Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

TANAH WINGIT 1994 (Part 2 END) - Balung Mayit

Tanah Wingit
Bagian Akhir - Balungmayit


Aku sedang menggali..

Iya, menggali di salah satu sudut di dapur rumah kami. Entah mengapa aku melakukan ini, namun semua ini terasa begitu jelas.
Sudut dapur ini adalah tempat yang jarang sekali kami perhatikan.

Salah satu sisi yang tertutup oleh tumpukan kayu bakar dan perlengkapan dapur yang jarang terpakai.

Aku terus menggali, sampai cangkulku menyentuh sebuah papan. Kusingkiran tanah di atas papan itu dan membukanya.

Nafasku menderu dengan cepat. Ada sebuah jasad yang sudah mengering di bawah papan itu. matanya masih terbuka, tubuhnya masih menunjukkan gerakan nafas.

Tidak mungkin dia masih hidup..

Kulitnya sudah terkelupas memamerkan dagingnya.

bahkan di bagian pipinya sudah terlihat tulangnya. mayat itu terus bernafas semakin cepat dan menatap ke arahku. Jantungku berdegup semakin keras merasa ingin lari dari tempat ini tapi makhluk itu mulai berusaha bergerak dan mendekatkan wajahnya padaku

“Ibu!!!”

Aku berteriak, seketika aku tersadar di kamar dengan tubuh yang penuh keringat.
Mimpi? Tapi.. mengapa rasanya begitu nyata?

Tok tok tok…

“Mukti, bangun. udah lewat maghrib,”
Terdengar suara ibu mengetuk pintu membangunkanku. Ia membuka pintu dan memastikan aku sudah terbangun.

“Mandi dulu, masih ada air,” perintah ibu.
“Iya bu, sebentar,” balasku singkat.

Aku masih mencoba mengatur nafasku yang masih merasa takut dengan mimpi tadi. Semoga saja, mimpi itu bukan pertanda buruk.

Akupun mengambil handuk dan menuju kamar mandi di belakang rumah.

langit sudah gelap dan perasaanku masih tidak enak. Akupun memutuskan untuk mandi dengan cepat.

Dengan sisa air yang sedikit aku menyiram tubuhku dan membersihkan badanku. Entah mengapa aku merasa air yang kusiramkan begitu dingin.

Akupun menggigil tidak seperti biasanya, padahal aku juga cukup sering mandi di jam seperti ini.

Dok…. Dok… Dok…

Tiba-tiba perhatianku teralih kepada suara dari luar.

Suaranya seperti suara dinding kayu yang dipukul-pukul Aku mengintip dari celah pintu yang terbuat dari seng sederhana dan mencari asal suara itu.

Dok…. Dok… Dok…

Suara itu terdengar lagi, dari arah suaranya aku menduga suaranya berasal dari dapur.

Aku mengira itu perbuatan ibu atau Gendis dan menuntaskan mandiku.

Dok dok dok dok dok….

Tiba-tiba suara itu terdengar lebih keras dan lebih cepat. kali ini aku mulai merasa aneh. akupun kembali mengintip ke arah dapur dan kali ini aku melihat asal suara itu.

Pocong...

Pocong itu melompat menabrakkan dirinya ke tembok dapur bahkan membentur-benturkan kepalanya. ia berusaha untuk masuk, namun ada sesuatu yang menghalanginya.

Aku menelan ludah melihat pemandangan mengerikan itu.

Sialnya, seolah mengetahui ada yang mengawasinya makhluk itu pun menoleh ke arahku dan menatapku dengan wajahnya yang sudah membusuk.

Sontak akupun mundur dari lubang pintu dengan rasa takut yang mulai menyelimuti tubuhku.

Dari jauh aku mencoba mengawasi lubang pintu itu lagi berharap makhluk itu tidak menyadariku. dan kali ini, makhluk itu sudah tidak ada.

Akupun mengeringkan tubuhku dan segera mengenakan pakaian. tapi saat itu samar-samar aku mencium bau amis dari arah belakang.

Aku tidak berani menoleh…
Seolah ada sosok yang begitu dekat berada di belakangku. Saat itu tidak ada lagi yang kupikirkan selain membuka pintu kamar mandi dan berlari secepat mungkin ke dalam rumah.

“Kenapa Le? kok ngos ngosan gitu?” Tanya Ibu.
Aku hanya menggeleng dan buru-buru masuk ke kamar. Aku ingin bercerita, tapi ada Gendis di sana. Aku tidak ingin membuatnya takut.

Setelah tenang aku baru mulai tersadar.

sisi tembok yang didatangi pocong itu di sebaliknya adalah sudut yang ada dimimpiku. dimana di mimpiku aku menemukan jasad mengerikan itu di sana.
Dan benar… Mimpi itu muncul berkali-kali di dalam tidurku.
...

