Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KAFANI AKU (Part 1)

Dunia hitam tentu erat dengan hal mistis juga ghaib, kisah ini mengangkat tentang dunia perdukunan yang mengedepankan ilmu sesat. Unsur kematian tanpa pengampunan dan landasan taubat.

Dan akhirnya, hingga sampai ajal menjemput, bumi masih mendera sang mayat.

2004 tepat aku duduk di bangku kelas dua SMU di Klaten Jawa Tengah. Liburan sekolahku kali ini aku pergunakan untuk pulang ke kota kelahiranku di Magelang, yang masih dalam lingkup kehidupan di lereng gunung Merbabu.

Niat hatiku pulang selama dua minggu liburan akhir semester 2 ini agar bisa melakukan pendakian seperti biasanya jika liburan datang.

Namun kepulangan kali ini ternyata mendapat sebuah kisah yang sangat tragis, melekat erat dalam ingatan sampai saat ini, yaitu pembantaian seorang dukun cabul yang terjadi di desaku.


"Dadi awak mu arep muleh Magelang le, gak bantu bapak, ibu, ngurus catering?" (Jadi kamu mau pulang Magelang nak, tidak bantu bapak, ibu, ngurus catering?) tanya pak Waluyo, orang tua angkatku.

"Njih bileh Bapak angsal kulo mantuk rumiyen." (Iya bila bapak memperbolehkan saya pulang dulu) jawabku dengan harapan diijinkan.

"Yo wes liburan sikek ae, adek mu nek gelem yo diajak, ben silaturahmi keluarga kono!" (Ya sudah liburan dulu saja, adik mu kalau mau ya diajak, biar silaturahmi dengan keluarga sana) suruh pak Waluyo.

"Njih pak, matur suwun!" (Iya pak, terimakasih) balasku.

Jadi aku, Alzikra semasa SMA tinggal di kota Klaten karena diangkat anak oleh salah satu murid mbah Kyai, dari SD sampai lulus SLTP. Aku ikut menimba ilmu, mondok juga sekolah di salah satu pesantren dekat rumah.

Pak Waluyo ini sering menghadiri pengajian rutin setiap malam jumat yang diadakan oleh mbah Kyai.

Aku anak yatim, yang hidup dari belas kasihan orang. Ketidak mampuan ibu sebagai orang tua tunggal, harus menitipkan anak-anaknya di madrasah, karena beliau bekerja diluar kota. Almarhum abah sudah berpulang ketika aku masih berusia enam bulan.

Mbah kyai menitipkan amanah pada pak Waluyo untuk membantuku melanjutkan sekolah sampai tamat SMA. Bukan karena tidak mampunya pesantren, tapi agar aku lebih mengenal dunia yang sama sekali tidak aku tahu.

Selama ini aktivitasku hanya sebatas madrasah, pondok, dan liburan pulang, setiap hari Sabtu sampai Senin pagi, pulang ke pondok lagi.

Jadi, setiap kepulanganku hari sabtu, aku selalu mengikuti jejak langkah abang tertuaku menanjaki beberapa gunung, masuk hutan sebagai pengisi waktu. Hidupku memang tidak seberuntung anak pada umumnya,

tetapi Tuhan menghadiahkan diri ini dengan bisa tumbuh di tengah keluarga yang sangat hebat. Hal itu sudah menjadi syukur yang tanpa terucap dan juga tak terbayarkan.

***

Malam itu aku berkemas memasukkan beberapa baju ke dalam tas agar besok bisa pulang, bertemu nenek, juga mas Pur. Andai mbak Ita bisa pulang dari pondok, pasti bisa melepaskan rindu dengannya.

Tiba-tiba..
Ketukan pintu kamar terdengar, panggilan Farida anak gadis satu-satunya orang tua angkatku memanggil dari luar.

"Mas, dipanggil bapak!" katanya.

"Iyo dek, sebentar," jawabku.

Lalu aku keluar menghampiri pak Waluyo yang tengah duduk menunggu diruang tamu.

"Le, lungguh kene!" (Nak, duduk sini) suruh pak Waluyo.

"Njih pak," kataku lalu duduk di hadapan beliau.

