Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GUNUNG ARJUNO NGUNDUH MANTU


JEJAKMISTERI - Gunung memang terkenal sebagai tempat yang sejuk, indah dan menyimpan banyak misteri. Sejarah dan kepercayaan mengenai tempat bersemayamnya para dewa, membuat Gunung dikenal sebagai tempat yang sakral dan suci sejak era manusia purba di Indonesia.

Di Jawa, khususnya di bagian timur banyak sekali Gunung yang dikeramatkan oleh para pendaki dan masyarakat disekitar Gunung tersebut. Sebut saja Semeru, Arjuno, Argopuro, Lemongan, Penanggungan dan Lawu. Tradisi tersebut harus tetap dilestarikan, mengingat kepercayaan ragam suku yang banyak di Indonesia.

Bicara mengenai hal mistis, aku sendiri beberapa kali mengalami ketika mendaki beberapa Gunung di Jawa Timur, namun di kesempatan kali ini aku akan berbagi cerita tentang bagaimana mistisnya Gunung Arjuno.

***

Cerita ini dimulai 3 tahun lalu, tepatnya tanggal 19 Januari 2016. Saat itu aku, Anas, Amar, Bela, Vira, Iqbal dan Bayu merencanakan mendaki Arjuno via Tretes. Ini merupakan pendakian kedua setelah pendakian pertama berhasil menggapai puncak Penanggungan. Karena masih memasuki musim penghujan, tak lupa pula kami menyiapkan perlengkapan dengan matang supaya dalam pendakian nanti tidak ada hal-hal tidak diinginkan.

Waktu itu kami berangkat bersama-sama dari rumah seorang teman di Sidoarjo menuju basecamp Tretes. Setelah melakukan registrasi, pendakian dimulai pada pukul 8 pagi. Perjalanan kami lancar sampai pada Pos 2, Kokopan. Kabut tebal mulai datang dan gerimis mulai turun dari langit. Waktu itu sekitar pukul 12 siang, dan setelah makan siang kami melanjutkan perjalanan menuju Pondokan dengan tujuan mendirikan tenda disana.

Awalnya kami meremehkan cuaca dan menganggap gerimis ini hanya air yang turun dari kabut belaka. Namun beberapa saat kemudian kabut mulai hilang, tapi gerimis berubah menjadi hujan deras. Alhasil kami semua kelabakan memakai jas hujan dan setelah dipakai pun pakaian kami sudah setengah basah. Kedinginan, kami jadi berjalan lambat dan jalur Tretes benar-benar menghukum kami. Bahkan hingga pukul 5 sore, kami belum juga sampai di Pondokan.

Melihat kondisi teman-teman yang mulai payah dan kedinginan serta hujan yang tak kunjung reda, kami memutuskan untuk membangun tenda di tengah perjalanan antara Kokopan dan Pondokan. Hal yang aneh terjadi ketika kami hendak membangun tenda, yaitu tiba-tiba hujan yang deras tadi tiba-tiba mendadak reda.

Mendengar rumor bahwa Arjuno sangat angker bila didaki pada malam hari, dan meski hujan telah reda kami tetap beristirahat di tengah perjalanan. Setelah membangun tenda, kami makan bersama sembari menghangatkan tubuh dengan membuat api unggun dari kompor. Setelah selesai makan kami baru sadar bahwa matras tidur kami tertinggal di rumah teman kami yang ada di Sidoarjo. Walhasil kami semua tidur beralas kain tenda dengan kondisi tanah yang masih basah. Sungguh dingin bukan main, walaupun sudah berganti baju setelah diterjang hujan disepanjang jalur.

Jam menunjukkan masih pukul 8 malam, aku tidak bisa tidur karena Amar dan Anas ngorok dengan kerasnya, sedangkan Iqbal menyetel lagu Payung Teduh dengan volume medium. Kedinginan dan tidak bisa tidur, aku putuskan untuk keluar tenda untuk kencing dan membuat minuman hangat. Betapa kagetnya aku karena diluar kabut lumayan tebal serta terdengar suara ramai orang berbicara terdengar dari bawah. Mencoba berpikiran positif, aku tetap mencoba memberanikan diri untuk membuat minuman hangat. Setelah 15 menit lamanya mendengar suara tersebut, mereka akhirnya menampakkan wujud aslinya.

