Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MENDAKI DIANTARA DUA DUNIA (Part 4 END) - Pasar Bubrah

Bagaimana kalau mereka tau jika kita bukan bagian dari mereka? Apakah kita akan dikoyak dan dimutilasi seperti itu?


Jam sudah menunjukkan hampir pukul 23.00 malam.

“Aku harus cepat, agar Kosim dan Ali tidak khawatir memikirkanku” gumamku.

Aku kembali mendaki dengan sisa tenaga yang ada.

“Pelan-pelan saja, yang penting jangan sering berhenti. Yang terpenting lagi adalah, aku bisa berjalan dengan lebih hati-hati lagi, agar tidak terjadi kejadian seperti tadi” ucapku dalam hati.

Walau sudah kembali ke jalur pendakian yang benar, masih belum saja terlihat pendaki sama sekali. Aku heran. Apa memang hanya ada aku yang mendaki malam ini? Setauku, banyak orang-orang mendaki Merapi tanpa menginap, atau istilah pendakiannya adalah “Mendaki Tektok”

Biasanya, mereka akan mendaki di jam-jam segini. Agar pagi nanti, saat matahari terbit, mereka bisa sampai Pasar Bubrah atau puncak gunung Merapi.

isetiap langkah yang ku keluarkan, diiringi dengan pikiranku yang terus-terusan berpikir, tentang kejanggalan- kejanggalan yang menimpaku dalam pendakian kali ini. Akhirnya, tidak lebih 2 jam, aku tiba disebuah area dengan papan petunjuk besar berdiri di atasnya.

Papan itu bertuliskan “Pasar Bubrah”. Ya, akhirnya aku sampai juga disini. Disini, kabut sudah sedikit tersapu.

Samar-samar, gunung Merapi dengan kawah di atasnya semakin terlihat dekat dari sini. Tanpa istirahat lagi, aku lantas mencari, dimana kedua temanku dan tendanya berdiri.

“Tenda warna merah, bermerk ****” kata Kosim melalui pesan singkat sebelum ia berangkat.

Dengan petunjuk itu, aku bergerak mencari tenda miliknya. Setelah agak turun dan berada di area yang lebih luas lagi, aku baru sadar. Ternyata, ada cukup banyak tenda berdiri disini.

Artinya, seharusnya, ada banyak pendaki yang mendaki hari ini. Dan anehnya, aku tidak menemui salah satu dari mereka sama sekali selama di jalur pendakian.

Ah, sudahlah. Aku menepis segala pikiran kotorku sekarang. Aku harus cepat menemukan dimana Kosim dan Ali berada. Agar aku lekas bisa istirahat.

Setelah lama mencari, memperhatikan satu-persatu tenda disana, akhirnya aku menemukan keberadaan Kosim dan Ali.

“Kosim! Ali!” panggilku dengan suara agak keras setelah melihat tenda merah yang sedikit terbuka.

“Eh. Edi! Akhirnya kamu sampai disini. Lama sekali” ucap Kosim.

“Kemarilah. Masuk dulu, agar badanmu hangat dulu” tambahnya.

Ali memberiku susu hangat saat aku sudah berada di dalam tenda.

“Memangnya, kamu naik jam berapa tadi?” tanya Ali sambil menyodorkan secangkir kecil berisi susu hangat.

“Setengah 5 sore dari basecamp”

“Setengah 5? Ini sudah lewat tengah malam lho, Ed!
Kenapa kamu baru sampai disini?” sela Kosim kepadaku.

“Iya jalan aja dari tadi. Aku kan baru pertama kali kesini”

“Sudahlah, aku baru sampai, badanku lelah. Akum au istirahat dulu” kataku kepada Kosim dan Ali.

Kosim menatapku curiga. Dia lantas berbisik kepada Ali. Melihat mereka, aku tidak begitu peduli. Aku memilih menggelar sleeping bag, lalu bersembunyi di dalamnya.

“Ed. Apa kamu sudah makan? Kok mau langsung tidur” tanya Ali.

“Oh, iya” seketika aku teringat dengan perutku yang terus berdendang sedari tadi.

“Nih, aku buatkan mie instan”

Ali memang pengertian kepadaku. Tak lama, aku yang sudah kelaparan, langsung melahap mie instan itu tanpa jeda.

“Kamu sudah seperti manusia yang belum makan 3 hari, Ed. Lahap sekali”

“Ahhh, nikmat sekali” gumamku.