"Iki sangumu karo Ida, pesen bapak ora usah munggah gunung yo, ewangi simbah wae ning tegal, ojo malah kluyuran."

(Ini uang sakumu sama Ida, pesan bapak tidak usah naik gunung ya, bantu nenek saja ke sawah, jangan pada pergi) nasehat beliau terdengar.

"Njih pak." (Iya pak) jawab ku.

Ya.., walau pun sebenarnya keinginan hatiku, liburan kali ini memang ingin menanjak, alias muncak gunung walau hanya yang paling dekat. Ingin kembali memeluk alam yang sudah sangat aku rindukan.

Tapi amanah seorang wali tetaplah menjadi wasilah tanpa terbantahkan, meskipun beliau hanya wali angkatku, tetapi doa serta kasih sayangnya sangat terasa sebagai orang tua sendiri. Apa lagi selama ini hanya memiliki Farida putri semata wayangnya.

Aku dengan Farida juga sudah seperti adik kakak, meski baru satu tahun tinggal bersama, kami juga satu sekolah, dan umur kami juga sama meski lebih muda dia beberapa bulan, hingga menjadi adik buatku.

Farida ini selain cerdas, ibadah rajin, kepekaan kebatinannya juga pernah aku jabarkan di kisah -

"KLARAS SABRANG LELAYU"

(Namun kisah itu tidak dapat dilanjut karena terlalu berbahaya).

Singkat cerita, pagi itu setelah berpamitan dengan bapak juga ibu, kami berdua berangkat naik bus menuju Jogja, lalu disambung bus jurusan Magelang. Perjalanan tidak lama hanya lima jam pun sampai, yang bikin lama karena kami harus singgah dulu di kota,

selain memutari pasar Rejo Winangun, Pecinan, kami juga singgah di alun-alun kota melihat patung pahlawan Pangeran Diponegoro. Saat hari hampir sore baru kami naik angkutan umum sampai ke rumah.

Sambutan bahagia dari sang nenek sangat terasa tanpa terbantahkan, ketika cucunya pulang. Bulik, beserta keluarganya juga menyambut dengan rasa syukur tanpa terkata. Apa lagi melihat Farida yang kali ini ikut pulang.

Seperti kehadiran Ratu bagi mereka, karena jasa orang tua Farida terhadap keluarga dan terutama untuk diri ini pribadi.

"Bapak kalian ibu sami sehat nduk? Alhamdulillah kerso tuwi simbah!" (Bapak juga ibu semua sehat nak? Alhamdulillah mau melihat simbah) ucap nenek bahagia.

"Alhamdulillah mbah sedoyo sae, sehat. Simbah kados pundi pawartosipun?" (Alhamdulillah nek semua baik, sehat. Nenek bagai mana kabarnya?) tanya Farida.

"Nggih simbah sehat, alhamdulillah." (Iya nenek sehat, alhamdulillah) jawab beliau memberitau kabar dirinya.

***

Desa kami walau letaknya dekat dengan jalan raya, jurusan Magelang ke Salatiga, kalau sudah mendekati maghrib lalu lalang kendaraan sudah bisa mulai dihitung dengan jari, apa lagi setelah malam, suasana terasa sepi, adem, dan tenang.

Jauh berbeda dengan di Klaten, yang seakan memang tidak ada henti dari keramaian.

Setelah duduk ngobrol dengan keluarga, sebelum menjelang waktu maghrib datang, aku bergegas mandi. Kemudian bersiap-siap untuk pergi ke masjid desa bersama nenek, juga Ida. Masku masih belum pulang, katanya sedang membawa tamu melakukan pendakian ke Ungaran.

Bikin iri sih, tetapi pulangku kali ini tidak mengantongi restu untuk mendaki.

Malam harinya kami lewati waktu ngobrol bercengkrama bersama, mendengarkan pituah kesepuhan dari nenek, sambil menemani beliau menganyam tikar.

Hingga semua masuk kamar masing-masing untuk beranjak tidur. Dan subuh kembali membangunkan kami, siap menjalani hari.

Joging pagi yang selalu jadi rutinitas setiap pagi selalu aku lakukan, untuk menjaga stamina diri.

