Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TERJEBAK (Part 3 END)


JEJAKMISTERI - Aku menggeram marah! Iblis yang terkurung dalam tubuhku meronta minta keluar. Dua titik hitam di bawah pusarku mendadak terasa panas. Sekujur tubuhku bergetar seiring darahku yang seolah mendidih.

Dan akhirnya sang iblis pun terlepas...

ROOOAAAAR !!

Aku berteriak keras! Seketika muncul sisik-sisik emas yang menutupi sekujur tubuhku. Mataku berubah merah menyala dengan lidah yang menjulur bercabang dua!

Semua orang terkejut! Lelaki bermata sipit itu langsung menekan pelatuk pistolnya!

DOR! DOR!

Terdengar letusan dua kali. Namun sia-sia. Dua peluru itu tak mampu menembus kulitku yang kini jadi sekeras baja!

Melihat hal itu, semua anak buahnya langsung lari pontang-panting! Namun tak semudah itu...

Dengan gerakan secepat kilat, kulibas habis mereka semua hingga terkapar kelojotan meregang nyawa.

Namun ternyata masih ada segelintir orang yang mampu luput dari seranganku. Tapi takkan kubiarkan mereka lolos. Tak boleh ada saksi mata.

ROOOAAAR ! zzzzsshh....

Suara panggilan untuk para ular yang entah darimana ada beberapa yang datang dan langsung merayap cepat mengejar para anak buah yang sempat kabur.

Tak lama berselang, terdengar suara jeritan dari luar sana. Rupanya para ular berbisa itu telah berhasil menemukan mangsanya.

Kini tinggal lelaki bermata sipit itu yang terus bersurut mundur hingga merapat ke dinding. Dia dengan paniknya langsung menembakkan pistolnya berkali-kali ke arahku hingga pelurunya habis!

DOR! DOR! DOR!

Namun percuma. Lelaki itu makin ketakutan saat melihatku tetap berdiri tegak sambil menatapnya dengan mata yang merah menyala.

Kucengkam kuat lehernya dengan satu tangan lalu kuangkat tubuhnya tinggi-tinggi. Bisa kurasakan kuku-kuku jemariku yang tembus masuk hingga kerongkongannya..

Darah kental meleleh disertai suara tercekik keluar dari mulutnya, seiring tubuhnya yang menggelinjang lalu menghitam terkena racun yang begitu mematikan. Lalu kehempaskan dia ke lantai...

BRUK!

Seketika hening. Tak ada lagi yang tersisa. Hanya ada diriku yang berdiri mendesis di antara tubuh-tubuh yang terkapar.

Namun tak bisa kubiarkan iblis ini menguasai diriku lebih lama. Aku segera duduk bersila demi mengubah wujud kembali jadi manusia.

Kupandangi sekeliling ruangan yang begitu porak-poranda. Dan akhirnya menemukan Siti yang meringkuk ketakutan di bawah meja. Aku menghampirinya. Namun dia malah menunduk ketakutan.

"Ayo, kakakmu Arifin sudah menunggumu." Ucapku sambil tersenyum.

Mendengar nama kakaknya disebut, wajah Siti langsung berubah. Awalnya dia ragu, namun akhirnya mau menerima uluran tanganku lalu keluar dari kolong meja.

Aku segera membawanya keluar dari tempat terkutuk itu. Berjalan menuntunnya di antara mayat-mayat yang bergelimpangan. 

***

"Siti! Ya Allah!"

Arifin berteriak menyambut kedatangan kami. Bang Fathur yang juga sudah ada di situ langsung berucap syukur, "Alhamdulillah.."

Kami pun segera pergi meninggalkan tempat itu. Selama perjalanan, Siti terus menangis di dalam pelukan Arifin.

Siti sesekali melirik ke arahku dengan wajah yang masih ketakutan. Tapi aku maklum, siapa yang tak takut bila sudah melihatku berubah wujud seperti itu? Namun aku yakin dia akan baik-baik saja.

Akhirnya kami tiba kembali di rumah mas Waris. Bang Fathur yang masih ada urusan, langsung pamit setelah sebelumnya kami mengucapkan berjuta terima kasih.

Kami semua bersyukur. Segalanya berakhir dengan baik. Aku tak tau bagaimana keadaan tempat terkutuk itu selepas aku pergi.

Sudah pasti akan jadi sebuah kehebohan saat orang-orang menemukan begitu banyak mayat yang bergelimpangan. Tapi aku tak perduli. Mereka pantas mendapatkannya.

Kami pun setuju saat mas Waris menyarankan agar kami menginap beberapa hari lagi setelah melihat kondisi Siti yang begitu lemah. Rupanya selama disekap, dia jarang diberi makan. Kasihan sekali gadis itu.