“Ed. Serius, tidak terjadi apa-apa tadi?” Kosim bertanya lagi kepadaku. Sebuah pertanyaan dengan raut wajahnya yang curiga kepadaku.

“Iya, Ed. Aku lihat wajahmu berbeda. Ada apa sebenarnya?” tambah Ali.

Mendengar pertanyaan mereka berdua, aku bingung harus menjawabnya dari mana. Apa mereka akan percaya? jika aku cerita kalau aku tersesat dan dikejar raksasa di bawah sana?

“Besok saja. Aku cerita di bawah” jawabku.

Seakan mengerti isyaratku, Kosim dan Ali mengangguk dan berhenti menanyaiku.

“Sudahlah, ayo tidur” ajakku.

“Lagi pula, nanti pagi-pagi, kita akan mendaki lagi ke puncak, kan” tambahku.

Singkat cerita, kami bertiga bersiap tidur. Aku berada di tengah, sementara Kosim dan Ali berada di samping kanan dan kiriku.

“Ahh, akhirnya, setelah lelah berpetualang semalaman, akhirnya aku bisa meletakkan tubuhku yang sudah sangat lelah ini”

Aku mengira, tidak aka nada lagi kejadian janggal setelah aku bertemu dengan Kosim dan Ali disini. Tapi, ternyata salah besar. Kejanggalan itu datang lagi, dan semakin tidak masuk di akal sehat manusia.

Aku yang sudah tertidur, tiba-tiba Ali membangunkanku secara paksa.

“Ed... Ed... Bangun” ucapnya sambil menepuk-nepuk bahuku.

“Apa?”

“Apa kamu tidak dengar ada suara aneh? Ada suara banyak orang di luar” tanyanya.

“Suara apa to, Li? Aku baru saja tidur. Kenapa kamu membangunkanku? Badanku capek sekali, Li” ucapku sebal kepadanya.

“Aku gak dengar apa-apa”

“Aku serius, Ed. Aku gak lagi bercanda” ujarnya.

“Sudahlah, Li. Mungkin kamu salah dengar akibat badanmu yang kelelahan” ucapku sambil kembali memejamkan mata.

Tapi, belum lama setelah aku menutup mata lagi, sebuah suara gamelan tiba-tiba muncul yang entah dari mana arah datangnya. Aku tercekat.

“Itu.... Itu, Ed! Apa kamu tidak mendengarnya? Jelas sekali suaranya” ujar Ali.

Mengetahui itu, aku dan Ali lantas duduk, lalu membangunkan Kosim yang masih damai dengan alam bawah sadarnya.

“Sim.... Sim.....” aku membangunkannya.

Saat matanya terbuka, dia juga tercekat dengan suara gamelan di luar tenda.

“Suara apa itu?” tanyanya.

“Diam dulu, Sim” ucap Ali dengan suara pelan.

Kami bertiga duduk melingkar dan saling menatap satu sama lain. Sambil mendengarkan di setiap alunan gamelan yang sedang bermain di luar tenda. Cukup lama kami bertahan di posisi ini.

“Kapan itu akan hilang?” tanyaku.
Seolah memberiku sebuah sajian lagi setelah pertanyaanku itu, tiba-tiba, kerincing-kerincing suara delman terdengar dari kejauhan dan semakin dekat.

“Kenapa ada delman disini?”

Bersamaan dengan suara delman, suara angin yang sedari tadi menyertai kami, tiba-tiba berubah menjadi suara ramai orang-orang sedang berkumpul. Ramai sekali. Kami bertiga seperti sedang berada di tengah-tengah keramaian yang muncul tiba-tiba.

Suara ramai orang-orang lalu lalang, kerincing delman, dengan dilatari oleh sayup-sayup suara gamelan sangat ketara kami bertiga dengarkan dari balik tenda.

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Bagaimana ini?”

Pertanyaan demi pertanyaan keluar dari mulut kami bertiga. Rasa takut pun seketika hadir diantara kami. Malam yang ku harapkan menjadi malam yang tenang, sepertinya sirna sudah.

“Tenang, jangan panik. Aku tau kalian takut. Aku pun begitu. Tapi, usahakan kita tetap tenang” ucapku.

Diantara kemelut malam itu, tiba-tiba aku teringat dengan Pak Gun. Bapak-bapak yang ku temui di awal pendakian tadi, yang memberiku sebuah pesan.

