Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

LEGENDA KYAI JAMBRONG GUNUNG KIDUL (Part 1)


JEJAKMISTERI - Dinginnya udara malam tak menyurutkan tekadku untuk terus memacu Supra tuaku ke arah barat. Sebuah PM yang dikirim oleh salah seseorang yang juga reader setia dari cerita cerita yang telah aku tulis, benar benar telah menggelitik rasa penasaranku.

"Gan, setelah ane baca cerita ente yang terbaru ini, kok ane jadi inget sebuah legenda di daerah ane. Kayaknya seru kalau ente jadiin sebuah cerita." demikian kira kira PM yang ane terima beberapa hari yang lalu itu.

Awalnya ane sempat ragu, apalagi Mas Cipto, sebut saja demikian nama dari si pengirim PM tersebut, mengatakan soal legenda di daerahnya, yang mengisahkan tentang harimau jadi jadian yang sering membongkar makam dan mencuri mayat yang dikubur di dalamnya.

"Sepertinya dulu ane udah pernah menulis cerita dengan tema seperti itu deh Gan," begitu aku membalas PM tersebut.

"Iya, ane juga udah baca cerita yang itu Gan, tapi yang ini lain. Kasusnya bukan soal orang yang meninggal di hari Selasa Kliwon, tapi menyangkut soal bocah julung caplok dan julung kembang seperti yang ada di thread terbaru agan."

Mas Cipto lalu menceritakan detail dari legenda tersebut. Dan penjelasan dari beliau sukses membangkitkan rasa penasaranku, hingga malam ini, dengan tekad bulat aku memberanikan diri untuk menerabas jalanan Wonogiri-Gunung Kidul dengan motor tuaku.

Jarak dari Wonogiri ke daerah pesisir selatan Jogja itu memang lumayan jauh. Tapi untuk orang yang gemar berpetualang sepertiku, apalah artinya sebuah jarak, jika dibandingkan dengan kepuasan yang akan aku dapatkan nantinya.

Sebagai seorang penulis, meski masih amatiran, terkadang aku memang menyempatkan diri untuk mendatangi lokasi yang akan aku jadiakan latar dalam ceritaku. Sekedar untuk mendapatkan info yang lebih detail lagi, agar hasil tulisanku nanti bisa lebih menarik untuk dibaca. Mungkin terdengar terlalu berlebihan, tapi begitulah adanya. Dan karena itu juga, malam ini aku akhirnya berhasil menginjakkan kaki di daerah Semanu, sebuah kota kecamatan di wilayah selatan Jogja ini.

"Masih jauh po Mas?" Slamet setengah berteriak dari boncengan motorku, untuk mengimbangi suara deru mesin motor tuaku itu.

"Enggak Met, paling juga sebentar lagi nyampai. Tapi kita cari warung dulu Met, kita ngopi ngopi dulu sambil istirahat sebentar," jawabku tak kalah keras.

"Weh, cocok Mas! Aku juga sudah lapar nih," ujar Slamet lagi.

Aku hanya tersenyum mendengar celotehnya. Entah mengapa, tadi aku mengijinkan begitu saja saat Slamet bilang mau ikut. Padahal awalnya aku ingin berangkat sendiri. Ada untungnya juga ternyata. Sepanjang perjalanan aku jadi punya teman ngobrol.

Kebetulan, tak lama setelah itu kami menemukan sebuah warung angkringan di pinggir jalan. Segera aku menepikan motorku dan mengajak Slamet untuk singgah di warung tersebut. Secangkir wedang jahe dan beberapa potong ketan bakar cukup untuk membayar rasa lelahku, setelah berkendara hampir tiga jam lamanya.

Sempat kulirik arloji di pergelangan tanganku, sebelum mengirim chat ke nomor Mas Cipto. Hampir jam sembilan. Ada sedikit keraguan dalam hatiku. bertamu ke daerah orang di jam jam segini, rasanya kurang begitu pantas. Tapi balasan chat dari Mas Cipto segera menghapus keraguanku.

"Ndak papa Mas. Lanjut aja. Sudah deket kok kalau sampeyan sekarang sudah sampai di Semanu. Apa perlu saya jemput?" demikian balasan chat dari Mas Cipto.

Kubalas chat itu dengan kata tidak. Tinggal beberapa kilometer lagi ini. Lagian, nggak enak juga rasanya kalau harus merepotkan si tuan rumah.

"Coba tadi kita berangkat agak siangan Mas, pasti sampai sini nggak sampai kemaleman gini," seolah tahu apa yang sedang kupikirkan, Slamet berkata dengan mulut penuh dengan nasi.

