Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TERJEBAK (Part 1)

Lanjutan kisah perjalanan hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.


JEJAKMISTERI - Sudah setengah jam Arifin diam. Mulutnya yang biasanya selalu ngoceh kini terkatup rapat. Budi dan Jaka saling pandang sambil menggeleng lalu kompak menatap ke arahku. Aku paham. Mereka ingin agar aku yang bertanya.

"Fin, tumben kamu diam aja? Kenapa?" Tanyaku pada Arifin. Budi dan Jaka menyimak menunggu jawaban.

Arifin tak langsung menjawab. Sejenak menunduk sambil menghela napas. Seperti ada beban berat yang menghimpit dadanya.

"Iya Fin. Kamu kenapa? Coba cerita sama kita-kita. Siapa tau kita bisa bantu." Jaka coba ikut membujuk.

Arifin mengangkat kepalanya. Memandangi kami satu persatu. Matanya sayu. Dia masih nampak bimbang. Namun akhirnya mau bicara..

"Adikku, si Siti, sebulan yang lalu ikut temannya ke Jakarta. Katanya mau diajak kerja. Tapi sampai sekarang malah nggak ada kabarnya. Nomor telponnya nggak aktif. Temannya juga nggak bisa dihubungi. Aku jadi khawatir."

"Ya ampun! Ya sudah, kamu susul aja! Minta ijin sama pak Yanto. Masa nggak boleh?" Budi coba memberi saran.

"Sudah. Pak Yanto sudah kasih ijin. Tapi masalahnya, aku kan belum pernah ke Jakarta? Takut nyasar. Apalagi alamatnya kurang jelas. Tulisannya cuma MONGGO MAS, Ruko Tanjung Priuk. Itu aja." Sahut Arifin sambil menunjukkan secarik kertas.

Mendengar hal itu, Budi dan Jaka jadi ikut merenung. Aku juga ikut khawatir. Kami semua sudah layaknya saudara. Bila ada satu yang kesusahan, kami semua ikut merasakannya.

"Ya sudah. Nanti biar aku temani kamu." Ucapku yang langsung membuat wajah Arifin berubah senang. Sepertinya memang itu yang dia harapkan.

"Beneran Yud?"

Aku mengangguk. Tapi Budi malah protes mempertanyakan keputusanku.

“Memangnya kamu ngerti Jakarta? Kita semua kan belum pernah ke sana? Jangan ngawur kamu Yud!”

"Aku tau. Tapi kita nggak mungkin cuma diam saja. Kalau memang harus kesana, ya berangkat lah. Perkara nyasar, itu urusan belakangan. Tapi lebih baik nyasar berdua ketimbang nyasar sendirian." Aku coba membela.

"Kalau begitu kita juga ikut!" Jaka menyahut yang langsung diamini Budi.

"Jangan! Nggak perlu lah! Lagian pak Yanto pasti nggak bakal kasih ijin. Kalau cuma aku, mungkin bisa."

Budi dan Jaka kembali diam. Sepertinya mereka bisa menerima alasanku. Akhirnya kami pun sepakat, aku akan pergi menemani Arifin.

Saat itu juga, kami berdua menghadap pak Yanto untuk mengutarakan niat kami.

"Silahkan saja. Nanti saya coba kontak kenalan saya yang ada di Jakarta. Mungkin dia dapat membantu kalian." Tutur pak Yanto.

"Eh, serius pak?" Arifin terkejut senang.

"Iya. Saya punya kenalan di Jakarta. Teman satu kampung yang merantau di sana. Mudah-mudahan dia bisa bantu. Nanti saya kasih alamat dan nomor telponnya."

Aku dan Arifin saling pandang. Wajahnya nampak sumringah. Harapan untuk menemukan adiknya kini menemukan jalan.

Jakarta, kami datang..