Suatu siang aku menghampiri ibu di dapur. ia tengah sibuk menyalakan kompor untuk memasak. Aku yang penasaran mencoba mencari-cari sesuatu di sudut yang ada di mimpiku itu.

“Nyari apa Le?” Tanya ibu.

“Nggak bu.. itu..” aku bingung menjawabnya, tapi aku tetap terus mencari di tempat yang jarang kami utak atik itu.

Tak butuh waktu lama, aku menemukan lembaran pohon pisang yang diatasnya terdapat kembang sesajen, beberapa rempah bekas dibakar, dan segenggam pasir.

Dari kondisinya, benda ini sepertinya masih belum terlalu lama.

“Ibu masang sesajen di sini?” Tanyaku.
Mendengar ucapanku, ibu yang sedang sibuk segera meletakkan kayu bakarnya dan menoleh ke arahku.

“Sesajen? Ibu nggak pernah masang sesajen Le..” Balas ibu.

“Coba lihat deh bu,” ucapku.
Ibupun menghampiriku, ia juga terlihat kaget saat melihat ada sesajen di sana. Terlebih wujudnya tidak seperti sesajen yang digunakan untuk ziarah atau untuk ruwatan.

“Bukan ibu Le, masa ada orang yang masuk ke rumah kita?” Tanya ibu.

Setelah memastikan tidak ada yang tahu tentang benda itu, akupun mulai menceritakan mimpi-mimpiku pada ibu. menurutnya mungkin sebuah kebetulan aku menemukan sesaji itu di tempat yang sama dengan di mimpi.

Walau begitu, kami berdua sepakat memperhatikan tempat itu untuk memantau siapa yang memasukkan benda itu di rumah kami.

Suatu ketika, tak jauh dari hari kami menemukan sesajen itu ada kabar tentang warga desa yang kesurupan.

Kami tidak sempat melihatnya, tapi saat aku dan ibu menanyakan kejadian itu, warga sempat menatap kami dengan aneh.

“Nggak papa, sudah ditangani kok sama Pak Sartiman,” ucap warga tanpa menceritakan kepada kami lebih jauh.

Kami merasa cukup aneh, tapi kami menganggap yang mereka lakukan adalah usaha untuk menutup aib orang yang kesurupan itu.
Sampai suatu ketika saat sedang berada di pasar. Aku melihat seseorang yang bertingkah cukup aneh.

Ada seorang perempuan yang rambutnya berantakan. ia hanya berdiri di tengah keramaian sembari terus menatap kami dengan muka yang celemotan dengan tanah. beberapa kali ia menunjuk-nunjuk ke arah kami sembari tersenyum menyeringai dan mulut yang komat kamit.

Awalnya aku tidak ingin menghiraukanya. tapi semakin lama suara orang itu semakin keras dan mengancam.

“Lungo! Lungo seko omah kuwi! Yen ra ndang luwe siap-siap tak pateni!” (Pergi! Pergi dari rumah itu! Kalau tidak segera pergi, siap-siap aku bunuh!) Ucap orang itu.

Perempuan itu mengulangnya berkali-kali hingga akhirnya orang-orang tahu bahwa perempuan itu kesurupan.

Beberapa pria datang menghampirinya untuk memberi pertolongan, dan tukang ojek segera memanggil Pak Sartiman.

Perempuan itu meronta-ronta hingga empat orang priapun kesulitan membawanya ke pinggir. Aku dan ibu penasaran dengan ia yang terus mengawasi kami.

“Lungo kowe! Lemah kuwi dudu panggonanmu!” (Pergi kamu! Tanah itu bukan tempatmu!) Teriaknya lagi saat kami mendekat.

Ternyata benar yang dimaksud orang itu adalah kami. Tapi aku heran mengapa warga sekitar tidak heran dengan tingkah orang yang kesurupan itu

Setelah Pak Sartiman datang, iapun segera menenangkan orang yang kesurupan itu dengan membacakan doa di samping telinganya.

Perempuan itu tentu saja melawan, namun saat Pak Sartiman meletakkan tanganya di kepala perempuan itu. Iapun menjadi tenang dan kehilangan kesadaran.

“Kalian sudah mendengar apa yang diucapkan setan itu?” Tanya Pak Sartiman.

“Iya pak, apa benar mereka mengincar kami?” Tanya ibu.

Pak Sartimanpun meminta kami untuk tenang dan membicarakan ini di tempat lain.

Setelah warga mengevakuasi perempuan itu dan mengembalikan ke keluarganya, Pak Sartiman mengajak kami ke kedai kopi di pasar untuk menjauh dari keramaian.