"Lha kamu kan tau sendiri Met, kalau siang aku harus kerja," sahutku sambil menahan geli, melihat Slamet yang begitu rakus mengunyah nasi kucing yang entah sudah bungkus keberapa yang ia buka.

"Memangnya ada perlu apa to Mas, sampe sampeyan bela belain malem malem kesini?" tanya Slamet lagi, sambil mencuci tangannya di dalam mangkok yang berisi air kobokan.

"Adalah," sahutku sambil menyalakan sebatang rokok. "Nanti kamu juga bakalan tau."

"Jangan bilang kalau sampeyan mau ngejar ngejar dhemit lagi ya," Slamet terkekeh setelah ikut menyalakan sebatang rokok yang ia comot dari bungkusan rokok kretekku. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. Memang, sudah beberapa kali anak ini ikut aku mendatangi tempat tempat angker untuk mengadakan survey demi mendapatkan ide untuk cerita cerita hororku. Dan beberapa kali juga kami pernah mengalami kejadian kejadian tak mengenakkan yang berhubungan dengan hal hal yang berbau mistis. Namun sepertinya anak itu tak pernah kapok juga. Terbukti malam ini ia masih setia menemaniku.

Setelah membayar semua makanan dan minuman yang kami pesan, kamipun melanjutkan perjalanan. Aku sempat menanyakan jalan yang menuju ke arah desa Mas Cipto kepada si pemilik warung, meski aku telah mengetahuinya dari aplikasi peta digital yang ada di ponselku. Sekedar untuk memastikan, daripada nanti salah arah. Dan ternyata benar, kata si pemilik warung desa M itu sudah tak jauh lagi.

"Sampeyan lurus saja Mas, nanti setelah ketemu tanjakan ada pertigaan, sampeyan belok kiri. Disitu sudah masuk wilayah desa M," ramah si pemilik warung itu menerangkan.

"Matursuwun Pakdhe," ujarku sopan, lalu segera menyalakan mesin motor tuaku.

"Wuedan! Desanya sepi banget ya Mas, sama kayak di kampung kita," ujar Slamet disela deru suara motor. Slamet memang dikenal sebagai anak yang 'rame'. Selalu ada saja yang bisa ia jadikan bahan obrolan. Itulah kenapa aku sering mengajaknya kalau sedang bepergian jauh. Jadi ada teman ngobrol di sepanjang perjalanan.

"Namanya juga Desa Met, kalau rame namanya pasar" jawabku asal, sambil berkonsentrasi mengendalikan stang motorku. Jalanan yang mulai tak rata dan banyak lubang lubang menganga membuatku harus ekstra hati hati. Apalagi lampu sepeda motorku sudah tak begitu terang lagi.

"Hehehe, iya juga ya," Slamet terkekeh. "Kukira Jogja itu kota besar yang selalu rame Mas."

"Jogja kan luas Met. Kalau di daerah kotanya sana ya rame. Ini kan sudah di daerah lereng gunung. Kamu ndak lihat apa, itu di kanan kiri jalan banyak tebing tebing begitu."

"Iya e Mas. Sampeyan hati hati bawa motornya Mas, jangan sampai nyungsep ke jurang kayak pas kita ke Ponorogo dulu lho."

"Halah! Crigis! Sudah malem ini, jangan ngomong yang enggak enggak," tegurku sedikit keras.

Memasuki jalanan desa, aku lebih banyak diam, meski Slamet masih tetap saja mengoceh. Jalanan yang kami lalui semakin menyempit dan terjal. Aku harus lebih hati hati lagi. Rumah rumah penduduk terlihat mulai semakin jarang, dibatasi oleh kebun kebun luas yang ditumbuhi aneka tanaman dan semak semak yang rimbun. Suasana terlihat sangat sepi. Sepanjang perjalanan tak ada satupun orang atau kendaraan yang kami temui. Hanya suara jengkerik yang terdengar samar samar diantara deru mesin motorku.

"Mas, Mas! Mandeg sik, berhenti dulu," tiba tiba Slamet menepuk pundakku agak keras.

"Kenapa to Met?" sungutku sedikit kesal, sambil menghentikan motorku.

"Hehehe, ndak papa Mas. Kebelet pipis aku. Sebentar ya," sambil terkekeh Slamet melimpat turun dari boncengan motorku, lalu berdiri membelakangiku di tepi jalan. Aku hanya bisa geleng geleng kepala melihat tingkahnya itu.

"Eh, Mas. Sebentar, coba kesini sebentar Mas," ujar Slamet lagi setengah berbisik.

"Apalagi? Jangan suka iseng deh, sudah malam ini," aku tak mengindahkan ucapan anak itu.

"Ndak Mas, aku serius. Kayak ada yang ngitip di dalam kebun sana lho," ujar Slamet lagi, masih dengan setengah berbisik.

