Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SETELAH ANAKKU MENINGGAL (Part 2) - Kemunculan dan Teror Dimulai

Malam itu, dia muncul, membangunkan seisi rumah. Seakan memberi kabar jika "aku telah datang"


“Ji... ono pocongan neng sebelahmu iso-isone kowe ora tangi” (Ji... Ada pocongan di sebelahmu bisa-bisanya kamu gak bangun) gumam Ngatinah dalam hati.

Suara panggilan terhadapnya masih ia dengar dari balik selimutnya. Matanya yang susah untuk diajaknya tidur semakin membuatnya hanyut dalam ketakutan malam itu.

Malam itu, mata Ngatinah masih terjaga hingga adzan subuh berkumandang. Walau diantara rasa takutnya yang masih berkecamuk, Ngatinah memberanikan keluar kamar untuk beribadah subuh.

Malam itu, adalah kali pertama pocong hitam mulai muncul di lingkungan desa Glagah, tepatnya di rumah Ngatinah.

Besoknya, saat jam sudah menunjukkan hampir jam sepuluh pagi, Suraji belum melihat kakak perempuannya di luar rumah. Awalnya, Suraji berpikir jika kakaknya Ngatinah sedang keluar rumah, karena menurutnya tidak mungkin jika dia masih tidur jam segini.

Tapi, hingga saat adzan Dzuhur datang, ia belum mendapati kakanya Ngatinah di rumah.

Menyadari itu, Suraji berinisiatif mengetuk pintu kamarnya, ia yakin jika kakaknya Ngatinah berada di dalam. Karena sangat jarang kakaknya pergi keluar rumah selama ini, dan tanpa memberitahunya dahulu.

“Mbak... Mbak” panggil Suraji, tidak biasanya dia belum bangun di jam segini.

Suraji khawatir saja jika sesuatu terjadi pada kakak perempuannya yang baru ditinggal anak semata wayangnya di dalam kamarnya. Hingga berkali-kali Suraji memanggil dan mengetuk pintu kamarnya, kakak perempuannya baru menyautnya dari dalam

“Iyo, Ji...” (Iya, Ji...) ucap Bu Ngatinah dari dalam kamarnya.

“Sampean ora kenopo-kenopo to, mbak?” (Kamu tidak kenapa-kenapa to, mbak?) Tanya Suraji dari balik pintu.

Belum sempat sebuah jawaban terdengar di telinga Suraji, tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan-pelan. Ngatinah mengintip dari dalam, takut kejadian semalam terulang.

“Kenopo to, mbak?” (Kenapa sih, mbak?) Tanya Suraji heran melihat kakak perempuannya bertingkah aneh.

“Ehh orapopo, Ji” jawab Ngatinah.

“Orapopo pie to, mbak, sampean nginceng-nginceng koyo ngono ki gek ngopo” (enggak apa-apa gimana, mbak, kamu ngintip-ngintip begitu itu mau lihat apa) ujar Suraji.

“Kowe mau bengi kenopo, Ji? Kok berisik neng njero kamar” (Kamu tadi malam kenapa, Ji? Kok berisik di dalam kamar) Tanya Ngatinah pada adiknya.

“He? Aku ora ngopo-ngopo, mbak, wong aku turu wae ora tangi babarblas tekan subuh” (He? Aku tidak ngapa-ngapain, mbak, aku saja tidur enggak bangun sama sekali sampai subuh)

“Emang sampean krungu opo, mbak?” (Emang kamu dengar apa, mbak?) tambahnya.

“Brarti aku keliru krungu wae, mbok an wes ngantuk dadi marai pikiran ora fokus” (brarti aku salah dengar aja, mungkin karena sudah ngantuk jadi pikiran gak fokus) tutur Ngatinah.

Ternyata, malam itu Suraji tidak tau soal kejadian semalam saat ia tertidur, mengenai sesosok pocong hitam di sebelahnya.

Sudah 12 hari setelah kematian Guntoro, Suraji masih menemani kakaknya Ngatinah. Ia masih belum pulang karena menurutnya, kakak perempuannya masih belum siap jika ditinggal di rumah sendirian.

“Kowe opo gak pengen bali omah to, Ji? Mesakke anak bojomu” (Kamu apa gak ingin pulang to, Ji? Kasihan anak dan istrimu) Tanya Ngatinah pada adiknya sambil membawakan segelas kopi di pelataran rumah.

“Ora opo-opo, mbak, wingi kan bojoku bar rene, bojoku yo ngongkon aku ngancani sampean disek neng kene” (Gak apa-apa, mbak, kemarin kan istriku juga dari sini, dia juga memintaku untuk di sini dulu menemanimu) ucap Suraji.

Suraji memang yang paling mengerti keadaan kakak perempuannya saat itu, dia merasa kasihan terhadap kakaknya yang harus tinggal sendirian dalam waktu dekat.
“Yowes, nek pengenmu ngono, aku maturnuwun” (ya sudah, jika keinginanmu demikian, aku terima kasih) ucap Ngatinah.