***

Esok harinya, datang seorang teman mas Waris ke rumah. Rupanya dia salah satu kru Film yang hendak mengajak mas Waris untuk melanjutkan syuting yang sempat tertunda.

"Gimana Ris? Tanganmu sudah sembuh belum?" Tanya kawannya. 

"Belum. Lukanya belum kering. Masih sakit kalau digerakkan."

"Waduh, trus gimana dong? Sutradaranya nggak mau tau. Dia mau hari ini juga kamu lanjut."

"Memangnya gak bisa cari gantinya?"

"Nggak ada Ris. Kamu satu-satunya stunt man yang mahir bela diri. Yang lainnya amatiran. Lagian waktunya sudah mepet. Nanti syutingnya malah nggak kelar-kelar."

Mas Waris sejenak diam berpikir. Lalu entah mengapa dia malah memandangiku dari kaki sampai kepala. Apa maksudnya?

Wajah mas Waris langsung berubah senang lalu berkata, "Gimana kalau diganti sama adikku saja? Dia juga ahli bela diri. Masalah akting bisa diarahkan nanti." Ucapnya sambil menunjuk ke arahku.

Semua terkejut. Aku yang paling kaget. Kenapa jadi aku? Kini semua mata memandang ke arahku. Ya ampun!

Kawan mas Waris langsung memandangiku lekat-lekat. Matanya bolak-balik melirik ke arah mas Waris lalu ke arahku seolah sedang membanding-bandingkan. Kemudian dia manggut-manggut seperti yakin akan sesuatu.

"Kalau dilihat dari posturnya sih cocok. Tapi beneran dia bisa bela diri?" Ucapnya sambung bertanya.

"Dijamin! Lah wong dia baru saja menghajar belasan preman!" Sahut mas Waris coba meyakinkan.

"Eh, jangan mas! Wah, nggak bener ini! Saya nggak bisa!" Aku langsung menolak mentah-mentah.

"Tolong Yud. Sekali ini saja. Aku sudah terima bayarannya, dan duitnya sudah terlanjur kukirim ke kampung. Ayolah! Kamu pasti bisa!"

Demi mendengar permintaan mas Waris, aku langsung terdiam. Dia sudah membantu kami sampai sejauh ini. Dan aku tak kuasa menolak saat dia yang kini butuh bantuan.

***

Akhirnya hari itu juga, kami berangkat menuju lokasi syuting. Arifin dan Siti sengaja tak ikut.

Selama dalam perjalanan, berkali-kali mas Waris terus meyakinkanku dan coba beri arahan tentang semua yang harus kulakukan nanti.

Ah ada-ada saja!

Setengah jam kemudian, kami pun tiba di lokasi. Sebuah taman yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah mas Waris.

Di sana banyak orang yang lalu-lalang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Aku langsung dibawa mas Waris ke sebuah tenda untuk menemui sang Sutradara.

"Halo bang! Sory saya belum bisa lanjut. Tapi tenang aja, ada adik saya yang akan menggantikan. Dijamin nggak bakal mengecewakan!" Ucap mas Waris kepada seorang pria berambut gondrong acak-acakan berkacamata tebal.

Pria itu langsung memandangiku sambil manggut-manggut. Lalu dia pun langsung bicara, "Ya sudah. Bawa dia untuk ganti kostum. Sebentar lagi syutingnya mau dimulai."

Mas Waris tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku masih kebingungan. Ini beneran?

Lalu mas Waris mengajakku ke tenda yang lain untuk berganti kostum. Di situ kutemui banyak orang yang sedang didandani.

"Kak Reza, tolong dandani dia. Ini adikku yang mau gantikan aku hari ini. Sutradaranya sudah ok." Ucap mas Waris pada seorang pria langsing berbaju modis namun bertingkah kemayu seperti perempuan.

"Eh, siapa nich? Ganteng juga! Beneran ini adiknya mas Waris? Kok cakepan dia seeeh?"

Demi mendengar ucapannya, entah mengapa sekujur tubuhku seketika merinding. Sama merindingnya saat aku berhadapan dengan demit yang paling menakutkan. Hiiiy...

Selama didandani, sesekali pria kemayu itu mengelus-elus pipi dan juga pahaku. Aku tak mampu protes, juga tak mungkin melindungi diri dengan perisai pelindung. Percuma, nggak bakal mempan!

Mas Waris cuma senyum-senyum geli melihatku yang begitu tersiksa. Setelah 15 menit, akhirnya siksaan itu pun berakhir. Alhamdulillaaaah!

