Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

JEJAK GHAIB ALAM MERAPI (Part 2 End)


JEJAKMISTERI - Kami duduk di salah satu selasar rumah warga dan meminum air perbekalan kami untuk menghilangkan rasa lelah.

“Mas.. sini” terdengar suara seorang perempuan memanggil kami. Rupanya itu adalah suara perempuan yang memandu kami keluar dari hutan.

“Eh mbak.. tadi terima kasih ya sudah memantu kami keluar dari hutan” Ucap Rama membuka pembicaraan.

“Iya mas gapapa.. udah biasa, ini sabtu kliwon biasanya para pencari ilmu menjadikan hutan itu untuk mencari tumbal” Jawab perempuan itu.

Kami saling menatap, salah sedikit kamilah yang akan jadi tumbal para pencari ilmu itu.

“Udah.. ayo ke balai desa, tadi habis ada acara... ada temen-temen masnya juga disana”

Setelah berbicara, wanita itu segera memandu kami menuju balai desa.

Benar, disana terlihat para pendaki yang tadi sudah berjalan mendahului kami. Mereka sedang berbincang dengan beberapa warga desa sambil menikmati suguhan yang disajikan warga.

“Monggo mas... istirahat dulu disini“ ucap salah seorang warga desa yang menyambut kami.

“Njeh pak.. matur nuwun.. Terima kasih” kami segera mengambil posisi duduk seadanya di sekitar warga itu.

“Buk.. ini ada tamu, mbok yo disuguhin apa gitu...” perintah orang itu kepada istrinya.

“Sudah pak ga usah repot-repot, kita sudah bawa perbekalan kok” Ucapku kepada bapak itu.

“Halah.. gak repot kok, tadi juga habis ada acara banyak makanan yang sisa kok” Ucapnya.

Kami melihat sekitar, memang terlihat ada panggung dan alat musik tradisional di sana seolah selesai mengadakan acara.

Mataku berpandangan dengan pendaki yang sudah datang duluan dan mengangguk sekedar memberi salam.

“Habis ada acara apa to pak?“ Tanyaku penasaran.

“Biasa... pementasan tari, hampir setahun dua kali kami mengadakan pementasan ini.” Jelas bapak itu.

Tidak ada sound sistem, hanya alat musik tradisional yang usang yang terlihat di sekitar panggung. Aku berjalan-jalan dan memperhatikan panggung dan orang-orang di sekitar balai desa.

“Monggo, diicipin seadanya...“ Tiba-tiba istri dari warga desa yang menyambut kami datang dengan membawa sebuah nampan berisi makanan dan teh hangat.

“Kebetulan... stok airku udah habis, diisi teh anget cocok nih” Rama segera mengambil kendi berisi teh dan mengisi botolnya.

“Heh.. yang sopan kamu!” Ucap Rama sambil memukul lengan Rama yang dengan cepat dihindari oleh Yanto.

“Ya sudah.. dinikmati dulu ya, saya tinggal dulu” ucap warga desa itu.

“Njih.. terima kasih banyak pak” Jawabku.

Aku menghampiri Rama dan Rama untuk segera duduk dan memikirkan mengenai kejadian di hutan tadi. Rama dan Yanto masih sibuk membicarakan hal yang tidak penting.
Sambil melihat kekonyolan mereka aku bermaksud memakan suguhan yang disajikan warga tadi.

Namun semua itu terhenti oleh seorang wanita yang muncul menghampiri kami.

“Jangan dimakan...” ucap wanita itu dengan menatapku sejenak dan segera pergi meninggalkan kami.

Samar-samar aku mengingat wajah wanita itu. Tidak pasti.. tapi aku rasa aku pernah melihatnya.

Wajah Wanita itu sama persis dengan wajah mayat wanita di hutan tadi yang sempat kudoakan.

“Rama.. Yanto.. Kita pergi dari sini.“

Kali ini aku yakin ada yang tidak beres juga dengan tempat ini.