“Di atas sering ada pasar. Jika nanti kamu menemuinya, belilah 1, apa saja, jangan sampai kamu tidak membeli apa-apa dari sana, hitung-hitung membantu mereka” begitu isi pesannya.

“Tadi, saat baru mulai mendaki, aku papasan dengan bapak-bapak. Sepertinya warga lokal. Aku diberi pesan aneh darinya. Awalnya, aku hanya mengira itu sebuah angina lalu belaka”

“Gimana pesannya, Ed?” tanya Ali.

“Jika menemui sebuah pasar disini, aku diminta membeli satu dagangannya, apa saja. Dan itu harus dilakukan. Begitu pesannya”

“Kamu beneran, Ed?” tanya Kosim kepadaku
Aku mengangguk.

“Apa kamu yakin jika keramaian di luar itu adalah sebuah pasar?” sela Ali.

“Menurutku, begitu. Kita keluar saja. Memastikan. Jika memang benar, kita lakukan pesan Pak Gun”

“Apa kamu gila? Kita tidak tau apa yang sebenarnya terjadi di luar sana. Bisa-bisanya kamu bilang kita harus keluar lalu berinteraksi dengan mereka di luar sana?” Kosim mengumpatku.

“Lagi pula, mana ada pasar di atas sini tengah malam begini, Ed?” Kosim semakin menggertak
“Tenang dulu, aku kan sudah bilang, jangan panik. Agar kita bisa berpikir dengan jernih.

Kali ini, aku hanya menyampaikan pesannya kepada kalian. Bukan untuk menakut-nakuti. Karena, perkataannya terjadi sekarang”

“Lalu, bagaimana kita sekarang?” tanya Ali.
Diantara rasa takut yang semakin memuncak, tiba- tiba, kami mendapat gangguan dari luar tenda. Tenda yang semula diam dan aman, menjadi goyang, seperti ada yang sengaja memainkannya dari luar.

“Kan... Apa lagi ini” Kosim semakin takut.

“Ssssuuuttttt...... Jangan panik” ucapku.

“Gak panik gimana? Jelas-jelas begini keadaannya” ujar Kosim dengan wajah panik dan ketakutan.

“Apa aku harus melakukan pesan dari Pak Gun?” tanyaku dalam hati.

“Sim, Li. Ayo kita keluar”

“Keluar? Ngapain? Emang beneran gila kau ya” umpat Kosim dengan nada marah.

“Firasatku, kita harus melakukan pesan dari Pak Gun. Agar kita bisa bebas dari gangguan ini”

“Aku gak berani” ujar Kosim.

“Kamu gimana, Li?”

“Jika bisa membuat kita selamat. Aku ikut” jawab Ali.

“Ali ikut bersamaku. Apa kamu yakin, mau sendirian di tenda, Sim?”

“Teman macam apa kalian ini! Memberiku pilihan yang sulit”

“Okelah, aku ikut kalian. Tapi, aku gak mau berada di depan, dan gak mau di belakang. Aku di tengah, diantara kalian berdua” ujar Kosim.

“Sim...Sim... Kamu yang mengajakku kemari, tapi kamu yang ketakutan begini” ledekku.

“Hey! Siapa yang gak takut di kondisi begini. Aku yakin, semua orang akan takut jika terjebak di kondisi seperti ini” Ucap Kosim mencari pembelaan.

“Aku juga takut. Tapi tidak lebay sepertimu” pungkas Ali.

“Sudahlah. Kenapa kalian jadi meledekku! Ini jadi tidak?”

“Ayo. Bersiaplah” ucapku.

“Apapun yang terjadi, teruslah kita berdoa. Kita hanya makhluk kerdil diantara banyaknya ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa”

“Jangan lupa bawa senter”

Perlahan, aku mulai membuka resleting tenda. Pelan sekali. Dengan mudah, udara dingin menerobos masuk dari lubang yang baru saja terbuka.

“Jam berapa sekarang?” tanyaku.

“Tiga” jawab Ali.

“Bismillahirrahmanirrahim” aku mulai melangkah keluar tenda. Diikuti Kosim, dan Ali paling belakang.

Kami bertiga tercekat melihat pemandangan di luar. Pasalnya, area luas Pasar Bubrah kini tidak lagi hanya berisikan tenda-tenda pendaki. 