"Halah, ngawur kamu. Siapa juga yang mau ngintip kamu lagi kencing."

"Bukan gitu Mas, tapi ..., jangan jangan maling Mas. Malam malam gini lho, dan ..., eh, beneran lho Mas. Itu, coba sini sampeyan lihat. Semak semaknya goyang goyang, kayaknya ..., eh, bukan Mas. Bukan orang, tapi sapi Mas. Jangan jangan ada sapi warga yang lepas Mas. Coba sampeyan arahkan lampu motor sampeyan ke kebon ini Mas."

Penasaran, akupun mengikuti arahan Slamet. Stang motor aku belokkan ke kiri, hingga sorot lampu motorku yang tak begitu terang menyinari area kebun itu.

"Mas, itu kan ..., astaghfirullah Mas. Itu kan ...." Slamet tergagap. Kulihat tubuh anak itu gemetaran sambil menunjuk nunjuk ke arah kebun. Sadar bahwa Slamet tidak sedang bercanda, akupun segera menstandartkan motorku dan turun. Namun Slamet justru berbalik dengan cepat dan melompat keatas jok motorku.

"Ayo Mas, cepat cabut dari sini! Wedhus! Desa apa ini, baru juga sampai, sudah disambut sama dhemit!"

Melihat Slamet yang panik, akupun ikutan panik. Niatku untuk melihat apa yang dilihat oleh Slamet d kebun itu aku urungkan. Bergegas aku kembali naik ke jok motorku, lalu segera tancap gas meninggalkan tempat itu.

Tanpa memperdulikan jalanan yang tak rata, kupacu motor tuaku sekencang yang aku bisa. Meski aku tak tahu apa yang sebenarnya dilihat oleh Slamet, tapi kepanikan yang diperlihatkan olehnya sedikit banyak juga mempengaruhiku. Beberapa kali kami nyaris terpelanting. Slamet yang duduk di boncengan sampai memeluk pinggangku erat erat, sampai bisa kurasakan dua benda kenyal yang menempel di ....hais, nggak ding! Jadi ketularan trit sebelah kanoke skip dan lanjut

Hingga akhirnya, saat kami melewati sebuah cakruk (bangunan kecil yang biasa buat nongkrong), aku terpaksa menarik tuas rem kuat kuat, karena beberapa orang laki laki yang nongkrong di cakruk itu melompat ke tengah jalan dan menghadang laju motorku.

"As*!" Slamet mengumpat saat motor yang kami kendarai nyaris saja terpelanting jatuh.

"Nah lho, ketemu sekarang! Ternyata ini to yang suka naik motor ugal ugalan di kampung ini! He! Turun sampeyan!" bentak salah satu dari orang orang itu.

Wis, modyar tenan ki, batinku sambil mematikan mesin motorku. Sepertinya ada kesalahpahaman yang mesti diluruskan. Namun baru saja aku hendak membuka suara, salah seorang yang lain sudah keburu ikut membentak.

"Sampeyan itu apa ndak punya otak hah?! Maksud sampeyan apa, kebut kebutan di kampung orang kayak gitu? Mau pamer punya motor bobrok kayak gitu?!"

"Ngapunten Pak, saya ...!"

"Halah, kesuwen! Gebuk'i ae wes, ben kapok!"

"Ho'oh! Biar tau rasa! Seenaknya saja bikin rusuh di kampung orang!"

"Bakar saja motornya!"

"Sekalian sama orang orangnya juga!"

Waduh, bener bener gawat ini. Mereka sama sekali tak memberiku kesemparan untuk menjelaskan. Beruntung, di saat saat yang genting ini Slamet segera menunjukkan eksistensinya. Pemuda itu segera melompat turun dan berdiri di depan motorku.

" Woi! Sabar masbro! Jangan asal nuduh, dan jangan main hakim sendiri! Bisa kena pasal lho sampeyan sampeyan semua nanti!"

Damn! Aku menepuk jidat seketika. Ucapan Slamet itu justru menambah keruh suasana. Apalagi ia berkata begitu sambil bertolak pinggang.

"Halah! Sok sokan pake ngomong soal hukum segala! Sampeyan sendiri, apa ndak sadar, perbuatan sampeyan itu juga bisa kena pasal?! Kebut kebutan di kampung orang seenak udel sampeyan begitu?!"

"Bukan begitu masbro! Dengar dulu penjelasan saya. Kami ini ndak ada maksud sama sekali untuk ...." Slamet masih nyerocos mendebat orang orang itu. Beruntung, Slamet orang yang pandai bicara. Dan kesempatan itu tak aku sia siakan. Segera kukeluarkan ponselku dari saku jaket, lalu segera mengubungi kontak Mas Cipto.