“Kejadian ini sudah terjadi beberapa kali di desa,” Buka Pak Sartiman.

“Kesurupan?” Tanyaku.

Pak Sartiman mengangguk dan menyeruput kopinya. Ia akhirnya menceritakan bahwa sebenarnya orang-orang yang kesurupan itu meneriakkan hal yang sama.

Setan itu meminta warga desa mengusir orang yang tinggal di rumah yang kami tinggali. Warga desa sudah tahu, tapi mereka merasa tidak punya hak untuk mengusir kami.

“Jelas pak, kami kan nggak salah apa-apa. Kenapa sampai diusir,” ibu membela diri.

“Tenang dulu Bu Lastri, oleh karena itulah warga desa memilih diam. Tapi kalau memang sampai mengancam nyawa, saran saya lebih baik ibu pindah,” Jelas Pak Sartiman.

Mendengar ucapan itu wajah ibu kembali merenung. Aku jelas mengerti perasaan ibu.

“Pak Sartiman tahu mengapa kami sampai diminta pergi oleh setan-setan itu?” Tanyaku.

Sayangnya Pak Sartiman menggeleng. Ia harus mencari tahu lebih lanjut untuk mengetahui hal itu.

“Sampaikan kepada warga pak. Mohon maaf kami belum bisa pindah. Jangankan untuk pindah, bahkan uang untuk makan beberapa hari kedepan saja saya masih cemas,” balas ibu.

Pak Sartiman mengerti, dan menurutnya warga juga harusnya mengerti.

Tapi ia mengatakan, seandainya dirinya dan warga bisa mendapatkan solusi untuk tempat tinggal kami, mereka harap kami mau menurut dengan mereka.

Ibupun menjawab bahwa hal itu bisa dibicarakan lebih lanjut. Nyatanya, tinggal di rumah itu juga bukan hal yang baik untuk kami.

Sepanjang perjalanan ke rumah aku tidak ingin bertanya banyak ke ibu. Aku yakin kejadian tadi sudah memberi cukup banyak tekanan padanya. Aku hanya mengajak Gendis bermain sekaligus mencari tanaman-tanaman di pinggir jalan yang menarik perhatianya.

Sesampainya di rumah aku penasaran dengan sesajen yang ada di dapur. Akupun mengeceknya bersama ibu dan menemukan sesajenya sudah diganti yang baru. Sekarang kami yakin memang ada orang lain yang masuk ke rumah kami.

Sayangnya beberapa kali kami mencoba mengawasi dan mencoba menjebak, kami tidak menemukan siapapun memasuki rumah. Tapi anehnya setiap beberapa hari sesajen itu sudah berganti dengan yang baru.

Akhirnya aku memutuskan untuk nekad dengan membuang sesajen itu diluar dan memendamnya di galian sampah. Sayangnya sepertinya itu bukanlah keputusan yang tepat.

Malamnya sesuatu yang aneh terjadi.
Suara aneh memecah keheningan malam yang bertahan sejak tadi.

Aku dan ibu terbangun dengan suara yang lebih mirip seperti suara raung tangis hewan liar.

Tidak ada sepatah katapun bertukar antara aku dan ibu di sisa malam itu. Kami saling memberanikan diri dan mencari asal suara itu.

Satu hal yang tidak kami sangka, akar suara itu berpangkal dari dapur..

Dari sudut tempat sesajen itu sebelumnya berada. Saat itu aku mulai merasa sudah melakukan sebuah kesalahan.
Tidak ada satupun dari kami yang berani mendekat, sementara suara itu juga enggan untuk berhenti.

Yang terjadi, Ibu hanya memintaku untuk tidur dalam satu kamar bersama dengan Gendis untuk saling menjaga.

Kesal? Sedih? atau marah? aku mendengar emosi dari suara yang terus membuatku merinding itu. Sulit untukku memejamkan mata.

Hingga malam bertemu batasnya dan ayam berkokok menyambutnya, barulah suara itu menghilang dan aku mampu tertidur.

Walau kejadian semalam membuat aku dan ibu takut, tapi siang harinya kami sudah melupakannya begitu saja.

Saat ini, kami memang sudah sering merasakan dan melihat hal-hal aneh walau hanya sekelebat. jadi kejadian semalam hanya kami anggap sebagai salah satu kejadian serupa saja.
Tapi malam setelahnya terjadi hal yang tidak kami sangka.

Saat itu kami sudah sampai di tidur lelap kami.

Menjelang tengah malam tidurku terganggu dengan suara-suara dari berbagai sisi rumah. Aku semakin curiga dengan bayang-bayang yang melintas dari balik jendela.