Mereka ternyata hanya pendaki biasa yang berjalan pada malam hari, dengan tujuan bermalam di Pondokan. Setelah berbincang-bincang singkat, mereka meneruskan perjalanan dan aku pun kembali tidur. Namun sekitar jam 11 malam aku kembali terbangun tapi kali ini bukan karena suara ngoroknya Amar dan Anas atau alunan lagu dari hpnya Iqbal, melainkan dari suara dari luar tenda yang bergemuruh dan keras. Aku berpikiran seperti suara mobil, tapi apa masuk akal mobil lewat jalur pendakian apalagi malam malam begini ? Suara tersebut terdengar menuju kearah atas, sehingga aku mantap tidak menyebutnya sebagai sebuah bencana tanah longsor atau banjir. Setelah suara tersebut hilang, akupun tidur terlelap.

Pagi harinya setelah sarapan kami berencana untuk menuju puncak Arjuno. Karena tenda dan baju kemarin masih basah, kami meninggalkan baju basah kami di tenda guna mengeringkannya serta menaruh jas hujan di atap tenda dengan harap  tenda tidak akan basah jika dibuat tidur nantinya.

Sungguh kebodohan yang haqiqi.

Pada pukul 9 pagi kami sampai di Pondokan. Ternyata Pondokan masih cukup jauh dari tempat kami mendirikan tenda tadi. Dan kami pun menyadari ada hal unik disitu, ternyata suara yang kudengar tadi malam berasal dari sebuah jeep rakitan yang mengangkut belerang dari Pondokan menuju pos bawah. Sungguh hal yang luar biasa bagi seorang supir jeep yang bisa mengendarai mobilnya sampai setinggi 2700-an meter diatas permukaan air laut dengan jalur yang tidak biasa.

Setelah berjalan ke arah warung Pondokan, hujan deras turun. Karena kami tidak membawa jas hujan, maka kami putuskan untuk menunggu sampai hujan reda. Setelah 2 jam diguyur dan setelah mengisi perut serta memenuhi pasokan air, kami berjalan menuju puncak dengan harapan hujan tidak akan turun lagi.

Saat itu sudah pukul 11 siang, dan setelah membaca dari salah satu blog pendakian bahwa durasi antara Pondokan-Puncak adalah 4-5 jam, kami masih yakin akan sampai puncak minimal pada pukul 2 siang (karena sudah tidak membawa beban tenda dan keril yang berat). Namun saat baru lepas dari Lembah Kidang dan alas Lali Jiwo, kami sudah disambut gerimis rintik dan kabut tipis.

Karena “masih” gerimis, kami meyakinkan untuk tetap naik. Setelah sampai di watu gede kami istirahat untuk makan cemilan karena cuaca yang mulai dingin dan kondisi perut yang mulai lapar, sedangkan gerimis belum juga reda. Setelah 30 menit mendaki, perasaan kurang enak pun datang. Gumpalan awan hitam mendekat kearah kami. Puncak Arjuno yang tadinya tampak cerah, kini sudah tertutup awan hitam dan hembusan angin yang cukup kencang membuat kami berhenti untuk berpikir sejenak apa yang akan kami putuskan selanjutnya.

Jam menunjukkan masih pukul setengah satu siang, tiba-tiba awan yang gelap tadi memuntahkan isinya. Hujan + angin + petir + kabut + tanpa jas hujan. Kami semua mencoba bertahan di pepohonan kecil yang ada di jalur. Kami semua masih bebal untuk melanjutkan kearah puncak. Kami sepakat untuk tetap bertahan selama 30 menit jika memang cuaca masih mengijinkan.

Namun memang Tuhan dan alam berkehendak lain, 45 menit kami menunggu namun hujan badai tak kunjung reda. Setelah kapok menunggu, kami memutuskan untuk turun dalam keadaan basah kuyup. Disinilah kejadian-kejadian janggal mulai bermunculan.

Setelah melewati watu gede, tak tahu kenapa Anas tiba-tiba jatuh. Rupanya kakinya terkilir karena ia menganggap menyandung sesuatu. Karena Anas cidera, perjalanan kami pun sedikit melambat, namun hujan sudah mulai agak meringankan diri. Sesampainya di alas Lali Jiwo, hujan mulai reda. Waktu itu masih pukul 3 sore, namun kabut tebal langsung datang saat itu juga.

