Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEGENDA KYAI JAMBRONG GUNUNG KIDUL (Part 2)


JEJAKMISTERI - "BRAAKKK...!!! BRAAKKK...!!! BRAAKKK...!!!" suara gedoran pintu yang sangat keras mengejutkan kami. Aku, Slamet, dan Mas Cipto sejenak saling pandang.

"Cipto...! Keluar kau...!"

"Retno?!" Mas Cipto mendesis pelan. "Mau apalagi anak itu?"

"Biar saya saja yang menemuinya Mas, sampeyan tenangkan dulu anak sampeyan ini," aku mencoba berinisiatif.

"Tapi Mas..."

"Tenang" Slamet menyela. "Kalau soal menjinakkan macan betina kayak si Retno itu, serahkan saja pada temanku ini Mas."

"Slameettt...!!!" ucapan Slamet sukses membuatku melotot ke arahnya. "Saya yakin Retno kesini mau mencariku Mas, jadi biar aku saja yang menemuinya." akupun bergegas kembali ke ruang depan.

Sejenak aku menarik nafas panjang, sebelum tanganku memutar handle pintu dan menariknya hingga terbuka. Benar saja, gadis bernama Retno itu telah berdiri di depan pintu dengan mata berkilatnya yang menatapku tanpa berkedip.

"Kau...?! Kembalikan jasad ayahku!" dengan beringas gadis itu menerkamku. Kedua tangan mungilnya lagi lagi menarik kerah jaketku dengan kasar.

"Mbak, sabar dulu! Jangan asal menuduh begitu! Aku sama sekali tak tau apa apa soal..."

"Masih mau berkelit juga hah?! Kau orang asing yang tiba tiba datang bersamaan dengan hilangnya jasad ayahku! Kebetulan?! Mustahil! Pasti kau telah bersekongkol dengan makhluk siluman itu! Sekarang..."

"Hey, hey, kan sudah kubilang kalau aku tak tau apa apa!" nada suaraku sedikit meninggi mendengar tuduhannya yang semakin ngawur itu. "Sampeyan jangan asal nuduh Mbak! Aku kesini bukan untuk mencari masalah, apalagi sampai berniat untuk mencuri mayat bapakmu! Apa untungnya buatku?!"

"Kau...?!" gadis itu tercekat mendengar suaraku yang agak keras. Sejenak ia menatapku dengan mata berkilatnya, lalu tiba tiba membenamkan wajahnya di dadaku. "Ayahku..., ayahku, dia satu satunya keluarga yang kumiliki. Aku sudah sangat kehilangan saat dia meninggal tempo hari. Dan sekarang.., sekarang makhluk siluman itu tega mencuri jasad ayahku, tanpa ada seorangpun yang peduli! Aku..., aku...," tangis gadis itupun pecah. Air matanya membanjir membasahi jaket yang aku kenakan.

Kembali aku menghela nafas. Emosi sesaat yang tadi kurasakan kini berganti dengan rasa kasihan. Pelan kuusap ujung kepala gadis itu. "Sudah, jangan menangis. Tak enak kalau sampai didengar orang. Nanti dikira aku ngapa ngapain kamu lagi. Soal jasad ayahmu itu, biar nanti aku coba bantu untuk mencarinya."

Damn! Aku mengulang kesalahan yang selama ini sangat sering aku lakukan. Terlalu mudah mengucap janji, tanpa berpikir terlebih dahulu apakan aku sanggup menepatinya atau tidak. Gadis itu mengangkat wajahnya dan kembali menatapku. Kali ini dengan mata berbinar penuh harap.

"Sungguh? Kau mau membantuku?" ucapnya pelan.

"Akan kuusahakan," aku mengangguk.

"Ah, terimakasih," gadis itu melepaskan pelukannya, lalu menyeka air mata yang meleleh di pipinya. "Kupegang kata katamu itu."

Aku hanya garuk garuk kepala, baru sadar kalau aku mulai terjebak dengan janji yang tadi telah aku ucapkan.

"Kalau begitu aku pulang dulu. Kutunggu kabar baik darimu," gadis itu berbalik dan melangkah pergi.

"Tunggu," seruku menahan langkah gadis itu. Tidakkah kau ingin sedikit memperkenalkan dirimu padaku?"

"Kurasa kau sudah tau namaku," jawab gadis itu tanpa menoleh. Ia terus berjalan hingga sosoknya menghilang di kegelapan malam.

"Ehem..., ehem...," kudengar suara berdehem dari belakangku. Slamet yang ternyata telah berdiri di belakangku terlihat nyengir saat aku berbalik.

"Edan sampeyan Mas, baru beberapa jam disini sudah bisa main peluk cewek cantik gitu."

"Main peluk gundhulmu itu," dengusku kesal.

***

Pagi hari. Udara terasa sangat dingin di desa ini. Seteko kopi panas dan singkong rebus yang dihidangkan oleh istri Mas Cipto seolah tak mampu menghilangkan rasa dingin terasa menggigit sampai ke tulang.

Kami duduk di balai balai bambu yang ada di rumah Mas Cipto. Membicarakan peristiwa aneh yang terjadi semalam. Makam yang dibongkar, mayat yang hilang, serta harimau jadi jadian yang sepertinya masih berkeliaran di desa ini, yang kehadirannya sempat dilihat oleh Slamet dan Menur. Obrolan yang sangat menarik, yang sanggup menimbulkan berbagai spekulasi di dalam hatiku.