Tersambung! Segera ponsel kutempelkan di telingaku. Ada nada dering yang terdengar nyaring. Salah seorang dari bapak bapak yang menghadang kami itu nampak merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya.

"Halo!" setengah berteriak orang itu juga menempelkan ponselnya di telinga. Suaranya dapat kudengar jelas, karena suara itu juga memantul dari speaker di ponselku.

"Mas Cipto!" aku melambai ke arah orang itu.

"Lho, sampeyan to," orang itu menatap ke arahku dan tertawa. Ia segera mematikan ponselnya dan mengantonginya kembali. "Wes Cah, ra sah rame rame, iki dhayohku!"

Aku segera turun dari motorku dan menyalami orang orsng itu satu persatu. "Maaf ya Mas, sudah bikin keributan malam malam begini," ujarku sambil ikut duduk di cakruk itu.

"Wes, ndak papa. Ndak usah dipikirin. Justru kami yang minta maaf, sudah salah paham sama sampeyan. Maklum Mas, di kampung ini sudah sering terjadi pemuda pemuda begajulan yang suka kebut kebutan di tengah malam," kata Mas Cipto ramah. "Jadi gimana, mau langsung ke rumah atau ngopi ngopi dulu disini? Kebetulan masih ada sisa kopi sama kacang rebus nih."

"Istirahat aja dulu Mas. Mules perutku sampeyan bawa ngebut tadi," Slamet segera menimpali sambil tangannya ikut beraksi meraup kacang rebus yang berada di dalam bakul kecil. Hadeeecchhh!!! Bener bener nih anak. Nggak ada malu malunya sama sekali.

"Ya sudah kalau gitu, Man, tolong seduhin kopi lagi dong buat tamu tamuku ini," Mas Cipto menoleh ke arah salah satu temannya. "Jadi, gimana, sampeyan kok sampai ngebut gitu tadi ada apa to? Bahaya lho, selain jalannya kurang bagus juga gelap."

"Anu Mas, temen saya ini lho, tadi katanya ...., coba Met, ceritain kamu tadi lihat apa sebenarnya, kok sampai ketakutan gitu," ujarku pada Slamet yang mulai sibuk mengunyah kacang.

"Jadi gini Mas," Slamet menelan kacang rebus yang memenuhi rongga mulutnya. "Tadi itu, pas lagi kencing di pinggir jalan, ndak sengaja aku ngelihat macan gedhe banget, segedhe anak sapi."

"Sampeyan serius Mas?" hampir serempak orang orang yang ada di dalam cakruk itu menoleh ke arah Slamet.

"Ya serius lah, buat apa aku bohong Mas! Berani sumpah dicium janda deh kalau aku bohong! Dan bukan hanya itu saja. Macan itu lagi mengendap endap di kebon warga sambil nggendhong mayit! Makanya aku buru buru ngajak Mas Indra ini kabur!"

Sejenak suasana di dalam cakruk itu menjadi hening. Ucapan Slamet yang diselingi candaan itu seolah tak mampu memancing selera humor mereka. Semua mata tertuju ke arah Slamet kini.

"Kenapa to? Kok malah pada ngelihatin aku kayak gitu? Sampeyan pada ndak percaya to?"

Tak ada yang menggubris ucapan Slamet. Orang orang di dalam cakruk itu sejenak saling pandang. Lalu salah seorang dari mereka mencolek bahu Mas Cipto. "Mending sampeyan segera telepon Pak Kadus Mas. Bisa berabe kalau beneran kejadian lagi," ujar orang itu.

Mas Cipto lalu mengeluarkan ponselnya dan berjalan agak menjauh dari cakruk. Ia nampak bicara serius melalui sambungan telepon. Tak lama kemudian, ia kembali ke dalam cakruk.

"Kita ke kuburan sekarang," ujar Mas Cipto tegas, lalu menoleh ke arahku. "Sampeyan datang di saat yang tepat Mas. Mau ikut kami ke kuburan?"

***

Pemakaman umum Desa M. Cahaya lampu petromaks terang benderang menerangi area pemakaman tersebut. Ada tenda sederhana dari kain terpal yang ditopang bengan beberapa barang bambu. Lalu di sudut lain, beberapa orang bergerombol seolah sedang mengerubungi sesuatu. Aalah seorang diantaranya, seorang laki laki paruh baya berbaju batik, tampak menggerutu tak jelas.

"Wah, kuburan kok ramenya kayak pasar gini, ya Mas" celetuk Slamet disebelahku. Kami hanya memperhatikan kerumunan itu dari kejauhan, tak berani ikut masuk ke area pemakaman tersebut.

"Jangan asal njeplak kalau ngomong Met, kita lagi di kampung orang nih," aku mengingatkan, dengan mata tetap memperhatikan kerumunan itu.

