met!" tegasku sambil bergehas melangkah menuju ke lorong itu. Rasa nyeri di betisku yang terasa semakin menggigit tak kuhiraukan lagi. Bagiku, keselamatan Retno lebih penting daripada harus meratapi rasa sakit yang kurasakan. Meski saat ini kondisi Retno sedang dalam kerasukan Kyai Jambrong, namun menghadapi dua orang laki laki yang merasa nyawanya sudah terancam sedikit banyak membuatku khawatir juga.

Semakin dalam kami memasuki lorong itu, maka suara suara itu juga semakin jelas terdengar. Samar samar dari arah depan juga kulihat seberkas cahaya yang meliuk liuk diantara bebatuan goa.

"Mas, lebih baik matikan saja senter sampeyan, biar mereka nggak menyadari kedatangan kita," bisik Slamet.

"Hmm, cerdas juga ternyata kamu Met," selorohku sambil mematikan senter dari ponselku, dan memasukkan kembali benda itu kedalam saku celanaku. Kami kemudian mengendap endap mendekati berkas cahaya itu. Dan benar saja, saat kami mengintip dari balik bebatuan goa, nampak didepan kami Retno sedang bergumul dengam salah satu perampok itu. Sedang di sudut lain, nampak Pardi tergeletak dengan tubuh penuh luka. Dan bias cahaya yang kami lihat barusan ternyata berasal dari dua buah obor yang tertancap di dinding goa. Sepertinya selama ini para perampok itu memanfaatkan goa ini sebagai tempat persembunyian mereka. Pantas saja polisi kesulitan melacak jejak mereka.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang Met?" tanyaku.

"Sepertinya Retno sendiri sudah bisa mengatasi orang orang jahat itu Mas. Biarkan sajalah, biarin mereka mampus di cabik cabik sama Retno," jawab Slamet sekenanya.

"Hush! Ndak boleh gitu Met. Biar bagaimanapun mereka juga manusia. Dan aku ndak suka kalau Retno menjadi seorang pembunuh seperti itu!"

"Hehe, iya deh. Gini aja Mas, sampeyan urus si Retno itu. Sampeyan bisa to ngeluarin makhluk yang merasuki Retno itu?"

"Aku nggak yakin Met. Tapi akan kucoba."

"Bagus kalau begitu. Sampeyan urus saja Retno. Soal si Pardi dan temannya itu, biar aku yang urus. Kebetulan tanganku juga sudah gatal, lama ndak ngamplengi orang."

"Baiklah kalau begitu. Kita...."

"Wah, pengecut. Mau main bokong dari belakang rupanya!" belum selesai aku bicara, Slamet sudah keluar dari tempat persembunyian kami dan menghadang Pardi yang telah kembali berdiri sambil memegang sebuah tulang yang lumayan besar. Sepertinya sebuah tulang paha manusia yang siap dihantamkan ke kepala Retno yang masih sibuk bergumul dengan si perampok.

"He Pardi, pengecut kamu ya, lawan perempuan saja kok mau menyerang dari belakang. Kalau memang kamu laki laki, ayo hadapi aku!" seru Slamet sambil mengacung acungkan goloknya.

"Kamu...! Dasar pengganggu!" Pardi yang nampak terkejut melihat kehadiran Slamet segera menyerangnya dengan membabi buta. Namun laki laki itu sepertinya memang bukanlah tandingan Slamet. Meski bertubuh kerrmpeng, kalau soal berantem Slamet memang jagonya.

Sementara Slamet sibuk meladeni Pardi, aku segera mendekati Retno yang tengah bergumul dengan si perampok. Tapi sepertinya aku sedikit terlambat. Perampok malang itu ternyata telah tergeletak diam dengan luka yang menganga di bagian leher. Semetara Retno yang menyadari kehadiranku, segera mengalihkan perhatiannya ke arahku.

"Cukup Retno, atau siapapun kamu yang telah merasuki Retno. Hentikan semua tindakan brutalmu itu!" seruku dengan suara yang sedikit bergetar. Tatapan mata Retno yang dipenuhi dengan keinginan untuk membunuh sedikit banyak membuatku gentar juga. Apalagi ditambah dengan kondisi gadis itu yang sudah sangat berantakan. Rambut panjang acak acakan, pakaian yang sudah terkoyak di beberapa bagian, dan sisa sisa darah yang masih membasahi area sekitar mulutnya, membuat penampilan gadis itu menjadi sangat menyeramkan.

