Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Khodam Pendamping Hutan Bambu


JEJAKMISTERI - Sebelum mulai cerita saya akan memberitahu dari mana saya mendapatkan cerita ini.

Ini adalah sebuah kisah yang diceritakan oleh orang yang sudah sepuh atau sudah amat tua, sekarang usia beliau kira-kira sudah 80-an tahun.

Saya tau kalau beliau yang akan saya ceritakan ini adalah orang yang tau tentang hal gaib, beberapa minggu yang lalu saya bertamu ke tempat tinggal beliau untuk silaturahmi sekalian saya ingin bertanya tentang hal-hal mistis yang pernah beliau alami.

Saya memang biasanya begitu kalau akan menulis cerita, saya bertanya pada beberapa orang yang mungkin punya pengalaman mistis kemudian saya ceritakan.

Sesampai di kampung halaman beliau saya langsung menuju ke rumahnya dan saya dipersilahkan masuk.

Di ruang tamu kita ngobrol banyak dan saya bertanya tentang awal mula bagaimana beliau bisa tau tentang hal-hal mistis, disitu beliau bersedia menceritakan semua dengan logat jawa kentalnya. Mendengar cerita itu saya tertarik untuk menceritakan kisah beliau pada teman-teman semua.

Sesampai dirumah saya mencoba menuliskan cerita yang sudah diceritakan beliau kepada saya waktu itu tapi disini saya masih ragu dengan cerita itu. Karena beliau ini sudah amat sepuh saya ragu kalau beliau ini pikun dan apa yang diceritakan waktu itu tidak benar.

Beberapa hari berukutnya saya bertamu lagi ketempat beliau dan saya minta pada beliau agar menceritakan lagi kisahnya.

Beliau bercerita dari awal hingga selesai dan cerita itu masih sama persis dengan cerita beberapa hari yang lalu. Disini saya berfikir, “Berarti yang diceritakan beliau ini benar, karena kalau beliau pikun beliau tidak akan bercerita sama persis” ada sih beberapa kejadian yang beda yaitu tentang tahun kejadian tapi alurnya masih sama. Menurut saya itu wajar karena kisah ini sudah sangat lama.

Sebenarnya saya ingin mengajak beliau untuk datang kesini dan menceritakan langsung tapi itu tidak mungkin karena beliau tidak bisa ngomong bahasa nasional disisi lain beliau ini sudah amat sepuh. Akhirnya saya berinisiatif untuk meminta ijin pada beliau untuk menceritakan kisahnya ini ke temen-temen dan beliau mengijinkan.

Berikut kisahnya :

Kisah ini berawal di tahun 30an.

Sekitar tahun 1939 hiduplah seorang anak yang sebut saja namanya adalah Jalil, dia hidup di sebuah desa terpencil yang berada di Jawa Timur.

Jalil adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara, dia berasal dari keluarga yang sangat tidak mampu.

Di tahun 1939 itu usia Jalil sudah menginjak 10 tahun.

Dari 7 bersaudara itu bisa dikatakan Jalil adalah anak yang tidak begitu diperhatikan oleh orang tuanya, bahkan bisa dibilang dia ini anak yang teraniaya.

Pada zaman itu yang namanya kelaparan itu sudah menjadi hal yang biasa terlebih untuk keluarga yang kurang mampu seperti keluarga Jalil.

Dan di zaman itu orang tua kalau memberi anaknya makan itu dengan cara yang unik yaitu dengan cara mengepal nasi dan disesuaikan dengan jumlah anaknya.

Jadi kalau punya anak 7 berarti orang tua selalu mengepal nasi sebanyak 7 kepalan setelah itu dibagikan kepada anaknya satu-persatu.

Setiap kali ibunda Jalil memberi makan 7 anaknya, Jalil selalu tidak mendapat bagian, entah disengaja atau tidak tapi keyata’annya seperti itu.