Tapi, juga ramai orang-orang berjualan lengkap dengan lapaknya. Apakah ini adalah Pasar Gaib? Pasar yang biasanya aku nikmati hanya sebatas dari sebuah cerita atau berita, apakah sekarang aku benar-benar melihatnya?

“Ed. Kita sebenarnya ada dimana? Kenapa begini? Siapa mereka?” ucap Ali dengan suara pelan sekali.

“Pasar apa ini? Tadi tidak ada. Kenapa sekarang tiba- tiba ada disini?” ucap Kosim sambil mencengkeram erat bahuku.

“Mereka, tenda-tenda itu, apa mereka tidak menyadarinya juga, jika ada pasar yang tiba-tiba ada ini?” tanyaku.

“Tenanglah. Mereka semua, bukanlah makhluk seperti kita. Aku yakin itu.Kalian takut, aku pun juga. Tapi, usahakan agar tetap tenang, agar tidak menyita perhatian mereka”

Kami bertiga masih bertahan di depan tenda, sambil melihat setiap aktivitas di pasar itu. Semuanya tampak seperti pasar tradisional di desa-desa. Bedanya, pakaian yang mereka gunakan adalah pakaian orang-orang jawa jaman dulu.

Selain itu, wajah dan kulit mereka terlihat pucat. Pucat sekali. Seperti tubuh mayat yang sudah 2 hari mati tapi belum disemayamkan.

“Ayo. Jalan!”
Aku mulai melangkahkan kaki ke dalam pasar itu. Orang-orang lalu lalang tanpa curiga ada 3 anak remaja dengan pakaian yang berbeda dengan mereka sedang masuk ke dalam area mereka.

Namun, belum sampai beberapa langkah, tiba-tiba aku terhenti. Pandanganku tersita oleh salah satu lapak yang dijaga oleh sesosok nenek- nenek dengan rambut putih panjang terurai.

Dia menjual potongan-potongan daging. Tapi, potongan-potongan daging itu bukanlah potongan daging biasa. Melainkan adalah potongan tubuh manusia.

“Sim. Lihat itu. Apa benar, nenek itu menjual potongan-potongan tubuh manusia?”

“Astagfirullah. Aku gak mau lihat, Ed. Darimana dia dapat potongan-potongan tubuh manusia seperti itu” kata Kosim.

“Gimana kalau dia tau jika kita bukan bagian dari mereka? Apakah kita akan dikoyak-koyak dan dimutilasi seperti yang ia dagangkan itu?” kataku kepada Kosim dan Ali.

“Terbuat dari apa mulutmu, Ed? Aku sumpal mulutmu kalau terus-terusan berkata begitu” ucap Kosim.

“Cepat, Ed. Jalankan yang ingin kamu lakukan” tambahnya.

“Kita mau beli apa disini?” tanyaku.

“Cari saja! Yang menurutmu masih masuk akal jika dibeli” timpal Kosim.

Aku bingung. Kakiku tertahan. Harus membeli apa aku di pasar seperti ini. Pasar yang bahkan aku sendiri tidak tau pasar apa dan dari mana orang-orang di dalamnya. Dengan cepat mataku melihat ke setiap arah pasar itu.

Mencari ke pedagang mana aku bisa menjalankan pesan dari Pak Gun.

Setelah dengan cermat mencari, jatuhlah pilihanku.

“Sim, Li. Kita jalan lagi. Teruslah kalian menyebut nama Allah, agar kita bertiga selamat disini” ucapku

Aku mulai maju dengan langkah pelan dan hati-hati. Menuju ke lapak pedagang yang ingin ku tuju. Diikuti Kosim dan Ali di belakangku.

“Ed. Percepat langkahmu” suruh Kosim saat kami bertiga sampai di tengah-tengah pasar. Berada disini membuat kami bertiga merinding. Keringat dingin mengalir dari balik baju dan jaketku.

“Sudah, sekarang kamu pegangan pundakku. Suruh Ali juga pegangan ke pundakmu. Disana, sedikit lagi kita sampai” ucapku kepada Kosim. Setelah melewati rentetan kejadian seram semalaman, membuat keberanianku secara alami bertambah kuat.

Tak berselang lama, kami bertiga sampai disebuah lapak yang dijaga oleh anak laki-laki yang kuperkirakan berusia 12 tahun. Aku memilihnya karena di lapaknya lah barang yang dijual terlihat tidak asing bagiku.

Bungkusan- bungkusan mie instan, jajanan dan air mineral terlihat berjejer di atas meja kecil miliknya.