"GRRRRRR...!" kembali suara geraman keluar dari mulut Retno, diiringi dengan getakan tubuhnya yang bersiap untuk menerkamku.

"Retno! Dengarkan aku! Aku hanya ingin...!!!"

"GRROOAAARRR...!!!" Tanpa menunggu aku menyelesaikan ucapanku, tubuh Retno melesat menerkamku. Aku mencoba berkelit untuk menghindar. Namun luka di betisku membuat gerakanku sedikit lamban, sehingga usahaku untuk menghindarpun sedikit terlambat. Tak ayal, tubuh Retno yang melesat cepat itu menghantam telak tubuhku, membuat kami jatuh bergulingan diatas hamparan tulang belulang yang berserakan. Pergumulan dahsyatpun terjadi.

Dengan buas Retno terus mencecar leherku dengan gigi giginya yang telah memerah oleh darah. Sementara aku hanya bisa bertahan, tanpa berani untuk balas menyerang. Sambil mempertahankan leherku dari gigitan gadis itu, sebelah tanganku meraba raba mencari jempol kaki gadis itu. Dan begitu aku mendapatkannya, segera kutekan jempol kaki itu sekuat tenaga.

"KELUAR KAU MAKHLUK LAKNAT!" teriakku lantang.

"GROAAAARRRR...!!!" Retno kembali menggeram dahsyat, tubuhnya mengejang sesaat, lalu terkulai lemas menindih tubuhku yang berada dibawahnya.

"Hah! Syukurlah!" aku mendesah lega. Usaha untuk mengeluarkan makhluk itu dari tubuh Retno yang kulakukan secara untung untungan itu ternyata berhasil.

"Met, bantu aku," seruku lagi sambil melirik Slamet yang sepertinya juga telah berhasil menumbangkan Pardi.

"Wah, enak yo sampeyan. Aku berantem mati matian sama Pardi, sampeyan malah enak enakan main peluk pelukan gitu," ujar Slamet sambil menghampiriku.

"Peluk pelukan gundulmu itu! Cepat angkat tubuh Retno dari atas tubuhku, aku sudah kehabisan tenaga ini. Luka di kakiku juga kayaknya makin parah!" sentakku kesal. Bisa bisanya anak itu bercanda di situasi yang seperti ini.

Masih sambil tertawa Slamet lalu mengangkat tubuh Retno yang telah pingsan dan menyandarkannya pada dinding goa, lalu berusaha menyadarkannya. Sementara aku berusaha bangun sambil menahan rasa nyeri yang semakin menggigit di betis kananku. Darah kembali mengucur dari bekas luka tembak itu.

"Gimana Met?" tanyaku sambil mendekat ke arah mereka berdua.

"Semaput Mas," jawab Slamet sambil menepuk nepuk kedua belah pipi Retno. "Mbak, sadar Mbak, bangun!"

Pelan pelan kulihat Retno menggeliat, lalu membuka matanya. Gadis itu menatap nanar kearah Slamet yang sedang berjongkok di hadapannya, lalu...

"Plaaakkkk...!!!" sebuah tamparan keras mendarat telak di wajah Slamet.

"Dasar Mesum! Apa yang kau lakukan heh?!" Retno buru buru membetulkan pakaiannya yang sudah compang camping itu. Ada robek besar di bagian dadanya, menampakkan sepasang bukit kembar yang menonjol keluar.

"Wedhus! Ditolongin bukannya terimakasih malah main gaplok aja!" sungut Slamet sambil menjauh dari gadis itu.

"As*!" gadis itu mengumpat sambil berusaha bangkit. "Apa yang telah kalian lakukan terhadapku hah?! Dasar kalian..., Hoeeekkk...!!!"

Gadis itu terhuyung, lalu memuntahkan seluruh isi perutnya. "Mulutku..., rasanya nggak enak banget! Apa yang...."

"Tenang dulu Ret," aku melepas jaket yang kukenakan dan kugunakan untuk menyelimuti gadis itu. "Kamu tadi kesurupan dan mengamuk! Coba lihat hasil dari perbuatanmu."

"Jadi...," gadis itu kembali muntah saat melihat si perampok yang telah terkapar tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan.

"Ya. Kamu sepertinya kesurupan Kyai Jambrong tadi."