Kalau merasa dirinya lapar dia pergi ke sawah untuk mencari makanan sendiri yang berupa tumbuh-tumbuhan. Yang seringkali dia makan adalah daun pete terkadang juga kalau sedang musim buah dia makan buah-buahan seperti pisang, mangga, asem dll. Tumbuhan apapun yang bisa dimakan pasti dia akan memakannya.

Perlakuan ibunya ini dialami Jalil selama beberapa tahun, karena saking seringnya Jalil tidak mendapat jatah makanan dia jarang sekali makan nasi hingga badan Jalil ini kurus dan kering.

Ketika umur Jalil sudah menginjak 13 tahun perlahan dia mulai bisa berfikir bahwa ibunya ini pilih kasih terhadapnya.

Pada suatu hari ibunya Jalil sedang membagi makanan kepada anak-anaknya dan lagi-lagi Jalil tidak mendapat jatah makanan dari ibunya hingga dia mempunyai pikiran jengkel, karena merasa jengkel munculah pikiran nakal di dalam otaknya Jalil.

“Kenapa setiap kali ibu membagikan makanan aku selalu tidak mendapat jatah? Ini tidak adil”

Ke’esokan harinya dia memberanikan diri untuk mencuri makanan dari ibunya di dapur, nasi yang sudah disiapkan untuk anak-anaknya itu diambil 1 kepal oleh Jalil dan dimakan namun keberuntungan tidak berpihak kepada Jalil, aksi mencuri makanan itu diketahui oleh ibunya hingga akhirnya ibunya marah besar dan dia dihukum.

Jalil di’ikat oleh ibunya di sebuah tiang kayu yang terdapat dirumahnya dan tidak diberi makan seharian penuh, bagi Jalil kelaparan itu sudah biasa baginya tapi kalau di’ikat seperti ini dia benar-benar merasa tersiksa.

Karena merasa tersiksa Jalil berusaha untuk melepaskan ikatannya ini hingga akhirnya terlepas, setelah terlepas dia pergi dari rumah karena takut ibunya akan marah lagi karena Jalil sudah berani melepaskan diri. Dia berniat pergi ke sungai tempat biasa dia mencari makan sendiri tapi di perjalanan menuju ke sungai tersebut dia berfikir,

“Kalau aku pergi ke sungai pasti ibu akan tau dan aku bisa dihukum lagi”.

Jalan menuju ke sungai itu dia harus melewati sebuah hutan bambu, (Kalau istilah jawa, hutan bambu itu adalah “barongan”.

Dia mengurungkan niatnya untuk pergi ke sungai dan berniat bersembunyi di hutan bambu tersebut.

Disitu dia duduk sambil merenungi hidupnya hingga tidak terasa dia ini menangis, dalam hati dia bilang,

“Kenapa ibu tega sekali sama aku, hanya karena makanan aku sampai diikat seharian”.

Merasa nyaman di hutan bambu itu tidak terasa akhirnya Jalil tertidur hingga malam hari.

Nah mulai dari sinilah kisah tentang khodam ini dimulai.

Malam itu ketika Jalil sedang tidur di hutan bambu dia merasa dibangunkan,

“Le tangio wes bengi”. Ucap yang membangunkan Jalil. (Nak bangun udah malam)

Merasa dibangunkan akhirnya Jalil bangun, setelah bangun dia melihat kalau yang membangunkannya itu adalah seorang kakek-kakek berjenggot panjang, memakai jubah putih dan membawa karung.

Karena kasihan melihat Jalil kakek itu mengelus-elus kepalanya Jalil dan bilang,

“Awakmu sing sabar yo, urip iku terus mlaku bebarengan karo waktu, sing iso nggowo lakumu ben nasibmu apik”. (Yang sabar ya, hidup itu terus berjalan bersama waktu, pandailah dalam berjalan biar nasibmu baik)

Jalil hanya duduk diam mendengarkan nasehat dari kakek itu, kemudian kakek itu membuka karung yang dibawanya dan mengambil sebuah barang yaitu selembar klombotan jagung.