***

Selesai dandan, aku diminta menunggu hingga giliranku tiba. Selama itu, mas Waris dengan sabarnya membantu menjelaskan arahan dari asisten sutradara tentang apa yang harus kulakukan nanti.

Sepertinya tak sulit. Aku cuma diminta untuk berperan dalam satu adegan perkelahian dimana aku menggantikan peran sang aktor yang sedang dikepung oleh sejumlah lawan.

"Pokoknya natural aja Yud. Tadi kan gerakannya sudah diberi tau, kamu tinggal ikuti saja instruksinya. Ok? Semangat!" Kata mas Waris coba kembali memberi masukan.

Dan akhirnya bagianku pun tiba.

Aku begitu gugup. Mungkin rasa gugupnya sama seperti menghadapi Mayang Kemuning bila dia sedang marah-marah. Huffth...

Camera! Action!

Dan terjadilah. Aku benar-benar menggantikan mas Waris main Film. Sempat beberapa kali take ulang karena aku yang begitu grogi. Tapi setelah kesekian kalinya, akhirnya bagian peranku rampung juga.

Cut! Cut! Ok bungkus!

Teriak sang Sutradara yang disambut riuh tepukan tangan dari orang-orang. Mas Waris tersenyum puas. Aku yang lemas.

Namun tanpa disangka-sangka, sang sutradara datang menghampiriku sambil tersenyum.

"Akting kamu masih kurang, tapi gerakan bela diri kamu keren banget! Sayang kalau cuma jadi peran pengganti. Saya masih ada beberapa judul Film lagi yang belum digarap, dan kayanya kamu cocok untuk jadi salah satu pemainnya. Gimana?"

Aku cepat menggeleng. Tapi mas Waris malah menginjak kakiku lalu mendahuluiku untuk menjawab.

"Siap bang! Nanti calling saya aja! Adik saya ini pasti siap main Film lagi. Pokoknya dijamin nggak bakal mengecewakan deh!" Ucap mas Waris sambil mengedipkan satu matanya memberi kode. Aku cuma bisa mengangguk pasrah.

Setelah semuanya selesai, akhirnya kami bisa pulang. Sebelum meninggalkan lokasi syuting, dari kejauhan, nampak kak Reza si pria kemayu memberikan cium jauh sambil memberi gestur minta ditelpon.

Ya Allah! Betapa berat cobaan hari ini!

***

Sesampainya di rumah, mas Waris tak henti-hentinya menceritakan kepada Arifin dan Siti tentang betapa hebatnya diriku yang menggantikan perannya di lokasi syuting tadi.

"Wah! Berita besar ini! Nggak sabar mau cerita sama Budi dan Jaka!" Arifin menanggapi dengan antusias. Tapi aku tau, mereka hanya akan mengolok-olokku.

Seharian, kami semua santai bersenda gurau. Siti nampak masih takut sambil terus menatapku. Aku yang tak mau kalau sampai dia bercerita pada mas Waris dan juga Arifin, memintanya untuk menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Dan dia pun mengangguk.

Keesokan harinya, kami pun pamit. Arifin dan Siti tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada mas Waris atas segala bantuan dan kebaikannya.

Mas Waris pun tak lupa berpesan padaku agar siap datang kembali bila tawaran main Film itu benar-benar terwujud. Aku pun menyikapinya dengan tertawa, "Lihat nanti saja mas."

Selama perjalanan pulang, di dalam bis, Arifin tak henti-hentinya terus mengolok-olokku.

"Eh, langsung ganti nama aja Yud, persiapan kalau tenar nanti! Gimana kalau Yudha van Damme? Atau Yudha Scwarzenegger? Mantap tuh!"

"Apaan sih? Nggak jelas banget!" Jawabku sambil bersungut kesal.

Siti cuma senyum-senyum geli mendengarnya. Tapi kakaknya tak henti-hentinya terus bicara.

"Ah! Atau pakai nama jagoan mandarin? Yudha Lee? Yudha Chan? Gimana? Cocok nggak? Anjaaaay!"

Aku tak menggubrisnya. Namun Arifin masih belum selesai.

"Apa mau pakai nama jagoan lokal? Yudha Uwais? Keren tuh! Hahahaha.."

Des! Des!

Arifin seketika terkulai lemas saat ku totok jalan darahnya. Siti kebingungan, namun aku jelaskan kalau kakaknya hanya tertidur. Dia pun mengangguk paham. Sekarang, aku bisa menikmati perjalanan pulang dengan lebih tenang.

~SEKIAN~

Terima kasih telah menyimak kisah ini. Nantikan lanjutan kisah perjalanan hidup Yudha pada episode-episode berikutnya!
close