"Jadi sekarang kita berada di dalam sarangnya?" tanya gadis itu lagi, sambil memperhatikan tulang belulang manusia yang berserakan di lantai goa.

"Sepertinya begitu," jawabku.

"Baguslah kalau begitu," Retno melangkah maju dan mengacak acak tulang belulang itu.

"Hei, apa yang kaulakukan?" Slamet yang sejak tadi diam berseru. "Lebih baik kita segera keluar dari goa ini. Perasaanku mulai tak enak."

"Tidak!" tukas Retno tanpa menoleh. "Aku nggak akan keluar dari goa ini sebelum menemukan jasad ayahku!"

"Dasar keras kepala! Kamu nggak ingat cerita orang orang, bahwa orang orang yang berhasil masik kesini nggak bisa keluar hidup hidup?" ujar Slamet kesal.

"Persetan dengan cerita orang! Wooyyyy...!!! Mbah Jambrong! Atau siapapun kamu, dimana kausembuyikan jasad ayahku hah?!" teriakan gadis itu menggema ke seluruh penjuru goa.

"Walah, gendheng tenan kowe ki Mbak! Lha kok malah teriak teriak nantangin gitu lho! Itu sama saja..."

"GRRRRRR...!!!" belum selesai Slamet bicara, sebuah geraman dahsyat terdengar menggetarkan dinding dinding goa.

"Gawat Mas! Yang punya tempat beneran keluar nih kayaknya!" ujar Slamet panik.

Aku hanya diam sambil menatap ke ujung lorong yang gelap itu, tempat darimana asal suara itu muncul. Semetara Retno masih berdiri di tengah tengah ruangan goa dengan sikap menantang.

"Bener bener edan bocah satu ini!" kembali Slamet menggerutu.

"Met, lihat," ujarku sambil menunjuk ke ujung lorong. Dari balik kegelapan muncul sesosok bayangan hitam besar yang mendekat ke arah kami. Sorot cahaya dari obor yang menyala di dinding goa lalu menerangi sosok itu. Seekor harimau loreng sebesar gajah menatap kami dengan kedua matanya yang menyala merah.

Makhluk itu mendekat dan mengendus endus tubuh Retno yang berdiri di hadapannya. Sadar bahaya mengancam, segera kutarik paksa tubuh gadis itu kebelakang, lalu aku berdiri di hadapannya, berusaha untuk melindunginya. Kini makhluk itu gantian mengendus endus wajahku. Dengus nafas makhluk itu jelas kurasakan menerpa wajahku, menebarkan bau harum seperti bau wangi minyak serimpi.

"GRRRRR...!!! Bau ini, aku mengenali aroma tubuhmu ini! Siapa kau sebenarnya wahai anak manusia?!"

Aku tercekat saat menyadari bahwa makhluk itu ternyata bisa berbicara layaknya manusia. Suaranya terdengar begitu dalam dan penuh wibawa.

"Katakan! Siapa kamu sebenarnya, dan apa tujuanmu datang kemari!" geram makhluk itu lagi.

"Mas!"

"Ndra!"

Dari arah belakang kudengar Slamet dan Retno mendesis pelan.

"Kalian diam! Biar aku yang mengurusnya," bisikku tanpa menoleh. Mataku tak lepas menatap wajah si harimau yang hanya berjarak beberapa jengkal dari wajahku.

"Aku mencari Kyai Jambrong!" sahutku mantap. Keberanianku mulai pulih karena aku tak merasakan adanya ancaman dari makhluk itu. Bahkan kini makhluk itu merendahkan tubuhnya, mendekam diatas keepat kakinya yang kokoh itu.

"Untuk apa kau mencariku?" geram makhluk itu.

"Aku hanya ingin tau, siap sebenarnya sampeyan ini, dan kenapa sampeyan selalu mencuri mayat mayat orang orang julung caplok!"

"Dasar manusia! Selalu saja mau ikut campur urusan orang lain!" makhluk itu mendengus kesal. "Bahkan kamu belum menjawab pertanyaanku bocah! Siapa kamu sebenarnya? Aroma tubuhmu itu, mengingatkanku pada seseorang dimasa lalu!"

"Aku cucu dari Mbah ****, buyut dari Mbah ****, canggah dari Mbah ****!"

"Pantas saja! Semenjak tadi aku merasa tak kuasa untuk menyakiti kalian! Ternyata kau masih keturunan dari sahabatku dimasa lalu. Jika bukan karena itu, mungkin sudah semenjak tadi aku memangsa kalian!"