"Sepertinya hari ini bakalan rame Mas. Pak Kadus pasti tak akan tinggal diam. Semalam sempat kudengar kalau ia akan melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian," ujar Mas Cipto.

"Bagus itu Mas, jadi nanti bisa diselidiki sama polisi, apa benar yang membongkar makam itu macan jadi jadian," sahutku setelah menyalakan sebatang sigaretku.

"Ah, paling juga hasilnya sama seperti yang dulu dulu Mas. Setiap ada kejadian, polisi tak pernah berhasil mengungkap kasus ini. Ujung ujungnya, lagi lagi Mbah Jambrong yang menjadi kambing hitam," Kata Mas Cipto lagi pesimis. "Yang saya khawatirkan justru kehadiran ampeyan berdua ini, yang bersamaan dengan terjadinya peristiwa ini. Retno sudah jelas jelas menuduh sampeyan. Kalau polisi sampai tau, wah, bisa sulit posisi sampeyan."

"Haha, tenang saja Mas. Toh kita kan nggak melakukan apa apa. Polisi juga nggak akan gegabah nuduh orang tanpa bukti. Lagian kan kita punya alibi, semalaman kita berjaga sampai pagi, gara gara Menur yang ketakutan lihat macan," ujarku.

"Iya juga sih, tapi tetap saja ndak enak. Ditanya tanya sama polisi di depan warga begitu, pasti nanti ujung ujungnya jadi bahan gunjingan. Tau sendirilah sifat warga seperti apa."

"Biarin saja deh Mas. Justru menarik kok. Bisa jadi bumbu cerita yang akan saya tulis nanti."

"Haha, sampeyan ini memang paling bisa, soal sepelepun bisa dijadikan bahan cerita." Mas Cipto tertawa. Sementara Slamet yang sedang asyik main ponsel nampak tersenyum senyum sambil geleng geleng kepala.

"Kamu kenapa to Met, kok senyum senyum sendiri kaya orang gendheng gitu?" tegurku.

"Ini lho Mas, ada ada saja. Saudagar emas yang beberapa waktu yang lalu kerampokan itu, katanya mau bikin sayembara. Barang siapa yang bisa menangkap perampoknya, mau dikasih hadiah besar katanya," jawab Slamet sambil menunjukkan ponsel yang dipegangnya.

"Halah, paling cuma buat kontent aja tuh," aku mencibir setelah membaca sekilas berita itu. "Kayak nggak tau jaman sekarang seperti apa Met, apa apa dikit dijadiin kontent."

"Iya juga ya Mas. Kayak kita ini, jauh jauh kesini nyari macan jadi jadian kan juga demi kontent," Slamet tertawa.

"Ya bedalah, bukan buat kontent Met, tapi buat bahan tulisan," kilahku.

"Halah, sama saja itu Mas."

"Beda dong."

"Apa coba bedanya?"

"Ya pokoknya beda."

"Tuh kan, bilang beda tapi nggak tau apa bedanya."

"Asem kamu Met."

"Hahaha..." Mas Cipto tergelak mendengar perdebatan kami. Namun tawanya tiba tiba terhenti saat melihat seorang laki yang nampak terburu buru melintas di jalan depan rumah.

"Mau kemana Lik? Pagi pagi kok kayak terburu buru gitu?" tegur Mas Cipto pada orang itu.

"Mau kerumah Pak Kadus Cip," jawab orang itu singkat.

"Lho, ada apa to? Kok kayak penting banget gitu?" tanya Mas Cipto lagi.

"Mau laporan Cip. Kambingku ilang semalem."

"Ilang?! Ilang gimana maksudnya? Kemalingan apa gimana?"

"Kayaknya bukan maling deh Cip, tapi dimangsa binatang buas. Banyak darah berceceran di sekitar kandang. Ya sudah, aku jalan dulu Cip, takut Pak Kadusnya keburu pergi," orang itu bergegas melanjutkan langkahnya.

Aku dan Slamet saling pandang. Dimangsa binatang buas, kalimat itu langsung mengingatkan kami pada macan jadi jadian yang semalam meneror Menur.

"Kita lihat kesana Met," aku segera bangkit dari dudukku.

"Ayok Mas," Slamet ikut berdiri.

"Tapi Mas..."

"Tenang saja Mas, kami cuma mau lihat kok," aku menukas ucapan Mas Cipto. Laki laki itu hanya geleng geleng kepala sambil melihat kami pergi ke arah datatangnya si laki laki yang kehilangan kambing itu.

**

Kandang kambing yang berada di sisi rumah sederhana itu nampak ramai dikerumuni warga. Sama sepertiku, sepertinya mereka yang berkerumun itu juga merasa penasaran, setelah mendengar bahwa salah satu kambing milik Lik Marto hilang, dan ada ceceran darah di dalam kandang itu.

"Sudah jelas, ini pasti dimangsa binatang buas," celetuk salah seorang warga.

"Sepertinya bukan deh, kalau binatang buas pasti ada sisanya, paling tidak tulang belulang kambing itu nggak ikut dimakan," seru warga yang lain.