Tau klombotan nggak? Yang orang jawa pastinya udah pada tau, buat yang belum tau saya kasih tau.

Klombotan jagung adalah kertas rokok tapi dari kulit jagung.

Orang zaman dulu kalau merokok itu menggunakan tembakau yang dibungkus dengan kulit jangung dan di gelintir sampai membentuk sebuah rokok. Setelah terbentuk dinyalakan kemudian dihisap.

Kembali ke cerita...

Jalil menerima pemberian dari kakek itu, setelah diterima dia bertanya,

“Ini buat apa kek?”

“Nek awakmu ngenggem iki menungso liyane gak bakal iso nyawang awakmu” (Kalau kamu menggenggam benda ini manusia lain tidak akan bisa melihatmu)

Mendengar itu Jalil hanya diam, dia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan kakek tersebut. Kemudian kakek itu pamit pergi meninggalkan Jalil.

Karena malam semakin larut Jalil berjalan pulang sambil menggenggam pemberina dari kakek tadi, sesampai dirumah dia takut kalau ibunya akan marah karena tadi Jalil sudah lari dari hukuman yang diberikan ibunya.

Pelan-pelan dia berjalan masuk rumah lewat pintu belakang, sesampai di dalam rumah terlihat orang tuanya sudah tidur begitupun saudara-saudaranya.

Jalil ikut tidur di sebelah saudaranya, sebelum tidur dia melihat-lihat benda pemberian kakek tadi sambil dia berfikir,

“Apa benar ini bisa membuat orang lain tidak bisa melihatku?”

Dia memasukan benda itu kedalam sakunya kemudian tidur.

Ke’esokan harinya dia dibangunkan ibu dan dimarahi akibat perbuatannya kemarin dan lagi-lagi pagi itu Jalil tidak mendapat jatah makan dari ibunya, karena tidak mendapat jatah makan dia pergi ke sawah untuk mencari makanan.

Jalil berjalan dari rumah menuju ke sawah, di tengah-tengah perjalanan dia melewati rumah seseorang yang orang itu bisa dibilang orang terkaya dikampungnya. Sambil berjalan dia melihat kedalam rumah orang itu yang penghuni rumahnya terlihat sedang sarapan.

Awalnya Jalil ingin meminta makanan pada mereka tapi tidak jadi karena pastinya penghuni rumah itu tidak akan memberinya karena Jalil tau mereka ini orangnya pelit.

Dia terus berjalan menuju ke sawah, sesampai di sawah dia mencari daun pete untuk dimakan dan di sawah itu dia bertemu dengan temannya yang bernama Isman, dia sedang menggembala kambing.

Isman adalah teman dekat Jalil sejak kecil, mereka berdua mempunyai nasib yang sama yaitu sama-sama anak orang yang tidak berpunya.

Jalil mendatangi Isman dan mengajaknya untuk mencari singkong, mendengar ajakan itu Isman mengikat kambingnya itu di sebuah pohon kemudian mereka berdua mencari singkong untuk dimakan.

Setelah mendapat singkong mereka memakan singkong itu di pinggir sungai dengan membakarnya, sambil ngobrol-ngobrol tidak terasa singkong yang mereka bakar itu sudah habis termakan. Setelah mereka sama-sama kenyang Jalil pulang dan Isman kembali ke tempat dia mengikat kambingnya.

Sesampai dirumah Jalil pergi ke kebun belakang rumah, disitu dia duduk bersandar pohon sambil melamun, ketika melamun itu Jalil ingat kalau kemarin dia sempat bertemu dengan kakek-kakek dan memberinya sebuah benda.

Dia mengeluarkan benda itu dari dalam sakunya dan memperhatikannya,

“Ini lo hanya kulit jagung biasa, mana mungkin benda ini bisa membuat orang lain tidak bisa melihatku”.