"Wes ayo mbak, sholat sek, aku meh neng musholla” (Sudah ayo mbak, sholat dulu, aku mau ke musholla) ucap Suraji mencukupi percakapannya saat itu karena adzan maghrib yang sudah selesai berkumandang.

Selepas berjamaah sholat maghrib, beberapa warga berjalan beriringan sambil membicarakan suatu kejadian yang menyita perhatian Suraji.

“Pak, opo wes krungu, ndek bengi bocah-bocah sing nembe podo njagong neng pos kamling ono sing diweruhi pocongan?” (Pak, apa sudah dengar, jika semalam anak- anak yang lagi nongkrong di poskamling ada yang dilihati pocong?) ujar Bu Rohmah pada orang-orang yang berjalan bersamanya.

“Opo iyo, bu? Ojo sembarangan nek ngomong” (Apa iya? Jangan sembarangan kalau bicara) jawab Pak Toyo di belakangnya. Suraji yang berjalan di belakang tak jauh diantara mereka pun tak sengaja mendengar percakapan mereka, ia lalu mempercepat sedikit langkahmya.

“Pocong? Sing nggenah, bu, poskamling kan cedak omahe mbak Ngatinah, tapi aku ora krungu suoro bocah playon ndek bengi ki” (Pocong? Yang benar saja, bu, poskamling kan dekat dengan rumah mbak Ngatinah, tapi aku tidak dengar ada suara anak berlari) saut Suraji menimpalnya.

Karena menurutnya, seharusnya ia mendengar jika ada keributan di luar rumah. Selain karena rumah kakaknya berada tidak jauh dari pos kamling, dari kamar Guntoro tempatnya ia tidur pun selalu jelas jika mendengarkan suara dari luar rumah, karena kamarnya yang berada di depan.

“Iyo, pak, si Ali kae, mau isuk cerito. Bocahe karo konco- koncone diweruhi pocong werno ireng ng pos kamling” (Iya, pak, si Ali yang cerita. Dia dan teman-temannya dijumpai pocong warna hitam di poskamling) ucap Bu Rohmah.
(Ali adalah anak tetangga samping rumahnya)

Beberapa warga tidak percaya dengan perkataannya tapi juga ada warga yang mempercayainya. Begitupun Suraji, walau ragu, ia sedikit kepikiran dengan perkataan Bu Rohmah, karena, berita ini muncul tidak lama setelah kematian Guntoro.

“Ah, mungo-mugo ora” (Semoga saja tidak) ucap Suraji menepis segala pikiran buruknya.

Setibanya di rumah, Suraji langsung ke arah dapur, melahap makanan yang disiapkan kakaknya, Ngatinah. Malamnya, setelah isya dan setelah segala urusannya beres, Suraji langsung merebahkan badannya di kasur yang berada di kamar Guntoro.

Meski selama ini ia tidur di bekas kamar orang yang sudah meninggal, tidak terbesit sedikitpun rasa takut pada dirinya. Tepatnya belum takut, karena ia belum menemukan kejadian-kejadian mencekam di sana, atau di rumah kakaknya, Ngatinah.

Lampu pijar kuning yang tak begitu terang menemaninya hampir tiap malam di kamar Guntoro. Kamar Guntoro yang berada di depan, terdapat satu jendela yang langsung menghadap keluar rumah.

Dari jendela ini, Suraji mampu mendengarkan suara-suara yang berasal dari luar, sehingga, jika kemarin malam ada anak- anak berlarian karena dijumpai pocong, seharusnya ia bisa menyadarinya.

Malam itu terlihat sepi, saat Suraji melihat keadaan dari jendela kamar. Hanya gonggongan suara anjing milik salah satu warga yang terdengar di telinganya. Tak lama setelah itu, Suraji tidur dengan sendirinya.

Hingga, entah jam berapa, tiba-tiba Suraji terbangun dari tidurnya karena ada suara berisik dari dapur yang berada di belakang rumah. Perabot-perabot yang terbuat dari aluminium seperti sendok, piring dan panci terdengar berjatuhan di atas tanah.

“Mbak?” panggilnya dari dalam kamar dengan suara agak keras, ia mengira jika kakak peempuannya yang ada di dapur. Tapi, beberapa kali panggilan Suraji tidak mendapat jawaban.

“Palingan curut” (Paling tikus) ucap Suraji dalam hati sambil kembali memejamkan matanya lagi.

Tapi, belum sempat kesadarannya hilang, tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya lagi. Sebuah suara hantaman keras membangunkannya lagi. Suraji akhirnya terbangun, menajamkan pendengarannya lagi, mencari asal suara hanyaman keras itu.

Dan benar...

Tiba-tiba suara hantaman itu muncul lagi dan terdengar berkali-kali. Hal itu membuat Suraji bangun dari kasur mencari sumber suara yang rupanya berasal dari atap rumah.

Dengan kesadaran dan matanya yang belum terbuka sempurna, Suraji memperhatikan atap kamar Guntoro, sambil menerka-nerka, benda apa yang jatuh di atap rumah.

Lagi-lagi suara itu muncul lagi dan berkali-kali. Kali ini, suaranya terdengar berkali-kali dengan jarak waktu yang sama. Awalnya, Suraji mengira ada orang iseng yang melempari rumah.