Aku ingin menyalakan lampu, tapi aku ragu dan memilih untuk menghampiri ibu dan Gendis di kamarnya.

Tapi tanpa kusangka, ibu sudah memeluk Gendis di bawah kasur sembari memberi isyarat padaku agar tidak berisik.

Akupun mengampiri ibu dan itu duduk di bawah bersama dengan ibu. aku tahu, ia bersembunyi dari sesuatu.

“Uwong-uwong kuwi tenan arep gawe perkoro! Pateni wae!” (Orang-orang itu benar-benar mau mencari masalah! Matiin aja!)

Terdengar suara serak seseorang dari luar jendela kamar ibu. Orang itu tidak sendiri, ada beberapa langkah kaki yang mengelilingi tempat ini bersamanya.

“Wis tak kirim pocongan, demit alas, uwonge ra lungo-lungo. Iso gawat nek Balungmayit iki nganti kenopo-kenopo”

(Sudah aku kirim pocong, setan hutan, orangnya tetap tidak pergi. Bisa gawat kalau Balungmayit ini sampai kenapa-kenapa) ucap seseorang yang lain.

Pocong? demit alas? Balungmayit? siapa mereka ini? Dukun? Aku semakin penasaran dan mencoba mengintip dari sela jendela.

Ada tiga orang...
Dua orang pria berpakaian hitam dengan ikat kepala.

yang satu wajahnya terlihat sudah berkeriput dengan matanya yang bengis. ada sebuah golok di tangannya seolah sudah bersiap untuk membunuh seseorang.

seorang lagi tinggi bongsor berambut panjang. namun wajahnya juga sudah berkeriput. sedangkan seorang lagi seorang perempuan berpakaian kebaya sederhana yang berdiri sembari menunduk di belakang mereka. sepertinya ia adalah pelayan dari kedua orang itu.

“Dukun bu..” bisikku pada ibu.
Mendengar ucapanku, ibu dan Gendis semakin takut. pasalnya mereka sempat mendengar mereka mengancam untuk membunuh kami.

Tak lama kemudian, suara seperti malam sebelumnya kembali terdengar.

Ada suara sosok yang merintih seperti suara hewan dari arah dapur. Sontak ketiga orang itupun menghampiri suara itu.

“Sesajen sudah kuganti, tapi dia masih mengamuk. Bisa bahaya kalau orang-orang tahu kita menguburnya di sini.

Bisa ketahuan kalau kita yang membunuh Brotowilo dengan Balungmayit” Kata dukun bongsor itu menjelaskan pada temanya.

“Sialan, kuasai rumah ini dan kita urus sendiri Balungmayit itu,” balas dukun satunya.

“Lantas perempuan dan bocah itu?”

“Bunuh! Kita kuburkan di bawah rumah ini seperti yang lainya,” ucap orang itu dengan tenangnya.
Mendengar pernyataan itu, seketika keringat dingin bercucuran dari tengkuk kami.

“Maaf den, aden bicara seperti itu bisa terdengar oleh mereka. mereka sedang tidur di dalam rumah,” ucap yang perempuan di antara mereka.

Bukanya semakin berhati-hati, dukun itu malah memukul pintu rumah dan memaksa untuk membukanya.

“Keluar!” Teriaknya.

“Kita habisi saja sekalian malam ini”

Mendengar ucapannya, sang perempuan dan dukun yang bongsor itu menurut dan membantunya membuka pintu belakang yang menyambung dengan dapur.

Suara langkah kaki terdengar ke arah kami bersama suara golok yang dipukul-pukulkan ke tembok.

“Bu.. gimana bu, Gendis taku..”
Akus segera menutup mulut Gendis dan menyuruhnya untuk masuk ke kolong kasur untuk bersembunyi.

Brakk!!!
Pintu kamar terbuka.. dukun itu masuk ke kamar tempat kami berada.

Kami hanya bersembunyi di kolong dipan kayu dan kami tubupi dengan barang-barang yang sebelumnya memang ada di sini.

Tang… Tang.. Tang…

Dukun itu memainkan goloknya dengan memukul-mukulnya ke benda-benda di sekitar.

Kali ini aku benar-benar takut. Entah sudah berapa kali kami berurusan dengan hantu, namun rasa takut kali ini jauh lebih kurasakan dibanding sebelumnya. Di sini, nyawa kami terancam.
Aku melihat dukun itu melangkah mendekat ke arah kasur.

ia menyabetkan goloknya di kasur dan memeriksanya.

Kakinya benar-benar dekat dengan kami hanya terpisahkan kardus barang-barang yang kami gunakan untuk menutupi tubuh kami.

“Ada?” tanya temanya dari luar.