Karena penasaran Jalil coba mempraktikan apa yang sudah dikatakan kakek itu, dia menggenggam benda itu kemudian dia pergi ke dapur untuk mencari nasi, sesampai di dapur terlihat ibu tidak ada disana, Jalil mengambil sesuap nasi dan memakannya, tidak lama kemudian terlihat ibu datang ke dapur.

Melihat kedatangan ibunya, dia panilk, sesampainya di dapur ibunya terlihat biasa aja, dia tidak menyadari keberada’an Jalil di dapur itu. Perlahan Jalil berjalan keluar meninggalkan dapur dan sampai dia meninggalkan dapur ibunya masih terlihat biasa saja.

Jalil kembali ke belakang rumah, sesampai dibelakang Jalil berfikir,

“Ternyata benar apa yang dikatakan kakek itu, kalau aku menggenggam benda ini orang lain tidak bisa melihatku”.

Jalil merasa senang dengan semua ini, hari-hari berikutnya dia sudah tidak mengharapkan jatah makan dari ibunya karena dia bisa menggunakan benda itu untuk mengambil nasi di dapur tanpa sepengetahuan ibu tapi lama kelama’an dia merasa kasihan kepada ibunya kalau nasinya terus-terusan diambil tanpa sepengetahuannya.

Akhirnya Jalil mempunyai fikiran untuk mengambil nasi ke rumah orang terkaya di kampungnya itu dengan memanfa’atkan klombotan ini.

Ke’esokan harinya dia pergi ke rumah orang itu untuk mengambil nasi darinya.

Pintarnya Jalil, dia kalau mengambil nasi di rumah itu tidak banyak-banyak, jadi dia kalau ngambil makanan itu sedikit demi sedikit agar pemilik rumah itu tidak tidak sadar kalau makanannya sudah diambil. Lagian nasi dan makanan lain di rumah itu banyak jadi kalau diambilnya sedikit-sedikit kan tidak akan ketahuan.

Berbulan-bulan Jalil melakukan ini hingga akhirnya Jalil ini bisa gemuk bahkan dia paling gemuk diantara saudara-saudaranya.

Pada suatu hari Jalil dan Isman bertemu di pinggir sungai tempat biasa Jalil menggembala kambing, disitu Jalil melihat Isman ini makin kurus dan semakin tidak terawat.

(Hebatnya orang dulu meskipun mereka jarang makan mereka susah untuk sakit, ya mungkin karena sudah terbiasa dengan keada’an)

Disitu Isman mengajak Jalil mencari singkong untuk dimakan,

“Lil cari singkong yuk aku belum makan sejak tadi pagi”

“Emangnya kamu gak dikasih makan sama ibumu?”, tanya Jalil.

“Ibuku gak ada beras buat kita makan”, jawab Isman.

Mendengar jawaban dari Isman barusan Jalil merasa kasihan karena dia tau sendiri rasanya tidak makan karena tidak adanya bahan makanan, kemudian Jalil meminta Isman agar menunggunya disini,

“Man, kamu tunggu disini ya aku ambilin makanan buat kamu”.

Dia pergi ke tempat orang kaya dikampungnya untuk mengambil makanan kemudian diberikan pada Isman. Melihat makanan itu Isman bertanya,

“Lil, kamu dapat makanan enak ini dari mana?”

“Sudah yang penting sekarang kamu makan aja”, jawab Jalil.

Dengan lahap Isman memakan makanan yang diberikan Jalil. Hal seperti ini terus-terusan dilakukan Jalil hingga Isman ini terlihat gemuk tanpa dia memberi tahu kepada Isman dari mana dia mendapatkan makanan ini.

Hal semacam ini terus menerus dilakukan Jalil hanya untuk makan. Merasa enak dengan semua ini dia ingin sesuatu yang lebih, jadi istilahnya dia ingin bisa lebih bukan sekedar tidak terlihat oleh manusia lain saja.

