Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

BUKIT ORANG BUNIAN (Part 5) - Dentuman Dari Dalam Kuburan

DENTUMAN DARI DALAM KUBURAN
"Pusaro Badantam"


Supardi melihat Buyung dengan tatapan aneh. Bisa bisanya pria tanpa hati ini memperhatikan anak laki lakinya. Padahal dia sendiri juga yang sebelumnya bersedia menjerumuskan anaknya pada rencana pemusnahan padi di sawah.

Tatapan ragu juga diperlihatkan oleh Nur yang tau bagaimana sikap keras Buyung semula.

"Manganai bana kalimaik Panji tadi ka ang yo Yuang?” (Kena sekali kalimat Panji tadi padamu ya Yung?) sindir Nur.

“Saya tidak peduli. Cepat berikan cara dan apa yang harus saya dan Supardi lakukan untuk menghabisi mereka..” ujar Buyung tanpa mengendurkan alis matanya yang sudah menajam sejak tadi.

Nur membaca keseriusan itu. Ia lalu masuk ke bilik dengan pintu kayu tua di rumahnya. Lokasi yang digunakan Nur untuk mencari pencerahan sekaligus lokasinya memelihara peliharaan ghaibnya, Jundai.

Sementara Nur di dalam, Buyung dan Supardi menunggu di luar. Supardi begitu kikuk berada di samping Buyung, entah apa yang ada di pikirannya tak tertebak saat ini.

Setelah hampir lima belas menit di dalam, Nur keluar dengan peluh yang membasahi daster coklatnya.

Wajah dan nafasnya terlihat seperti seseorang yang sudah berlari selama puluhan kilometer tanpa henti.

“hh.. kalian harus tau, risiko malakuan ko sangaik gadang.. a nan ka kalian lawan ko indak ciek duo urang.. aden balapeh diri dari a nan ka kalian karajoan. Silakan kalian karajoan surang, dan ijan bao bao den ka lokasi tu.. lai paham?..”

(hh.. kalian harus tau, risiko pekerjaan ini sangat besar.. apa yang akan kalian lawan bukanlah satu atau dua orang.. saya berlepas diri dari apa yang akan kalian kerjakan. Silakan kalian kerjakan sendiri, jangan bawa bawa saya ke lokasi itu.. paham?) kecam Nur.

“Jadi kau tidak bisa melakukan apapun? Seorang dukun yang dikenal itu ternyata serendah ini?” tantang Buyung. Ekspresi dingin dan tanpa rasa takutnya memang bukan seperti orang biasa.

"Jago muncuang ang tu yuang! Aden agiah ka kalian caro caronyo. Tapi jan suruah aden nan malakuannyo disinan!” (Jaga mulutmu Yung! Saya berikan kalian caranya. Tapi jangan kalian suruh saya yang melakukannya sendiri disana!) jawab Nur.

“Jadi apa kegunaan semua benda ini?” Buyung memotong begitu saja penjelasan Nur.

Wajah Nur terlihat sangat kesal, namun ia melunak dan mulai menjelaskan satu persatu kegunaan barang barang tersebut.

Paku besar berwarna hitam adalah cara awal untuk mengeluarkan Bunian. Paku ini ditancapkan pada tanah, dan pohon pohon besar yang ada di kawasan bukit. Kegunaannya sama dengan tongkat pancang yang dipakai Badaro dan Patiah saat membuka perkampungan Rangkiang dulu.

Bunian akan hadir dalam mimpi orang yang menancapkan paku paku itu nantinya dan melakukan perundingan.

Sementara kertas yang terikat itu berisi rajah perjanjian dengan para jin liar yang ada disana. Untuk dapat menundukkan jin yang sudah mengerubungi sesajen dan rajah-

-lainnya di sawah, penggunanya harus memberikan darah di setiap titik sawah. Lalu setelah semuanya diberi titik, tuangkan darah yang sama di atas kertas dan simpan di dalam saku. Dengan begitu para jin akan mengikuti kemanapun si pemilik kertas itu.

Kunyit kunyit ini adalah granat. Namun hasilnya bukanlah ledakan. Ketika kunyit kunyit ini dilemparkan, para jin akan berlari ke arah kemana kunyit ini dilemparkan. Itu kenapa, saat pengobatan klenik untuk anak kecil yang demam, kunyit ini digerakkan dari ujung kepala anak kecil-

-hingga ujung kakinya, lalu dilemparkan menjauh. Tujuannya agar para jin yang hinggap di tubuh anak kecil itu pergi dan terlepas seiring dengan dibuangnya kunyit itu.

Penjelasan Nur berhenti pada ketiga benda itu. Ia menahan kalimat penjelasannya dan terlihat ragu.

“Aden harap sabananyo cukuik jo tigo barang tu lah cukuik untuak kalian manyalasaian karajo kalian..” (saya sebenarnya berharap dengan tiga benda itu sudah bisa menyelesaikan kerjaan kalian..) ujar Nur.

“Kenapa?” ujar Supardi.

“Katigonyo masih bapagunoan untuak manggaratak, tapi salabiahnyo bapagunoan untuak yobana baparang..” (ketiga benda tadi masih digunakan untuk menggeretak, tapi benda benda sisanya digunakan untuk perang yang sebenarnya..)

Nur menyisihkan dua barang yang belum ia jelaskan, pisau dan daun kering.

“Aden paringatan sakali lai.. pagunoan kaduonyo kok lah tadasak.. jan sumbarang pakai..” (Saya peringatkan sekali lagi.. pergunakan keduanya saat sudah terdesak.. jangan sembarangan dipakai) ujar Nur.

Pisau pendek yang terlihat tidak terlalu tajam itu adalah sebuah pedang di alam ghaib. Dengan pisau itu, penggunanya dapat mengenai Bunian yang berada di sisi dunia yang berbeda dari dunia manusia. Selain itu, jika pisau ini ditancapkan di tanah, hasil tancapannya akan membuat gempa di dunia bunian.

Sedangkan bunga layu yang terlihat tidak berarti itu dapat direndam bersama minyak tanah. Semua minyak tanah yang direndam bersama bunga tersebut lalu dibakar, apinya tidak hanya menghabisi pepohonan di dunia nyata namun juga dunia bunian.

Karena efek masal yang diakibatkan keduanya sama dengan mendeklarasikan perang.

Supardi bergetar mendengar hal itu. Ia sama sekai tidak terbayangkan jika sampai peperangan antar dunia akan terjadi.

Namun kematian Pagaralam sepertinya menjadi alasan hal itu sangat mungkin terjadi sebagai akhir terburuk rencananya ini..

“Kamarian tangan kalian!” (kemarikan tangan kalian!) perintah Nur.

Dengan ragu, Supardi dan Buyung menyerahkan tangan mereka.

Sebuah garis lalu dibuat Nur pada telapak tangan keduanya lalu seluruh benda tadi diserahkan kepada Supardi dan Buyung.