Karena olah raga yang gampang dilakukan hanya itu, kalau tidak sempat pagi diganti sore hari. Saat melakukan aktivitas itu, aku melihat dua julangan gunung tinggi menghias alam, Merapi dengan asap yang membubung ke langit, Merbabu dengan gagah berdiri di sebelahnya.

Saat joging aku bertemu dengan Ari, sahabat masa kecilku. Alhasil aku malah menghentikan jogingku dan memilih mengobrol dengannya.

"Kapan bali bro?" ('Kapan pulang bro) tanya Ari, sahabat kecilku.

"Eh bro, wingi sore teko ngomah." (Ehh bro, kemarin sore tiba di rumah) jawabku.

"Kabare lak yo sehat to?" (Kabar nya sehatkan) tanyanya, sambil menyodorkan rokok ke arah ku.

"Sehat, bagas waras, sekolah mu piye?" (Sehat, selalu sehat, sekolah kamu bagaimana) tanyaku padanya.

"Yo biasa wae, sekolah tetep kayo biyosone" (Ya biasa saja, sekolah tetap seperti biasanya) jawabnya.

Kami berdua duduk di atas jembatan menikmati rokok, sambil ngobrol dengan keseruan masing-masing, menceritakan berbagai pengalaman. Aku memang merokok sedari kecil, hal ini sangat tidak bagus dan jangan dicontoh.

Nakal merokok ini dimulai setelah sunat kelas tiga SD sampai saat ini. (Jangan ditiru)

Tak terasa waktu bergerak dan pagi menghilang. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, aku beranjak pulang.

Dalam obrolan tadi ada kisah yang menarik perhatianku. Ari sempat menceritakan soal beberapa bulan lalu ada pengakuan orang.

Kabarnya di desa sebelah geger. Ada peristiwa tragis, yaitu sebuah pengakuan wanita tengah hamil disetubuhi oleh seorang dukun.

***

Hawa nafsu dan keangkaramurkaan yang paling berbahaya adalah yang berasal dari dalam diri pribadi seseorang. Karena hal tersulit yang dilakukan oleh manusia itu sendiri yaitu, melawan ego dirinya sendiri.

Setelah mendengar cerita dari Ari, muncul pertanyaan yang mengusikku. Masih ada jaman sekarang orang percaya adanya dukun, orang pinter yang bisa ngobatin penyakit? Kenapa masih pada keblinger dengan semua itu! Sementara di puskesmas desa kan buka setiap hari untuk melayani masyarakat.

Hari sudah menjelang siang, aku masih duduk dengan Ida yang tengah membantu nenek menyerut pelepah lidi kelapa, untuk membuat sapu. Sesaat aku hanya bengong saat teringat cerita itu, kok bisa ya dukun menghamili pasiennya sendiri. Kalo hal itu benar terjadi tentu bisa dipidanakan.

"Mikir opo le?" (mikir apa nang) tanya nenek.

"Bade tanglet mbah, nopo leres wonten dukun ting mriki?" (Mau tanya nek, apa benar ada dukun disini) tanyaku dengan sang nenek.

"La arep opo le? Percoyo kok karo dukun." (La mau apa nak? Percaya kok sama dukun') Ucap nenek dengan tetap fokus menyerut lidi.

"Namung tanglet mbah!" (Hanya tanya saja nek) Jawabku merasa tidak enak hati.

Walau keluarga kami hidup dengan kata sederhana saja, namun soal sakit, kami lebih mempercayakan berobat ke puskesmas atau pak mantri (dokter desa), ketimbang mempercayai yang namanya orang pintar atau dukun.

Mendengar perkataan simbah tentang dukun, membuat wajah Farida terlihat sedikit kecut, karena Pak Waluyo sendiri juga merupakan orang yang membuka praktek spiritual, namun dengan ranah yang berbeda, karena berpedoman dengan iman.

Melihat hal itu aku hanya diam, lalu beranjak pamit untuk pergi ke sawah, walau tidak mengerjakan apa-apa di sana, hanya mencari angin, dan berharap ada hal seru yang dapat aku lakukan. Kemudian aku meninggalkan Farida dengan nenek berdua di rumah.