"Ya siapa tau aja, itu kambing cuma dibunuh di kandang ini, lalu bangkainya dibawa ke tempat lain untuk dimakan."

"Bisa jadi. Lihat tuh, ceceran darahnya mengarah ke hutan sana."

"Tapi aneh, nggak ada jejak sama sekali."

"Jangan jangan bukan binatang buas, tapi..."

"Tapi apa?"

"Mbah Jambrong," seorang warga berbisik sambil menggidigkan bahunya.

"Sssttttt..., jangan sebut sebut nama itu," bisik warga yang lain.

Sambil menguping pembicaraan warga, aku mengikuti jejak ceceran darah yang mengarah ke hutan itu. Memang benar kata warga, selain ceceran darah, tak ada jejak kaki ataupun tanda tanda lain yang bisa dijadikan petunjuk. Memang, kondisi tanah di sekitar tempat itu kering dan berbatu. Namun jika memang ini adalah ulah dari binatang buas, pasti sedikit banyak ada jejak yang tertinggal. Bangkai seekor kambing pasti lumayan besar, bahkan untuk seekor harimau sekalipun. Bagaimana cara seekor harimau membawa bangkai kambing yang lumayan besar itu?

Semakin jauh aku mengikuti jejak ceceran darah itu, maka semakin samar juga jejak yang kutemui, sampai akhirnya jejak itu benar benar menghilang di bibir hutan.

"Sepertinya beneran binatang buas Mas, kalau manusia, tak mungkin mengarah ke hutan begini," ujar Slamet yang sejak tadi membuntutiku.

"Menurutmu, bagaimana cara binatang itu membawa bangkai kambing yang besar itu Met?" tanyaku.

"Mungkin digigit dengan menggunakan moncongnya Mas, seperti induk kucing yang membawa anaknya," ujar Slamet sambil mengusap usap dagunya. Gayanya sudah mirip seorang detective kawakan.

"Seekor induk kambing sangatlah besar Met. Kalau dibawa dengan cara seperti itu, pasti ada bagian bagian dari tubuh bangkai kambing itu yang menjuntai dan terseret di tanah, dan itu berarti pasti ada bekas terseret di tanah. Ini nggak ada bekas sama sekali," gumamku.

"Jadi?" Slamet menatapku tanpa berkedip. "Jangan bilang kalau ini adalah ulah Mbah Jambrong seperti yang dikatakan tadi."

"Itu juga sepertinya mustahil," ujarku lagi. "Mustshil kalau Mbah Jambrong mau memangsa kambing, mengingat, untuk memangsa mayat saja dia masih pilih pilih, nggak mau sembarang mayat."

"Lalu?" Slamet semakin tajam menatapku.

"Dugaanku, ini ulah manusia Met."

"Manusia? Kenapa jejaknya mengarah ke hutan?"

"Untuk mengelabuhi kita. Ia memanfaatkan isu harimau jadi jadian itu. Dan, belum tentu juga dia masuk ke hutan. Lihat, jejak ceceran darah ini hanya sampai disini, di tepi hutan."

"Tapi kalau manusia Mas, kenapa kambingnya dibunuh di dalam kandang? Kan lebih bagus kalau dibawa dalam keadaan hidup. Bangkai kambing, mana laku kalau dijual."

"Kan sudah kubilang, si pelaku ini memanfaatkan isu harimau jadi jadian itu. Dengan membunuh si kambing di dalam kandang, dan mengarahkan jejak ceceran darahnya ke hutan, ia berharap warga mengira kalau ini adalah ulah dari binatang buas atau harimau jadi jadian. Lagipula, hidup ataupun mati, toh daging kambing tetaplah daging, masih bisa dijual atau dimakan."

"Hmmm, benar juga ya," Slamet tampak mengangguk angguk. "Lalu, kalau benar ini ulah manusia, kemana kira kira ia akan membawa bangkai kambing itu Mas?"

"Pertanyaan bagus. Kenapa tak kau tanyakan hal itu pada pemilik rumah itu?" aku menunjuk sebuah rumah yang berada tak jauh dari tempat kami berdiri. Sebuah rumah sederhana, yang letaknya agak terpisah dari rumah rumah penduduk desa yang lain.

"Edan! Sampeyan mencurigai pemilik rumah itu?" sentak Slamet.

"Bukan mencurigai, tapi siapa tau saja pemilik rumah itu semalam mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan," ujarku lagi, membantah tuduhan Slamet.

"Wah, iya juga ya," kembali Slamet mengangguk angguk. "Kalau begitu, ayo kita kesana Mas."

Bak dua orang detective amatir kamipun menghampiri rumah itu. Pintu rumah itu tertutup rapat. Namun samar samar aku melihat ada asap tipis mengepul dari bangunan kecil yang berada di samping rumah utama. Aku menduga, itu adalah ruangan dapur, karena rata rata rumah di desa memang memiliki bangunan dapur yang agak terpisah dengan bangunan rumah utama. Dan dari kepulan asap tipis itu aku bisa menduga, si empunya rumah pasti masih sibuk memasak di dapur. Rata rata warga di desa masih memasak dengan menggunakan tungku kayu bakar. Jadi wajar kalau ada kepulan asap. Yang tak wajar adalah, bersamaan dengan kepulan asap tipis itu juga tercium aroma daging panggang!