"Sekarang, giliranmu untuk menjawab pertanyaanku!"

"Hahaha! Ternyata kamu sama seperti leluhurmu ya! Penuh rasa penasaran dan tak sabaran! Baiklah! Duduk dan dengarkan baik baik. Akan kuceritakan sedikit tentang diriku!"

**

"Jadi, karena itu sampai sekarang Kyai masih suka mencuri mayat dari orang orang julung caplok itu? Karena Kyai masih merasa berkewajiban untuk menjalankan tugas dari leluhurku?" selaku saat makhluk itu mengakhiri ceritanya.

"Ya! Karena memang hanya itu yang bisa aku lakukan, untuk mencegah keangkaramurkaan merajalela di muka bumi ini!"

"Maaf Kyai, bukannya aku bermaksud untuk menggurui. Tapi peristiwa itu terjadi sudah sangat lama sekali, mungkin sudah beratus ratus tahun yang lalu. Mereka yang terlibat dalam pertempuran itu juga pasti sudah musnah. Zaman sudah berganti Kyai, dan dunia sudah berubah. Jadi kurasa tak ada gunanya Kyai terus terusan melanjutkan tugas dari leluhurku itu. Yang ada, apa yang Kyai lakukan sekarang ini, mencuri mayat mayat orang julung caplok, justru malah menimbulkan ketidaktenteraman di wilayah ini. Warga menjadi resah dengan apa yang telah engkau lakukan itu Kyai."

"Siapa bilang pertempuran itu sudah berhenti?!" makhluk jadi jadian itu menggeram keras, seolah tak terima dengan ucapanku. "Kau anak ingusan jangan sok tau. Pertempuran itu masih berlangsung sampai sekarang, bahkan semakin dahsyat. Mereka memang sudah musnah dari alam kalian! Tapi peperangan mereka masih tetap berlanjut di alamku!"

"Ah, andaipun benar apa yang engkau katakan itu Kyai, tetap saja apa yang Kyai lakukan itu salah! Jika memang peperangan itu masih berlanjut di alammu, lalu kenapa engkau melakukan tugasmu itu di alam kami? Dunia kita sudah berbeda Kyai! Jangan campur adukkan antara peristiwa di alammu dengan kehidupan di alam kami. Kita punya dunia dan kehidupan sendiri sendiri. Ada batas batas yang tak boleh dilanggar antara alam wadak dan alam astral. Dengan Kyai mencampur adukkan antara kehidupan di alam tempat Kyai dan alam tempat kami, itu bisa menimbulkan ketidakseimbangan, yang mungkin bisa menghancurkan tatanan kehidupan di alam kita masing masing. Jadi aku mohon dengan sangat, demi leluhurku yang juga adalah sahabatmu, hentikan semua tindakanmu itu Kyai!"

Makhluk itu terdiam sesaat, sepertinya sedang mencoba mencerna semua kata kataku. Aku sendiri heran, kenapa tiba tiba aku bisa bicara sepanjang itu. Semua kata kata itu keluar begitu saja dari mulutku tanpa sempat aku pikirkan dulu.

"Anak muda, tak kusangka, kau mewarisi kebijaksanaan leluhurmu itu. Setelah aku pikir pikir, semua yang kau katakan itu ada benarnya juga. Tapi, kalau aku menghentikan tugas yang aku emban dari leluhurmu itu, lalu aku harus apa? Aku sudah tak punya siapa siapa lagi. Dan sudah tak ada lagi tempat untuk aku mengabdi. Bagaimana kalau aku ikut kamu saja bocah? Kurasa akan sangat cocok, karena kau sangat mirip dengan lelhurmu yang pernah jadi sahabatku itu."

"Tidak Kyai! Sudah kubilang, dunia kita sudah berbeda. Lebih baik engkau kembali saja ke alammu dan hidup tenang disana."

"Jadi kau tak mau menerima pengabdianku?"

"Tidak!" tegasku.

"Hmmm! Sayang sekali! Tapi aku juga tak bisa memaksa. Akan kuturuti permintaanmu, karena aku menghormatimu sebagai keturunan dari sahabatku. Aku akan kembali ke alamku dan tak akan ikut campur lagi urusan di dunia kalian. Tapi ingat! Aku akan tetap mengawasi dan menjagamu dari kejauhan, sebagai wujud baktiku pada sahabatku dimasa lalu. Aku pamit anak muda! Dan terimakasih atas semua nasehat yang telah kauberikan padaku. Kau telah menyadarkanku dari segala tindakan yang telah salah kulakukan selama ini." makhluk itu bangkit dan mengendus wajahku, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menjauh menuju kegelapan.

