Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MISTERI SANG BAYI (Part 1)

Lanjutan kisah perjalanan hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.


JEJAKMISTERI - Lagi-lagi aku terbangun dengan dada berdebar-debar. Mimpi itu kembali terulang. Mimpi tentang padepokan Karang Sewu yang diselimuti kabut tebal yang begitu gelap dan pekat.

Ada apa ini? Apakah ini sebuah firasat?

Sejenak aku duduk termenung di atas ranjang. Batinku terusik. Terbayang wajah orang-orang yang kusayangi yang ada di padepokan sana.

Sebenarnya sejak kemarin aku ingin menghubungi Ki Heru Cokro. Namun jadi hal yang sulit karena aturan di sana tak mengijinkan adanya alat komunikasi.

Kini diriku terus menimbang dan berfikir, apa yang harus kulakukan?

Akhirnya kumantapkan hati ambil keputusan. Aku harus pulang ke Karang Sewu. Mimpi yang berulang itu terlalu aneh untuk dianggap sebagai mimpi biasa.

***

"Oh, nggak apa-apa Yud, silahkan saja. Mestinya kamu nggak perlu repot-repot datang menghadap, urusan seperti ini cukup lewat telpon saja." ucap pak Yanto.

Aku cuma mengangguk tersenyum. Sejak diriku menolong keluarga pak Hermawan sang bos pemilik pabrik tempo hari, pak Yanto jadi sedikit sungkan padaku. Tapi itu justru membuatku jadi tak enak hati.

"Apa perlu kamu pakai mobil? Saya bisa pinjamkan mobil kantor kalau kamu mau." Tambah pak Yanto lagi.

Aku langsung kaget seketika menampik tawarannya, "Eh, nggak perlu pak! Nggak usah! Saya naik motor saja, lagi pula saya nggak bisa nyetir mobil."

"Lho? Ya nggak apa-apa. Kan kamu bisa minta antar temanmu yang bisa bawa mobil. Bukannya si Arifin itu bisa nyetir mobil ya? Kalau kamu mau, dia boleh kamu ajak. Ya itung-itung buat teman di perjalanan."

"Eh, memang boleh begitu pak?"

"Ya boleh Yud. Saya ini cuma melaksanakan amanat dari pak Hermawan saja. Waktu itu beliau berpesan agar saya membantu bila kamu butuh sesuatu."

"Aduh, kok saya malah jadi nggak enak ya pak."

"Alaah, nggak perlu sungkan... Kamu jangan menolak bantuan saya, kalau sampai pak Hermawan tau, nanti dia bisa marah sama saya. Apalagi mbak Erlin. Walaupun dia ada di luar negeri, tapi dia masih sering menanyakan tentang kabarmu."

"Maaf pak. Ini terlalu berlebihan. Bagi saya, diijinkan untuk cuti saja saya sudah cukup senang."

"Hmm.. Begitu? Ya sudah. Terserah kamu saja. Kamu boleh cuti selama yang kamu butuhkan. Bebas!"

"Saya nggak bakal lama kok pak. Mudah-mudahan dalam beberapa hari saya sudah bisa masuk kerja lagi."

"Ok. Silahkan. Kamu hati-hati ya di jalan."

***

Esok harinya, setelah berkemas dan bersiap, aku segera meluncur dengan motorku menuju Karang Sewu.

Selepas maghrib, aku pun telah tiba di depan gerbang padepokan. Suasananya nampak sunyi, namun sayup-sayup terdengar suara orang-orang yang sedang khusyuk mengaji.

Kumatikan mesin motor dan langsung menuju pintu masuk. Tapi belum sempat mengucap salam, nampak seorang gadis datang menyambutku di depan pintu.

"Assalamualaikum mas Yudha! Apa kabar mas?" Ucap Arum dengan wajah yang sangat gembira.

"Waalaikum salam! Aku baik-baik saja Rum, kamu dan yang lainnya gimana? sehat semua?"

"Alhamdulillah mas... Ayo masuk! Ki Heru ada di dalam, beliau sedang mengaji di mushola." Arum menjawab sambil terus kembangkan senyum.

Kutemui pamanku yang sedang khusyuk mengaji bersama murid-muridnya. Aku sengaja menunggu. Setelah beberapa saat, dia pun menutup pengajiannya.

"Assalamualaikum paman." Langsung kuraih dan kucium tangan pria bersorban itu.

"Waalaikum salam! Ya Allah, senang bisa ketemu kamu Yud! Apa kabarnya?"

"Aku baik-baik saja paman. Maaf kalau aku baru bisa datang sekarang, sebenarnya sudah lama aku ingin berkunjung, tapi selalu saja ada halangan."

"Ah, nggak apa-apa, paman tau kamu sibuk bekerja. Justru paman senang, akhirnya kamu bisa mendapatkan kehidupan normal seperti orang-orang lain." Jawab ki Heru Cokro sambil menepuk-nepuk pundakku.

