Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JAKA INDI & DUNIA ASTRAL (Part 37) - Peri Tangan Enam


Jaka Indi mengamati jejak tipis yang berada dipermukaan tanah, jejak kaki yang berjalan tanpa alas kaki, seperti jejak seseorang yang melakukan perjalanan yang panjang.

Yang menariknya, pada jejak dipermukaan tanah hanya berupa jejak ujung-ujung jari kaki, ini menunjukkan bahwa sang pejalan kaki hanya berjalan dengan berjinjit atau menutul ujung kakinya dan jejak berikutnya didapati pada jarak kisaran sepuluh sampai dua belas meter. Dari bekas langkah kaki tipis yang telah berjejak sepanjang puluhan mil, menandakan pula bahwa pejalan kaki tersebut telah berjalan jauh, sangat jauh, namun menolak untuk beristirahat dan memilih tetap berjalan.

Jaka Indi menarik nafas panjang dan bergumam, Sulit dipercaya, seseorang mau bepergian dalam cuaca buruk semacam ini hanya dengan menggunakan sepasang kakinya, bahkan dengan bertelanjang kaki.

Kurasa ia pasti seseorang yang penyendiri namun sangat bertekad kuat, dan sangat mungkin pejalan kaki tersebut bukan dari kalangan manusia.

Paman,... ada apa paman ! Apa semuanya baik-baik saja?" Tanya Gochan dari depan kereta.

"Tidak apa...apa ! Gochan apa kamu tidak kedinginan, mengapa kamu tidak masuk kedalam kereta saja ?" 

Paman kan tahu kalau aku tidak suka berada dalam ruang sempit dan tertutup, aku lebih suka berada ditempat terbuka, terlebih saat ini banyak kunang-kunang mengitari kereta kita, sungguh hal yang terlihat indah dan sangat menyenangkan, dan lagi bulu tubuhku ini dapat melindungi dari cuaca panas dan dingin. Ujar Gochan sambil tertawa ringan dan tetap melanjutkan perjalanannya.

Badai angin berkabut akhirnya berhenti, tapi rasa dingin makin menusuk dan rasa sepi makin tebal.

Suara angin yang menderu membawa juga suara lembut langkah-langkah kaki yang menutul diatas permukaan tanah. 

Walaupun suara ini lebih halus daripada derap langkah kuda, suara inilah yang dinanti-nantikan Jaka Indi.

Jadi sekalipun langkahnya sangat halus, suara ini tak akan luput dari pendengarannya. Di julurkannya kepala Jaka Indi dari jendela kereta yang telah terbuka, dan terlihatlah bayangan seseorang berjalan di depan.

Orang ini berjalan perlahan dengan mantap, namun langkahnya tidak pernah berhenti, tapi sekalipun berjalan perlahan, jalannya tetap membuat tubuhnya cepat melesat ke depan, cara berjalan seperti ini mengingatkan Jaka Indi akan cara berjalan Dewi Kemala.

Saat sosok pejalan kaki tersebut mulai terlihat, yang menariknya pejalan kaki ini memiliki enam buah lengan, tiga di kanan dan tiga di kiri, dan pada setiap telapak tangannya memegang benda yang berbeda. 

Pada bagian tubuhnya terdapat seruling bambu kuning, yang terselip pada sisi pinggangnya. Sungguh baru pertamakali ini, Jaka Indi melihat ada makhluk menyerupai manusia dengan enam buah lengan. Sekalipun Jaka Indi baru melihat dari belakang, Jaka Indi dapat memastikan kalau pejalan kaki tersebut adalah seorang wanita. 

Yaa.... dari bentuk pinggulnya, lekukan tubuhnya, dan lengannya yang halus dan gemulai, serta rambutnya yang hitam panjang sepinggang, dapat dipastikan bila ia seorang wanita.

Pejalan kaki ini berjalan tanpa alas kaki, tapi tak terlihat ada bakas memar atau luka karena menempuh perjalanan yang jauh yang panjang, bahkan kedua telapak kakinya tetap bersih dan mulus tanpa noda.