“Ora, iki ora mungkin ono wong iseng sing nyawat omah” (Tidak, ini tidak mungkin orang iseng yang melempar rumah)

“Opo maling, yo?” (apa maling, ya?) tanyanya dalam hati.

Suaranya seperti sedang ada seseorang yang sedang merayap di atap rumah kakaknya. Anehnya, kakak perempuannya Ngatinah tidak membangunkannya.

Apa dia tidak menyadarinya? Dengan suara sekeras ini, sepertinya tidak mungkin jika dia tidak mendengarnya. Suraji memutuskan keluar kamar, memanggil kakaknya dari luar.

“Mbak.... Mbak.....” panggilnya, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamarnya.

“Mbak.... Mbak.....” panggilnya lagi sambil meninggikan suaranya. Sebuah sautan terdengar dari dalam, tak lama dari situ, kakak perempuannya keluar dari kamar.

“Iki jam piro, Ji? Kok kowe mbugah aku” (Ini jam berapa, Ji? Kok kamu membngunkanku) Tanya Ngatinah sambil mengucek matanya yang baru sadar.

“Opo sampean ora nyadar to, mbak?” (apa kamu tidak nyadar, mbak?)

“Opo?” (apa?) jawab Ngatinah.

“Lha... kae.. kae, rungokno to mbak” (lha... itu... itu. Dengarkan sih, mbak) ucap Suraji sambil menunjuk atap rumah.

“Suoro opo kae?” (suara apa itu?) Tanya Ngatinah.

“Aku dewe ora weruh, mbak, ket mau suoro kae wes neng kono” (Aku sendiri tidak tau, mbak, dari tadi suara itu sudah disitu) ujar Suraji.

Setelahnya, Ngatinah meminta Suraji agar segera keluar rumah melihat apa yang ada di atap rumah yang membuat mereka berdua khawatir dari dalam rumah. Suraji menurut saja, ia membuka pintu, lalu melihat di atas rumah tempat dimana suara itu berasal.

Tidak ada siapa-siapa di atas, Suraji melihat ke semua penjuru atas rumah. Tiba-tiba sesosok makhluk keluar dari balik atap yang berbentuk segitiga, sesosok berwarna hitam legam dengan kuncup di atas kepalanya muncul di depan matanya.

Ia melompat-lompat di atas rumah. Awalnya Suraji ragu dengan yang ia lihat, tapi, matanya tidak salah...

“Kepie, Ji? Ono opo? Kok kowe menteleng koyo ngono” (Gimana, Ji? Ada apa? Kok kamu cuman melamun sambil melotot seperti itu) ucap Ngatinah, ia tiba-tiba keluar rumah menyusul adiknya Suraji.

Melihat Suraji yang melotot menatap atas rumah, sontak membuatnya langsung ikut melihat ke atas.

“Astagfirullahahladzim.... Ji.....” teriak Ngatinah terkejut, karena ia melihat sesosok pocong berwarna hitam dengan wajahnya yang juga hitam pekat sedang menatap ke arahnya dan Suraji, pocong yang sebelumnya pernah ia temui sebelumnya.

Tapi, kali ini Ngatinah mampu melihat wajah makhluk yang dibuntal kain hitam itu, wajahnya gosong dengan darah dan nanah yang putih mengalir di wajahnya. Walau demikian, Ngatinah merasa aneh dengan sosok pocong itu. Rasa penasarannya seimbang dengan ketakutannya.

“Mbak, mlebu!” (masuk!) Suraji ketakutan, ia berlari ke dalam rumah.

“Astagfirullah.... Astagfirullah.... Astagfirullah.....” Ngatinah beristigfar beberapa saat dan memanjatkan beberapa bait doa, kemudian ia memberanikan lagi menatap kea rah pocong hitam di atas rumahnya.

“Gun..... Guntoro”

“Guntoro........”

Ngatinah berkali-kali mengucapkan nama anaknya yang belum lama meninggal. Rupanya, pocong hitam yang dilihatnya menyerupai anaknya Guntoro.

Pocong yang menyerupai wajah anaknya it uterus- menerus melompat-lompat di atas rumahnya. Ngatinah pun demikian, ia masih menyebut-nyebut nama anaknya Guntoro.

Aneh, aneh memang, tapi Ngatinah benar-benar melihatnya, pocong dengan wajah yang menyerupai wajah anaknya Guntoro.

Tiba-tiba Suraji keluar rumah lagi, menarik paksa Ngatinah yang masih melamun melihat pocong hitam di atas rumahnya.

“Sampean ngopo, mbak? Ojo gendeng” (Kamu ngapain, mbak? Jangan gila) tandas Guntoro di dalam rumah.

“Tapi.... Wajahe mirip Guntoro, Ji” (wajahnya mirip Guntoro, Ji) ucap Ngatinah.

Degg......

Suraji terkejut mendengar perkataan kakak perempuannya.

“Sampean ojo gendeng, kae ki demit, mbak! ojo gelem dipusi” (Kamu jangan gila, mbak, itu tu setan, mbak! Jangan mau ditipu) gertak Suraji.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close