(Begitulah sifat manusia, mereka tidak akan puas dengan apa yang sudah dimilikinya sa’at ini, mereka selalu ingin yang lebih dari itu dan itu wajar)

Pergilah Jalil ke hutan bambu tempat dia mendapatkan benda itu dengan tujuan dia ingin bertemu kakek-kakek yang pernah dia temui, sesampai disana dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan dan dimana dia bisa menemui kakek itu. Karena tidak tahu harus berbuat apa dia duduk bersandar pohon bambu hingga akhirnya dia tertidur.

Ketika tidur kejadian itu terulang lagi, dia dibangunkan oleh sosok kakek yang sama,

“Le tangi, wes bengi”, ucap kakek itu membangunkan Jalil. (Nak bangun, udah malam)

Merasa ada yang membangunkan Jalil bangun, kemudian kakek itu lanjut berucap,

“Lapo awakmu mrene maneh?” (Ngapain kamu kesini lagi?)

Jalil memberitahukan keinginannya kepada kakek itu kalau dia ingin bisa pergi ke suatu tempat tanpa berjalan kaki.

(Menurut kita mungkin ini mustahil tapi bagi Jalil tidak karena untuk dirinya bisa tidak terlihat orang lain saja bisa kenapa ini tidak)

Kakek itu menuruti keinginan Jalil tapi dengan sebuah syarat, yaitu Jalil harus melakukan tirakat dengan tidak makan selama 1 hari 1 malam. Tidak hanya itu, kalau sekedar tidak makan itu mudah karena Jalil sudah terbiasa tidak makan. Jalil juga tidak boleh tidur dan berkedip selama 1 hari 1 malam itu.

(Istilahnya puasa sehari semalam)

Karena keinginannya ini sudah bulat Jalil menerima syarat dari kakek itu, mulai dari dia bertemu dengan kakek itu dia memulai tirakatnya tidak makan, tidak tidur dan tidak berkedip hingga tiba waktu yang sama ke’esokan harinya.

Ke’esokan harinya di waktu yang sama Jalil datang lagi ke hutan bambu dengan tujuan untuk memberi tahu kakek itu kalau dia sudah berhasil menjalankan syarat tersebut.

Disitu dia dihampiri sosok kakek itu, kemdudian kakek itu meminta Jalil untuk memejamkan mata sambil mengelus-elus ubun-ubun Jalil.

(Istiilah jawanya dalah mbon-mbonan)

Tidak lama di elus-elus kakek itu meminta Jalil untuk kembali membuka matanya dan... betapa terkejutnya Jalil setelah membuka mata itu, dia sedang berada di tepi lautan lepas bersama kakek itu di sebelahnya.

(Jadi Jalil ini dibawa kakek itu ke segoro kidul atau laut selatan)

Melihat laut seluas itu Jalil takut, dia takut kalau kakek ini akan mencelakakannya. Lalu kakek itu bilang ke Jalil,

“Iki sing jenenge segoro kidul, aku iso ngejak awakmu rene mergo awakmu wes ngelakoni tirakat sing tak kongkon”

(Ini yang namanya laut selatan, aku bisa mengajakmu kesini karena kamu sudah bisa menjalankan tirakat yang aku perintahkan)

Kemudian kakek itu meminta Jalil untuk duduk dan memberi Jalil sebuah amalan.

“Eling-elingen opo sing kate tak omongno iki, terus apalno. Ojo ditulis ojo di omong-omongno”

(Ingat baik-baik apa yang akan aku katakan ini kemudian hafalkan. Jangan ditulis dan jangan diberitahukan)

Kakek itu mengucapkan kata-kata dalam bahasa jawa yang kata-kata itu tidak bisa dituliskan penulis disini, intinya kata-kata yang diucapkan kakek itu adalah sebuah do’a tapi dalam bahawa jawa, yang pasti itu semua atas izin tuhan.

Setelah mengucapkan itu kakek itu meminta Jalil untuk memejamkan mata lagi dan mengelus-elus mbon-mbonannya, tidak lama kemudian kakek itu meminta Jalil untuk membuka mata, setelah membuka mata ternyata Jalil kembali berada di hutan bambu di kampungnya lagi.