“Nggak ada, mungkin di kamar lainya atau di ruang depan,” ucapnya sembari melangkah keluar.

Kami berdua menahan suara kami sekuat tenaga agar tidak menimbulkan suara yang bisa membuatnya menyadari keberadaan kami.

Akhirnya, dukun itu pun melangkah menjauh dari kami. ia melangkah menuju pintu kamar dengan perlahan. Tapi, saat itu hampir saja aku berteriak.

Aku melihat kaki dukun itu dari bawah kasur. kaki itu melangkah meninggalkan kamar.

Tapi tak jauh dari langkahnya, aku melihat sosok kain kafan lusuh terikat yang melayang mengikutinya.

Dukun itu diikuti sesosok pocong..

Aku hanya bisa sekuat tenaga menahan diri hingga ia keluar. tapi aku sadar, lambat laun mereka pasti akan menemukan kami apabila kami terus sembunyi di sini.

“Bu, keluar lewat jendela.. kita kabur lewat hutan,” bisikku pada ibu.

Gendis menggeleng, ia benar-benar takut. Tapi aku tidak memikirkan kemungkinan lain dan mulai membuka jendela dengan perlahan saat langkah kaki itu menjauh menuju kamar depan.

“Ayo! Mas gendong,” bisikku.

Dengan hati-hati kami keluar melalui jendela dan mendarat di sisi rumah. Dengan hati-hati aku menutup jendela itu dan mengajak ibu berjalan ke arah hutan yang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah.

Setelah merasa aman, kami memperhatikan rumah dari jauh sembari bersembunyi di balik-balik pohon. Dari jauh orang-orang itu kecewa tidak menemukan kami di dalam rumah.

Mereka masih di sana beberapa saat sembari membakar kemenyan dan meniupkan asapnya ke rumah kami.

sepertinya itu adalah ritual yang mereka gunakan untuk mengirim makhluk-makhluk ke rumah kami.
Tak mau menunggu lebih lama, kamipun bergegas menuju rumah Pak Ngadimin untuk meminta pertolongan.

Tapi di tengah jalan aku terhenti. Ada pemikiran yang melintas di benakku.

Apa ini semua karna ulahku membuang sesajen itu? Terlintas pikiran gila dimana aku harus mengeluarkan sesuatu yang disebut dengan nama Balungmayit itu dari rumahku agar mereka tidak lagi datang ke tempat ini.

“Ibu duluan saja, biar aku mengawasi mereka dulu,” ucapku pada ibu.

“Nggak Mukti! Kita pergi bareng,” perintah ibu.

“Nggak papa bu, nanti Mukti nyusul..” ucapku yang segera berlari meninggalkan ibu. Aku tahu ibu pasti tidak akan mengijinkan walau berdebat semalaman.

Dari jauh aku memastikan ibu melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Ngadimin.

Setelah yakin ibu pergi, akupun kembali mengawasi rumah dari balik hutan. Saat itu, salah seorang dukun yang bongsor itu tengah mengubur beberapa benda di halaman rumah dan pergi setelahnya.

Setelah merasa keadaan mulai aman, akupun melangkah kembali menyelinap ke dalam rumah.

Gelap.. aku mencoba menyalakan lampu tapi tidak bisa. Sepertinya dukun dukun itu juga memutus kabel listrik menuju ke rumahku. Suasana rumah ini benar-benar berbeda dibanding sebelumnya.

Akupun mencari senter dan menyalakan lampu minyak untuk menerangi ruangan.

saat ada di dalam rumah, aku merasa ada yang aneh. Aku merasa ada yang memandangi rumah ini dari luar.

ada makhluk hitam besar, berdiri memandangi rumah ini dari halaman rumah. aku mengingat, itu adalah tempat dimana dukun itu mengubur sesuatu.

aku menjauh dari jendela berharap makhluk itu tidak melihatku, tapi dari sisi halaman lain perlahan muncul pocong yang menggeliat seperti dulu saat kami lihat dari jauh. Aku memastikan hari ini bukanlah jumat kliwon dan sabtu pahing, Tapi mengapa pocong itu juga ikut muncul.

Kali ini aku benar-benar takut. aku tak mungkin keluar lagi dengan keberadaan makhluk itu di luar rumah. Akupun melangkah semakin dalam ke rumah menjauhi mereka dan menuju dapur.

Aku meyakinkan diri sekali lagi apakah akan menggali sudut itu atau tidak.

Keraguan mulai muncul akan apa yang terjadi bila aku menggalinya. Tapi aku yakin, cepat atau lambat aku harus menyelesaikan masalah ini.

Akupun mengambil palu untuk memecah semen peluran yang menutup tempat itu.