"Kita lihat kesana aja yuk Mas, penasaran aku," ujar Slamet lagi, seolah tak menggubris ucapanku.

"Lebih baik jangan dulu ....," ucapanku tertahan, karena Slamet telah melangkah bergegas ke arah kerumunan itu.

"Asem!" sungutku sambil mau tak mau juga mengikuti langkah Slamet.

Sebuah lubang menganga terpampang di hadapanku kini. Tak salah lagi. Ini lubang kuburan yang telah dibongkar paksa. Tanah bekas galian berhamburan di sekitar lubang itu. Namun, lubang itu telah kosong. Tak ada mayat ataupun peti mati di dalamnya. Hanya ada beberapa papan yang telah hancur dan porak poranda.

"Kyai Jambrong!" samar kudengar bisikan dari seorang yang berdiri di sebelahku.

"Kalian benar benar teledor! Bisa bisanya kalian ketiduran semua saat sedang berjaga seperti ini! Sekarang kalian lihat kan akibat dari keteledoran kalian? Dimana rasa tanggung jawab kalian? Apa kata ahli waris almarhum kalau sampai mengetahui kejadian ini?!" kudengar laki laki paruh baya berbaju batik itu berkata dengan suara keras. Orang orang hanya menunduk dan diam. Tak ada yang berani menjawab ucapan si laki laki paruh baya itu.

"Maaf Pak Kadus," tiba tiba serang laki laki lain yang usianya mungkin lebih tua dari si laki laki baju batik menyela. "Sepertinya tak akan ada gunanya sampeyan marah marah kayak gitu. Lagi pula, ini semua bukan murni kesalahan para warga yang bertugas jaga malam ini. Mereka tertidur bukan karena kemauan mereka, tapi kena sirep!"

Si laki laki berbaju batik yang dipanggil Pak Kadus itu menatap ke arah laki laki yang barusan berbicara. "Wedhus! padahal jumlah orang yang jaga sudah aku tambah, mengingat malam ini adalah malam Selasa Kliwon. Tapi tetep saja masih kecolongan!"

"Yah, paling tidak kita sudah berusaha," laki laki tua itu menepuk pelan bahu Pak Kadus. "Lebih baik kita segera bereskan makam ini, sebelum pihak keluarga almarhum mengetahuinya. Bisa repot nanti kalau Retno tau makam bapaknya diacak acak gini."

Pak Kaduspun segera memerintahkan warga yang ada disitu untuk menimbun kembali lubang yang menganga itu. Sementara aku yang merasakan adanya kejanggalan dari peristiwa itu, segera bergeser agak menjauh, mendekati Mas Cipto yang berdiri agak jauh dari kerumunan warga.

"Mas, kenapa warga sepertinya sangat pasrah begitu?" tanyaku setengah berbisik.

"Lha mau gimana lagi Mas? Cuma ini yang bisa kami lakukan," jawab Mas Cipto, juga sambil berbisik.

"Kenapa tidak mencoba untuk mencari ..., ah, maksudku, sepertinya warga sudah pada tau soal mayat yang hilang itu diambil oleh harimau yang tadi dilihat oleh Slamet. Aku yakin, harimau itu belum terlalu jauh pergi dari desa ini. Jika kita berusaha untuk melacaknya, mungkin kita bisa ..."

"Percuma Mas. Harimau yang dilihat oleh teman sampeyan itu, bukan harimau sembarangan, tapi jelmaan siluman. Kejadian seperti ini Mas, bukan kali ini saja terjadi. Dan, belajar dari pengalaman yang sudah sudah, seberapa keras usaha untuk mencari, hasilnya tetap nihil. Bahkan meski kita melacak sampai ke sarangnya sekalipun." ujar Mas Cipto pelan.

"Jadi sampeyan tau sarang harimau jadi jadian itu Mas?"

"Semua orang juga tau Mas. Tapi hanya sedikit orang yang berani kesana. Terlalu berresiko, dan hasilnya juga tak sepadan dengan resikonya."

Aku hanya bisa terdiam mendengar penjelasan Mas Cipto tersebut, meski masih ada rasa yang mengganjal di hatiku. Aku sadar, posisiku disini hanyalah seorang tamu. Tak pantas rasanya kalau aku terlalu ikut campur urusan dalam negeri di desa ini.

Kuperharikan beberapa warga yang sepertinya sudah hampir selesai menimbun kembali lubang makam itu. Aku bergidig, membayangkan seperti apa perasaan ahli waris dari jasad yang sebelumnya dikubur di dalam makam itu.