“Kenapa emang Danan... kita istirahat dulu lah ngemil dulu sedikit” Ucap Rama sambil mencoba mengambil kue yang disuguhkan.

Aku segera menepuk tanganya hingga kue itu terjatuh dari tanganya.

“Udah nurut aja...” Kali ini aku memaksa menarik mereka dan mengenakan ransel kami masing-masing.

Kami berjalan dengan cepat ke arah yang berlawanan dengan hutan. Melihat kepergian kami warga tadi segera menghampiri kami.

“Lah mas.. mau kemana? Kok buru-buru” Tanya bapak itu.

“Maaf pak.. kami harus segera mengejar puncak sebelum fajar “ Jawabku.

“Istirahat dulu mas, santai dulu ngemil dulu.. nanti masih ada pementasan lagi” ucap bapak itu.

“Pementasan apa to pak malam-malam begini” tanya Rama penasaran.

“Biasa.. penyambutan warga baru, tadi sudah.. harusnya habis ini masih ada tarian lagi, itu mbaknya sudah siap” Bapak itu menunjuk ke arah perempuan yang menuntun kami ke desa.

Namun kali ini ia sudah berdandan cantik dengan pakaian penarinya.

Tanpa banyak bicara aku menarik Rama dan Yanto memaksa mereka untuk pergi..

“Ngapunten ya pak... teman kami sudah kebelet” teriak Rama yang mengikutiku dengan terpaksa.
Sepanjang perjalanan aku membacakan doa-doa dan ayat suci.

Kami berjalan sambil sering mengabsen satu sampai tiga agar tidak ada lagi yang tertinggal atau malah bertambah.
Setelah lama berjalan akhirnya kami sampai di jalur yang dikenal. Terlihat juga beberapa pendaki lain di depan kami.

“Danan... udah aman nih, jelasin ke kita kenapa tadi buru-buru” Tanya Yanto yang masih penasaran.

“Tadi itu hampir aja... itu desa ghaib, kalau tadi kalian makan makanan yang disuguhin bisa-bisa kalian ga bisa keluar dari desa itu” Ceritaku kepada mereka.

“Yang bener kamu Danan... ga mungkin, tadi aja ada pendaki lain yang bareng kita kan?” Protes Rama yang mulai terlihat pucat.

“Mereka sudah terlanjur makan suguhan warga di sana, sekarang mereka sudah dianggap warga desa itu... makanya dibuat penyambutan” Jelasku sekali lagi.

Yanto terlihat lebih pucat dari Rama, tubuhnya terlihat gemetar sambil mencoba mengeluarkan botol air yang sudah diisi teh hangat dari desa itu.

Saat botol itu dibuka tercium bau amis yang sangat menyengat seperti bau darah hewan yang sudah membusuk, dan tidak hanya itu.. satu persatu belatung mulai keluar dari cairan amis di botol milik Rama.

“Hoeeek...” Yanto terlihat tak mampu menahan rasa mualnya.

Segera aku menutup hidungku dengan kain dan membantu Rama membuang cairan itu dan mencuci botolnya dengan tanah dan membacakan doa untuk menghindari makhluk halus yang tergoda dengan minuman dari desa ghaib ini.

“Danan.. berarti pendaki tadi ga bisa diselametin” Tanya Rama padaku.

Aku hanya menggeleng, namun Rama masih tidak terima.

“Bukanya kamu punya ilmu batin, kalau kita paksa mereka melepaskan pendaki itu gimana?” Tanya Rama.

“Percuma, mereka itu penduduk asli sini.. kitalah yang pendatang, sekarang pendaki itu sudah menjadi warga desa ghaib itu dan hidup bersama mereka.. tidak ada yang bisa kuperbuat, setidaknya dengan kemampuanku saat ini” Aku mencoba menjelaskan kondisinya pada Rama.

“Berarti seandainya ada orang yang lebih hebat mereka bisa diselamatkan?” tanya Rama sekali lagi.