“Beli apa, Mas?” (tanyanya dengan Bahasa Jawa yang sudah secara langsung saya rubah ke Bahasa Indonesia)

Anak-anak itu bertanya pada kami bertiga, dengan nada pelan dan raut muka yang datar.

“E....e.....”

Plakkkk..... Kosim memukulku “Cepatlah!” suruhnya.

“Ambil mie instannya saja, Ed” terang Ali.

“Ini.... Ini berapa, Dek?” tanyaku, sambil mengambil 2 bungkus mie instan.

Anak itu lantas mengangkat tangannya, sambil mengacungkan ketiga jarinya tanpa mengeluarkan suara. Awalnya, aku bingung dengan yang dia lakukan.

“Tiga ribu?” ucap Ali. Anak itu lalu mengangguk.

“Saya beli dua, Dek” tandasku.

Aku meraba kantong celana dan jaketku. Namun, nahasnya tidak ada uang sama sekali di kantongku.

“Kalian bawa uang, gak? Di kantongku gak ada uang” ujarku.

“Nih....” Ali menyodorkan 2 lembar uang bernilai 6000 rupiah.

“Maturnuwun” ucap anak-anak itu sambil menyatukan kedua telapak tangannya dan mengarahkannya di dada.

“Sudah, Ed? Kita bisa kembali ke tenda sekarang?” tanya Kosim.

“Sudah. Ayo kita balik ke tenda. Pegang pundakku lagi” ucapku sambil membalikkan badan.

Aku tidak menghentikan langkahku sama sekali. Tapi, saat sudah dekat dengan tenda, tiba-tiba aku melihat sosok raksasa yang sempat mengejarku tatkala mendaki malam tadi sedang menatapku dari jauh di ujung keramaian ini. Dia seperti penjaga kawasan ini. Ya Tuhan.... Apalagi ini...

“Kelamaan” Kosim menerobos masuk ke dalam tenda mendahuluiku. Begitu juga Ali.

“Teman macam apa kalian ini” umpatku.

“Ini, mie instannya. Bawalah” ucapku kepada Ali “Tidak. Kamu saja yang bawa”

Aku menyimpan mie instan yang ku beli dari anak- anak tadi. Ku beri tanda dengan sobekan kecil, lalu menaruhnya di salah satu ruang pada tasku.
Gemuruh keramaian masih saja terdengar dari balik tenda kami. Entah, entah kapan ini akan berakhir.

“Ed. Apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Ali.

“Entah” jawabku sambil menggeleng.

“Jangan ada yang tidur. Kita begini saja dulu sampai semua ini hilang. Ini jam berapa?”

“Jam 4”

“Sebentar lagi subuh. Semoga, seiring subuh, mereka semua hilang” harapku.

Benar saja, sayup-sayup adzan subuh terdengar hingga tenda. Suara ramai pun perlahan hilang berganti dengan suara angin yang bertiup.

“Aneh. Mereka hilang. Keramaian itu hilang” ujar Kosim.

“Benar dugaanku. Yang kita lihat tadi adalah pasar gaib gunung Merapi” ucapku.

“Di rumah saja aku jarang mengantar ibuku ke pasar, kenapa malah disini aku datang ke pasar gaib” ucap Kosim.

“Itulah. Ini bisa jadi pelajaran, agar kamu bisa lebih berbakti lagi kepada orang tuamu. Hahaha” timpalku sedikit meledeknya.

“Keadaan begini kamu masih bisa bercanda, Ed?”

“Sudah-sudah. Kita tidur lagi saja” Ali melerai kami berdua.

Singkat cerita, setelah semuanya aman. Kami bertiga memutuskan untuk tidur lagi. Badan kami benar-benar lelah, entah secara fisik atau mental. etelah semalaman bertahan melawan rasa takut.

Tak terasa, cahaya matahari menyilaukan mataku. Membuatku bangun dari tidur lelapku. Meski tidak lama. Memang nikmat sekali tidur kali ini.

Jam sudah menunjuk ke angka 08.00, pintu tenda sudah terbuka. Ali dan Kosim sedang masak di luar. Tidak ada gangguan lagi. Kami menjalani pagi ini layaknya pendaki pada umumnya.

“Mau ke puncak?” tanya Kosim.

“Tidak” Ali dan Aku menjawab kompak dan bersamaan.

