Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 7) - Perdebatan


JEJAKMISTERI - Kedhung Jati kembali geger.Kabar tentang Pak Jarwo yang mati bunuh diri dengan cara menggorok lehernya sendiri dengan menggunakan arit milik Mas Yudi membuat warga kembali gempar.

Seperti kemarin, mereka segera berbondong bondong menuju ke lokasi kejadian. Namun langkah mereka kembali tertahan di pondok Mas Joko, karena polisi yang sudah terlebih dahulu datang dengan sigap mengusir mereka.

Polisi dan perangkat desapun kembali dibuat sibuk. Bahkan Pak Bambang, komandan polisi itu kini memanggil beberapa orang ahli dari kabupaten untuk membantu penyelidikan mereka.

Warga tak tau pasti ahli apa yang dimaksud. Mereka datang dengan peralatan peralatan yang terlihat aneh di mata warga. Tanpa banyak bicara lagi, orang orang itu segera bekerja. Mereka meneliti gumpalan tanah bekas galian kemari. Lagi lagi terlihat aneh dimata warga. Mereka mengamat amati gumpalan tanah di tangan mereka dengan sangat serius, mirip seperti orang yang sedang memastikan keaslian sebuah batu permata.

Tak cukup sampai disitu, salah satu dari para ahli itu, yang mengenakan pakaian mirip robot, (mengenakan masker gas dan menggendong tabung oksigen) lalu masuk kedalam lobang sumur.

Bu Ratih dan Pak Modin yang saat itu juga hadir, hanya memandangi para petugas yang sedang bekerja itu dari teras pondok Mas Joko. Bagi mereka, apa yang dilakukan oleh para petugas itu sebenarnya tak berguna. Lubang dengan tanah bekas galiannya yang menggunung itu, sudah tak ada apa apanya meski diteliti oleh para ahli sekalipun. Mereka, yang memiliki mata batin lebih tajam dari manusia kebanyakan, dari awal sudah merasa bahwa yang menjadi sumber masalah bukanlah lubang dan tanah bekas galian itu, tapi apa yang telah lepas dan kabur dari dalam tanah itu.

"Dasar orang orang bodoh!" dengus Pak Bayan Mangun yang sepertinya masih merasa kesal karena tak diijinkan untuk ikut dalam penyelidikan itu.

"Siapa pak?" Bu Ratih menoleh ke arah Bayan tua itu.

"Ya mereka itu! Ngakunya ahli! Orang berpendidikan! Tapi mereka sebenarnya sama sekali ndak tau dengan apa yang apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka hadapi!" sungut Pak Bayan Mangun.

"Cara kerja mereka memang seperti itu, biarkan saja mereka bekerja dengan cara mereka. Dan kita juga akan bekerja dengan cara kita sendiri. Toh tujuan kita sama, ingin melindungi dan menyelamatkan desa ini," Pak Dul Modin, sesepuh desa itu ikut bicara. Meski kini ia sudah sangat tua, hingga untuk berjalanpun harus dibantu dengan tongkat, namun kewibawaan dan kebijaksanaannya masih sangat kentara.

"Yang bikin aku kesal itu Din, kita yang warga asli desa ini, yang lahir dan dibesarkan disini, yang makan dan minum dari hasil tanah desa ini, yang lebih paham akan situasi dan kondisi desa ini, justru dianggap bodoh dan tak tau apa apa oleh anak anak ingusan yang ngakunya berpendidikan itu! Aku yakin, sebentar lagi mereka akan membuat keputusan ngawur. Dan nanti kalau keputusan ngawur mereka itu ternyata salah dan menambah keruh suasana, kita kita juga yang akan dibuat repot!"

Pak Dul Modin hanya tersenyum mendengar ucapan Pak Bayan Mangun yang berapi api itu. Ia sadar, apa yang dikatakan oleh Bayan tua itu tak sepenuhnya salah. Tapi orang orang yang dianggap masih ingusan oleh Pak Bayan itu juga tak salah. Dan mereka lebih punya wewenang jika hanya dibandingkan dengan seorang Bayan. Zaman semakin maju. Teknologi juga semakin canggih. Dan cara berpikir orang orang tua seperti mereka semakin tak dianggap.

"Daripada terus terusan menggerutu begitu, lebih baik kita juga segera memikirkan tindakan apa yang harus kita lakukan," ujar Pak Dul Modin pelan.

"Ah, andai Kang Kendhil masih ada," desah Pak Bayan Mangun.

"Tak usah mengharap yang sudah ndak ada. Kita sebagai generasi penerus yang harus berjuang sekarang." Pak Dul Modin mengingatkan.

"Yah, mau bagaimana lagi. Sampeyan juga sudah terlalu sepuh Din. Sudah saatnya tugas kita diteruskan oleh yang muda muda. Dan harapan kita satu satunya sepertinya cuma keponakan sampeyan ini," Pak Bayan Mangun melirik kearah Bu Guru Ratih yang semenjak tadi hanya diam.

"Mudah mudahan, keponakanku yang masih ingusan ini, meski berpendidikan tapi pikirannya belum diracuni oleh kemajuan teknologi Yan."

"Hahaha, sampeyan menyindirku ya Din?"

Bu Ratih hanya tersenyum hambar mendengar obrolan kedua sesepuh desa itu. Dua orang yang sudah banyak makan asam garam kehidupan. Dua orang yang sudah banyak memahami desa yang mereka pimpin selama ini. Dua orang yang selalu ia jadikan panutan, meski kadang cara berpikir mereka sedikit berseberangan.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan Tih?" teguran Pak Dul Modin sedikit mengejutkan Bu Ratih.

"Tentu saja aku akan melindungi desa ini dengan segenap kemampuanku Wak," jawab Bu Ratih.