***

Esok harinya, kami berangkat dengan bekal seadanya. Naik bis malam menuju ibu kota yang tanahnya belum pernah sekali pun kami injak. Perasaan kami campur aduk. Antara senang dan juga khawatir.

Senang karena kami akan dibantu mas Waris, kenalan pak Yanto di Jakarta yang sudah kami hubungi dan siap membantu. Tapi juga khawatir karena kami tak tau apa yang akan kami hadapi kedepannya nanti.

Setelah menempuh perjalanan lebih dari 12 jam, kami pun tiba di sebuah terminal bis antar kota yang riuh dan ramai. Hawa panas langsung menerpa wajahku saat melangkah turun dari bis. Arifin terlihat lelah dan kelaparan. Aku juga.

Jakarta, kota tersibuk dan terpadat di negeri ini menyambut kami dengan wajah aslinya. Orang-orang lalu-lalang dengan tujuan dan urusannya masing-masing, berbaur dengan suara bising dan deru mesin serta teriakan pedagang asongan dan pengamen yang ikut mencari rejeki.

"Makan dulu yuk?" Ucapku yang langsung diiyakan oleh Arifin.

Kami pun segera pergi ke salah satu warung yang ada di deretan kios-kios berjajar persis di samping terminal. Sengaja kami cari yang paling sepi, agar lebih nyaman dan leluasa dalam melepas lelah.

Tapi selama kami makan di situ, diriku merasa ada yang mengawasi. Dari sudut mataku, nampak 4 orang yang sejak tadi memperhatikan kami dengan gerak-gerik mencurigakan.

Instingku berkata kalau mereka bukan orang baik-baik. Arifin rupanya juga paham dengan situasinya. Dia sempat memberi kode agar kami pergi menyingkir saja, tapi aku menolak.

Selesai makan, kami ingin melanjutkan niat untuk mencari alamat mas Waris. Namun belum jauh kami melangkah, di satu tempat sepi, tiba-tiba keempat orang tadi muncul dan langsung berdiri menghadang!

"Heh, serahkan dompet dan tas kalian! Cepat!" Teriak salah seorang dari mereka dengan sebilah pisau terhunus di tangannya!

Arifin ketakutan! Dia langsung merapat ke arahku. Aku berusaha tetap tenang, namun siap dengan segala kemungkinan. Yang aku khawatirkan akhirnya benar-benar terjadi. Kami sedang dirampok!

Melihat kami yang tak menuruti perintahnya, pria tadi cepat bergerak hendak merampas tas Arifin. Namun tak semudah itu...

PLAK!

Penjahat itu terpelanting saat tanganku menempeleng wajahnya dengan keras! Pisaunya mental entah kemana. Namun dia cepat bangkit lalu pasang kuda-kuda.

Arifin sengaja kuminta untuk menyingkir. Tinggal aku sendiri di tengah kepungan empat penjahat yang tanpa basa-basi segera bergerak serempak menyerbu ke arahku!

Brak! Plak!

Dalam beberapa gerakan saja, keempat penjahat itu sudah tersungkur ke tanah. Aku masih berdiri gagah, siap menantang siapapun yang masih berani maju.

Salah satu yang berbadan paling besar segera bangkit lalu kembali menyerang dengan lebih bringas. Namun dia langsung terpelanting saat tendanganku telak menghantam wajahnya.

Bugh!

Mataku melotot sambil menghampiri mereka. Tapi rupanya aksiku tadi sudah cukup untuk membuat nyali mereka ciut hingga lari pontang-panting.

Huh.. Cemen!

"Gila! Nggak pake lama, langsung kabur semua! Hebat kamu Yud!" Teriak Arifin kegirangan. Wajahnya tak lagi pucat seiring nyalinya yang pulih kembali.

Aku cuma tersenyum sambil membenarkan bajuku yang sedikit berantakan. Setelah yakin situasinya aman, kami pun melanjutkan perjalanan.