Setelah berpamitan, aku mengambil golok untuk dibawa, dan berangkat menuju sawah.

Tampak sebagian sawah sudah gundul karena saat ini sudah memasuki musim panen padi, jadi hanya tumpukan jerami yang membentang dipetakan persawahan, di jemur oleh para pemilik. Elang hitam yang terbang berputar-putar menghias angkasa, membawa ingatanku pada masa kecil jika di sini kami semua suka bermain layang-layang saat pulang liburan dari pesantren.

"Kapan mantuk gus?" (Kapan pulang gus) Tanya budhe Monah tetangga nenek yang kebetulan melewati jalan ditepian sawah.

"Kolo wingi sonten Bude!" (Saat sore kemarin bude) jawabku dengan menyalami beliau.

"Mangkeh pinarak Gus!" (Nanti mampir gus) katanya dengan ramah.

"Injih Budhe, matur suwun!" (Iya budhe, terimakasih) jawabku, membalas keramahan beliau.

Kenapa warga sini memanggil saya, juga abangku dengan panggilan 'Gus', karena kami masih ada keturunan yang dituakan di perkampungan ini. Dahulu, dimana saat itu semua penduduk sini masih belum mengenal yang namanya agama,

pertama kali orang yang memasukan agama disini adalah kakek buyut dari almarhum abah. Beliau cikal bakal Muslim pertama disini yaitu Mbah Mojo Geni, nama beliau dikenal warga. Dan kisah mbah Mojo ini sudah saya tuliskan dalam kisah SEGORO GENI.

***

Saat aku duduk di gubuk pondok di tepian sawah, sambil makan pepaya yang kebetulan masak menggelantung di pohon.
Mas Supri datang hendak mencari rumput, namun Ia memilih menghampiriku karena melihatku duduk seorang diri.

"Weh nglaras mas Al?" (Wah santai mas Al) tanyanya.

"Maem gandul mas, hehe.." (Makan pepaya mas, hehe) Jawabku memberi tahu juga menawarinya.

Kami akhirnya ngobrol dan ngerokok bareng sambil memakan pepaya. Anehnya dari obrolan kami, aku baru tau kalau ternyata tetanggaku ini, sudah lama menunggu aku pulang, dan kebetulan saat ini bertemu.

Ternyata dia punya maksud untuk meminta doa atau amalan. Ia ingin memikat seorang gadis yang sudah lama dia suka namun tidak berani untuk mengutarakan rasa itu.

Untuk cerita mbah MOJO GENI bisa kalian baca di sini.

"Nek menawi wonten dongo, nopo jopo montro ingkang ampuh, kulo disukani mas. Kan kalih sedulur piyambak!" (Kalau seandainya ada doa, atau ajian mantra yang sakti, saya dikasih mas. Kan dengan saudara sendiri) ucapnya menyampaikan maksud.

"Lah mas, kan wonten dukun sakti to mriki, mosok nyuwun kalian kulo. Mboten gadah nopo-nopo kulo mas!" (Loh mas, kan ada dukun sakti disini, masak mintanya dengan saya, tidak punya apa-apa saya ini mas) jawabku dengan menahan tawa karena permintaan yang tidak aku mengerti.

"Lah nek nyuwun kalih dukun lak benten jalure mas, mboten sah, niku ilmu ireng!" (Loh kalau minta dengan dukun kan beda jalurnya mas, tidak sah, itu ilmu hitam)

Mendengar itu hampir tersedak aku menahan tawa yang ternyata sudah tidak bisa dibendung lagi. Keluarlah tawa ini dengan mulut yang aku tutup dengan tangan, takut pepaya didalam mulut ini nyembur kemukanya.

"Mas, lek sampean ancenne tresno temenan kalian mbake niku, mbenjing sonten budal kalih kulo ampun ajrit ditampik." (Mas, kalau kamu memang suka beneran dengan mbaknya itu, besok sore pergi dengan saya jangan takut ditolak) ucapku untuk membangkitkan rasa percaya dirinya tumbuh.

Menurutku, manusia tidak akan pernah tau rasa orang lain tanpa ditanya, dan manusia tidak akan pernah terlihat niat tulusnya tanpa ditunjukan. Untuk itu hal seperti ini hanya membutuhkan mental saja, tanpa perlu doa, atau mantra dalam menaklukan hati.