Melihat semua keajaiban ini Jalil benar-benar heran ternyata hal yang se-mustahil ini bisa dia lakukan. Kemudian Kakek itu memberi tahu Jalil bahwa dia bisa mekakukan sepereti yang tadi mereka lakukan tapi dengan sebuah ritual.

Setelah memberitahu semua itu kakek itu pergi dan Jalil kembali pulang, sesampai di rumah dia masih tidak percaya dengan apa yang sudah dialaminya tadi. ke’esokan harinya dia mencoba mempraktikan apa yang sudah diajarkan kakek itu.

Dia pergi ke kebun belakang rumah dan mempraktikan disitu, dia pergi ke sawah pinggir sungai tempat biasa dia mencari makan dan benar saja, dalam waktu sesingkat ini dia bisa sampai disana, disana dia melihat ada Isman dengan kegiatannya yaitu menggembala kambing, Jalil menghampiri Isman dan menyapanya tapi ada yang aneh, Isman sama sekali tidak merespon sapa’an Jalil bahkan dia tidak menyadari keberada’an Jalil.

Jalil heran kok bisa dia berdiri didepan Isman tapi isman tidak menyadarinya, akhirnya dia jalan kaki pulang, sesampai di rumah dia ingat bahwa tadi dia pergi ke sungai itu dengan sebuah ritual, mengingat itu dia menuju ke kebun belakang rumah dan disana dia melihat dirinya sedang tidur.

Dari sini Jalil tau satu hal, berarti yang pergi ke sungai barusan itu adalah jiwanya tidak bersama raganya, patas saja tadi Isman tidak menyadari keberada’an Jalil.

Mulai sa’at itu kalau malam hari ketika sedang tidur Jalil selalu menggunakan hal ini untuk pergi ke hutan bambu untuk menemui kakek tapi dia pergi ke hutan bambu itu tidak dengan raganya karena dia tau kalau terus-terusan dia pergi ke hutan bambu secara kasat mata pastinya orang lain dan ibunya akan curiga dengan apa yang dilakukan Jalil di hutan bambu itu.

Karena saking seringnya pergi kesana dia pun semakin akrab dengan kakek itu dan Jalil juga belajar banyak tentang ilmu jawa kepada kakek itu hingga akhirnya kakek itu bersedia ikut bersama Jalil sebagai khodam.

Hari berganti hari hingga berganti tahun, selama hidupnya itu Jalil sudah banyak mempelajari ilmu jawa dari kakek itu bahkan Jalil bisa meminta tolong pada kakek itu untuk menyembuhkan orang sakit akibat gangguan jiwa.

Pernah juga pada suatu ketika dia dimintai tolong oleh seseorang kolektor benda pusaka untuk mencarikan sebuah mustika dan akan dibelinya dengan harga mahal yaitu mustika merah delima.

Secara ilmiah Mustika merah delima adalah sebuah batu permata, batu yang dibentuk dari hasil proses geologi yang unsurnya terdiri atas satu atau beberapa komponen ilmiah yang mempunyai harga jual tinggi dan diminati oleh para kolektor.

Batu merah delima dipercaya mempunyai kekuatan yaitu bisa kebal dari senjata apapun baik yang zohir maupun ghaib, bisa juga digunakan untuk pengobatan segala jenis penyakit dan mampu mengubah warna air dalam gelas menjadi merah darah.

Khodam yang bersama Jalil itu baik, kalau tidak baik yang akan terjadi adalah sebaliknya, bisa jadi dia yang akan meminta kepada Jalil bukan Jalil yang meminta kepadanya seperti minta tumbal atau hal lain.

Sampai sekarang usia mbah Jalil ini kira-kira sudah 80-an tahun dan sampai sekarang beliau masih bersama khodamnya itu.
---==SEKIAN==---


close