Aku ingat titiknya dengan jelas dan membuka celah tanah untuk kugali.

Jantungku berdegup kencang menanti apa yang akan kutemukan di bawah tanah ini. Semakin banyak cangkul kuayunkan semakin cepat nafasku merespon ketakutanku.

Aku sempat berhenti beberapa saat untuk mengatur nafas dan melap keringat, namun aku harus menyelesaikan ini.

Tepat seperti apa yang ada di mimpiku. Cangkulku beradu dengan papan kau lapuk yang menutupi sesuatu.

Aku tidak akan siap bila menemukan sosok yang sama seperti apa yang ada di mimpi. sosok mayat yang masih hidup? itu jelas tidak masuk akal.

Dengan hati-hati aku menyingkirkan papan kayu itu dan menemukan sesuatu di baliknya. Benar, di bawah rumah kami terkubur sesosok..

Mayat…

Tidak persis seperti dengan yang terlihat di mimpiku. Mayat ini tidak membusuk dan kering seperti mumi. sebagian daging dan kulitnya sudah terkikis dan memamerkan tulang-tulangnya yang sudah menjadi berwarna cokelat gelap.

Aku berpikir apa mayat ini yang mereka sebut dengan nama Balungmayit? Lantas apa yang harus aku lakukan dengan mayat ini? apa cukup dengan melaporkanya kepada Pak Sartiman atau warga desa?

“Bakar..”
Terdengar suara membisik dari bagian ruangan.

aku mencari asal suara itu dan menemukan setan anak kecil yang mendiami kayu ukiran ular itu seperti mencoba memberiku petunjuk.

Aku tidak mampu berpikir lagi, sepertinya itu yang harus aku perbuat. akupun mengambil minyak tanah dan menyiramnya pada jasad itu.

Aku saat itu tidak terpikir bahkan mungkin saja yang kulakukan akan membakar rumahku.

Hanya sedikit minyak tanah yang kupunya, akupun melemparkan korek api dan membiarkan minyak itu menyala pada jasad itu.

"Uuuuungggggg…. Ungggggg…."

Suara itu terdengar lagi, suara seperti tangisan hewan liar yang kudengar kemarin. kali ini terdengar lebih jelas berasal dari jasad yang kubakar ini.

Api itu menyala tidak terlalu lama, ia mati dengan sendirinya.

Mungkin jumlah minyak yang kusiramkan sangat jauh dari yang dibutuhkan untuk membakar jasad seseorang.

Aku mencoba mendekat untuk mengetahui keadaan mayat itu. tapi tepat saat aku hendak melihat wajahnya, tiba-tiba sebuah tangan menarikku kedalam lubang yang kugali sendiri.

Seketika rasa takut dan rasa panikku membuatku kehilangan kesadaran.

Hawa dingin begitu menusuk di sekujur tubuhku. Aku mendengar suara-suara aneh dari sekelilingku.

Khikhikhi…
Ada suara tawa seorang wanita.

Grrrrr….
Raungan hewan buas, hingga suara tangis yang terdengar pilu.

Akupun membuka mata dan mendapati diriku berada di tempat berbeda. Di sekitarku terlihat pepohonan rimbun dengan kabut yang tebal.

Aku menyadari bahwa tubuhku terbaring di sebuah benda yang tertutup oleh ikatan bambu-bambu. Aku memperhatikan semuanya dan menyimpulkan saat ini aku sedang berada di dalam sebuah keranda.

Khikhikhikhi…

Di tengah kebingunganku tiba-tiba terlihat sosok wanita berwajah rusak melayang mendekat ke arahku. Ia melayang dengan baju putihnya yang lusuh berkibar dengan noda darah.

Ia mendekat dan matanya terus menuju ke arahku.

Aku ingin lari dari keranda ini, namun di sisi sebelahku sudah ada sosok pocong yang mememantauku dari belakang semak.

“To–tolong!! Tolong! Ibu!!” Teriakku mencari pertolongan siapapun yang mungkin bisa mendengar.

Sayangnya tidak ada tanda-tanda manusia lain di hutan ini.

Tangan kuntilanak itu meraba keranda dan mencoba menggapaiku. namun hanya jari-jari pucatnya yang bisa masuk dan mencoba menyentuhku.

“Pergi! Pergi!”

Aku menangis sejadi-jadinya meratapi kejadian ini. Namun bukanya pergi, semakin lama malah semakin banyak makhluk yang berkumpul di sekitarku.

Saat melihat keatas, seorang kakek dengan satu kaki tengah menatapku dari atas pohon dengan sebelah matanya yang bolong.

Dari arah bawah ada wanita tanpa kaki yang menyeret tubuhnya mendekat ke arahku.

