Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

PELUKAN KEMATIAN (Part 1)

SEPUNGKRUK, sebuah hutan yang terkenal sangat angker dan memiliki mitos tentang Jaran Sembrani (kuda terbang). Untuk menguak suatu cerita penduduk setempat, kami berempat berniat untuk mencari fakta dari semua ini.


Aku Alzikra, abang ku (mas Pur), kang Armani, dan kang Sujanto (abang sepupu).

Mitos itu menjadi salah satu ketertarikan untuk kami, terutama mas Pur, gagasan blusukan ini juga berawal dari pemikirannya.

Apakah benar jika Jaran Sembrani itu ada ataukah hanya cerita semata?

Pembicaraan berawal dari mereka bertiga, aku yang saat itu sedang belajar mendengar percakapan yang menegangkan itu, mendengar nama Sepungkruk saja sudah sangat bisa aku bayangkan jika tempat ini sangat wingit, menjadi sebuah istana lelembut.

Hutan ini berada di utara desa, sebuah jalan tembusan ke desa lain yang harus melewati hutan dengan sebuah bukit kecil yang ditumbuhi pepohonan liar, di bawahnya terdapat hamparan kebun cengkeh, juga sungai.

"Napak tilas saja kali ini selain berhadapan dengan berbagai makhluk, tentu kita juga harus siap dengan apa pun yang terjadi nanti,' ucapan itu terdengar dari kang Sujanto.

"Mau berapa lama kita masuk?" jawab mas Pur.

"Tidak bisa dibatasi waktu bro, kalau kita masuk sudah jelas hanya nunggu dibalikan sama demit sana." ujar kang Armani sambil tertawa.

Ketiganya serius membahas penelusuran ini, dan hal seperti ini bukan kali pertamanya untuk mereka. Selain doyan nanjak beberapa gunung, napak tilas juga menjadi suatu keseruan untuk mereka.

"Aku ikut yaa," kataku sambil keluar dari kamar.

"Ehh bro, sini duduk," Kang Armani mengajak gabung.

"Ahh le, kamu masih belum cukup umur." seloroh Mas Pur.

Mendengarkan kata mas Pur, aku hanya bisa terdiam, karena hal seperti ini juga masih sangat tabu buatku.

Walau pun sering mengikuti perjalanan mereka tapi kalau blusukan ke arah berbahaya mas ku selalu melarang.

"Ga papa bro, pengenalan buat adik mu," kata mas Armani.

"Kalau dia ga perlu dikenalkan dari bayi juga sudah kenal yang namanya dedemit." Mas Pur menyela.

"Emang kamu siap Al?" tanya mas Sujanto dengan mimik serius.

"Ayo, siap lah," jawabku semangat.

Ketika laki-laki itu hanya memandangku mencari keyakinan dalam diri ini. Anggukan mas Pur menjadi pertanda diijinkan-nya aku bergabung.

Dilanjut dengan pembahasan panjang lebar, malam itu juga kami berempat mujadah memohon petunjuk, meminta keselamatan, juga mengharapkan jalan untuk tetap selamat sampai jalan pulang nanti.

***

Semua perlengkapan sudah dipersiapkan mereka yang lebih tua, aku hanya membawa diri juga sebuah golok milik almarhum bapak. Menjabat tangan ibu untuk meminta restu.

Setelah siang semua berkumpul, lalu beranjak dengan menenteng tas jumbo mereka.

Berjalan meninggalkan desa menapaki pematangan sawah, dan memasuki perkebunan cengkeh juga perkebunan salak menjadi rute awal kami.

Jalan setapak yang gelap karena paparan sinar matahari terhalang rerimbunan pohon menjadi pengiring perjalanan kami.

Tanpa ragu sedikit pun, kami terus jauh masuk ke dalam.

Samar-samar terlihat tanah yang menjulang tidak seberapa tinggi, belukar juga pepohonan liar menghiasi, tanah inilah yang dinamakan SEPUNGKRUK.

Kelebatan terbangnya burung mengiringi perjalanan kami saat memasuki area ini. Kami berempat memilih jalur yang jarang dilewati manusia.