“Tadi tu tando barang barang ko jadi miliak kalian. A nan dikarajoan kalian ka barang barang tu ndak ka tahubuang ka den lai doh!” (itu tanda bahwa barang barang ini adalah tanggung jawab kalian. Apa yang kalian lakukan dengan benda benda itu tidak akan ada hubungannya dengan saya!) ujar Nur.

Setelah keduanya menghilang dari pandangannya, Nur masuk ke rumahnya dan mengemasi beragam sesajen dan benda benda yang ia gunakan pada praktiknya tadi malam di kamar. Keadaan kamarnya sangat kacau dan berbagai peralatan yang ia gunakan rusak.

Sebuah batok kelapa disana terlihat pecah menjadi tiga bagian dengan bekas goresan cakar yang sangat dalam.
Nur mengemasi benda benda itu dengan tangan yang masih mengigil karena trauma dan teringat bayangan mengerikan yang ditunjukkan padanya tadi malam saat praktik ini dilakukan.

Sebenarnya Nur semula berani untuk hadir disana dan melawan langsung Bunian.. orang bunian bukanlah lawan yang begitu kuat jika menghadapi jin jin liar yang sudah patuh padanya.. namun yang ia takutkan bukanlah Bunian.

Ada penghuni lainnya di bukit itu.. para penghuni bukit lainnya yang jauh lebih berbahaya dari Bunian.. Makhluk makhluk berbahaya yang langsung mengancam dan menyerang Nur saat mencoba menerawang para penghuni bukit itu tadi malam..

Dan karena hal itu juga Nur tau kekuatannya tidak akan sampai jika harus berhadapan dengan mereka. Namun ia bisa apa, kedua orang itu begitu keras kepala, ditambah lagi tawaran uang yang besar dari dua orang itu membuat Nur memberikan itu kepada mereka.

“Ntah ado ndak na ka salamaik antaro paja tu beko.. panasaran lo den..” (entah ada atau tidak yang akan selamat dari mereka.. saya penasaran..) gumam Nur.

***

Semalam suntuk Bagindo Sati dan beberapa warga berkeliling mencari keberadaan Guntara, Abbas dan Dedet. Ketiganya benar benar lenyap begitu saja. Saksi mata terakhir hanyalah Buyung dan dua orang petani itu.

Namun kedua petani itu Bagindo perintahkan untuk tidak membocorkan apa yang mereka lihat kepada warga yang lain, khawatir akan menimbulkan kepanikan baru. Selain itu Bagindo juga masih beranggapan Datuk Pagaralam masih hidup, entah bagaimanapun caranya.

Namun hingga pagi menjelang, pekerjaan melelahkan itu tidak membuahkan hasil. Tidak ada tanda tanda keberadaan dua anak itu dimanapun. Bagindo sudah menanyai semua orang yang ia kenal dan temui, serta mencari di semua tempat yang biasa Guntara kunjungi, namun tidak ada satupun yang melihat Guntara sejak kemarin.

Di rumah, Ibu Guntara termenung dengan pandangan kosong menghadap jendela rumah. Tina, adik Guntara juga diserahkan kepada saudara dekat Guntara karena ibunya yang benar-benar tidak bisa lagi mengontrol pikirannya.

Salah satu tetangga harus menemani ibu Guntara agar ia tidak melakukan hal hal lain.

“Apa benar Gunatara dimakan harimau ya bu.. apa Guntara anak saya udah gaada ya..” racau ibu Guntara. Sudah hampir delapan belas jam Guntara belum pulang.

“Istghfar bu.. istighfar, insyaAllah Guntara masih selamat..nanti akan pulang” ujar tetangganya menenangkan.

Di lokasi lain, di rumah Abbas, Mina dan Nek Pampang sama khawatirnya. Nek Pampang terus membuka pintunya, memandangi arah luar, berharap Abbas dengan wajah cerianya muncul.

Terserah dia habis darimana atau melakukan apa, yang Nek Pampang inginkan hanyalah cucunya itu pulang dengan selamat.

Di dalam kamar, Mina membenamkan kepalanya ke bantal yang sudah basah oleh air matanya sejak tadi malam.
“Abang.. pulang bang…” rintih Mina disela sela segukan tangisnya.

Tiba tiba saja terdengar suara motor berhenti di halaman rumah dan disusul suara langkah sesorang terdengar masuk ke dalam rumah. Mina terperanjat dan berharap itu adalah Abbas yang pulang.

Mina dengan susah payah bangun dari kasur dan merangkak ke ruang tengah.

Namun ekspektasinya melihat Abbas ternyata harus patah. Orang yang masuk tadi adalah Buyung dengan sebuah plastik hitam di tangannya. Di ambang pintu ada Supardi dengan kepulan asap rokok di sekelilingnya.

“Dimana minyak tanah?” tanya Buyung kepada nek Pampang.

“Ado sangenek di dapua.. kana diang Yuang?..” (ada sedikit di dapur.. mau kau gunakan untuk apa Yung?) tanya nek Pampang.

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Buyung berlalu ke belakang dan mengambil sebuah wadah berisi minyak tanah lalu membawanya keluar.

“Tidak akan cukup. Kita perlu lebih banyak” ujarnya kepada Supardi.

“Kita cari ke warung warung. Cari wadah untuk menampungnya” ujar Supardi.

Mereka lalu pergi begitu saja tanpa menjelaskan apapun kepada nek Pampang dan Mina yang seakan akan tidak ada di rumah itu.

Mina memandangi nek Pampang yang sama bingungnya. Apa yang akan dilakukan ayahnya??..

Mina memandangi nek Pampang yang sama bingungnya. Apa yang akan dilakukan ayahnya? Dan kenapa ia seakan tidak peduli pada Abbas, anak kandungnya sendiri belum pulang hampir selama satu hari satu malam.

Supardi dan Buyung berkeliling kampung, mencari minyak tanah dan wadah wadah penampung yang bisa mereka gunakan untuk rencana mereka. Semua wadah berisi minyak tanah itu ditempatkan di rumah Buyung. Masing masing wadah dicelupkan bunga layu pemberian Nur dan dibiarkan begitu saja.

Supardi sebenarnya tetap bersikeras akan menempuh jalur diplomasi dan menghindari pertarungan, namun Buyung sama kerasnya dengan mengatakan bahwa semua harus dipersiapkan sejak sekarang.

“Malam ini kita hanya menancapkan paku paku itu, paham?” ujar Supardi.

“…” Buyung tidak menjawabnya. Ia menghitung jumlah paku dan kunyit yang diberikan Nur. Ia juga membuka kertas berisi rajah berbentuk lingkaran yang menurut Nur digunakan untuk menundukkan jin jin liar di sekitar.

“Brengsek!..” ujarnya sambil menggenggam kertas itu.

“Kenapa kau?” tanya Supardi dari sudut ruangan.