Aku hanya bisa menangis sembari membaca doa-doa yang kubisa. aku ingin menarik nafas sedalam-dalamnya, namun aku sendiri tidak bisa mendengar nafasku.

Setelah cukup lama aku bertahan dalam keadaan ini, tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara doa-doa yang dibacakan oleh orang banyak dari salah satu sudut hutan. Perlahan satu persatu makhluk itupun meninggalkanku dan menjauh.

Memastikan tidak ada makhluk lagi di dekatku, aku berpikir untuk memaksa keluar dari keranda ini.

Aku mencari ikatan di salah satu sisi keranda dan ingin mencoba membukanya. Tapi tiba-tiba dari jauh terlihat sosok nenek yang menatapku.

Itu adalah nenek berambut putih yang pernah kulihat di rumah. ia hanya menatapku dan menggeleng seolah memberi isyarat.

Apa artinya aku tidak boleh keluar dari keranda ini?

Bagai menanti hal buruk terjadi, aku memilih tetap berada di keranda ini tanpa mengetahui apa yang akan terjadi. sementara itu, suara doa-doa yang dibacakan tadi mulai hilang dan kabut semakin tebal.

Sekali lagi muncul sosok-sosok mengerikan yang mendekat ke arahku. kali ini ada sosok yang jauh lebih mengerikan.

Sosok hitam besar keluar dari dalam kabut. Aku sekilas mengenal sosoknya. Sosok itu seperti yang aku lihat di halaman rumah tadi.

Ia menatapku dari ketinggian dengan penuh amarah. suaranya menderu meneteskan liur hitamnya yang jatuh ke keranda dan menimpaku.
Aku yakin makhluk ini sedang marah.

Semakin ia menggeram, semakin makhluk lain tidak berani mendekat.

Jelas makhluk ini begitu berbahaya. Aku tidak bisa berbuat apapun selain berdoa dan memasrahkan diri pada Tuhan atas apa yang akan terjadi.

Hingga sebelum sempat makhluk itu melakukan apapun, aku mendengar suara ayat-ayat suci dari suara yang kukenal.

aku mencoba mengikutinya sembari menutup mata menyerahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Pencipta.

“Mukti..! Mukti!! Tanganya mulai gerak pak!”

Aku mendengar teriakan ibu tak jauh dari telingaku.

Dengan segera aku memaksa membuka mataku dan mendapati diriku tengah berada di sebuah ruangan dengan dikelilingi banyak orang.

“Ibu?? Ibu??” Aku berteriak menangis memeluk ibu dan Gendis.

Pak Sartiman terlihat bernafas lega saat mengetahui aku telah mendapati kesadaranku.

“Ini di mana Bu? Mukti dimana? Mukti kenapa?” Tanyaku.

“Ini di Balai Desa, kamu udah dua hari nggak sadar Nak,” Jawab Ibu.

Dua ahri? Aku tidak merasa selama itu? Seingatku aku hanya beberapa jam setelah kejadian…

Aku berusaha mengingat apa yang aku lakukan sebelum kehilangan kesadaran.

“Bu! ada Mayat! Ada mayat dikubur di bawah dapur kita!” Teriakku menceritakan apa yang kutemukan.

Pak Sartiman mendekat dan menepuk bahuku.
“Sudah-sudah, jangan terlalu dipikir dulu.

Kami sudah urus semuanya,” ucap Pak Sartiman.
Ia Pun bercerita menemukanku terbaring di lubang yang kugali di dapur bersama sesosok jasad yang sudah gosong dan rapuh. Namun saat itu tubuhku kaku sekaku-kakunya tak bisa digerakkan sedikitpun.

Saat itu ibu histeris dan meminta bantuan warga untuk menolongku.

“Santet Balungmayit… ilmu hitam tingkat tinggi yang akan terus mengincar korbanya sampai semua keturunanya mati. Saat semua keturunan korbanya sudah mati, baru jasad itu bisa membusuk,” Jelas Pak Sartiman.

Gila, masih ada hal seperti itu di alam ini. Terlebih mereka menyimpan jasad yang mereka gunakan untuk media santet itu di rumah kami.

“Ada dua dukun dan seorang wanita Pak, mereka pelakunya,” ucapku.

Pak Sartiman ternyata sudah mendengar cerita itu dari ibu. menurutnya setelah santetnya digagalkan, ilmu itu akan berbalik dan meminta perapalnya sebagai medianya. Ia juga bercerita bahwa jasad itu sudah dibakar sampai habis.

Mengenai benda-benda yang ditanam di halaman, rupanya Pak Sartiman juga sudah menemukanya dan membakarnya.

“Jadi yang membuat warga desa kesurupan itu setan kiriman dukun itu?” Tanyaku.