"Tunggu Kyai!" seruku tertahan, membuat langkah makhluk itu terhenti.

"Ada apa lagi? Apa kau berubah pikiran heh?!"

"Sama sekali tidak Kyai. Tapi sebelum Kyai pergi, sudikah Kyai mengembalikan jasad ayah temanku ini, yang telah kaucuri semalam?"

"Hmmm!!! Ada dibalik ceruk batu dibelakangmu itu! Masih utuh, belum aku apa apakan!"

"Terimakasih Kyai!"

Makhluk itu kembali berjalan menjauh, untuk kemudian menghilang dibalik kegelapan. Aku memandangi kepergiannya dengan perasaan lega. Terjawab sudah semua pertanyaan yang selama ini memenuhi benakku. Kyai Jambrong, tak kusangka kalau legenda yang telah berkembang secara turun temurun di daerah ini memiliki latar belakang yang sangat panjang. Dan lebih tak kusangka lagi ternyata semua itu masih ada hubungannya dengan leluhurku. Pantas saja saat pertama kali Mas Cipto menceritakan tentang legenda itu, aku merasakan ketertarikan yang sangat besar, seolah olah ada kekuatan yang mendorongku untuk menyelidiki legenda ini.

"Mas, sadar woy!" sebuah tepukan di pundakku, yang diasusul dengan suara seruan Slamet menyadarkanku dari lamunan.

"Sampeyan tuh kenapa? Dari tadi bengong begitu. Dipanggil panggil nggak nyahut, malah duduk sila kayak orang lagi bertapa gitu," seru Slamet lagi, membuatku terheran heran.

"Bengong? Apa maksudmu bengong Met?" tanyaku.

"Ya bengong, diem aja kayak patung! Sampai pegel aku nungguin sampeyan. Kukira sampeyan juga kesurupan kayak Retno tadi."

"Bengong ya? Jadi dari tadi aku cuma diem aja? Kalian nggak dengar aku ngomong atau apa gitu?"

"Wah, aneh tenan sampeyan ini. Lha wong jelas jelas sejak tadi cuma diem aja kok. Jangankan ngomong, wong dipanggil panggil juga ga mau nyahut. Sampeyan itu sebenarnya ngapain tadi?"

"Kau juga nggak lihat apa apa Met? Macan atau apa gitu?"

"Lha itu, tadi ada macan segedhe gajah datang nyamperin sampeyan. Terus ngendus endus sampeyan gitu, habis itu macannya pergi lagi nggak tau kemana."

"Cuma ngendus endus aja ya Met?"

"Iya. Untung sampeyan nggak sampai dibrakot! Macan segedhe gitu, sekali telan juga sampeyan tamat."

Ah, sepertinya apa yang disampaikan oleh Kyai Jambrong tadi hanya ditujukan kepadaku. Terbukti Slamet maupun Retno mengaku tak mendengar apa apa. Bahkan mereka mengaku hanya melihat sekilas penampakan makhluk itu.

"Ya sudahlah kalau begitu Met," ujarku sambil mencoba bangkit dari dudukku.

"Auw! Tolong bantu aku Met," baru aku sadar bahwa betisku terluka. Rasa nyeri kembali kurasakan saat aku mencoba berdiri tadi. Slamet segera membantuku untuk berdiri.

"Jadi, sepertinya semua sudah berakhir," ujarku sambil berjalan tertatih mendekati Retno yang berdiri bersandar pada dinding goa. "Sebaiknya kita pulang sekarang, sebelum orang orang desa mencari kita."

"Bagaimana dengan jasad ayahku? Kau sudah berjanji...."

"Oh, iya. Met, bisa kau panjat dan lihat apa yang ada dibalik ceruk batu itu?" aku menunjuk ke sebuah ceruk yang berada agak tinggi di dinding goa yang disadari oleh Retno.

"Memangnya ada apanya Mas?" tanya Slamet heran.

"Coba saja kau lihat dulu. Siapa tau ada sesuatu yang berharga disitu."

Meski sedikit bimbang, toh akhirnya Slamet melakukan juga apa yang telah kuperintahkan. Pelan pelan anak itu memanjat keatas, lalu melongok kedalam ceruk itu.