***

Setelah mencari, bertanya sana-sini dan beberapa kali sempat salah jalan, akhirnya kami tiba di sebuah perkampungan padat penduduk dengan rumah-rumahnya yang rapat berdempetan.

"Kayanya ini tempatnya Yud." Ucap Arifin sambil melirik ke arahku saat kami tiba di depan pintu sebuah rumah.

Aku mengangguk. Lalu coba mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam."

Terdengar suara orang dari dalam sana. Lalu pintu pun terbuka. Muncul seorang laki-laki berbadan kekar namun dengan lengan kiri yang dibalut perban.

"Arifin dan Yudha?" Lelaki itu langsung bertanya.

"Mas Waris?" Balas Arifin cepat.

"Iya! Ayo masuk! Wah, nggak nyangka akhirnya kalian sampai juga! Maaf kalau saya nggak bisa jemput kalian di terminal, soalnya tangan saya lagi begini." Ucap mas Waris yang langsung mempersilahkan kami duduk.

"Iya mas, nggak apa-apa. Kami sudah senang akhirnya kita bisa ketemu." Sahutku sambil duduk lalu melirik ke arah tangan mas Waris yang lukanya terlihat cukup parah.

Tak lama, kami pun larut dalam perbincangan. Dari situ aku jadi tau kalau mas Waris tinggal hanya sendiri, istri dan anaknya ada di kampung.

Mas Waris bekerja sebagai seorang sekuriti di salah satu pusat pertokoan. Namun ternyata dia punya profesi sampingan sebagai seorang stunt man atau aktor pengganti. Dan rupanya dari situlah sebab kenapa tangannya terluka.

"Iya, beberapa hari yang lalu ada syuting. Saya kebagian jadi peran pengganti. Tapi malah jadi begini." Jelas mas Waris sambil mengusap-usap lengannya yang dibalut.

Lalu perbincangan kami sampai pada niat kami untuk mencari Siti. Sesaat mas Waris diam berpikir. Lalu dia pun mulai menjelaskan.

"Kalau dari nama tempat dan lokasinya, sepertinya saya tau ini dimana. Biar nanti saya minta teman saya untuk mengantar kalian."

"Wah, makasih lho mas, maaf kalau kami jadi merepotkan." Sahut Arifin sungkan.

"Nggak apa-apa. Senang bisa bantu kalian. Ya sudah, lebih baik sekarang kalian istirahat dulu. Sudah makan belum?"

"Sudah mas. Yudha malah sudah nambah berantem segala." Sela Arifin sambil tersenyum bangga. Entah apa yang dia banggakan. Padahal tadi dia cuma diam ketakutan.

"Hah? Berantem? Gimana ceritanya?"

Akhirnya kami pun menceritakan tentang empat perampok yang menghadang kami namun langsung kabur setelah sempat kuhajar. Mas Waris terlihat takjub begitu mendengarnya.

"Wah, punya mainan juga kamu Yud?"

"Ah, nggak mas. Biasa aja. Mereka cuma menang nekat sama keroyokan aja. Aslinya mah kosong." Balasku merendah.

Setelah puas berbincang-bincang. Kami pun akhirnya beristirahat dan berencana melakukan pencarian esok hari.

***

Pagi-pagi sekali kami bangun. Segera bersiap-siap menanti kedatangan temannya mas Waris yang rencananya akan mengantarkan kami ke lokasi pencarian.

Tak lama, datanglah bang Fathur dengan mobilnya. Setelah berkenalan sebentar, akhirnya kami pun memutuskan untuk segera berangkat. Tapi sebelumnya mas Waris sempat mewanti-wanti.

"Kalian hati-hati ya. Cepat hubungi saya kalau ada apa-apa. Asal kalian tau, tempat itu terkenal sebagai daerah hitam. Sarangnya preman, judi dan segala macam."

"Iya mas. Mudah-mudahan semuanya lancar dan adik saya bisa ketemu. Kami pamit dulu." Balas Arifin.