"Bapaaaaaakkkkk ....!!!" tiba tiba keheningan di malam itu dipecahkan oleh suara teriakan perempuan, disusul dengan kemunculan sosoknya yang berlari memasuki area makam itu sambil menangis histeris. Perempuan muda itu menubruk gundukan tanah yang baru saja dirapikan oleh warga.

"Retno?!"

"Retno?!" hampir semua mulut yang ada di pemakaman menggumamkan nama itu. Dan hampir semua mata tertuju pada perempuan muda yang menangis histeris sambil menelungkup diatas gundukan tanah makam yang baru saja dirapikan oleh warga. Tak ada yang bergerak. Semua diam terpaku, seolah terhipnotis oleh suara tangisan gadis itu.

"Kasihan," terdengar suara menggumam yang entah keluar dari mulut siapa.

"Nduk," laki laki tua yang tadi sempat bersitegang dengan Pak Kadus mendekat dan menyentuh bahu perempuan itu. "Ikhlaskan saja. Tak perlu kau tangisi ..."

"DIAM...!!!" gadis itu menjerit dan mengibaskan tangannya, membuat laki laki tua terlonjak kebelakang beberapa tindak.

"Kalian...!!!" gadis itu berdiri, dan dengan mata yang berkilat kilat tajam menatap satu persatu orang orang yang berada di pemakaman itu. "Kalian semua ..., kalian semua tak berguna! Kalian pengecut!!! Kalian biarkan makhluk jahat itu membawa jasad bapakku! Dan kau ...?!"

Aku tercekat, saat tatapan mata gadis itu tertuju ke arahku. Mata yang berkilat tajam penuh amarah, diiringi dengan jari telunjuk yang menunjuk tepat ke arahku, sukses membuat bulu kudukku merinding. Dan belum juga hilang rasa keterkejutanku, tiba tiba gadis itu melompat ke depan menerjang ke arahku. Kedua tangan mungilnya mencengkeram erat kerah jaket yang kukenakan.

"Kau...., orang asing! Kau bukan warga desa sini kan?! Siapa kau?! Kaukah yang membawa malapetaka ke desa ini?! Kaukah yang diam diam mencuri jasad ayahku?! JAWAB!!!" gadis itu berteriak tepat di depan wajahku. Wajahnya hanya berjarak sekian senti saja dari wajahku. Matanya yang tajam berkilat kilat itu menusuk tepat ke arah bola mataku.

"Retno! Cukup!" Pak Kadus seolah baru tersadar dengan kejadian yang terjadi begitu cepat itu. Laki laki itu segera berusaha melepaskan cengkeraman tangan Retno dari kerah jaketku. Sedang Mas Ciptopun bergegas menarikku mundur.

"Maaf ..." hanya itu kata kata yang keluar dari mulutku, saat Pak Kadus menarik tubuh Retno menjauh dariku. Mata gadis itu masih berkilat tajam menatap ke arahku.

"Sudah sudah, Cipto, sebaiknya ajak temanmu itu pulang! Masalah disini biar kami yang urus," ujar beberapa orang warga.

Tanpa menunggu diperintah untuk keduakalinya, Mas Cipto mengajakku menjauh dari lokasi pemakaman itu. Samar samar masih kudengar teriakan gadis itu yang menyumpahiku dengan kata kata yang sangat tak enak untuk didengar.

"Maaf ya Mas, baru sampai disini, tapi sampeyan sudah mendapat sambutan yang seperti ini," ujar Mas Cipto saat kami berjalan menjauh dari area pemakaman itu.

"Ndak papa Mas," jawabku. "Justru aku yang minta maaf. Sepertinya aku datang di saat yang kurang tepat."

"Aku rasa justru sebaliknya Mas. Sampeyan datang disaat yang tepat. Sampeyan kesini mau cari info soal legenda itu kan? Dan kebetulan pas sampeyan datang pas ada kejadian. Aku malah berpikir kalau sampeyan justru sudah memprediksi sebelumnya, makanya malam malam sampeyan bela belain nekat kemari."

"Ah, ndak juga Mas, mungkin memang cuma kebetulan, seperti yang sampeyan bilang tadi, dan ..., astagfirullah!!!" aku menepuk jidat, saat sadar bahwa Slamet masih tertinggal di pemakaman.

"Kenapa Mas?" tanya Mas Cipto heran.

"Eh, ndak papa Mas. Cuma temanku tadi, kayaknya masih di kuburan."

"Walah, lha terus gimana? Apa perlu kita balik lagi?"

"Ndak usah Mas, nanti juga paling dia nyusul. Kita lanjut saja Mas."

Kamipun kembali melangkah menuju rumah Mas Cipto yang letaknya sudah tak jauh lagi itu.