"Whuaaaaasssssuuu!!!" begitu melihat apa yang berada didalam ceruk itu, Slamet melompat turun sambil mengumpat keras. "Wedhus tenan sampeyan ini Mas! Ngerjain orang nggak kira kira!"

"Hahaha! Lha emangnya ada apa to?" tanyaku pura pura.

"Ada apa dhengkulmu itu! Pasti sampeyan sudah tau kalau ada pocongan disitu, mangkanya nyuruh aku naik!"

"Pocongan?!" Retno mengernyitkan keningnya.

"Jasad ayahmu Ret, ada didalam ceruk itu. Masih utuh." ujarku.

"Bapak?!" desis gadis itu dengan suara bergetar. Matanya nampak berkaca kaca. "Benarkah...!"

"Ya, sesuai janjiku, kini kita bisa membawa jasad ayahmu pulang, dan menguburkannya kembali dengan layak."

"Bapak..., Ndra....," tiba tiba gadis itu menghambur dan memelukku. Tangisnya pecah membasahi baju yang kukenakan. "Terimakasih! Terimakasih banyak Ndra! Aku tak menyangka...."

"Sssttt...!!! Sudah! Tak perlu berterimakasih. Dan tak perlu menangis! Harusnya kau bahagia karena telah menemukan jasad ayahmu kembali." bujukku. "Met, bisa tolong kauturunkan jenasah ayahnya Retno?"

"Nah kan, kalau bagian yang begini pasti aku yang kena! Giliran peluk pelukan saja...."

"Slamet!" hardikku.

"Iya iya, aku turunkan!" setengah menggerutu Slamet lalu kembali memanjat ke ceruk itu. Pelan pelan ia mengangkat jasad yang masih terbungkus kain kafan itu dan menaruhnya dipundak, lalu kembali merangkak turun.

"Hati hati Met, jangan sampai jatuh," ujarku memperingatkan.

"Iya! Ini juga hati hati Mas! Harusnya yang sudah terlanjur jatuh dalam pelukan sampeyan itu yang harus diperingatkan!" Slamet masih menggerutu.

Merasa tersindir, Retno lalu melepaskan pelukannya padaku dan mendekat ke arah Slamet. Tangisnya kembali pecah saat Slamet menurunkan jenazah itu di lantai goa. Dipeluknya jasad sang ayah tanpa memperdulikan bau tak sedap yang mulai tercium dari jenazah itu.

"Sudah Mbak! Ndak usah ditangisi! Nanti malah arwah bapak sampeyan ndak tenang dialam sana! Lebih baik cepat cepat saja kita bawa kembali ke desa, biar bisa kembali dimakamkan dengan layak," Slamet mencoba membujuk gadis itu.

"Sepertinya agak sulit untuk kita membawanya ke desa sendirian Met. Apalagi luka di kakiku ini sepertinya semakin parah. Bagaimana kalau kau kembali ke desa terlebih dahulu dan meminta bantuan. Biar aku dan Retno menunggu disini?" usulku.

"Kenapa harus repot repot turun ke desa sih Mas? Tinggal telepon saja kan gampang. Sampeyan masih nyimpen nomornya Mas Cipto kan?"

"Kalau ada sinyal, sudah dari tadi aku telepon Met!"

"Hadeecchhh...!!! Jadi harus aku lagi nih yang bersusah payah turun ke desa, terus nanti naik lagi bersama Warga? Bisa copot bemeran dhengkulku Mas!"

"Met! Kalau nolong orang tuh mbok yang ikhlas! Kalau kakiku ndak sakit gini, aku juga nggak bakalan nyuruh kamu kok!"

"Iya iya, aku ikhlas! Ya sudah kalau begitu tak turun dulu. Ingat, sampeyan sama Retno cuma berdua disini. Ndak usah macem macem. Ini tempat angker. Kesurupan lagi repot nanti jadinya. Sama itu tuh, si Pardi yang masih semaput sampeyan urus juga! Jangan sampai..."

"Slameeetttt....!!!" hampir bersamaan aku dan Retno menyentak pemuda itu, membuat Slamet nyengir lalu bergegas keluar dari dalam goa.