Kembali berserah pada sang penentu, jika berani menumbuhkan rasa, maka utarakan dengan ketulusan, dan kembalikan semua hal kepada Tuhan semata.

Setelah merasa yakin dengan apa yang aku katakan akhirnya dia berpamitan melanjutkan kegiatannya, dengan bermodal hati yang lebih tenang, memiliki sedikit keyakinan untuk besok diterima cintanya oleh gadis itu.

Sementara aku juga tidak tau apa yang bakal terjadi, apa diterima atau ditolak! Hanya bisa mendoakan niat baik mas Supri.

Akhirnya aku bisa menyimpulkan jika ternyata sebagian pemuda disini masih percaya akan klenik, mantra, atau hal magis untuk meluluhkan hati seseorang. Sama halnya mempercayai dukun. Dasar ilmu yang dilihat hanya sebatas ilmu hitam juga putih, sementara belum paham ilmu inti sejati sebagai manusia.

***

Adzan dhuhur berkumandang dari jauh, aku turun ke sumber air dibawah, dimana hutan bambu rindang itu memiliki sumber air. Dulu aku pernah beberapa kali mandi juga mencari ikan disini.

Sesampainya di pancuran yang terbuat dari bambu itu, aku mengambil wudhu, saat mau beranjak lagi balik ke gubuk tidak sengaja mataku melihat jika adanya sesaji di atas mata air ini.

Aku hanya membiarkannya saja karena menurutku ada dua makna, sesaji untuk bisa dimaknai dalam hal positif juga negatif. Mungkin manusia lain yang tidak paham hanya akan menunjuk jika tindakan itu salah karena percaya dan meminta pada setan, sesat, juga tahayul memberi sesembahan pada astral, itu jika dipandang dengan pemahaman ilmu yang kurang dan cenderung negatif menilai.

Jika dipandang dengan hal bijak dan ilmu positif, manusia memberikan sesaji itu sebagai ungkapan rasa syukurnya karena karunia yang didapat, hingga dia bisa berbagi apa yang dimiliki dengan makhluk lain.

Binatang misalnya, dengan adanya sesaji itu, binatang di sekitar akan menemukan makanan yang manusia berikan, menjadi keberkahan untuk keseimbangan lain.

(Semua kembali pada sudut pandang masing-masing, dan niat orang juga masing-masing, kita tidak bisa menunjuk apapun hal itu salah tanpa mengetahui dasar semua itu)

Sehabis ibadah, aku beraktivitas memanjat pohon kelapa, menurunkan beberapa kelapa yang sudah tua, membawa pulang ke rumah, agar bisa jadi bahan bawaan dan jadi rantai makanan untuk kami. Semua ini adalah keberkahan-Nya.

Sekecil apapun jangan luput dari rasa syukur, Tuhan selalu memberikan rizki tanpa harus menyusahkan umatnya.

Saat aku sampai rumah, rumah tampak sudah sepi tidak ada orang, entah kemana perginya nenek dengan Farida. Saat aku makan siang, tiba-tiba terlihat warga beramai-ramai membicarakan sesuatu dengan keras namun tidak bisa aku pahami.

Mereka semua melewati sisi samping rumah yang kebetulan disitu jalan menuju lapangan besar. Aku langsung meletakkan piring yang masih penuh dengan nasi, keluar rumah dan bertanya dengan rombongan orang-orang dengan wajah beringas itu.

"Pak.. pak... wonten nopo njih?" (Pak... pak... ada apa ya) tanyaku.

"Dukun cabul lagi diajar wargo!" (Dukun cabul sedang dihajar masa) Jawab salah satu dari mereka.

Mendengar itu aku ikut dengan rombongan warga, penasaran melihat apa yang sebenarnya terjadi. Memastikan dengan mata kepala ini, agar lebih jelas, dan tau duduk perkaranya.

Sesampainya di lapangan, orang sudah berkumpul riuh, sangat ramai, mereka berteriak penuh emosi, dan umpatan kebencian. Aku menerobos kerumunan orang-orang yang tengah menyaksikan hal brutal itu.