“Tidak ada.. cepat masukan bunga ke minyak minyak itu dan kita mulai bekerja nanti malam” ujar Buyung sambil melipat lagi rajah itu.

“Ya, ini sedang saya lakukan” ujar Supardi.

***

Sementara itu di alam bunian

Suara teriakan dari salah satu sisi keramaian menarik perhatian orang orang yang berkumpul disana. Dedet dan Heri terkejut dengan teriakan yang cukup nyaring itu dan langsung melihat ke arah sumber suara itu.

Tak lama, mereka melihat seorang anak yang berlari keluar dengan tunggang langang dari keramaian. Ia terjerembab dan masih histeris sambil menutup matanya.

Dedet menghampiri anak yang masih terus berteriak itu dan saat itu juga ia sadar bahwa anak itu adalah Guntara.

“Apa dia Guntara bunian yah?..” tanya Dedet ragu.

“Sepertinya tidak.. coba kau periksa..” ujar Heri.

“Tar.. tar.. Guntara?..” panggil Dedet sambil perlahan mencoba menyentuhnya.

Guntara membuka matanya dengan ragu, apalagi saat ia melihat Dedet ada di hadapannya, ia sempat terkejut dan khawatir Dedet adalah salah satu bagian dari mereka. Ia menurunkan pandangan ke arah kaki Dedet untuk memastikan arah kakinya benar.

Setelah yakin Dedet memiliki arah kaki yang normal, wajah ketakutan Guntara pudar dan langsung memeluk Dedet.

“Bang Dedet!” Guntara setengah menjerit sambil memeluk Dedet yang berjongkok di hadapannya.

“Iya Guntara. Kenapa kamu bisa ada disini??” tanya Dedet bingung tanpa melepaskan pelukan Guntara padanya.

“Aku gatau bang! Aku hanya mengejar Abbas tadi dan tiba tiba kampung kita sudah berubah begini..” ujar Guntara gemetar.

Abbas yang masih digantung pada papan kayu mendengar namanya disebut lantas mengenali suara itu.
“Tara?..” panggilnya.

Guntara tersentak dan melepaskan pelukannya. Ia melihat ke sekeliling untuk memastikan siapa yang memanggilnya.

“Tara.. angku tu?..” (Tara.. itu kamu?) panggil Abbas dengan lemah.

Guntara tidak menemukan sumber suara itu, namun ia sangat mengenali suara sahabatnya.

“Iyaaa. Abbas??” jawab Guntara.
Namun suara yang tadi memanggilnya tidak menjawab pertanyaan itu.

“Bang, Abbas juga disini?..” tanya Guntara.
Dedet menatap Guntara dengan nanar. Ia ragu untuk memberitaunya namun keadaan mengharuskannya untuk jujur.

“i..iya tara..” jawab Dedet pelan.

“HAH? DIMANA BANG??” tanya Guntara lagi.

Dedet menunjuk ke arah dua buah tiang kayu yang ada di dekat surau tanpa berkata apapun. Guntara bangun dan berjalan sedikit memutar untuk melihat apa yang ada dibalik pancang kayu itu. Ia akhirnya melihat pemandangan mengerikan itu..

Abbas dengan wajah pucat diikat pada sebuah batang kayu dan di hadapannya juga terikat Datuk Pagaralam yang wajahnya sudah memutih dan tidak bergerak.
Abbas membuka matanya sedikit dan melihat ke arah Guntara yang memandanginya dari bawah..

“Ah.. Tara.. disiko lo ang..” (Ah.. Tara.. disini juga kamu..) ujar Abbas lemah.

“ABBASSS!! DATUK PAGARALAAAMMM!!” pekik Guntara.

Dedet dengan sigap bangkit dan menutup mulut Guntara dan memintanya diam.
“Stt jan mamakiak tu Tar..” (sstt jangan berteriak Tar..) pesan Dedet.

Namun tiba tiba dari arah belakang Dedet berembus angin halus yang seakan berhenti di belakangnya. Disusul dengan aroma kayu dan bunga yang sangat kuat..

“A nan kalian karajoan disiko..” (apa yang kalian lakukan disini..) ujar Sufyan yang sudah berdiri di belakang Dedet dan Guntara.

Dedet terperanjat. Aura sosok bernama Sufyan ini begitu berbeda. Ada perasaan yang begitu mengintimidasi Dedet ketika sosok itu berbicara padanya. Ia bahkan tidak sanggup menatap wajahnya padahal berwujud seperti manusia biasa.

“Ka..ka.. kami..” Dedet terbata, ia tidak bisa lancar berbicara dan gemetar di hadapan Sufyan. Hingga tiba tiba Heri angkat bicara.

“Iko anak kanduang den.. inyo masuak dek kalian mambukak bateh tu. Paja ko masuak basamo anak nan basalah tu..”

(Ini anak kandung saya.. Dia masuk kesini karena kalian membuka batas itu. Dia masuk bersama anak yang bersalah itu) tunjuk Heri.

Sufyan mendengarkan Heri tanpa melepaskan pandangannya dari Dedet.

“Anak angku mambantu paja tu mahabihan sawah jo bukik kami?..” (anakmu ini membantu orang itu menghabisi sawah dan bukit kami?..) tanya Sufyan kepada Heri.

“Ndak! Ndak! Ambo mangaja Abbas. Awak korban lo. Awak basamo Datuak Pagaralam malam tu..” (Tidak! Tidak! Saya mengejar Abbas. Saya juga korban. Saya bersama Datuk Pagaralam malam itu) ujar Dedet panik.

Sufyan memandangi Dedet dalam dalam. Sufyan mendekatkan tangannya ke arah kening Dedet. Dedet tidak bisa mengelak dan hanya bisa pasrah. Namun ternyata sentuhan itu terasa begitu dingin dan tidak ada apapun yang terjadi.

“Tubuhmu masih ada di bukit. Kau masih bisa hidup kalau pulang sebelum matahari terbenam di dunia ini. Pulanglah. Sampaikan pesan untuk mereka yang jahat agar menghentikan niat buruk menciderai perjanjian luhur ini dan menghancurkan rumah kami..” ujar Sufyan.

Dedet hanya terdiam. Ia memandangi langit yang seperti tertahan pada kondisi menjelang malam itu. Dedet memandang ke arah Heri di sampingnya.

“Ya.. dunia ini akan terus senja selama waktu yang lama. Namun.. apa yang kita lakukan daritadi sudah setara beberapa hari di dunia manusia. Mungkin disini kau hidup, tapi tubuhmu di dunia bisa saja rusak, berpindah tempat atau bahkan mati sehingga kamu tidak bisa kembali!” jelas Heri.

Semua manusia yang masuk ke dunia Bunian saat pembatasnya terbuka, jasadnya akan berkumpul di satu titik di tengah hutan. Kondisi mereka seperti orang tidur normal, hanya saja ada sebuah tabir yang membuat mereka tidak bisa terlihat oleh manusia lainnya.