Kutahan tangan Slamet yang sudah bersiap untuk mengetuk pintu rumah utama, lalu dengan daguku aku memberi kode ke arah pintu dapur. Slamet mengangguk. Berdua kami lalu mengendap endap menuju ke arah pintu itu.

Nasib baik sepertinya berpihak kepada kami. Pintu ruangan dapur itu sedikit terbuka, menyisakan sedikit celah yang mungkin bisa kami gunakan untuk mengintip ke dalam. Tanpa ragu, Slamet lalu mendekatkan wajahnya ke celah pintu itu. Dan, ternyata nasib kami tak sebaik yang kami kira, karena bersamaan dengan wajah Slamet yang mendekat ke celah pintu, pintu itupun tiba tiba terbuka lebar, seolah disentakkan dari arah dalam.

"Kalian...?!"

"Kamu...?!"

Kami sama sama terperangah karena terkejut. Aku menatap wajah cantik dari si pemilik rumah. Sedang gadis yang baru saja membuka pintu itu, berdiri diam terpaku, dengan mata beningnya yang membeliak lebar ke arahku. Sebuah irus (sendok sayur yang terbuat dari batok kelapa) tergenggam di tangannya. Sedangkan Slamet, karena posisinya tadi sedang membungkuk untuk mengintip, praktis kini wajah anak itu tepat berada di depan perut si gadis, ah, lebih tepatnya sedikit dibawah perut si gadis. Untuk sepersekian detik kami hanya saling terdiam, hingga sang gadis menyadari posisi Slamet yang kurang menguntungkan itu.

"Manusia haram jadah! Jauhkan wajahmu dari tubuhku!"

"Bletak!" gadis itu refleks Cumiik. Refleks juga tangannya yang memegang irus terayun. Dan batok kelapa yang keras itu sukses mendarat di kepala Slamet.

"Huaduh!!!" tak ayal Slamet Cumiik sambil buru buru menegakkan tubuhnya. Nyaris saja aku tergelak, kalau saja tak menyadari bahwa mata si gadis yang tajam berkilat kilat kini beralih menatapku.

"Eh, Ret, maaf! Ini tak seperti yang kau kira. Kami kesini sebenarnya untuk ..."

"Untuk apa hah?! Untuk mengintipku?! Kalian ini ..., dari kemarin sepertinya selalu saja membawa masalah! Apa mau kalian sebenarnya hah?!" Retno, gadis pemilik rumah ini mendengkus keras.

"Tenang Ret! Sabar dulu, tahan dulu amarahmu. Kami kesini tak lain hanya untuk melanjutkan pembicaraan kita semalam. Emmm, maksudku, soal jasad ayahmu itu..."

"Masuklah!" meski masih bernada kesal, namun gadis itu akhirnya membukakan pintu juga untuk kami. Aku mengikuti langkah gadis itu masuk ke rumah utama. Slamet yang masih menggerutu panjang pendek sambil mengelus elus kepalanya juga ikut masuk.

"Jadi kamu tinggal sendiri di rumah ini?" gumamku sambil mengedarkan pandanganku ke setiap penjuru ruangan itu. Meski serba sederhana, namun rumah mungil ini tertata cukup bersih dan rapi. Hanya sayang, letaknya yang berada di pinggir hutan dan agak terpisah dengan rumah rumah warga yang lain membuat rumah ini terkesan agak horor.

"Ya, semenjak ayah meninggal, aku tinggal sendiri," gadis itu mempersilahkan kami duduk. "Mau kopi?"

Tanpa menunggu ditawari untuk kedua kalinya, Slamet mengiyakan tawaran itu.

"Sampeyan ndak takut apa Mbak, tinggal sendirian di tempat terpencil seperti ini?" tanya Slamet setelah gadis itu meletakkan dua cangkir kopi di hadapan kami.

"Aku lahir dan dibesarkan di rumah ini, jadi, kenapa mesti takut?" Retno ikut duduk di hadapan kami.

"Maksudku, di desa kan lagi ada desas desus soal..., emmm, soal..." Slamet tak melanjutkan pertanyaannya.

"Harimau jadi jadian?" ujar gadis itu menebak. "Kenapa harus takut? Toh makhluk itu hanya mengincar mayat, dan aku bukan mayat. Justru sekarang aku geram dengan makhluk itu, karena sudah berani mencuri mayat ayahku. Lihat saja nanti, kalau sampai ketemu, aku akan bikin perhitungan dengan makhluk itu!"

Sedikit merinding aku mendengar ucapan gadis itu. Sepertinya Retno memang tak mengenal rasa takut. Tinggal sendiri di tempat terpencil, lalu semalam keluyuran ke kuburan dan mendatangiku ke rumah Mas Cipto sendirian, dan sekarang malah mengancam makhluk siluman itu.

"Oh ya Ret, kamu sudah dengar belum kalau ssmalam juga ada warga yang kehilangan kambing?" ujarku mencoba mengalihkan perhatian.

"Siapa?" gadis itu balik bertanya.

"Salah seorang warga desa sini juga, itu yang rumahnya dekat warung," jelasku.

"Aku baru dengar tuh. Tapi wajar sih, mengingat sekarang lagi musim paceklik. Kemarau panjang, tak banyak ladang yang bisa digarap. Orang banyak yang tak memiliki penghasilan. Jadi jangan heran kalau ada orang yang sampai nekat mencuri kambing. Sudah sering kok ada kejadian seperti ini," ujar Retno.