Dengan jarak pandang hanya 2 meter, kami ber-tujuh sepakat untuk saling bergandengan mengingat adanya berita tentang angkernya alas Lali Jiwo dan Lembah Kidang. Bahkan Amar yang berjalan paling depan, mau berlari karena mendengar dirinya dipanggil oleh seseorang ketika berada di Lembah Kidang. Spontan aku yang berada di belakang langsung menangkapnya sembari menyadarkannya agar tetap fokus dan meminta semua teman-teman untuk berdoa agar tidak terjadi apa-apa pada kami semua.

Setelah melewati lembah kidang, kabut mendadak hilang. Pada pukul 5 sore, kami sampai di Pondokan, mengingat waktu sudah mulai gelap dan tenda berada di tengah jalur Kokopan-Pondokan kami langsung melanjutkan perjalanan turun. Sesampainya di tenda, kami terkejut bahwa baju yang kami jemur hilang sebagian. Mungkin karena diterpa angin, namun untungnya kondisi tenda masih setengah kering. Selepas ganti baju kami langsung makan dan minum sekenyangnya untuk memulihkan kondisi fisik kami. Sesudah itu kami langsung tidur, terkecuali aku yang masih sedikit mengigil karena alas tenda bagianku sedikit basah. Waktu itu sebelum terlelap, jam menunjukkan pukul 8 malam.

Karena kondisi badan yang dingin, kepayahan dan dilema kebelet kencing, aku bolak-balik terbangun dari tidur. Namun karena diluar hujan dan semua teman pada tidur pulas, aku paksakan untuk menahan semua itu. Sampai tiba-tiba aku terbangunkan oleh suatu suara, bukan oleh suara ngorok teman-teman atau musik dari hpnya Iqbal, melainkan dari suara gamelan dan musik jawa yang terdengar keras tapi syahdu di telinga. Saat itu, aku mencoba berpikir positif karena mungkin saja di bawah sana ada orang yang sedang nikahan atau lagi punya hajatan dibawah. Karena itu pula, aku akhirnya tertidur oleh alunan suara sinden yang sangat lembut dan merdu itu.

Pagi harinya, kami langsung berkemas dan turun. Aku belum mau menceritakan hal yang aku dengar semalam, mengingat mungkin dibawah memang ada orang yang lagi punya hajatan. Turun melewati jalur Tretes membuat kami semua kapok. Bayangkan saja kami turun pada pukul 9 pagi dan sampai basecamp pukul 5 sore. Selain menemani jalannya Anas yang kakinya terkilir, seolah turunan dan belokan di jalur Tretes tidak ada habisnya.

Sesampainya di basecamp, adzan Maghrib sedang berkumandang. Sembari menunggu adzan selesai, aku menanyakan pada pihak basecamp apakah ada orang punya hajat di Tretes kemarin. Jawabannya adalah tidak. Sontak hal itu mengejutkanku, karena aku yakin suara yang kudengar juga lumayan keras untuk didengar sampai pos Pondokan.

Setelah itu barulah kuceritakan semua yang ku alami semalam. Dan ternyata, semua teman-teman pun juga mendengar alunan lagu jawa + sinden yang syahdu tersebut. Namun mereka semua sama sepertiku, menikmatinya dan mendengarkannya sebagai obat tidur. Pihak basecamp bilang bahwa musik tersebut biasa disebut dengan “Ngunduh Mantu”.

Ngunduh Mantu sendiri adalah sebuah kepercayaan masyarakat Tretes dimana ada sebuah kerajaan jin yang ada di Arjuno sedang mengadakan “hajatan”. Pihak basecamp juga bersyukur bahwa kami semua menjaga kekompakan dan tetap fokus saat pendakian, karena di Arjuno sendiri banyak pendaki yang tersesat dan hilang saat melewati wilayah Lembah Kidang atau alas Lali Jiwo. Bahkan ada yang sampai belum diketemukan hingga hari ini.

Setelah melaksanakan ibadah Maghrib, kami semua pamit dan berterima kasih kepada pihak basecamp yang telah memberikan fakta menarik dari perjalanan kami mendaki Arjuno via Tretes. Sungguh suatu pengalaman dan fenomena yang tidak terlupakan.
close