Tabir ini akan hilang jika pembatas itu terbuka lagi karena beberapa alasan.

Tabir akan terbuka saat salah satu orang diizinkan untuk kembali ke dunia nyata tanpa pernah berbuat apapun yang membuatnya kekal di dunia Bunian…

...atau sebaliknya, tabir juga akan terbuka saat orang itu memutuskan untuk menetap di dunia Bunian. Hal inilah yang terjadi pada Heri, ketika ia memilih memakan makanan di dunia Bunian, tubuh aslinya di dunia nyata terbangun dan keluar dari tempat itu dengan sendirinya.

Namun karena ruh asli Heri sudah terikat di alam bunian, hanya raga tanpa kepribadiannya yang pulang.

Tapi ada sebuah hal yang terlarang dilakukan oleh manusia di dunia nyata terhadap tubuh orang orang yang sedang berada di dunia Bunian. Yaitu memindahkan tubuh itu sebelum sang pemilik tubuh sadar dan kembali.

Hal ini dapat mengakibatkan ruh tidak bisa kembali ke dunia nyata. Ia bisa menjadi depresi, koma, atau bahkan meninggal dunia..

“Kami sama seperti kalian.. kami disini bertempat tinggal.. kami makan, beribadah dan menikah.. kami juga memiliki anak anak dan keluarga.. jadi kami harap kalian sebagai manusia lebih bijaksana lagi dengan titah kalian sebagai khalifah bumi.. ” ujar Sufyan.

Dedet terdiam. Ia tidak bisa berkomentar apapun tentang itu.

Sufyan lalu menyadari dibalik punggung Dedet terdapat manusia lainnya. Ciri ciri manusia yang memiliki cekungan diantara bibir dengan hidungnya jelas membedakan keberadaan manusia dengan bangsa Bunian disini.

“Siapa anak itu?..” tanyanya.

Guntara bergetar. Perlahan ia berangsur keluar dari persembunyiannya.

“Saya Guntara.. saya masuk ke dunia ini karena perintah kertas dari Datuk Pagaralam untuk mengejar Abbas..” jelas Guntara tanpa bisa menyembunyikan kegugupannya.

“Kertas dari Pagaralam?.. bisa kau tunjukkan pada saya?” ujar Sufyan.

Guntara mengangguk. Ia merogoh sakunya namun kertas yang semula ia simpan di saku belakang celananya itu kini sudah lenyap.

Guntara panik dan mencoba memeriksa seluruh saku di celananya, namun kertas itu benar benar hilang.

“H..hilang..” ujar Guntara cemas.

Sufyan lalu mendekat, tangannya terjulur ke arah kepala Guntara dan menyentuhnya sama seperti yang ia lakukan pada Dedet sebelumnya.

Ia menyentuhnya cukup lama sebelum melepaskan jarinya dari kening Guntara.

“Kau masuk bukan dari batas yang kami buat.. saat ini tubuhmu masih ada di kaki bukit bersama tubuh manusia manusia lain, kami tidak menutupinya karena kau masuk bukan melalui gerbang yang kami buat.. tapi kenapa kau bisa masuk kesini?..” tanya Sufyan.

“s..saya tidak tau..” jawab Guntara gugup.
Sufyan lalu berpaling ke arah Heri yang berdiri di samping Dedet. Heri menunduk segan dengan Sufyan di hadapannya.

“Kami tidak memiliki urusan pada dua orang ini. Tunjukan mereka cara pulang.. dan pastikan mereka menyampaikan pesan dari kita.. kami sudah terlambat menyelamatkan Pagaralam, dan kami akan tetap menahan anak ini sampai niatan buruk manusia manusia itu hilang..” ujar Sufyan.

Heri mengangguk. Ia kemudian meminta izin untuk membawa Dedet dan Guntara menjauh dari Surau Pamatang di dunia Bunian itu. Guntara sempat memberontak. Apalagi ia melihat Abbas yang masih bernafas dan terlihat tersiksa diatas sana.

“Pak, Abbas bawa juga pak!” Guntara memberontak.

“Belum.. Kita bisa bebaskan Abbas setelah kita menghentikan ayahnya di dunia nyata. Itu tugas kalian berdua dan keselamatan temanmu itu ada ditanganmu sekarang!” ujar Heri sambil menarik tangan Dedet dan Guntara menjauh.

Guntara menatap Abbas dengan tatapan nanar. Abbas menatapnya balik dengan mata yang terlihat begitu lelah. Ada sedikit senyuman di bibir Abbas sebelum akhirnya ia menunduk kembali seperti orang tertidur.

Heri, Dedet dan Guntara berjalan hingga ke salah satu sisi jalan yang mengarah ke sawah dan bukit. Mereka berhenti disana dan Heri memberikan penjelasan pada keduanya.

“Bukit disana.. itu adalah batas antara dunia Bunian dan dunia kalian.." Kalian pergi kesana dan temukan tubuh kalian di antara pepohonan disana. Itu cara kalian untuk bisa kembali. Jangan pernah berbalik ke belakang” jelas Heri.

“Tapi Abbas?..” potong Guntara.

“Ini justru adalah cara menyelamatkan dia. Kalian kembali ke dunia manusia. Kabari meninggalnya Pagaralam dan tertahannya Abbas di dunia ini. Kalian harus menghentikan orang orang yang ingin menjajah Bukit ini dan mengacaukan perjanjian luhur antara manusia dan bunian!” ujar Heri.

“Bagaimana kalau Bunian melanggar janjinya?” potong Dedet.

“Ayah lah batahun tahun tingga disiko, dan Bunian labiah bisa dipicayo katimbang urang yobana di dunia awak..”

(ayah sudah bertahun tahun tinggal disini.. dan Bunian lebih bisa dipercaya daripada manusia di dunia kita) jawab Heri dengan tatapan serius.

Meskipun berat, Guntara dan Dedet akhirnya meninggalkan Heri lalu berjalan ke arah Bukit. Keduanya tidak berpaling dan berjalan lurus ke bukit yang gelap tanpa membawa penerangan apapun.

Sepeninggal Heri, Dedet dan Guntara, Sufyan membubarkan para Bunian yang mengerumun di depan tiang kayu Abbas dan Pagaralam. Sufyan mendekat lagi ke arah Abbas. Ia memandangi Abbas dengan tatapan datar lalu berkata,

“Kalau ndak dek panghulu kalian dulu maikek kami jo janji, ndak ka ado gai kami pakai caro lunak takah ko doh.. kami hanyo bisa mambaleh.. indak mamulai..”

(kalau bukan karena leluhur kalian mengikat kami dengan janji, kami tidak akan menggunakan cara lunak seperti ini.. kami hanya bisa membalas.. bukan memulai..) ujar Sufyan.