***

"Jadi, gadis yang tadi itu anaknya orang yang kuburannya tadi dibongkar ya Mas?" tanyaku pada Mas Cipto. Saat itu kami sudah sampai di rumah laki laki itu. Sambil menikmati secangkir kopi dan ubi rebus kami ngobrol di ruang tamu. Sedikit tak enak sebenarnya, di hari yang sudah menginjak tengah malam begini kami harus membangunkan dan merepotkan istri Mas Cipto. Apalagi ditambah dengan Slamet yang sejak tadi menggerundel tak jelas karena kami tinggal di kuburan. Tapi gerutuan anak itu langsung lenyap saat sepotong ubi rebus telah memenuhi rongga mulutnya.

"Iya Mas, namanya Retno," jawab Mas Cipto. "Kasihan gadis itu, ia sebatang kara kini, setelah ditinggal mati oleh ayahnya. Dan kejadian di makam tadi, pasti sangat mengguncang jiwanya. Entah siapa yang memberitahunya, sampai sampai ia nekat datang ke kuburan malam malam."

"Berarti dia belum punya suami ya Mas?" Slamet menimpali.

"Husyh! Kamu ini lho, nanyanya kok ke arah situ," aku mendelik ke arah Slamet.

"Enggak lho Mas. Tadi kan Mas Cipto bilang kalau dia kini sebatang kara, kan berarti dia nggak punya siapa siapa lagi," Slamet meralat ucapannya.

"Benar Mas, dia itu anak satu satunya dari almarhum Mbah Karyo. Ibunya sudah lama meninggal, dan dia juga masih gadis, belum punya suami," Mas Cipto menjelaskan.

"Ckckck, kasihan sekali nasibnya. Padahal lumayan cantik, dan ..."

"Slamet!" kembali aku mendelik ke arah anak itu.

"Hehehe, nggak ding! Eh, Mas Cipto, aku numpang ke kamar mandi ya, kebelet nih," buru buru Slamet ngeloyor keluar, menuju ke kamar mandi yang terletak di samping rumah. Aku hanya bisa geleng geleng kepala melihat tingkahnya itu.

"Sorry ya Mas, Slamet memang begitu sifatnya, suka celamitan," ujarku sedikit tak enak.

"Hahaha, ndak papa Mas, aku malah senang ko sama anak yang seperti itu," Mas Cipto tertawa.

"Oh ya mas, soal makam yang dibongkar tadi itu, apakah ada hubungannya dengan legenda yang pernah sampeyan ceritakan itu?" aku mulai masuk ke pokok pembicaraan.

"Benar sekali Mas. Almarhum Mbah Karyo itu, termasuk orang julung caplok, orang yang pas lahirnya dulu bersamaan dengan terbenamnya matahari. Karena itulah semenjak kematiannya beberapa hari yang lalu, makamnya selalu dijaga, karena orang julung caplok seperti itu, kalau meninggal suka jadi incaran dari Kyai Jambrong."

"Kyai Jambrong?!" aku mulai memasang telinga baik baik.

"Ya, Kyai Jambrong, harimau jadi jadian yang konon katanya tinggal di salah satu goa yang ada di perbukitan cadas sana. Ia selalu mengincar mayat dari orang julung caplok, membongkar makamnya, lalu membawa mayatnya ke sarangnya sana. Entah apa maksud dan tujuannya. Tak ada yang tau pasti."

"Sebentar Mas, tadi sampeyan bilang kalau Kyai Jambrong itu tinggal di goa yang ada di bukit cadas sana. Kalau memang benar seperti itu, kenapa begitu tau kalau makam itu telah dibobgkar, orang orang tidak segera mencarinya?" selaku.

"Tak semudah itu Mas. Di perbukiran cadas sana itu, ada banyak goa, dan kita tak tau pasti goa mana yang menjadi sarang Kyai Jambrong. Lagian, siapa juga yang berani mencari kesana Mas, lha wong baru dengar nama Kyai Jambrong disebut saja warga sudah pada ketakutan," ujar Mas Cipto lagi.

"Ah, andai tadi pas ketemu harimau itu aku bisa mengikutinya Mas, mungkin jasad Mbah Karyo masih bisa diselamatkan," gumamku pelan.

"Haha, jangan harap Mas," Mas Cipto kembali tertawa. "Mbah Jambrong itu kan harimau jadi jadian, bisa dibilang semacam siluman gitu. Mana bisa dilacak. Sudah pernah lho ada beberapa orang yang memberanikan diri mengikutinya saat tak sengaja memergoki harimau bawa mayat gitu, tapi hasilnya nihil. Mereka selalu kehilangan jejak di tengah jalan."

"Wah, susah juga kalau begitu ya Mas. Jadi jalan satu satunya untuk mengetahui sarang Mbah Jambrong ini ya menelusuri goa itu satu persatu ya Mas?" tanyaku lagi.