"Jawabanmu itu, kedengarannya masih sedikit ragu."

"Entahlah Wak. Aku cuma merasa, apapun yang akan kita hadapi nanti, sepertinya berkali kali lipat dari apa yang dulu dulu pernah kita hadapi. Dan aku tak yakin bisa menghadapinya Wak."

"Huh! Selalu saja begitu! Kamu selalu tak yakin dengan kemampuanmu sendiri Tih."

Bu Ratih kembali diam. Karena memang tak tau harus menjawab apa. Dan juga karena Pak Bambang, komandan polisi itu datang menghampiri mereka bersama si ahli yang tadi turun ke lubang sumur.

Pak Bayan Mangun menyambut dingin kedatangan kedua petugas itu. Sepertinya ia masih kesal. Terpaksa Bu Ratih yang mengambil alih keadaan.

"Bagaimana Pak?" tanya Bu Ratih.

"Dugaan sementara, dari hasil penelitian bapak bapak ini, memang ada gas berbahaya yang keluar dari lubang galian itu. Gas yang jika sampai terhirup oleh manusia bisa mengakibatkan hilang kesadaran dan halusinasi, hingga Pak Jarwo dan juga Pak Diman melakukan tindakan tindakan yang sangat sulit diterima nalar itu. Jadi kami memutuskan untuk menimbun kembali lubang itu, sebelum gas itu menyebar kemana mana," jelas Pak Bambang.

"Menimbun kembali lubang itu?! Jangan ngawur sampeyan Pak! Sampeyan mau membunuh kami semua?!" belum sempat Bu Ratih menanggapi, Pak Bayan kembali menukas.

"Lho, ngawur gimana maksud Pak Bayan? Dan membunuh siapa?" komandan polisi itu mengerutkan alisnya.

"Ya membunuh kami semua yang tinggal di desa ini! Sampeyan pikir dengan menimbun lubang itu akan menyelesaikan masalah?! Tidak Pak Bambang! Justru sebaliknya! Dengan menimbun kembali lubang itu, justru akan membuat makhluk makhluk itu akan semakin marah dan ganas!"

"Makhluk apa maksud Pak Bayan?!" tanya Pak Bambang masih tak mengerti.

"Ya makhluk yang sebelumnya menghuni lubang itu! Makhluk yang kemaren merasuki Pak Jarwo dan Lik Diman dan memaksa mereka untuk menghabisi nyawa mereka sendiri!"

"Astaga! Sampeyan seorang Bayan dan masih percaya dengan klenik semacam itu?"

"Jangan mengguruiku Pak komandan! Pangkat sampeyan mungkin lebih tinggi dari saya! Tapi saya lahir dan dibesarkan di desa ini bahkan sebelum bapak sampeyan bertemu dengan ibu sampeyan! Jadi saya lebih paham situasi di desa ini daripada sampeyan!"

"Pak Bayan!" merah padam wajah si komandan polisi mendengar ucapan Pak Bayan Mangun yang frontal itu. "Kami membuat keputusan bukan asal saja Pak! Tapi melalui penyelidikan dan penelitian! Sampeyan...."

"Terus sampeyan pikir masalah akan selesai hanya dengan menutup lubang itu?"

"Mudah mudahan, sambil menunggu penelitian lebih lanjut. Bapak bapak ini sudah mengambil sampel tanah untuk diteliti lebih lanjut!"

"Dan selama mereka meneliti, kita semua di desa ini akan mati konyol!"

"Pak....!"

"Semua itu baru sekedar dugaan kan?! Gas berbahaya apanya?! Kalau memang ada gas di sumur itu, Joko yang kemarin mengambil kendhi di dalam sumur itu sudah mati! Sampeyan pikir sudah berapa hari sumur itu digali?! Kalau memang ada gas, pasti sudah menyebar kemana mana! Ngakunya ahli! Berpendidikan! Tapi kok ngawur seperti itu!"

"Ngawur?! Kalau apa yang kami lakukan ini sampeyan anggap ngawur, lalu sampeyan sendiri sebagai Bayan, apa yang sudah sampeyan lakukan? Sudah dua orang yang jatuh jadi korban, dan saya lihat, belum ada satupun tindakan yang sampeyan lakukan untuk mencegah tragedi ini. Apa itu ..."

"Ehem...!!!" Bu Ratih berdehem agak keras, membuat dua orang yang sedang berdebat itu tersadar.

"Pak Bambang, silahkan bapak lakukan tindakan yang sekiranya perlu untuk dilakukan. Maaf kalau kami mengganggu penyelidikannya. Kami sendiri, juga akan melakukan apa apa yang sekiranya perlu kita lakukan. Tak ada gunanya to kita berdebat, toh apapun yang kita akan lakukan, tujuan kita sama, ingin melindungi dan menyelamatkan desa ini."

"Saya setuju dengan ucapan sampeyan Bu. Beruntung desa ini masih punya orang yang berpikiran lebih maju seperti sampeyan. Mudah mudahan kelak sampeyan yang menjadi penerus untuk memimpin desa ini!"

"Wedhus!" Pak Bayan Mangun mendengus kasar, lalu segera berlalu meninggalkan mereka dengan membawa rasa kesal yang masih menggunung, diikuti oleh Bu Ratih dan Pak Dul Modin.

Komandan polisi itu hanya bisa menggeleng gelengkan kepalanya melihat kepergian ketiga orang itu, lalu berbalik, bermaksud untuk kembali ke area penyelidikan, saat tiba tiba angin berhembus agak kencang menerpa wajahnya. Angin yang terasa sangat dingin di siang yang terik dan panas. Angin yang membuat bulu kuduknya tiba tiba meremang.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close