“Kalau bapak menahan saya dan berharap ayah akan membatalkan rencananya karena ada saya di bukit ini, bapak salah besar!.. ayah tidak akan mempedulikan saya meskipun saya mati..” ujar Abbas sambil terisak.

“…” Sufyan terdiam. Ia baru saja akan menjawab kalimat itu namun tiba tiba..

“AAAAAKKHHH!!” sebuah jeritan melengking terdengar dari kejauhan. Seorang bunian yang ada di samping Sufyan ia perintahkan untuk melihat apa yang sudah terjadi.

Tak lama bunian itu kembali dan membawa pesan..

“…Linda.. terbunuh di depan rumahnya dengan kepala terbelah..”

Mata Sufyan berubah menjadi merah dan giginya bergemeretak.

“Siapa?? Siapa pelakunya??”

“Tidak ada yang tau.. tapi ada bekas terbakar dan sebuah tombak yang masih menancap di tanah menembus kepalanya hingga terbelah dua..” ucap Bunian itu.

“…tombak itu.. berasal dari atas?..”

Sesaat ketika Sufyan akan pergi ke lokasi terbunuhnya salah satu warganya itu, tiba tiba saja ada sebuah dentingan di kepalanya. Tanda adanya seseorang dari dunia manusia yang mencoba berkomunikasi dengan Bunian..

...

Dedet dan Guntara menyusuri jalan sawah itu hingga dan mulai mendaki bukit. Di sepanjang jalan, keduanya tidak saling berbicara apapun, apalagi menoleh ke belakang. Sesuai dengan pantangan yang disebutkan oleh Heri sebelumnya.

Semakin dalam keduanya masuk ke dalam hutan bukit, suasananya terasa semakin berubah. Disana benar benar hening tanpa suara. Setiap langkah yang dilakukan keduanya bisa terdengar jelas, bahkan suara jantung Guntara seakan bisa ia dengar sendiri di telinganya.

Hutan yang mereka masuki didominasi oleh pepohonan tinggi dan semak semak. Walaupun tanpa pencahayaan, mereka bisa melihat sekeliling hutan dengan mudah.. sampai akhirnya mereka menemukan lokasi yang dimaksudkan oleh Heri..

Pada sebuah lokasi ditengah hutan itu, terdapat tempat datar dengan rumput berwarna kuning keemasan. Disana, terbaring banyak manusia tanpa busana yang terlihat seperti tertidur, dan sebagian lagi sudah terlihat menyatu dengan alam..

Entah sudah berapa lama mereka ada disana, tapi ada yang di sekeliling tubuhnya melilit akar akar tanaman dan ada yang sudah terpendam tanah hingga batas telinganya.

“Ini semua orang orang yang masuk ke dunia Bunian dan memilih tidak kembali ke dunia aslinya..” gumam Dedet sambil berjalan menjinjit diantara tubuh tubuh itu. Mereka harus menemukan tubuhnya masing masing lalu masuk ke tubuh itu secepatnya agar bisa kembali pulang.

Namun menemukan tubuh sendiri diantara ratusan tubuh disana bukanlah hal yang mudah. Ada ratusan orang yang terbaring. Dan keadaan mereka semua tanpa busana. Membedakan antara satu dan lain adalah hal yang cukup sulit, apalagi posisi tubuh tubuh itu berada di lokasi yang acak.

Guntara dan Dedet akhirnya berpencar. Jasad yang posisinya sudah menyatu dengan sebuah pohon menjadi titik temu mereka nanti jika mereka tidak membuahkan hasil.

“Cepat saja. Kalau kau menemukan tubuhmu, masuk. Kita tidak tau semenit kita mencari disini akan setara dengan berapa jam di dunia manusia!” pesan Dedet yang dibalas anggukan oleh Guntara yang mulai mencari di arah yang terpisah.

Dedet memeriksa satu demi satu tubuh disana, ia menemukan beberapa orang yang berwajah familiar.. orang orang yang konon hilang ketika mendaki bukit dan beberapa lagi orang yang ia kenal tidak waras di kampung yang berada di sisi lain bukit.

Sampai pada satu sudut, ia menemukan tubuh laki laki yang sudah dililit akar yang sangat kuat dari kaki hingga lehernya. Dedet tercekat dan tubuhnya bergetar menahan tangis.

“Ayah…” lirihnya.
Jasad Heri ada disana.. terbujur kaku dan memutih.. tubuhnya sudah menyatu dengan alam bunian dan itu tandanya ia tidak bisa kembali ke dunia manusia..

Di tempat yang berbeda, Guntara juga melakukan hal yang sama dengan Dedet. Namun ia terfokus memeriksa tubuh tubuh yang berbadan anak kecil saja seperti dirinya.. namun yang ia temukan justru tubuh Abbas..

Tubuh sahabatnya itu terbaring dengan tangan bersedekap. Tidak ada akar atau apapun yang melilit tubuhnya. Wajahnya terlihat tenang dan seperti tidur.. berbeda dengan yang Guntara lihat di atas tiang kayu tadi..

“Bertahan Bas! Bertahan!” bisik Guntara dan melanjutkan pencarian tubuhnya sendiri.

***

Beberapa waktu sebelumnya, di dunia manusia..

Hari sudah kembali sore, sudah lebih dari dua puluh empat jam Guntara dan Abbas hilang. Penampilan Bagindo Sati semakin kacau. Ia sudah dua hari tidak tidur sejak malam sisir sawah terakhir bersama almarhum Pak Solih waktu itu.

Rambut klimisnya terlihat kering dan berantakan, kantung matanya menghitam dan kelelahan benar benar terlihat dari air wajahnya.

“Bagindo ndak ka istirahat dulu?.. bia kami nan malanjuikan mancari Guntara jo Abbas..” ujar salah satu warga yg sadar dengan lelahnya Bagindo Sati.

“Ah, terima kasih, tapi tidak apa apa pak.. saya juga tidak akan bisa tidur selama Guntara belum pulang..” ujar Bagindo Sati lemah. Rasa sayangnya sebagai ayah menghilangkan rasa lelah dan lapar yang sekarang ia rasakan. Bagindo sama sekali tidak makan kecuali roti roti kecil-

-yang ditawarkan warga lain padanya, ia juga tidak mandi, hanya air wudhu saja yang melewati wajah dan anggota tubuhnya selama dua hari ini.

Pencarian selalu dihentikan sementara saat adzan berkumandang, termasuk saat adzan Maghrib seperti sekarang.

Bagindo Sati memimpin sholat itu mengimami beberapa warga disana. Semula Bagindo mengimami sholat seperti biasa, namun saat akan bangkit dari rakaat kedua, pandangannya mulai berkunang kunang, dan kakinya melemah.

Bagindo terpaksa melanjutkan mengimami sholat dalam posisi duduk hingga salam.

Melihat hal ini, jamaah mengetahui Bagindo sudah mencapai batas fisiknya. Mereka sama sama memaksa Bagindo untuk beristirahat, dan menyerahkan lanjutan pencarian kepada mereka.