Aku dan Slamet saling pandang. Kalau ditilik dari kata katanya, gadis itu sepertinya memang belum tau soal kambing yang hilang misterius itu.

"Apakah selama ini orang nyolong kambing selalu dibunuh di dalam kandang?" Slamet ikut bertanya.

"Maksudmu?" gadis itu menatap Slamet lekat lekat.

"Iya, kambing yang hilang itu sepertinya dibunuh di dalam kandang. Banyak darah berceceran disana, seperti serangan binatang buas," kata Slamet lagi.

"Astaga! Jangan jangan..."gadis itu tak melanjutkan kata katanya.

"Jangan jangan apa?" cecarku penasaran.

"Ah, enggak kok. Di perbukitan sana memang masih banyak binatang buas. Tapi selama ini tak pernah sampai turun ke desa, apalagi sampai menyerang ternak warga. Aku cuma takut kalau musim kemarau yang berkepanjangan ini membuat binatang binatang itu kehabisan jatah makanan dan mencari makan ke desa ini."

"Wah, ngeri juga ya kalau sampai begitu. Bisa..., eh, bau apa ini?" Slamet mengendus enduskan hidungnya. Aku dan Retno ikut ikutan mengendus, lalu...

"Ya Allah, masakanku...!!!" sontak Retno melompat bangkit dan berlari ke dapur. Aku dan Slamet kembali saling pandang.

"Bau daging gosong," bisik Slamet. "Apa kamu ndak curiga Mas, Retno itu, dia tinggal sendirian di tempat seperti ini, lalu kambing yang hilang dan bau daging gosong ini. Aku kok..."

"Ssstttt,," aku menahan tangan Slamet yang sudah bersiap untuk mengintip ke dapur. "Jangan celamitan Met. Jangan sampai ada irus yang mendarat di kepalamu lagi," ujarku.

"Tapi Mas..."

"Ini bau daging ayam Met, bukan bau daging kambing. Masa kamu nggak bisa ngebedain sih?"

Slamet kembali mengendus endus, lalu nyengir saat menyadari bahwa aroma yang kami hirup ini memang benar aroma daging ayam panggang. Ayam panggang yang telah gosong tepatnya.

Retno kembali dari dapur sambil menggerutu panjang pendek. Gagal sudah rencananya untuk makan ayam panggang kali ini.

"Bagaimana kalau kita makan diluar saja, sambil membicarakan soal rencana untuk mencari jasad ayahmu itu?" tawarku mencoba menebar umpan. Hasratku untuk menyelidiki goa goa yang kata Mas Cipto banyak bertebaran di bukit kapur sana sepertinya sudah tak terbendung lagi. Dan dengan dalih membantu Retno mencari jasad sang ayah, itu bisa memuluskan rencanaku. Siapa tau aku bernasib baik, bisa menemukan sarang dari Mbah Jambrong itu.

"Sampeyan serius mau membantuku mencari jasad ayah?" setengah ragu Retno bertanya.

"Kan semalam aku sudah berjanji."

Retno sepertinya sedikit ragu. Namun setelah kujelaskan niat dan tujuanku datang ke desa ini, akhirnya gadis itu mengangguk.

"Baiklah kalau begitu," ujarnya. "Ada penjual soto yang enak di ujung desa sana."

**

"Jadi, bagaimana?" tanyaku pada Retno. Saat itu kami sudah duduk menunggu pesanan datang di warung soto.

"Bagaimana?!" Retno menatapku dengan pandangan penuh tanya. "Bagaimana apanya?"

"Kau mengajakku makan disini, pasti ada maksud lain kan?" tanyaku lagi.

"Aku?!" lagi lagi Retno menatapku dengan penuh rasa heran. "Bukankah kau yang tadi mengajakku makan diluar?"

"Memang," aku meneguk es teh manis yang baru saja dihidangkan oleh si pemilik warung. Seorang laki laki setengah baya yang cukup ramah. "Tapi aku hanya sekedar mengajak. Kau yang merekomendasikan untuk makan di warung ini. Tentu bukan hanya karena rasa soto disini yang lumayan enak kan?"

"Cih," gadis itu mendecih. "Dari awal aku sudah menduga kalau kau ini adalah orang yang aneh. Tapi aku tak menyangka kalau kau juga bisa membaca pikiran orang."

"Ah, aku tak sehebat itu," ujarku. "Bukan pikiranmu yang aku baca, tapi raut wajahmu."

"Raut wajahku?!"

"Ya. Saat awal aku menyatakan maksudku untuk membantu mencari jasad ayahmu, kau nampak keberatan. Tapi begitu aku menceritakan maksud dan tujuanku datang ke desa ini, raut wajahmu berubah drastis, lalu beberapa detik kemudian kau berubah pikiran. Dan, begitu aku mengajakmu makan diluar, kau langsung merekomendasikan warung soto ini, padahal ada warung ayam bakar yang lebih dekat dengan rumahmu. Menilik bahwa sebelumnya kau memanggang ayam di rumahmu tadi pagi, aku yakin kau lebih suka ayam panggang daripada soto ayam. Jadi ...."

"Jadi kau bisa menebak apa yang kupikirkan dengan hanya mengamati wajahku?"