Sepeninggal Slamet, aku beringsut duduk bersandar pada dinding goa. Kubiarkan Retno yang masih meratapi jasad sang ayah. Begitu juga dengan tubuh Pardi yang masih tergolek pingsan di sudut goa. Kuhela nafas panjang, sekedar untuk menghilangkan rasa nyeri yang menyerang di hampir sertiap inci tubuhku. Apa yang baru saja kualami hari ini, benar benar sudah menguras tenaga dan emosiku. Namun aku bersyukur, akhirnya semua bisa berakhir. Tinggal menunggu Slamet kembali bersama warga desa untuk mengevakuasi kami. Soal Pardi, para perampok yang telah tewas, dan harta rampokan mereka, biar nanti aparat desa yang mengurusnya. Yang jelas, aku sudah menunaikan janjiku kepada Retno untuk menemukan jasad ayahnya, dan aku sendiri juga sudah mendapatkan apa yang kucari di goa ini. Kyai Jambrong, legenda dari Gunung Kidul, akan menjadi sebuah cerita yang tak akan pernah kukupakan seumur hidupku.

****

Hari hampir senja saat acara pemakaman kembali jasad ayah Retno selesai. Satu persatu warga mulai meninggalkan area pemakaman. Tinggal beberapa orang yang tersisa, yang tetap bersikeras untuk menjaga makam itu agar jangan sampai dibongkar kembali oleh makhluk bernama Kyai Jambrong itu. Tak ada niatku untuk mencegah mereka. Toh itu sudah menjadi semacam budaya di desa ini.

Kuhampiri Retno yang masih duduk di sisi makam sang ayah. Gadis itu sepertinya baru saja menyelesaikan doanya.

"Ret, aku pamit ya," ujarku sambil menepuk bahunya.

Gadis itu berdiri dan menatapku dengan mata berkaca kaca. "Kamu serius mau pulang sekarang Mas? Sudah sore lho ini, dan kaki sampeyan juga baru saja diobati, belum sembuh benar. Apa nggak sebaiknya nginep dulu barang semalam atau dua malam lagi?"

"Pengennya sih gitu, tapi sudah ads pekerjaan lain yang menunggu, jadi aku nggak bisa lama lama disini," jawabku.

"Mas," gadis itu memegang kedua tanganku. Dan baru sadar aku kalau dia sudah mulai memanggilku dengan panggilan Mas. "Terimakasih banyak ya. Sampeyan sudah banyak membantuku. Meski kita baru kenal, tapi..."

"Sudahlah Ret, tak usah terlalu kaupikirkan. Sudah menjadi kewajiban kan sebagai sesama manusia untuk saling membantu?"

"Mas, apakah kita masih akan bisa berjumpa lagi?"

"Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan."

"Berjanjilah Mas, nanti kamu akan berkunjung lagi ke desa ini."

"Iya, aku janji."

"Akan kuingat janjimu Mas. Dan jika tak kautepati, aku yang akan mencarimu ke Wonogiri!"

Ah, gadis ini, aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapannya itu.

"Ajak Slamet juga kalau kembali kesini Mas. Dia anak yang lucu, meski sedikit menyebalkan!"

"Iya. Ya sudah, aku pamit ya, keburu malam."

"Hati hati dijalan ya Mas."

Aku hanya mengangguk, lalu menghampiri Mas Cipto yang juga masih berada di area pemakaman itu. Aku harus berterimakasih banyak kepada laki laki itu, yang telah menuntunku sampai ke desa ini dan menemukan sesuatu yang sangat berharga untukku.

Satu persatu warga desa kusalami, lalu aku melangkah menuju ke motor tuaku yang kuparkir tak jauh dari area pemakaman itu.

"Kamu yang bawa ya Met," kulemparkan kunci motor kearah pemuda itu.

"Tuh kan, aku lagi! Kenapa selalu aku yang..."

"Atau kita tukeran kaki saja, biar aku bisa bawa motornya."

"Haha! Ndak Mas! Guyon lho! Ngono wae kok nesu! Yo wes, naik sini, kita berangkat, keburu kemaleman di jalan."

Pelan pelan Slamet menjalankan supra tuaku meninggalkan area pemakaman itu, diiringi lambaian tangan Retno, Mas Cipto, dan warga lain yang berada di pemakaman itu. Rasa haru masih menyelinap di hatiku, melihat keramahan mereka.

Ah, benar benar sebuah desa yang indah. Mungkinkah suatu saat aku bisa menginjakkan kaki lagi di desa ini? Semoga saja!
[TAMAT]

*****
Sebelumnya

close