Sesampai di atas, ada sebuah batu yang tengahnya berlubang menampung air. Ini salah satu batu bersejarah.

Batu lumpang ini merupakan saksi bahwa dahulu tempat ini menjadi tempat pengungsian saat peperangan kerajaan Jogjakarta dengan kerajaan Pengging terjadi. Namun sejarah ini jarang terungkap, karena minimnya pengangkatan kisah cikal bakal, babat Alas, dimasa itu.

"Kita sudah sampai." kata kang Sujanto dengan wajah lelah

"Oke, waspada amati langkah, banyak ular di area ini," imbuh kang Armani.

Lalu mereka meletakan tas gunung.
Disusul dengan kami yang berpencar untuk mencari petunjuk lain.

Namun sore ini tiba-tiba gerimis turun, dan berubah menjadi hujan deras. Padahal tenda belum siap didirikan, akhirnya hanya daun keladi satu-satunya penangkal guyuran air langit.

Tiba-tiba angin menyapa dengan sedikit kencang, aroma semerbak wangi melati tercium.

"Hmmmmm," suara keluar dari mas Pur.

Pertanda ghaib sudah mulai hadir, interaksi astral menyambut tanpa ragu saat kami tiba.

Cekikikan khas wanita terdengar sangat jelas. Menandakan sosok itu tidak berani mendekat.

"Itu, tu...," kang Armani menunjuk.

Sosok itu yang berdiri mengintip di sebalik rimbunan pohon kaliandra. Seakan malu, dengan menutup muka dengan rambut panjangnya yang awut-awutan.

Kami mengabaikannya, sampai tertawa itu terdengar untuk kedua kalinya. Saat kami memandang sekeliling kami, ternyata sosok itu kini tidak hanya satu tapi ada beberapa seakan mengepung tempat kami terduduk diguyur hujan.

"Mantap ini," mas Pur menyeletuk.

"Ahahaha, masih andahan, aura beratnya masih jauh bersembunyi," kata kang Armani.

"Ditunggu saja, masuk maghrib sebentar lagi akan ada kejutan," ucap Kang Sujanto.

Mereka bertiga seakan sudah siap dengan keadaan apa pun, aku yang hanya diam mengamati penampakan itu, menerawang bertanya dalam hati, "kenapa mesti semua diumpetin wajahnya?"

Akhirnya daripada menunggu hujan yang tidak tau kapan redanya, akhirnya kami menyepakati untuk membuka tenda. Walau hanya satu tenda dibuka, dan pastinya akan sangat berjubel menampung kapasitas empat manusia.

***

Meski pencarian itu hanya menghasilkan kepuasan diri, tetapi terkadang tingginya hal halus lebih mulia memberi petunjuk tentang makna kehidupan yang sebenarnya.

Menjelang maghrib kami memasuki gerbang, hujan masih setia dengan lebatnya mengguyur bumi. Perang cahaya terlihat di atas langit yang mulai gelap. Aura mistis makin terasa mengental, pakaian di suasana sore itu. Benturan itu terasa panas menerpa tubuh, padahal semua pakaian kami dalam kondisi basah kuyup.

Dan tenda yang siap menampung kami berempat pun telah berdiri kokoh. Namun sayangnya dalam cuaca begini kami tidak ditemani udara hangat yang berasal dari perapian. Hanya pakaian kering menjadi solusi utama agar tidak mengikis kondisi tubuh.

"Buk... buk... buk..."
Sebuah tangan dengan jemari yang panjang menepuki tenda.

"Mulai ini," Mas Pur berkata.

"Siap-siap saja," sahut kang Sujanto santai.

Aku hanya diam saja, sementara kang Armani santai merokok, seolah kami semua tidak menggubris pertanda ini. Hingga kemudian terlihat bayangan berdiri pas disisi tenda. Sosok yang seperti manusia namun panjang tangan nya menjuntai, berekor. Jelas jika makhluk ini jenis genderuwo.

Suara beratnya terdengar, seakan tidak suka dengan keberadaan kami. Tangannya terus menggebuk-gebuk tenda sambil jalan memutar kebelakang.

"Kedepan jangan kebelakang!" Seru mas Pur.