Sang pejalan kaki tetap tidak menghentikan langkahnya. Walaupun ia mengetahui ada derap langkah kereta kuda didekatnya, bahkan ia tidak menoleh sama sekali. Ia mengenakan payung anyaman bambu berbahan kain sutra putih, yang dipegang dengan salah satu dari tangan kanannya, tetapi lengan yang lainnya memegang benda-benda yang berbeda, ada yang memegang kendi air, kantung kain, sekop kecil, pisau belati,.... 

Pada rambut di kepalanya tampak semacam mahkota yang terbuat dari untaian bunga warna warni, butiran air dan embun yang jatuh tidak sampai membasahi dirinya, karena tubuhnya terlindung oleh payung yang di pakainya. 

Pakaiannya berupa baju kemben berwarna kuning keemasan, dan ia juga mengenakan kain panjang yang juga berwarna kuning keemasan. Semacam kain sari.

Jaka Indi sungguh merasa heran, seorang wanita, dalam cuaca sedingin ini ia berjalan dengan tegar dan kepala tegak, seakan-akan ia terbuat dari batu pualam. 

Dimana cuaca yang ekstrim, hawa dingin, yang menusuk tulang, tampaknya tidak dapat menaklukkan dan menghentikannya. 

Sewaktu kereta melewatinya, barulah Jaka Indi melihat wajahnya. Ternyata ia seorang wanita muda yang cantik usia kisaran 25 tahunan Alisnya tipis memanjang, pupil matanya hitam berkilau, rambutnya hitam pekat, sorot matanya cerah, alis matanya lentik, bibirnya yang tipis terkatup rapat membentuk garis tegas, hidungnya lurus, pipinya segar berisi, berwarna semu kemerahan.

Wajah ini mengingatkan orang pada Dewi Venus yang cantik, anggun, kokoh, dingin, agung, dan berkarakter kuat. 

Seakan-akan membuat setiap orang yang melihatnya merasa segan, namun ingin terus memandangnya berlama-lama.

Uniknya meski nona ini memiliki enam buah lengan, tapi lengan itu semuanya terlihat serasi dengan tubuhnya, dan tidak terlihat mengurangi kecantikannya.

Sikap Si nona yang tegar dan tetap berjalan lurus, seolah tidak ada hal yang cukup berarti baginya untuk mengalihkan perhatiannya.

Bagi Jaka Indi, tampilan nona ini adalah tampilan wanita yang paling menarik tapi juga paling unik yang pernah dilihatnya seumur hidup.

Walaupun usia Si nona nampak muda namun tidak mengurangi wibawa dan keagungannya, wajah ini memiliki wajah cantik anggun yang mengandung magnetis, terlebih dengan adanya enam buah lengan yang putih halus nan gemulai. 

Dalam mata Jaka Indi terbayang sebentuk senyum. Ia membuka pintu keretanya dan berkata.

"Mari masuk. Aku bisa memberimu tumpangan." 

Kata-katanya pendek dan singkat, tapi penuh keramahan dan kehangatan.

Dalam hamparan hutan Jagad Buwono yang tidak berujung ini, dan dalam cuaca hujan gerimis yang dingin seperti ini, rasanya tak seorang pun yang akan dapat menolak ajakannya.

Siapa sangka nona muda ini bahkan tak mau menoleh padanya! 

Ia juga tidak memperlambat langkahnya, seakan-akan tidak mendengar orang berbicara padanya. 

Tanya Jaka Indi lebih lanjut, 
"Maaf...! Apakah nona tuli ?"

Mendadak si nona berhenti sejenak...

Jaka Indi pun memberi isyarat pada Gochan agar juga menghentikan laju kereta kuda unicorn-nya.

Terlihat Si nona berjongkok lalu dengan sekop kecilnya dicongkelnya satu tumbuhan kecil yang telah mati kekeringan, kemudian tangan yang lainnya mengambil sebuah biji bijian dari salah satu saku kain di pinggangnya, dan ditanamnya biji bijian tersebut ditempat bekas tanaman kering yang telah dibuangnya, kemudian tangan yang lainnya ada yang menimbun dengan tanah dan ada yang menyiramnya dengan air yang ada dalam kendi yang dibawanya. 