Bagindo Sati awalnya kembali menolak, namun desakan dari warga dan kemungkinan buruk yang bisa terjadi jika ia meneruskan pencarian dengan fisik seperti ini akhirnya membuat Bagindo mau untuk pulang terlebih dahulu. Dengan ditemani 2 orang warga, ia pulang ke rumahnya jam 7 malam.

“Assalamualaikum..” salam Bagindo lemah.

“Waalaikum salaam. Ayah? Guntara sudah ketemu??” sambut istrinya yang langsung bangkit dan menyambut Bagindo Sati dengan wajah penuh harap. Melihat itu, Bagindo Sati sangat terpukul saat harus menggeleng dan mematahkan harapan istrinya itu.

"Maaf.. tapi Guntara belum ketemu bu..” ujar Bagindo sembil memeluk istrinya. Sontak istrinya menangis dan meraung raung.

Di ruang tengah, tetangga yang daritadi menemani ibu Guntara mengusap air matanya karena iba. Melihat keberadaan tetangga itu, Bagindo sati memberikan kode untuk ia boleh pulang, dan tak lupa ia mengucapkan terima kasih.

Bagindo Sati juga melihat tanda tanda bahwa sang istri belum makan dan belum tidur sejak beberapa waktu. Bahkan teh manis yang jadi minuman favorit istrinya sudah dingin dan dikerubungi semut di ruang tengah.

“Sayang, ayo kita tidur dulu. Kita butuh istirahat. Nanti kita bangun tahajud, doakan Guntara segera ditemukan selamat..” ujar Bagindo Sati sambil menuntun istrinya itu ke kamar. Tak lama, karena begitu lelah dan emosi yang terkuras, keduanya akhirnya tertidur.

Di luar, warga masih mencoba melakukan pencarian secara swadaya. Pencarian dilakukan dengan peralatan sederhana, senter, obor dan mata telanjang. Beberapa juga membawa senjata tajam dan tombak, jaga jaga jika ada hewan buas yang muncul saat malam tiba.

Ditengah pencarian pada salah satu sisi bukit, beberapa warga bertemu dengan dua orang yang tengah berjalan mendekat kearah bukit. Anehnya kedua orang ini berjalan dalam gelap tanpa pencahayaan yabg memadai.

Warga lalu mengarahkan senter mereka ke dua orang tersebut dan mendapati keduanya adalah Buyung dan Supardi.

“Eh Pak Jorong? Baduo sajo?” ( Eh, Pak Jorong? Berdua saja?) tanya salah satu warga.

“Ah iya, sudah ada perkembangan?” tanya Supardi sedikit kikuk.

“Alun lai pak. Lah sajak pagi tadi kami mancari, alun ado nampak tando tando dari Abbas, Guntara jo Dedet” (Belum pak. Ini sudah dari pagi belum ada tanda tanda dari Abbas, Guntara atau Dedet) ujar salah satu warga.

“Baiklah.. lanjutkan terus saja pencarian. Kalian sudah coba menanjak?” ujar Supardi.

“Belum pak, kami tidak berani. Takut ada binatang buasnya..” ujar warga itu dan dibenarkan oleh rombongan lainnya.

“Benar. Berbahaya. Apalagi kalau gelap seperti ini. Lebih baik fokus di bagian bawah dulu saja” ujar Supardi.

“Pak Jorong mau tambah anggota? Atau senter pak? Ini kami ada” tawar warga.

“Terima kasih, tapi tidak apa apa. Pandangan saya masih cukup kuat dan kami juga bawa senter sendiri. Cahaya bulan masih cukup terang untuk melihat” elak Supardi.

Warga akhirnya berlalu meninggalkan kedua orang itu yang bergerak terus ke arah bukit. Sebenarnya warga heran karena Supardi dan Buyung tidak memutar, tapi bergerak lurus seperti orang mau mendaki.

Buyung dan Supardi akhirnya tiba tepat di kaki bukit. Di hadapan mereka kini menjulang pepohonan tinggi yang gelap dengan sediki cahaya bulan yang menerangi celah celah dedaunan. Mereka sudah siap menantang para penghuni bunian...

Setelah sedikit mendaki, Buyung dan Supardi tiba di lokasi yang cukup curam. Mereka kemudian mengeluarkan kain putih itu dan mengambil paku paku hitam. Mereka memilih beberapa pohon dan menancapkan paku disana. Selain itu mereka juga memaku bagian tebing menanjak di hadapan mereka.

"Sudah. Dengan begini kita hanya tunggu jawabannya malam nanti. Ayo kita kembali” ujar Supardi.

“Belum. Sekarang kita harus ambil alih seluruh makhluk yang ada disini” ujar Buyung berbalik.

“Hei kita belum tau bagaimana mereka kan??” cegah Supardi.

“Fan kau mau membiarkan anak saya mati membusuk di dunia sana? Pergi saja kau jika nyalimu serendah itu!” bentak Buyung.

Supardi berdecak. Buyung selalu selangkah di depannya. Selangkah lebih berambisi. Selangkah lebih gila.

Buyung pergi ke petak petak sawah yang sudah terpasang rajah. Menemukan sawah sawah berajah ini cukup mudah karena rajah itu dipasang pada pancang pancang bambu muda di tiap sudut pematangnya. Tanpa ragu, Buyung membuat sayatan memanjang di punggung tangannya.

Ia menyiramkan air di lukanya itu hingga darahnya menjadi banyak dan mengalir deras. Buyung meneteskan darah itu ke sawah sawah yang sudah ia targetkan.

Supardi hanya bisa melihat kegiatan itu tanpa berani terlibat. Ia khawatir akan ada hal buruk yang terjadi.

Bagaimanapun ia awalnya ingin mencari dukun pengganti yang berani menjalankan praktik itu sendiri, dan tidak harus dilakukan oleh dirinya.

Terakhir, Buyung mengepalkan tangannya hingga mengeluarkan darah segar dan meneteskannya darah itu ke kertas rajah pemberian Nur.

Sebuah sensasi datang pada dirinya. Ia seperti ditempeleng dari arah depan namun Buyung dapat segera mengembalikan keseimbangannya.

“Kita lihat apa jawaban mereka nanti malam..” ujar Buyung sambil mengantongi kertas itu dan pulang bersama Supardi ke rumah Supardi.
...

Di tempat terpisah, warga memutuskan untuk mengambil risiko dengan berjalan kearah bukit. Mereka membentuk kelompok besar dengan peralatan pertahanan diri yang lengkap. Pencarian mengitari sawah sekitar bukit sudah jelas tidak membuahkan hasil.

Demi jaga jaga, salah seorang tokoh agamis dari luar desa dibawa dalam penyisiran menuju lereng bukit itu.