“Setelah kejadian semalam. Lebih baik kita turun saja. Menghindari terjadinya hal-hal yang tidak kita inginkan” ucapku.

“Betul. Aku sepakat denganmu, Ed” Ali mendukung perkataanku.

“Okelah. Setelah makan, kita packing, lalu turun” tandas Kosim.

“Mie yang semalam dimana, Ed?” tanya Ali.

“Di tas. Gak usah dimasak. Biar aku bawa turun saja. Aku khawatir saja jika kita memakan makanan yang kita beli dari tempat itu”

Setelah makan dan beres packing. Dengan diawali doa, kami bertiga mulai turun gunung.

Rasa-rasanya, setelah kejadian semalaman banyak menemui hal-hal gaib. Membuatku sedikit peka terhadap keberadaan-keberadaan mereka yang tak kasat mata.

Hal itu bisa ditandai dengan saat kami bertiga akan sampai di pos 1, bau busuk sangat menyengat tiba-tiba tercium olehku yang berjalan di paling depan. Sontak, membuatku mencari dan bertanya-tanya.

“Bau apa ini?” tanya Ali.

“Iya, apa ini? Busuk sekali” Kosim pun menciumnya.

“Diam dulu sebentar” ucapku, sambil melihat ke segala penjuru hutan.

“Degggg” aku terkejut. Benar saja. Ada sosok setan berkuncup berbalut kain putih sedang berdiri diantara semak-semak.

“Siang-siang bolong begini, ada setan?” aku keheranan. Pasalnya, baru pertama kalinya aku menjumpai setan siang-siang begini.

“Itu dia penyebab bau busuk ini”

“Apa, Ed?”

“Itu. Ada pocong di ujung sana. Wajahnya hancur. Darah dan nanah mengalir dari wajahnya”

“Mana? Aku gak melihatnya” ucap Ali dan Kosim.

“Kamu mau melihatnya? Gak ingat semalaman tingkahmu seperti apa? Bisa-bisa kencing berdiri kamu jika melihatnya” ejekku.

“Sudah. Gak usah dihiraukan. Kita terus turun saja. Agar cepat sampai” tambahku.

Singkat cerita, saat hampir jam 14.00 siang, kami bertiga sampai di basecamp pendakian. Tapi, disini, Kosim terlihat berbeda. Dia yang dari tadi berjalan paling belakang, sekarang hanya duduk diam sambil matanya menatap jauh ke arah Merapi.

“Sim. Kamu kenapa?” tegurku.

“Anu.... Anak-anak tadi yang kamu beli dagangannya. Dia dari tadi mengikutiku. Dia mengajakku kembali kesana lagi”

“Serius? Jangan bohong kamu, Sim” tanyaku.
“Iya”

“Biarkan saja. Jangan kamu tanggapi ajakannya. Berdoa saja, agar dia cepat pergi darimu”

“Kita istirahat dulu sebentar sebelum pulang”

Setelah dirasa cukup. Kami bertiga pulang. Kosim berboncengan dengan Ali. Sementara aku, sendiri. Saat sampai di rumah dan hendak mengeluarkan barang-barang di dalam tas, tanganku meraba sebuah benda aneh berada di dalam tasku.

Apa ini? Oh.... Mie instan kemarin. Aku baru mengingatnya.

Setelah ingat, cepat-cepat aku merogoh bagian tas yang kemarin ku pakai menyimpan mie instan yang ku beli dari pasar gaib di atas Merapi. Namun, setelah mencarinya, tidak ada apa-apa di dalam tas.

“Aku tidak mungkin lupa. Kemarin ada disini” gumamku.

Aku mencarinya lagi. Sebuah barang aneh tiba-tiba muncul di dalam tasku.

Apa itu? Dua bongkah batu berbalut daun-daun yang telah kering. Ya Tuhan, apakah mie instannya berubah menjadi batu dan daun ini? Aku benar- benar tidak percaya dengan semua ini.

“Ya Allah.... Semoga Engkau selalu melindungiku” doaku.

Sehari setelah pendakian itu, badanku dilanda demam tinggi dan berkali-kali muntah.

Aku mencoba menghubungi Ali dan Kosim, menanyakan bagaimana kabarnya sekarang. Namun ternyata, hal serupa juga menimpa mereka. Kami bertiga dilanda sakit hingga beberapa hari.

-TAMAT-

Terima kasih yang mengikuti cerita ini hingga akhir. Salam Rahayu
close