Hanya satu lengan yang memegang payung yang tetap pada posisinya melindungi dirinya dari hujan gerimis, sedang kelima tangan yang lain aktif bergerak secara serasi dan hampir bersamaan dari mulai mencabut, mengambil bibit, menanam dan menyiram dengan air yang ada dalam kendi. 

Walaupun jari-jarinya lembut dan lentik, namun gerakan kesemua lengannya sangat lincah dan cekatan.

Jaka Indi memperhatikan dengan terkesima. "Masuklah, dan mari minum beberapa teguk seduhan teh panas, baik untuk menghangatkan tubuhmu." Nona muda itu menjawab cepat. 

"Terima kasih anak muda atas penawarannya, tapi aku sedang melakukan tugasku, jadi aku tidak bisa ikut dan tidak dapat merima tumpangan darimu."

Sungguh seorang nona muda yang sangat berhati-hati. Bahkan pelipis di sudut mata Jaka Indi pun ingin tersenyum, tapi ia sendiri malah tidak tersenyum. Sebaliknya ia berkata,

"Aku sebatas mengundangmu minum bersamaku, bukan berniat tidak baik padamu."

Nona muda itu menjawab,
"Aku tidak akan meninggalkan pekerjaanku dan tidak dapat menerima ajakanmu, Apakah penjelasanku cukup jelas ?" Kata Jaka Indi. 

"Cukup jelas !!" Lalu nona muda itu berkata, 

"Bagus. Kau bisa pergi sekarang."

"Maaf bila sikapku mengganggu nona, namaku Jaka Indi, kalau boleh tahu siapakah nama nona ?"

"Ada yang menyebutku Dewi tangan enam, ada pula yang memanggilku Dewi Kesuburan, ada pula yang menyebutku Dewi pemelihara, tugasku diantaranya adalah merawat dan memelihara tumbuh-tumbuhan, termasuk merawat hutan dari kerusakan. 

Jaka Indi berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata sambil tersenyum,

"Baiklah.... aku pergi sekarang, bila kelak kita bertemu lagi, maukah kau mengundangku minum secangkir teh bersama ?"

Nona muda itu menatapnya, lalu tersenyum dan berkata, 

"Baik, aku akan mengundangmu."

Jaka Indi tertawa dan keretanya mulai melaju, sampai ia tidak dapat lagi melihat nona muda itu.

Jaka Indi lalu bertanya pada Gochan, 

"Pernahkah kau bertemu wanita seaneh itu ?"

"Aku pikir ia adalah seorang wanita yang penyayang lagi bijaksana, dalam cuaca seburuk ini, masih sempat-sempatnya mengurus tanaman, dan Ia adalah seorang wanita yang berkemauan kuat, berbudi pekerti baik. Hal seperti ini baru pertama kalinya pula aku melihat makhluk bertangan enam." Ujar Gochan. 

Jaka Indi bertanya lagi,
"Apa kau lihat seruling bambu kuning yang terselip di pinggangnya ?" Senyum simpul terbayang di bibir sang bocah berwajah kera.

"Iya.... aku melihatnya, seruling tersebut menyerupai seruling bambu milik kak Arimbi."

Kali ini Jaka Indi tampak mengerutkan alisnya, ia bahkan menghela nafas dan berkata, 

"Menurutku, sangat mungkin wanita berlengan enam tersebut memiliki hubungan dengan kalangan peri langit." 

Kembali kereta kuda unicorn melaju dengan pesat, ribuan kunang kunang yang semula mengelilingi kereta unicorn sudah tidak tampak lagi.

Seribu mil perjalanan telah berlalu. Tampak dua sosok manusia kerdil berjalan beriringan, ditepi jalan yang dilalui Jaka Indi, mereka berjalan juga menuju arah yang sama dengan Jaka Indi. 

Keduanya bertubuh kerdil yang semirip dan juga memiliki penampilan serupa, dengan dua tanduk kecil di atas kepalanya yang plontos, kedua lengan yang panjang menjulur melewati lutut kaki, serta memiliki enam buah jari tangan dan enam jari kaki dengan kuku jari tangan yang runcing.