"Tepat sekali."

"Kukira kau berpikir mesum saat tadi aku beberapa kali menyadari bahwa kau sering menatap wajahku."

"Sejahat itukah penilaianmu terhadapku?"

"Bagaimana tidak, kau datang ke rumahkupun bukan dengan cara baik baik, tapi mengendap endap seperti maling."

"Haha, maaf soal yang itu," sengaja aku tertawa untuk mencairkan suasana. "Jadi, apa yang sebenarnya ingin kausampaikan padaku?"

"Bukan aku, tapi bapak itu," Retno mengerling ke arah bapak pemilik warung.

"Bapak itu?"

"Mbah Mangun, dia satu satunya orang yang pernah datang ke sarang Kyai Jambrong dan kembali dengan selamat. Dan bukan hanya itu, beliau juga bisa membawa pulang kembali jasad istrinya yang dicuri oleh Kyai Jambrong, meski hanya tinggal tulang belulangnya saja!"

"Jadi namanya Mbah Mangun ya?" secercah harapan mulai muncul di benakku. "Kalau tidak salah semalam Mas Cipto sempat menyebutkan nama itu."

"Sudah kuduga! Pasti Cipto bilang begitu agar kau tak nekat naik ke bukit itu. Atau malah takut kalau kau memintanya untuk mengantar kesana?" Retno tertawa kecil.

"Ya intinya, Mas Cipto bilang, kalau cuma sekedar mencari info soal Mbah Jambrong, cukup dengan mewawancarai Mbah Mangun saja, tak perlu harus repot repot naik ke bukit. Tapi..."

"Orang sepertimu pasti semakin dilarang akan semakin penasaran. Karena itu kau lalu memutuskan untuk menemuiku, dan bermaksud untuk diam diam naik ke bukit tanpa sepengetahuan Mas Cipto."

"Ah, kini aku yang mengira kalau kau yang bisa membaca jalan pikiranku."

"Hahaha...!" Retno tergelak mendengar ucapanku itu. Lalu dengan setengah berteriak ia memanggil Mbah Mangun.

"Iya, sebentar yo Ndhuk, ini sebentar lagi siap lho pesananmu," sahut laki laki tua itu sambil sibuk meracik tiga mangkok soto pesanan kami.

"Mbah ndak lagi sibuk kan?" tanya Retno lagi, begitu si Mbah Mangun ini menghidangkan pesanan kami diatas meja.

"Lha kamu lihat sendiri to, cuma kalian yang yang datang. Kalau pagi begini memang warungku masih sepi Ndhuk," jawab laki laki itu ramah. Senyumnya melebar saat bersitatap denganku, menampakkan giginya yang tinggal dua biji.

"Kebetulan kalau begitu Mbah," ujar Retno lagi, sambil mengaduk aduk soto dalam mangkoknya. Aroma kuah soto yang gurih menggugah selera makanku. "Ini lho, teman saya ini mau sedikit ngobrol ngobrol sama simbah."

"Oh, boleh," Mbah Mangun lalu duduk di hadapan kami, bersebelahan dengan Slamet yang mulai sibuk menikmati makan paginya. "Kalau ndak salah sampeyan tamunya Cipto yang semalam ikut ke kuburan kan?"

"Nggih Mbah," sahutku sopan, sambil memperkenalkan diri. "Jadi gini Mbah, saya cuma mau dengar soal cerita tentang Mbah Jambrong yang sangat terkenal itu, kata Mas Cipto, sampeyan yang tau banyak soal legenda itu di desa ini."

Mendengar ucapanku yang to the point, raut wajah laki laki tua itu seketika berubah. Tak terlihat lagi gurat keramahan yang semenjak tadi ia suguhkan. Hanya mata tuanya yang menatapku dengan tajam, lalu disambung dengan helaan nafas panjang.

"Kyai Jambrong," Mbah Mangun menggumam pelan, nyaris tak terdengar oleh indera pendengaranku. "Untuk apa sampeyan menanyakan soal makhluk jadi jadian itu?"

"Hanya sekedar ingin tau Mbah, karena cerita soal legenda itu sudah menyebar sampai ke desaku sana. Jadi mumpung sekalian main kesini, saya ingin mendengar langsung dari orang yang pernah berhadapan dengan makhluk itu."

Lagi lagi laki laki tua itu menghela nafas, sebelum akhirnya ia menceritakan secara singkat bagaimana dulu ia sampai bisa menemukan tulang belulang istrinya yang dicuri oleh harimau jadi jadian itu. Secara tak sengaja ia terperosok dan jatuh kedalam sebuah goa, yang mana goa itu dipenuhi oleh tulang belulang manusia yang berserakan. Merasa yakin kalau itu adalah sarang dari Mbah Jambrong, Mbah Mangun lalu mengamati tulang belulang itu satu persatu, sampai akhirnya menemukan seonggok tulang belulang yang masih terbungkus kain kafan yang sudah terkoyak koyak. Entah bagaimana caranya, Mbah Mangun yang meyakini bahwa itu adalah tulang belulang almarhum istrinya, segera membungkus dan membawa pulang tulang belulang itu.