"Mungkin begitu Mas, tapi siapa juga yang mau. Selain dianggap angker juga berbahaya lho Mas. Goa goa yang masih alami, belum pernah tersentuh tangan manusia, sulit ditebak seperti apa dalamnya. Bisa bisa justru kita yang celaka kalau sampai terperosok ke dalamnya. Belum lagi banyaknya binatang buas dan berbisa. Bahaya deh pokoknya. Jadi satu satunya yang bisa kita lakukan ya cuma kayak di makam tadi, menjaga kuburan dari orang julung caplok yang meninggal, biar nggak sampai dibongkar." Mas Cipto menjelaskan panjang lebar.

Aku terdiam sejenak. Ada benarnya juga apa yang dikatakan oleh Mas Cipto barusan. Terlalu beresiko untuk menyusuri goa goa itu satu per satu. Alih alih menemukan mayat yang dicuri oleh si harimau jadi jadian, bisa bisa justru kita menjadi mayat disana.

"Kalau cuma sekedar mencari info soal legenda Kyai Jambrong, sampeyan ndak usah repot repot naik ke bukit sana Mas," kembali suara Mas Cipto membuyarkan lamunanku. "Besok biar saya antar ke rumah Mbah Mangun. Beliau yang tau banyak soal legenda itu."

"Mbah Mangun?!"

"Iya. Itu lho, priyayi sepuh yang tadi juga ada di pemakaman. Beliau sesepuh di desa ini, tentu tau banyak soal sejarah desa ini."

"Oh," hanya itu suara yang keluar dari mulutku. Sebenarnya aku berharap lebih. Bisa menyusuri goa goa di bukit cadas sana dan membongkar misteri Kyai Jambrong ini, tentu sebuah petualangan yang sangat menyenangkan. Tapi dari semua ucapan yang dikatakan oleh Mas Cipto tadi, aku yakin seratus persen, laki laki itu tak akan mengijinkanku untuk melakukannya.

Ah, tapi jiwa petualanganku justru terasa semakin memberontak setelah mendengar cerita Mas Cipto tadi. Dan tekad untuk menyelidiki goa di bukit cadas itupun mulai tumbuh dalam hatiku, meski mungkin aku akan melakukannya secara diam diam.

"Djancuk!" tiba tiba Slamet muncul diambang pintu sambil mengumpat tak jelas.

"Kenapa to Met? Datang datang kok misuh misuh(mengumpat) ndak jelas gitu?" tegurku penasaran.

"Lha gimana ndak misuh misuh, wong lagi enak enak pipis kok diinjen(diintip) macan," gerutu Slamet sambil duduk.

"Diinjen macan?" Mas Cipto menegakkan punggungnya. "Sampeyan serius Mas?"

"Ya serius to, beneran Mas, kayaknya sama dengan macan yang ketemu kita di jalan tadi Mas," ujar Slamet.

"Wah, gawat kalau macan itu masih berkeliaran di desa. Sebentar Mas, aku tak ngambil senter dulu, siapa tau ..."

"KYAAAAAAAAAA...!!!! BAPAAAAKKKKK...!!!!" belum selesai Mas Cipto bicara, dari dalam rumah terdengar suara jeritan anak perempuan Mas Cipto.

"Menur?!" sontak Mas Cipto melompat bangkit dan berlari ke arah kamar sang anak. Aku dan Slametpun tak mau ketinggalan. Bersamaan dengan itu, Menur, anak perempuan Mas Cipto juga berlari keluar dari dalam kamar. Gadis sebelas tahun itu segera memeluk sang ayah sambil berteriak teriak dan menunjuk nunjuk ke dalam kamarnya.

"Macan Pak! Ada macan gedhe banget ngintipin Menur tidur! Menur takut Pak!" teriak anak itu.

"Macan?! Macan apa to? Kamu mimpi?!" Mas Cipto mencoba menenangkan sang anak. Sementara istri Mas Cipto yang terbangun karena teriakan Menur juga ikutan panik.

"Beneran Pak! Tadi aku kebangun gara gara denger kayak ada yang nggaruk nggaruk jendela kamarku! Pas aku intip, ternyata ada macan gedhe banget di luar! Aku takut Pak!" kata anak itu histeris.

"Wis, edan tenan ki! Ini ndak bisa dibiarkan! Sudah, kamu tenang. Biar bapak yang ..."


"BRAAAKKK ...!!! BRAAAKKK...!!! BRAKKKK...!!!" lagi lagi belum selesai Mas Cipto bicara, dari ruang depan terdengar suara pintu yang di gedor gedor dengan kasar.

"Ciptooo...!!! Keluar kau!!!"
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close