“Bismillah.. kok diizinan dek Allah, yo ka basobok wak jo paja paja tu” (Bismillah.. kalau diizinkan Allah, kita akan bertemu anak anak itu) ujar salah satu warga yang berjalan di barisan paling depan sambil mengarahkan senter dan obor yang mereka bawa ke sekeliling area bukit itu.

“Abbaaaass! Guntaraaaa! Dedeeeet!” panggil mereka memulai pencarian sambil mengarahkan mulut mereka ke arah yang berbeda beda.

Tokoh agama yang ikut beserta rombongan itu maju dan mulai menyipratkan air air yang ia doakan sebelumnya ke beberapa tempat secara acak.

Awalnya warga yang ikut pesimis akan mendapatkan sesuatu diantara luas dan gelapnya hutan di bukit itu, hingga mereka melihat seseorang terbaring di tengah hutan, diantara rimbunnya semak dan pepohonan..

***

Di sisi lain,
Karena tugas mereka sudah selesai untuk hari ini, Supardi dan Buyung berbaring di ruang tengah sambil menghadap langit langit. Mereka menunggu jawaban dari apa yang sudah mereka lakukan untuk memancing Bunian keluar.

“Jadi mereka akan menghampiri kita dalam mimpi kan?” tanya Supardi.

“Ya” jawab Buyung singkat.

“Baguslah akan sangat mengerikan kalau mereka tiba tiba muncul di rumah saya secara sadar” ujar Supardi.

Tak lama, Supardi akhirnya tertidur. Supardi bermimpi bertemu dengan sekelompok orang berbaju putih yang memenuhi bukit hingga ke bagian kaki bukit. Wajah mereka terlihat pucat namun bertubuh normal seperti manusia biasa.

Di kejauhan, tepat dibelakang sosok sosok itu ada tiang tiang kayu dengan manusia terikat diatasnya. Namun jaraknya cukup jauh untuk bisa dilihat oleh Supardi.

Salah satu sosok itu maju dan tanpa ditanya Supardi, sosok ini langsung berkata..

“Hentikan..”

“Kalian bisa keluarkan orang orang yang sudah kalian masukkan ke alam kalian??” tanya Supardi.

“Kami akan lakukan jika kau menghentikan rencanamu..” ujar sosok itu yang tidak lain adalah Sufyan.

“Baiklah baiklah. Saya tidak akan jadi menghabisi bukit kalian. Sekarang keluarkan mereka. Saya adalah pengganti Pagaralam yang baru!” ujar Supardi.

“DUSTA” ujar Sufyan.

Supardi terdiam. Ia mulai berpikir sosok ini mampu membaca pikirannya. Ia menjadi gugup jika apa yang ada dipikirannya sekarang pun sudah diketahui sosok ini.

“Hentikan semuanya. Dan kami akan mengembalikan semua manusia itu” ujar Sufyan dengan suara yang menggelegar.

Supardi mulai terbawa ketakutannya. Perlahan ia mulai yakin untuk menghentikan niatnya menguasai bukit sekalipun memiliki angka yang sangat tinggi.
Supardi menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan itu

“boleh, tapi..”

CREB!

Tiba tiba saja sebuah mata pisau melayang kearah Sufyan. Beruntung ia sempat menghindar tapi sosok Bunian yang ada di belakangnya tidak. Pisau itu menancap di lehernya dan membuat bunian itu menjerit kesakitan hingga roboh ke tanah.

Supardi menengok ke belakang mencari sumber pelempar pisau itu dan mendapati Buyung berjalan ke arahnya dengan ratusan makhluk mengerikan ikut bersama dengannya. Beberapa diantaranya berwujud tinggi besar dan kepalanya tidak terlihat karena bercampur dengan gelapnya malam.

Aura yang dikeluarkan makhluk makhluk itu begitu buruk dengan wujud yang sudah tidak karuan.

“Kembalikan anak saya, dan kalian semua pergi dari bukit ini!” bentak Buyung sambil berjalan tepat di samping Supardi.

Supardi ternganga. Buyung terlihat lebih gelap. Ia merasakan tekanan yang susah dijelaskan saat Buyung berjalan di sampingnya bersama ratusan makhluk yang ia bawa.

“Yang kami tawarkan adalah kami mengembalikan manusia manusia ini, dan kalian batalkan rencana kalian..” ujar Sofyan.

“Persetan saya diatur oleh makhluk seperti kalian!” bentak Buyung yang langsung memerintahkan makhluk makhluk di belakangnya untuk menyerang para Bunian.

Sufyan memandangi Bunian yang kini sudah terkapar di sampingnya. Bunian itu sudah tidak bergerak lagi.

“Perjanjian sudah dilanggar.. Pagaralam.. sudah waktunya kami mempertahankan tanah leluhur kami sendiri..” ujar Sufyan.

Tepat saat makhluk makhluk mengerikan yang dibawa Buyung itu berhadap hadapan dengan Bunian, Sufyan dan seluruh orang Bunian di mimpi itu lenyap begitu saja..

Di dunia Bunian, Sufyan yang duduk bersila sejak mendapat dentingan di kepalanya tadi membuka matanya. Mata Sufyan kini sudah berwarna merah. Giginya meruncing dan ekspresi marahnya terlihat.

Di bukit tempat Dedet dan Guntara mencari tubuhnya masing masing, akhirnya mendapatkan titik terang. Hampir pada waktu bersamaan, keduanya menemukan tubuh mereka pada salah satu sisi hutan itu.

Dedet baru saja hendak mengabari Guntara bahwa ia menemukan tubuhnya, namun tiba tiba langit dunia itu berdentum dengan sangat keras.

Dedet yang panik langsung menjatuhkan badannya ke tubuh tidurnya sambil berharap Guntara di sisi lain akan melakukan hal yang sama.

Guntara yang juga baru saja menemukan tubuhnya tersentak dengan suara gemuruh dan dentuman dari langit. Ia mencoba menyatu dengan tubuhnya tapi tiba tiba saja tubuh itu menghilang… bersamaan dengan hilangnya kawasan rerumputan kuning itu yang seketika berubah menjadi hutan gelap kembali.

Guntara melihat ke sekeliling. Dedet dan tubuh tubuh yang tadi ada disini sudah menghilang begitu saja. Ketika itu ia melihat sebuah cahaya cahaya kemerahan yang tersebar di sekitar lokasinya berdiri.

Perlahan cahaya cahaya kemerahan itu mendekat dan ternyata itu adalah obor obor dan bara api yang dibawa sekelompok orang bunian dengan wujudnya yang sudah menjadi seperti kera.

Sosok sosok ini berjalan ke arah Guntara. Ia menutup tubuhnya karena mengira sosok sosok itu akan menyerangnya. Namun mereka melaluinya begitu saja dan terus menuju ke satu arah yang sama.. ke bagian bawah bukit.