"Kejadiannya sudah lama sekali Le, tapi sampai sekarang aku masih ingat dengan jelas peristiwa itu. Beberapa hari setelah itu, aku sempat diteror, setiap malam, rumahku didatangi oleh sesosok harimau sebesar induk sapi yang berjalan mengelilingi rumahku, sampai sampai aku harus meminta bantuan dari orang pintar untuk mengatasi teror itu," ujar Mbah Mangun mengakhiri ceritanya.

"Sampeyan masih ingat lokasi goanya itu disebelah mana Mbah?" Slamet yang sejak tadi hanya diam, kini ikut bertanya.

Mbah Mangun menggeleng. "Aku menemukan goa itu secara tak sengaja, dan percaya atau tidak, saat aku berhasil keluar gari goa itu, ternyata aku sudah berada di tepi hutan yang berbatasan dengan desa ini."

"Aneh," gumamku tanpa sadar.

"Memang aneh Le, namanya juga makhluk siluman. Dan kalau sampeyan punya niat untuk mencari goa itu, lebih baik urungkan saja niat sampeyan. Sampeyan pasti sudah tau to, dar beberapa orang yang pernah nekat mencari goa itu, hanya aku satu satunya yang bisa kembali dalam keadaan hidup!" tegas kalimat terakhir yang diucapkan oleh Mbah Mangun itu, seolah tak ingin dibantah lagi. Tapi tekadku sudah bulat. Selain ingin mendapatkan dokumentasi dari goa yang dipercaya sebagai sarang harimau jadi jadian itu, aku juga sudah berjanji untuk membantu Retno mencari jasad bapaknya. Dan janji seorang laki laki sejati, harus ditepati.

***

"Bagaimana?" tanya Retno saat kami berjalan pulang dari warung soto Mbah Mangun.

"Bagaimana apanya?" aku balik bertanya.

"Setelah mendengar cerita dari Mbah Mangun tadi, apakah kamu masih berniat untuk naik ke bukit sana?"

"Aku bukan anak kecil yang bisa ditakut takuti dengan dongeng seperti itu."

"Dongeng katamu?!" Retno mendelik ke arahku. "Kamu nggak tau seperti apa teror yang dialami oleh Mbah Mangun waktu itu. Laki laki tua itu nyaris kehilangan kewarasannya akibat teror dari harimau jadi jadian itu."

"Jangan samakan aku dengan Mbah Mangun Ret," untuk pertama kalinya sejak bertemu, aku memanggil gadis itu dengan namanya. "Lagipula aku sudah berjanji kan?"

"Ah, kita baru saja kenal," Retno mendesah. "Dan aku tak menganggap serius janjimu itu. Ya meski aku sempat berharap banyak padamu, tapi..."

"Sssttttt...!" aku menahan langkahku, sekaligus menahan tangan Retno dan Slamet yang berjalan di sebalahku.

"Ada apa Mas?" bisik Slamet pelan.

"Diam! Merunduk dan lihat ke arah semak semak di dalam hutan sana," bisikku sambil memberi isyarat untuk bersembunyi. Bertiga, dari balik semak semak kami menatap lurus ke arah tengah hutan, dimana nampak beberapa perdu semak semak yang bergoyang goyang. Lalu tak lama, rumpun semak itu tersibak, menampakkan sesosok tubuh laki laki yang mengendap endap sambil celingak celinguk, seolah olah sedang memperhatikan suasana di sekelilingnya.

"Lho, itu kan...,"

**

"Pardi?!" Retno mendesis pelan, saat sosok laki laki kerempeng bertelanjang dada itu menampakkan wujudnya dari balik semak semak.

"Kau kenal dia?" bisikku.

"Ya. Dia salah satu pemuda desa ini. Pemuda begajulan yang sering menggangguku," jawab Retno, juga dengan berbisik. "Tapi ngapain dia pagi pagi begini dari hutan? Aneh!"

"Apanya yang aneh?" Slamet ikut bertanya.

"Ya aneh saja. Biasanya orang masuk ke hutan paling buat nyari kayu bakar atau rumput pakan ternak. Tapi dia, tak bawa apa apa selain parang yang ditentengnya itu. Lagipula, dia preman pemalas, mana mau bantuin emaknya cari kayu bakar atau rumput pakan ternak."

"Eh, lihat! Sepertinya dia menuju ke rumahmu Ret!" seru Slamet.

"Kurang ajar!" Retno menggeram. "Pasti mau macem macem lagi. Ini tak boleh dibiarkan!" Gadis itu bergegas keluar dari tempat kami bersembunyi, lalu dengan langkah lebar mengikuti laki laki itu.

"Kita ikuti Met," ujarku sambil mengikuti langkah gadis itu.

"Ayo Mas, bakalan seru nih kayaknya," sahut Slamet penuh semangat.

Dari kejauhan kulihat pemuda bernama Pardi itu sudah sampai di rumah Retno. Sejenak ia nampak celingak celinguk, lalu mengintip ke dalam rumah melalui kaca jendela.

"Brengsek!" Retno yang berjalan beberapa langkah di depanku nampak geram. Gadis itu semakin mempercepat langkahnya, setelah terlebih dahulu menyambar sepotong dahan kering yang tergeletak di tepi jalan.

"Hei! Ngapain kamu ngintip ngintip di rumahku hah?" teriak Retno begitu sampai di halaman rumahnya.