Namun perkataan itu hanya membuat kami semua tertawa. Suasana menjadi terpecah karena di tumit kaki kang Sujanto sudah menempel sebuah pacet (lintah daun). Hilang sejenak keseruan dengan sosok yang tengah berdiri dibelakang tenda, kami kini sibuk ngurus melepaskan pacet yang menghisap darah itu.

"Sini sundut pakai rokok juga lepas." kata Kang Armani.

"Wehh jangan. Nanti kena kaki ku." ucap kang Sujanto sepontan.

Mendengar itu kami malah hanya tertawa, terlihat sangat konyol kelakuannya. Padahal yang namanya pacet sudah sangat sering didapati berkali-kali.

"Sama setan ga takut, sama pacet malah ciut," kini mas Pur yang berucap.

Kesibukan mengurus pacet, membuat kami tidak sadar bahwa ternyata hujan mereda, gangguan lelembut juga sudah menghilang. Semua menjadi sangat sunyi, terdengar bunyi burung hantu yang menyaut di atas pepohonan. Angin tenang pun menghembus perlahan, namun dinginnya alam sangat terasa menyelusup ditubuh ini.

Tidak seberapa lama kami berempat keluar saat mendengar ringkikan kuda.

"Suara itu, dengar....," kata ku.

Kami pun berhamburan mencari sumber suara tadi, menyorotkan senter kesemua arah namun tak menemukan gerakan, atau tanda adanya kuda itu. Tanpa terasa pencarian ini pun akhirnya membuat kami terpencar, empat orang terpisah sendiri-sendiri.

Aku yang hanya mengikuti suara burung hantu terus masuk kedalam, sampai semua suara hilang, riuh teriakan tanpa dapat aku dengar lagi. Semua hening.... sangat sunyi.

Tiba-tiba, kelebatan bayangan hitam terlihat muncul lalu menghilang dibalik pepohonan. Saat itu aku mengira itu salah satu dari mereka bertiga. Namun, dengan menyusulnya dan beberapa kali berteriak memanggil tanpa ada jawaban. Aku menyimpulkan bahwa jelas itu bukan manusia.

Akhirnya, saat itu aku memutar badan berbalik arah.

Saat kuputarkan badanku, Jleb... aku terperanjat karena pas langsung berhadapan dengan sosok wanita menyeramkan dengan tatap mata yang tajam menyala. Dari mulut, lubang hidung, telinga, mengeluarkan cahaya warna merah.

Dengan lidah menjulur sampai ketanah. Sosok ini mengambang, berpakaian seperti kain warna merah namun bercahaya, tetapi semua sumber cahaya itu tidak menyilaukan mata.

Terkejut kalau wanita ini terbang mendekat, dia mengangkat tangan nya dan menunjukan ruas jemari yang membengkok keatas dengan kuku panjang nya. (Kalau jemari manusia mencengkram pasti akan membengkok kedalam, kalau sosok ini terbalik.)

Lidahnya mulai bergerak naik, sangat panjang berwana merah, bergerak seperti ular kearah ku.

"Kunti jenis apa ini?" tanyaku dalam hati.

Tanpa sadar sekelip mata saja, sosok itu sudah merangkul tubuh ku dari belakang. Baunya sangat busuk seperti bangkai tercium.

Dari atas kepala ku, turun perlahan ke rambut panjangnya yang disusul lidah lalu raut muka yang kini tepat berhadapan dengan wajah terbalik.

Entah karena apa, secepat kilat wajah itu mundur, lalu melepaskan pelukannya dari tubuh ini, saat aku berbalik, sosok itu sudah memanjat dengan cara kaki diatas, kepala dibawah dengan tatap mata yang terus fokus melihat kearahku. Merayap terus naik, sampai hilang entah kemana.

Mencarinya dengan cahaya senter pun juga percuma, karena memang sudah benar-benar menghilang.

Aku berusaha kembali ketenda dengan melewati jalan tadi, namun jalan ini rasanya tidak pernah sampai kearah tenda.

Suara ketiga orang itu juga tidak terdengar. seharusnya walau sejauh ini cahaya senter mereka tetap akan terlihat jika memang masih berada di alam yang sama.