“Benar, itu semua perbuatan mereka…”

Ibu bertanya apa kami sudah bisa menempati rumah itu lagi, Dan apa mungkin akan ada yang mengincar kami setelah kejadian ini?

Pak Sartiman menjawab bahwa dibakarnya Balungmayit seharusnya membuat dukun-dukun itu menerima imbasinya.

Dari penjelasan Pak Sartiman sepertinya ia sudah memvalidasi hal itu, namun ia tidak ingin memberi tahu caranya. Setidaknya ia ingin agar kami bisa tenang.

“Mas Mukti, Mas mukti tidur lama banget. Gendis takut! Mas Mukti mimpi apa selama itu,” tanya Gendis.

Aku mengingat apa yang terjadi saat tidak tersadar dan menceritakanya pada Pak Sartiman. Mengenai aku yang berada di dalam keranda di dalam hutan, mengenai sosok-sosok yang mengincarku, hingga sosok nenek-nenek yang memberiku isyarat.

Pak Sartiman mengatakan bahwa aku beruntung. Menurutnya, bila aku sampai keluar dari keranda itu, mungkin saja nyawaku tidak bisa selamat.

Apa itu berarti, nenek itu mencoba untuk menolongku?

Setelah kejadian itu, Pak Kades dan Warga mengijinkan kami untuk tidur di balai desa hingga rumah kami selesai dirapikan. Selama tinggal disana kami mendapat banyak cerita tentang rumah kami.

Ada yang bercerita bahwa rumah itu adalah saksi hidup dari perseteruan dua keluarga kakak beradik yang berakhir saling membunuh dan semua jasadnya dikuburkan di tanah itu.

Belum lagi ada cerita bahwa tanah itu adalah tempat pemujaan sekte sesat yang pada waktu-waktu tertentu sering mengantarkan tumbal manusia di tanah itu.

Sudah banyak generasi yang tinggal di desa ini, dan tanah itu selalu punya cerita mengenaskan di setiap generasinya.

Banyak jasad sudah dikubur di sana, banyak ritual sudah terjadi disana, dan banyak misteri yang masih tersembunyi di sana.

Yang pasti, tanah ini sangat tidak kayak untuk dihuni oleh manusia

Setelah lulus SMA aku mendapat pekerjaan dari seorang juragan di kota untuk mengantar hasil desa ke kota. Awalnya aku hanya dibayar serabutan, namun seiring berjalanya waktu akupun mendapat kepercayaan untuk memegang satu armada mobil bak untuk pekerjaan ini.

Aku mendapat gaji bulanan, dan tak jarang petani-petani desa juga sering memberiku tanda terima kasih karena sudah melariskan jualan nya. Padahal aku sudah cukup senang bisa membalas budi pada warga desa yang sering membantuku mengenai masalah rumahku.

Aku sempat bertanya pada bos apakah aku boleh menerima uang dari mereka. Namun menurutnya, selamat bisa memastikan hasil panen tetap memiliki kualitas yang baik itu bukanlah masalah. Lagipula bos pun sadar, gaji yang ia berikan masih jauh dari standar gaji karyawan kota.

Sesuai nazarku dulu, saat aku mulai bisa mencari uang, yang kuutamakan adalah mencari tempat tinggal untuk pindah dari rumah itu.

Akupun mengontrak sebuah rumah sederhana yang tidak begitu jauh dari sekolah Gendis. Walau kecil, Ibu dan Gendis merasa nyaman dan betah.

Aku cukup lega saat akhirnya bisa meninggalkan rumah yang berdiri di tanah wingit itu.

Setelah yakin Ibu dan Gendis nyaman tinggal di kontrakan, akupun meminta ijin pada ibu untuk menghancurkan rumah yang berdiri di tanah wingit itu.

Ibu setuju, terlebih aku sudah memiliki cukup tabungan untuk membeli tanah yang suatu saat akan kami bangun rumah kami sendiri.

Kisah mengenai Tanah Wingit berakhir di sini.

Kini tanah itu dialihkan sebagai tempat pemakaman, Namun biasanya warga luar desa yang tidak mendapat lahanlah yang dimakamkan di sana. Sedangkan warga desa sendiri masih takut memanfaatkan lahan itu bahkan untuk memakamkan kerabatnya.

Walau begitu, sampai saat ini aku tidak pernah mendengar cerita menyeramkan lagi tentang tanah wingit. Entah memang sudah tidak ada, atau memang aku yang sudah tidak pernah mencoba untuk mendekatinya lagi.

-TAMAT-

Akhirnya kisah ini selesai juga.
Semoga kisah ini bisa diambil positifnya dan dibuang negatifnya.

Terima kasih
close