“Mungkin bisa, saat kita turun kita sampaikan kejadian ini pada juru kunci, seharusnya ia mempunyai wibawa yang cukup untuk meminta pendaki itu kembali”

Rama mulai mengerti, dan Yantopun sudah mulai tenang.. kami melanjutkan untuk berjalan kembali dan memutuskan membuka tenda di pos pasar bubrah bersama pendaki lainya.

“Danan.. katanya pasar bubrah juga angker, katanya ada pasar ghaib gitu ya?” Tanya Rama yang mulai jadi penakut karena kejadian tadi.

“Iya.. tapi hari ini bukan pasaranya, tenang aja” Jawabku menenangkan mereka.

Kami beristirahat dan menghabiskan sisa malam untuk tidur di tenda dan memasang alarm menjelang subuh untuk segera menjemput puncak merapi yang gagal kugapai beberapa tahun lalu.

Pagi mulai datang, sebelum alarm berbunyi suara para pendaki lain sudah lebih dulu membangunkanku.

Terlihat Rama dan Yanto juga berusaha keras menahan rasa kantuknya. Kami bersiap untuk memulai pendakian di medan yang berbatu.
Kami bersiap mendaki Gunung Anyar untuk mencapai puncak Merapi.

Aroma belerang mulai tercium dengan udara dingin yang selalu berasap. Hingga akhirnya kami sampai di puncak dimana terdapat tempat datar yang cukup luas tepat di bawah puncak garuda.

Tepat saat matahari terbit sebuah pemandangan yang luar biasa terlukis di hadapanku, Kemegahan gunung-gunung terindah di Jawa tengah terlihat dari sini.
Indahnya Gunung Sindoro, Sumbing, Pegunungan Dieng, dan Gunung Slamet terlihat di horison barat.

Megahnya Gunung Merbabu yang dapat dilihat di sebelah utara, dan Gunung Lawu di sebelah Timur yang terlihat berdiri kokoh.
Sungguh sebuah Keagungan ciptaan Yang Maha Kuasa yang tidak henti-hentinya kukagumi.

Seolah seluruh medan berat dan perjalanan yang mencekam tidak lagi berarti setelah melihat semua ini.

“Danan Sini.. aku fotoin!” Teriak Rama padaku.

Aku menghampiri mereka, dan berpose tepat di bawah puncak Garuda sebuah batu yang dulunya berbentuk seperti burung garuda yang hancur pasca erupsi tahun 2010 lalu.

Kami beberapa kali berfoto sambil mengibarkan bendera Merah Putih, sebuah kebanggaan atas keindahan Alam yang dimiliki oleh Bumi Pertiwi ini.

“Ram.. nanti fotonya cetakin yang banyak ya” Pintaku pada Rama.

“Buat apaan? Sejak kapan kamu jadi narsis begitu” Tanya Rama yang penasaran.

“Mau aku kirim ke kenalanku di Desa Windualit, mereka yang nolongin aku waktu dulu gagal ke sini” Jelasku pada Rama.
Rama mengerti dan mengangguk tanpa bertanya lagi.

Setelah puas beraktivitas di puncak, kami segera turun mengikuti alur pendaki lainya.
Dengan jalur yang terang, hampir tidak ada halangan untuk melewati jalur untuk turun.
Sesuai rencana kami, kami mampir ke pos registrasi dan menceritakan kejadian kami di desa ghaib.

Rupanya kejadian ini pernah terjadi beberapa kali. Beberapa fotocopy KTP ditunjukan kepada kami untuk mengidentifikasi pendaki yang kami ceritakan.

Kami menunjukan yang kami ingat dan apabila 1x24 jam pendaki itu tidak kembali mereka akan meminta tolong “Juru kunci” untuk mencarinya.

---===SELESAI===---

*****
Sebelumnya

Note :
Terkadang kita perlu meninggalkan gadget kita dan pergi menjelajahi negeri ini untuk bertemu orang-orang baik di tiap daerah yang kita kunjungi, Indahnya alam negri ini yang mampu membuat kita merasa takjub, serta orang-orang hebat yang menjaganya.
close