Guntara sempat kebingungan awalnya sampai ia menyadari sesuatu yang janggal.. saat ini tubuhnya menjadi transparan.. ia akhirnya mengendap endap mengikuti Bunian itu dari belakang, menuju ke arah tempat Abbas dan Datuk Pagaralam diikat pada tiang pancang.

Dentuman dentuman keras terdengar dari langit Bunian. Perlahan rumah rumah disana runtuh dan menjadi abu. Dunia bunian yang semula berbentuk seperti desa rangkiang berubah kembali jadi Bukit biasa yang gelap dan penuh pepohonan.

Dari bawah tanah dan dari sisi sisi gelap pepohonan, ratusan orang bunian muncul dan berkumpul dengan api, panah, tombak dan pedang di tangan mereka..

“Manusia lah mainginkan parang.. wak ikuikan kamauannyo dan awak agiah manusia tu palajaran!” (merekalah yang menginginkan perang.. kita akan ikuti kemauannya dan kita akan beri manusia itu pelajaran..) ujar Sufyan.

Seluruh Bunian dari berbagai penjuru bukit yang hadir disana bersorak menggelegar. Genderang perang dipukul dengan sangat keras oleh orang orang Bunian memecah kesunyian hutan. Pedang dan tombak mereka ancungkan ke langit sambil mengeluarkan suara seperti hewan primata.

Abbas yang melihat hal itu seketika panik. Apa yang ayahnya perbuat?? Bagaimana dengan keselamatan warga desa yang lain??

Perlahan Sufyan merubah bentuk tubuhnya. Tumbuh bulu kehitaman yang tebal di sekujur tubuhnya.

Matanya memerah, badannya menjadi tegap dan tangannya memanjang. Kini ia lebih terlihat seperti kera dengan proporsi badan yang tidak seimbang.

Warga yang sebelumnya berpenampilan seperti manusia juga berubah. Wujud mereka kini terlihat bagai manusia purba, namun ukuran tubuh mereka tidak sebesar Sufyan.

“KAMARILAH ANG BUYUANG! LAWAN KAMI!” (Datanglah Buyung! Kami sudah siap menghadapi kau!) pekik Sofyan yang dibalas dengan teriakan bunian lain di belakangnya.

***

Di dunia manusia..

TOK TOK TOK!
“BAGINDO! BAGINDO!” panggil sejumlah warga yang sudah berkerumun di depan rumah Bagindo Sati.

Bagindo Sati yang masih terlelap karena begitu lelah tersentak mendengar panggilan itu dan bergegas keluar.

Ketika ia membuka pintu, ada puluhan orang di depan rumahnya dengan obor, senter dan berbagai macam peralatan lainnya. Diantara warga tersebut ada dua orang warga yang mengangkat tubuh seorang anak.

“Bagindo.. Guntara basobok..” (Bagindo.. Guntara ketemu) ujar warga sambil mengangkat tubuh Guntara dan menyerahkannya ke Bagindo Sati.

Bagindo Sati menerimanya dengan tangan yang bergetar. Pikirannya berkecamuk sebelum tubuh Guntara menyentuh kulitnya.

Ia takut tubuh Guntara sudah mendingin dan kaku.. namun saat kulitnya bersentuhan dengan kulit Guntara.. tubuh itu masih hangat!

Bagindo Sati langsung meletakkan jarinya di hidung dan memeriksa nadi Guntara.. Dari belakang, istrinya yang memakai jilbab dahulu sebelum keluar langsung berteriak histeris melihat Bagindo Sati membopong tubuh Guntara.

“Guntara masih hidup!” ujar Bagindo Sati dengan wajah terharu.

Ibu Guntara langsung mengucapkan hamdalah dan tangisnya makin pecah setelah mengetahui hal itu. Guntara di bopong ke ruangan tengah. Ia ditidurkan diatas kasur kapuk miliknya.

Meskipun Guntara masih bernafas, tapi ia masih belum juga terbangun.

Ibu Guntara coba memeluk anaknya itu, memanggil manggil namanya dan memijat kakinya. Namun Guntara masih belum sadar.

Beberapa warga juga mencoba memberikan minyak kayu putih ke hidung Guntara tapi belum ada perkembangan apapun.

Bagindo Sati lalu melihat ke arah para warga yang tadi mengantar anaknya,
“Apa kalian juga menemukan Abbas dan Dedet??” tanya Bagindo.

“Belum Bagindo. Hanya ada Guntara tadi. Dia ada di tengah tengah hutan sendirian, dan keadaannya sudah seperti itu” ujar salah seorang warga.

“Apa kalian tidak mencari terus di lokasi yang sama??..” tanya Bagindo.

Warga tersebut saling pandang dan seakan ragu untuk menjawab.

“Tadinya kami ingin lanjut lebih dalam lagi Bagindo.. tapi dari arah dalam hutan kami mendengar suara harimau..” ujar salah satu warga.

Bagindo Sati memahami kecemasan warga itu. Tidak lupa ia berterima kasih berkali kali kepada orang orang yang sudah menemukan Guntara.

Kini yang harus ia lakukan adalah bagaimana cara membuat Guntara sadar.. sampai tiba tiba sekitar setengah jam setelahnya, seorang pemuda berlari ke arah rumah Bagindo Sati. Kehadiran pemuda itu mengejutkan semua orang yang ada disana.

“Assalamualaikum Bagindo!” ujar pemuda yang tiba tiba saja sudah ada di depan pintu rumah Bagindo Sati.

“waalaikumsalam…MasyaAllah Dedet???” jawab Bagindo yang sempat terkejut dengan kehadiran Dedet yang selama ini dicari cari.

Orang orang yang ada di rumah itu juga tercengang dengan kehadiran Dedet pada pukul 2 dini hari itu.

“Guntara sudah pulang pak??” tanya Dedet dengan wajah yang tidak tenang.

“Sudah.. tapi.. sejak ditemukan dia masih belum bangun..” ujar Bagindo memalingkan wajahnya ke arah kasur yang ditiduri Guntara.

Dedet akhirnya masuk ke rumah. Ia memandangi Guntara dan mengecek keadaanya.

“Tadi dia pulang sendiri atau ada yang menemukannya di hutan???” tanya Dedet panik kepada para warga dan Bagindo Sati.

“Dia tadi ada di tengah hutan.. keadaanya seperti itu sejak ditemukan..” jelas salah satu warga yang menemukan Guntara.

Jantung Dedet seketika terasa ngilu.
“AARGGHH!” geramnya sambil menjambak rambutnya.

“Dedet! Dedet! Tenang dulu! Kenapa?? Ada apa??” tanya Bagindo Sati sambil melepaskan cengkraman tangan Dedet di rambutnya sendiri.

“Ini bukan Guntara Pak Bagindo! Ini bukan Guntara! Guntara yang asli masih ada di bukit! Dia ada di alam Bunian! Dan seharusnya tubuhnya ini tidak boleh dipindahkan sebelum dia kembali sendiri ke tubuhnya!!!” ujar Dedet frustasi.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close