Mas Waris pun mengangguk. "Bang Fathur, titip adik-adikku ini ya?"

"Siap mas! Udah tenang aja. Pokoknya aman!" Balas bang Fathur sambil mengacungkan jempol lalu meyalakan mesin mobil. Dan kami pun segera berangkat.

Sepanjang perjalanan, bang Fathur mengingatkan kami akan pentingnya menjaga sikap di tempat yang akan kami tuju.

Maklum saja, daerah itu berisikan para pendatang dari berbagai daerah dengan sifat dan karakter yang berbeda. Salah sedikit, urusan bisa runyam.

Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya kami pun tiba. Sebuah lokasi yang terbilang ramai dengan segala macam tempat hiburan, namun nampak masih tutup. Mungkin beda ceritanya bila kami datang malam hari.

Ada cafe, panti pijat, karaoke, dan entah apalagi. Seketika aku jadi khawatir. Mas Waris benar. Tempat ini auranya begitu hitam. Sangat disayangkan kalau Siti benar-benar ada di sini.

"Nah, kalian berdua bisa mulai cari dari sini. Coba tanya-tanya aja. Tapi maaf, saya nggak bisa temani kalian. Saya masih ada urusan. Nanti kalau kalian sudah selesai, langsung telpon saya, nanti saya jemput." Pesan bang Fathur.

"Iya bang, makasih ya." Balasku sambil tersenyum.

Bang Fathur pun pergi meninggalkan kami yang sejenak berdiri kebingungan. Tapi akhirnya kami coba mulai bertanya sana-sini berbekal nama tempat kerja dan juga foto Siti.

Syukurnya kami ada di lokasi yang benar. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya kami berhasil menemukan tempatnya.

***

Kini kami berdiri di depan sebuah bangunan ruko yang nampak kusam. Suasana sekitarnya begitu lengang. Sampah berserakan di mana-mana. Ada tulisan besar MONGGO MAS yang terpampang di sisi atas gedung yang catnya mulai terkelupas.

Sejenak aku dan Arifin saling pandang. Aku tau, dia khawatir. Tempat ini memang terlihat buruk untuk jadi tempat kerja adiknya.

Akhirnya kami memberanikan diri untuk mendekat, lalu mengetuk pintu rolling door yang nampak tertutup rapat.

"Permisi... Permisi..."

Tak lama, pintu pun terbuka sedikit. Muncul wajah seorang lelaki bertampang sangar dari balik pintu yang langsung ketus bertanya..

"Mau apa?"

"Maaf mas, mau tanya, apa mas kenal dengan gadis ini? Namanya Siti, dia adik saya. Kabarnya dia kerja di sini." Sahut Arifin dengan nada sesopan mungkin.

Lelaki itu sesaat melirik foto yang di tunjukkan Arifin. Tapi alih-alih menjawab, dia malah menghardik dengan kasarnya.

"Nggak ada! Nggak kenal! Sudah ya, kalian pergi sana!"

Arifin nampak kebingungan. Aku coba kembali bertanya dengan suara yang sengaja dipelankan berharap lelaki itu mau ikut melunak.

"Maaf mas, tapi kami dapat info kalau dia benar kerja di sini. Cuma mau ketemu sebentar saja mas, mau pastikan kalau dia baik-baik saja. Soalnya sudah lama nggak ada kabarnya."

Tapi bukannya melunak, lelaki itu malah kembali membentak keras.

"Nggak bisa dikasih tau ya? Mau cari gara-gara??"

Selesai berkata, lelaki itu membuka pintu lebar-lebar. Lalu dia memanggil lima orang kawannya dari dalam sana.

"Nih, ada dua tikus yang mau cari perkara. Coba kasih pelajaran!" Teriak lelaki tadi kepada kawan-kawannya yang semuanya bertubuh tegap dan kekar.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close