Pemuda itu nampak terkejut dan menoleh, lalu menyeringai lebar ke arah Retno. "Eh, ayang Retno. Kebetulan, aku sedang mencarimu."

"Ayang ayang gundhulmu meletus itu! Ngapain kamu ngintip ngintip di rumahku?! Mau mencuri ya?!" bentak Retno lagi.

"Hehehe, kok tau sih. Iya, aku kesini mau mencuri hatimu yank," goda pemuda itu sambil terkekeh.

"Wedhus!" sungut Retno kesal. Diacungkannya dahan kering yang semenjak tadi ia pegang "Pergi sana, atau kuhajar wajah konyolmu itu dengan kayu ini!"

"Dih, galaknya," pemuda itu kembali tertawa. Tawa yang dibuat buat, membuatku yang ikut mendengarnya jadi merasa mual. "Jangan marah marah gitu apa, nanti cepet tua lho!"

"Asem!" Retno semakin geram mendengar ucapan pemuda yang ngawur itu.

"Sabar ayank," kata pemuda itu lagi, sambil merogoh saku celana komprangnya dan mengeluluarkan sesuatu dari dalam kantong itu. "Aku kesini cuma mau ngasih ini buat kamu,"

"Apa itu?" dahi Retno mengkerut.

"Lihat, cincin emas. Hadiah dariku untukmu sayang, sebagai bukti rasa cintaku padamu," ujar Pardi sambil memperlihatkan sebentuk cincin yang berukuran lumayan besar di tangannya.

"Cih! Sudi amat aku menerima cincin dari kamu!" Retno mendecih. "Darimana kamu dapat cincin itu hah? Dapat nyolong ya?!"

"Duh, kejam nian tuduhanmu padaku sayang. Apakah tampangku ini mirip seorang maling?"

"Huh! Baru nyadar ya, kalau tampangmu memang seperti maling. Lagipula pengangguran sepertimu mana bisa beli cincin emas sebesar itu? Atau jangan jangan itu cuma cincin imitasi?"

"Ya enggak dong Yank, masa aku tega sih ngasih kamu cincin imitasi. Ini beneran emas lho, dan kudapat dengan susah payah, memeras keringat dan banting tulang demi untuk bisa membahagiakan kamu. Jadi terimalah...."

"Nggak! Aku nggak mau! Sekarang pergilah Di, atau..."

"Atau apa?!" nada suara Pardi sedikit berubah, juga sorot matanya. Pemuda itu maju mendekat ke arah Retno. Parang yang dipegangnya di tangan kiri nampak berkilat kilat ditimpa sinar matahari pagi.

"Dasar sinting!" Sungut Retno. Gadis itu berbalik dan bermaksud untuk masuk ke dalam rumah. Namun dengan sigap Pardi menyambar lengan gadis itu.

"Aku belum selesai bicara Ret," tajam ucapan Pardi terdengar.

"Lepaskan! Jangan berani kurang ajar padaku Di!"

"Kurang ajar? Justru kau yang tak pernah menghargaiku Ret. Sekian lama aku....!

"PLAAAKKKK....!!!" tiba tiba tangan Retno terayun dan mendarat tepat di wajah Pardi.

"Kau...?! Beraninya....!!!" Pardi yang merasa terhina menarik tangan Retno dengan kasar, membuat tubuh gadis itu limbung dan jatuh dalam pelukan Pardi.

"Kyaaaaa....!!!"

"Cukup! Hentikan Pardi!" melihat gelagat yang kurang baik itu, mau tak mau aku terpaksa ikut campur.

Pemuda itu mendelik ke arahku. Pegangan tangannya Pada lengan Retno terlepas. Gadis itu segera berlari masuk ke dalam rumah, lalu kembali keluar dengan sebuah senapan berburu yang diarshkan tepat ke kepala Pardi.

"Baj*ng*n kau Pardi! Berani kau menyentuhku dengan tangan kotormu itu! Dooorrr...!!!" dan senapan yang biasa digunakan untuk memburu babi hutan itupun menyalak.

Nyaris saja! Anda sepersekian detik sebelum senapan itu menyalak Pardi tak menjatuhkan diri, mungkin kepala pemuda itu sudah benar benar meledak.

"Krataakkkk...!!!" Retno kembali mengokang senjatanya. Pardi yang merasa terancam segera melompat bangkit dan lari terbirit birit kembali masuk ke dalam hutan. Bahkan pemuda itu tak sempat membawa parangnya yang terjatuh.

"Pengecuuuutttt...!!!" teriak Retno Lantang. Aku dan Slamet hanya terpaku sesaat, sama sekali tak menyangka kalau Retno bisa segarang itu. Nyaris saja gadis cantk itu membunuh seorang manusia.

"Edan!" suara Slamet terdengar bergetar dibelakangku. Sementara Retno, seolah tak memperdulikan kehadiran kami gadis itu bergegas kembali masuk ke dalam rumah dan membanting pintu dengan keras.

"Sepertinya kita diusir Met," gumamku sambil memungut parang milik Pardi yang tergeletak di atas tanah. Sejenak kuamati parang itu. Bahkan aku sampai mengendus bilah dan gagang parang itu.

"Hmmm, sudah kuduga. Jadi seperti itu rupanya," tanpa sadar senyumku tersungging, saat aku mendapati sesuatu yang kucurigai dari parang itu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya

close