Mereka berdua hanya mengenakan cawat warna hitam tanpa mengenakan baju dan alas kaki.

Meski keduanya bertubuh kerdil, namun sama sekali tidak memperlambat langkahnya, yang membedakannya adalah bahwa orang yang berjalan didepan memiliki kulit berwarna kemerahan yang menyala, sedang sosok kerdil yang dibelakangnya berwarna oranye kekuningan seperti warna oranye pada nyala api tungku. 

Sosok kerdil yang didepan yang berwarna merah terang, terlihat membawa tongkat serupa akar rotan warna hitam, dengan bagian kepala tongkatnya berbentuk kepala ular. 

Sedang sosok yang berwarna merah oranye yang dibelakangnya membawa trisula besi berwarna hitam, trisula tersebut terlihat melebihi tinggi tubuhnya yang kerdil. 

Baik sosok kerdil yang berwarna merah maupun yang berwarna orange, keduanya memegang tongkat dan trisula dengan tangan kirinya.

"Mungkin saja makhluk ini kidal" Tapi memang tidak sedikit jenis jin yang ditemui Jaka Indi justru bertangan kidal. 

Perhatian Jaka Indi kembali tercurah pada sesuatu yang lain. Kedua sosok kerdil ini berjalan cukup cepat, dengan langkah lebar-lebar. 

Walau sekilas langkah mereka seperti biasa saja.. tapi seperti ada yang janggal, lazimnya, seseorang yang berjalan bersama-sama akan mempunyai langkah-langkah yang seirama. Namun kedua sosok kerdil ini berbeda. 

Waktu kaki sosok makhluk yang pertama menginjak tanah, kaki sosok kedua terangkat keatas, tepat di tengah-tengah jejak sosok yang pertama. 

Jadi jejak mereka tampak seperti jejak langkah satu makhluk saja. Sosok didepan melangkah pertama, lalu sosok dibelakangnya melangkah kedua.

Sosok pertama melangkah ketiga, dan sosok kedua pun melangkah keempat. Seluruhnya dalam gerakan yang sama.

Jaka Indi belum pernah melihat dua orang atau dua makhluk berjalan seperti ini. Ia sungguh merasa tertarik. 

Langkah mereka yang seirama, menandakan pikiran mereka yang seirama pula. Seolah gerakan mereka melengkapi satu dengan yang lain. Dan adapula kebiasaan beberapa jenis jin yang pernah dilihat oleh Jaka Indi, bila umumnya manusia saat berjalan bersama temannya akan lebih suka berjalan sejajar kesamping, sebaliknya pada jenis jin mereka akan berjalan beriringan membentuk garis lurus kebelakang. dan dari yang diketahuinya, jin yang lebih tinggi tingkatannya akan berjalan memimpin didepan, lalu diikuti oleh jin yang lebih rendah tingkatannya.

Berdasar hal ini maka bisa diduga kalau sosok kerdil yang berwarna merah menyala yang berjalan didepan adalah pemimpinnya, kemudian diikuti oleh sosok yang berwarna oranye kekuningan.

Jaka Indi teringat pada kakek kerdil di Kedai Arwah, yang memiliki aura api kebiruan, tentunya kakek kerdil tersebut lebih tinggi lagi tingkatannya.

Namun kali ini Jaka indi tidak menyapa atau menghentikan keretanya, melainkan meminta Gochan untuk tetap melanjutkan perjalannya.

"Gochan teruslah berjalan, mungkin masih banyak hal baru yang akan kita temui dalam perjalanan ini."
 
------====oOo====------

Bagaimanakah Jaka Indi dan Gochan bisa keluar dari hutan labirin? 

Kemanakah sebenarnya tujuan Jaka Indi? Apakah kegunaan cupu tempurung batok kelapa dengan ukiran kaligrafi kuno yang terikat pada pinggang Jaka Indi ?

Untuk mengetahuinya kita kembali ke kisah sebelumnya saat Jaka Indi masih berada dalam pondok bambu, di hutan labirin.

BERSAMBUNG
close