"Sudah lain ini!" batinku menyeru sendiri.

Akhirnya kuputuskan untuk terus menjejaki hutan yang kian melebat ini, entah akan sejauh mana langkah ini membawa diri.

"Le, mau kemana?" Sebuah suara memanggilku perlahan.

Ku hentikan langkah kaki ku, karena jelas tadi suara mas Pur. Tapi entah dimana wujudnya, aku mengamati di sisi kanan juga kiri, semua senyap, sepi, dan gelap.

Sampai mataku melihat kembali penampakan sosok berbaju putih. Kuntilanak lagi, tetapi berbeda dgn wujud yang tadi, rambutnya walau panjang tapi terlihat pitak-pitak (tumbuh tidak rata). Wajahnya terlihat hancur, hingga rahang juga gigi-nya terlihat.

Mata sebelahnya utuh satunya lagi growong.

Ingin rasanya abaikan setan ini, tapi entah kenapa rasa penasaran ku tidak mau untuk beranjak. Malah semakin lekat mengamati, terlihat kepalanya yang semakin patah dan miring ke kiri.
Entah apa yang mau ditunjukannya padaku.

Sampai sebuah batuk nenek-nenek terdengar.

Terperanjat aku ketika melihat sosok nenek tua dengan rambut semua putih beruban, badan nya agak kurus, agak pendek. Dia mendongok menatap ku.

"Hihiiihiii..  kaget ya." Ucapnya.

"Setan apa lagi ini?" Kata ku.

"Ngapain kesini?" Kembali terdengar ucapnya.

"Nyari demit mbah, simbah ngapain disini?" Aku balik bertanya.

Hihihiiii....

Ketawanya kembali terdengar, sehingga membuat bulu kuduk ku meremang tiba-tiba. Nenek tua itu hanya cekikan sambil menutup mulut dengan tangan keriputnya. Hampir semua kulitnya terlihat kering.

Namun tatapnya teduh, dengan bola mata yang hampir tidak terlihat tertutup kelopak matanya yang mengantung.

"Kamu ngapain kesini, hihihiii." Pertanyaan itu kembali terucap.

"Cari demit mbah, mbah ngapain disini?" Jawaban juga pertanyaanku pun aku ulang sama.

Hanya terus terdengar cekikikan nya tanpa henti, bukan bikin takut tapi malah geli sendiri seperti ngobrol dengan orang tua yang mulai pikun atau tidak waras.

Tanpa memperdulikannya kembali aku lanjut berjalan meninggalkan wanita tua yang berdiri memandangku dengan tertawa anehnya.

Kakiku terus berjalan, yang ada kini semakin tak tau arah kemana tujuan. Berpencar tidak seberapa jauh, dan tanpa butuh waktu lama kini aku sudah entah dimana, dengan kondisi kebingungan karena keadaan yang semakin gelap, dan kubangan air berlumpur semakin membasahi sepatu juga celana.

"Hihiihiii.. balek lagi." Ucap nenek tadi dengan tertawanya.

"Ahh elah, balik lagi kesini." Kataku.

"Kamu ngapain kesini?" Berulang kali pertanyaan itu diucapkan sosok wanita tua ini.

"Haaahh, mbah aku kesasar." Kataku dengan menghela nafas.

"la atas itu kan tendamu." Kata nenek itu menunjuk.

Langsung seketika terdengar suara yang berteriak memanggil namaku, lampu senter aku arahkan keatas.

Kedipan lampu balasan juga terlihat dari atas yang jarangnya hanya satu tebing tidak sampai lima meter.

Saat aku kembali menoleh kearah nenek didepan tadi, sosok itu sudah tidak ada ditempatnya.

"Oalah mbah, pake acara godain cucunya segala." Ucapku sambil beranjak pergi.

***

Saat dibuat bingung seperti ini, diputar-putar oleh lelembut, pastikan jangan panik atau takut.
Terkadang yang membuat itu akhirnya akan menunjukan jalan pulang, jika hati tetap tenang dan mengingat Tuhan yang selalu memberi pertolongan.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close