Sebentar saja, kami telah larut dalam perbincangan penuh canda tawa, ditemani Arum yang duduk di samping Ki Heru Cokro dengan matanya yang tak lepas memandangiku sambil terus tersenyum senang.

Setelah puas melepas rindu, akhirnya kusampaikan maksud kedatanganku. Kuceritakan tentang mimpiku yang selalu berulang, tentang padepokan ini yang diselimuti kabut kegelapan.

Begitu mendengarnya, seketika wajah Ki Heru Cokro berubah jadi tegang.

"Hmm.. Memang sedikit aneh. Tapi mudah-mudahan itu bukan satu pertanda buruk. Ya sudah, lebih baik sekarang kamu istirahat dulu, pasti kamu lelah." Ki Heru coba menyikapinya dengan tenang.

Aku langsung di antar menuju ke salah satu kamar. Setelah mandi, sejenak kurebahkan diri melepas penat. Suasana padepokan ini tak banyak berubah. Terasa begitu damai dan tentram, jauh dari segala hiruk-pikuk dunia luar.

***

Lepas tengah malam, mendadak terdengar suara ribut-ribut dari luar sana. Aku yang tadinya hendak melaksanakan sholat tahajud, jadi penasaran dan segera keluar untuk mencari tau.

Di halaman padepokan, terlihat suasananya begitu ramai. Nampak para murid berkerumun mengerubungi Ki Heru Cokro yang berdiri di tengahnya. Tapi telingaku seperti mendengar ada suara bayi yang menangis dengan keras. Ada apa ini?

Aku pun mendekat dan langsung kaget begitu melihat ada bayi yang terbungkus kain selimut dalam gendongan Ki Heru Cokro.

"Ada apa ini paman? Bayi siapa itu?"

"Tadi salah seorang murid menemukan bayi ini tergeletak menangis di depan pintu gerbang padepokan. Sepertinya anak ini sengaja di tinggal."

"Ya ampun! Siapa yang tega melakukannya?"

"Entahlah Yud. Tapi yang pasti, kita tak mungkin menelantarkannya. Kasihan anak ini."

"Maaf Ki, mari biar saya saja. Untuk sementara ini, biar anak ini saya yang urus." Arum mendekat lalu mengambil bayi itu dari tangan Ki Heru Cokro.

Setelah bayi itu dibawa Arum, Ki Heru Cokro segera meminta yang lainnya untuk bubar. Namun wajah Ki Heru Cokro terlihat begitu cemas. Dan dia pun langsung mengajakku berbicara.

"Yud, paman merasakan ada sesuatu yang lain dari anak itu."

"Sesuatu yang lain? Apa maksud paman?"

"Ada energi gaib yang memancar dari tubuhnya. Energi yang kuat, namun terasa begitu jahat."

"Astaga! Paman yakin?"

Ki Heru Cokro mengangguk. Wajahnya amat serius. Lalu dia kembali menambahkan yang langsung membuatku terperangah..

"Energi itu sama seperti yang terpancar dari dalam dirimu Yud."

"Sama seperti saya?"

"Iya. Jadi paman minta, tolong kamu awasi seluruh area padepokan ini. Paman takut kehadiran bayi itu akan mengundang para lelembut untuk datang kemari."

"Baiklah paman. Nanti akan ku pasang energi pelindung di sekeliling wilayah padepokan ini, sekedar untuk berjaga-jaga."

"Terima kasih. Paman juga minta kamu bantu Arum menjaga dan mengawasi bayi itu. Paman yakin kalau anak itu bukan anak sembarangan."

"Iya paman. Paman tenang saja. Untuk malam ini, saya akan terus berjaga. Paman lebih baik istirahat saja."

Ki Heru Cokro pun pamit pergi. Aku segera berkonsentrasi untuk memasang energi pelindung di sekitar wilayah ini. Setelah semuanya selesai, aku putuskan kembali ke kamar untuk melakukan sholat tahajudku yang tadi sempat tertunda.

***

Esok harinya, seisi padepokan ikut sibuk mengurusi bayi itu, terutama murid yang perempuan. Silih berganti mereka berdatangan untuk sekedar menengok atau menggendong bayi mungil itu.

Berbagai perlengkapan bayi pun segera disediakan. Termasuk susu, selimut dan juga pakaian.

Tapi selepas sholat Isya, mendadak Arum datang dengan tergopoh-gopoh ke mushola.

"Ki Heru, cepat ke kamar Ki! Ada yang aneh dengan anak itu!"

Kami pun segera menuju ke kamar Arum, dan langsung kaget ketika melihat bayi mungil yang baru kemarin kami temukan, tiba-tiba saja tubuhnya kini sudah bertambah besar, dan sudah bisa berdiri sambil tertawa kegirangan!

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close