Terlihat olehku, seorang laki-laki tengah dihajar secara membabi buta oleh warga dan para pemuda desa, tubuh itu diikat disalah satu tiang gawang yang ada dipinggir lapangan. Mukanya berlumuran darah, baju sobek compang-camping. Aku mendekat agar tau siapa dukun ini.

Ternyata dia adalah Pak Panjalu (warga dari desa sebelah yang memiliki istri orang sekampung dengan kami).

Aku melihat orang-orang terus menghantamkan berbagai benda yang mereka pegang; kayu, batu, besi, juga bata merah. Apapun yang orang-orang itu temukan digunakan untuk senjata. Namun yang kusimpulkan dari peristiwa yang kulihat bahwa Pak Jalu bukan sembarangan orang, luka akibat benda-benda yang merobek daging juga kulitnya, seketika menutup kembali setelah darah keluar menetes.

Tatapan itu penuh kebencian dan menandai semua orang yang menyiksanya. Hanya senyum sinis yang menghias menyungging mengejek mereka semua. Merah darahnya keluar bukan berarti raganya terluka. Tatap mataku beradu pandang dengan Pak Jalu, hanya tatapan itu memberi isyarat padaku agar jangan ikut mengotori diri seperti warga lainnya.

Warga yang menyaksikan itu ada yang merasa iba, ada juga yang jengkel karena kelakuan yang pak Jalu buat. Teriakan tidak berhenti sampai hari beranjak sore, dan warga yang kesetanan itupun lambat laun mulai lelah menghajar dukun sakti ini. Sampai semua berhenti dengan sendiri-sendiri, lalu teriakan lelaki setengah tua itu terdengar.

"Yen aku ora mati dino iki, kowe kabeh sing bakal mati!" (Kalau aku tidak mati hari ini, kalian semua yang akan mati) ucapnya dengan amarah.

Mendengar ancaman itu kembali para pemuda tersulut emosi dan menghadiahkan bogeman-bogeman sesuka mereka semua. Terus di layangkan emosi mereka semua, sepuas dan selelah mereka. Namun tetap saja manusia itu hanya tersenyum dengan luka yang kembali pulih dan menutup normal.

***

Selalu pandang, di atas langit masih ada langit. Sesumbar akan kesombongan karena sakti itu hanya kebodohan yang jika dituruti dan mempercayai bisikan penunggu ilmu akan membuat kita lupa jika masih ada Tuhan yang Maha atas segala Maha.

Semakin lama, hingar-bingar amukan masa semakin menjadi, mereka kembali tersulut amarah ketika mendengar ancaman yang terus keluar dari mulut Pak Jalu. Kemudian Pak Jalu menunjukan kesaktiannya dengan memutuskan tali yang mengikat dirinya.

Semua masa mundur ketakutan ketika melihat jika dukun ini kini terbebas dan bisa melawan siapapun.

"Maju kabeh yen arep cumepak pati!" (Maju semua jika ingin mendekati mati) Pak Jalu menghardik semua orang yang berada disitu.

Beberapa pemuda yang merasa tertantang pun akhirnya beramai-ramai kembali memukuli laki-laki itu, menjatuhkannya ke tanah, lalu kembali mengikat tubuhnya.

Walau sesakti apapun dia, tenaga masa tentu lebih unggul dan membuat sang dukun kewalahan.

Tiba-tiba ada seorang warga yang datang kembali membawa rantai untuk mengikat tubuh yang terus melawan itu.

Aku menghampiri nenek juga Farida yang ternyata juga ada disitu untuk mengajak mereka pulang. Semua manusia sudah diselimuti amarah mereka dengan setan-setan yang semakin bertengger dalam hati, membutakan mata kemanusiaan.

Ini bukan memberi jera, tapi lebih pada ambisi masa untuk menaklukan dukun itu, bahkan bisa menjadi keinginan mereka untuk membunuh sesama manusia.

"Ayo muleh-muleh!" (Ayo pulang-pulang) kataku pada Farida juga nenek.

"Oalah Jalu, kok mentolo temen urip mu!" (Oalah jalu, kok kasihan banget hidup kamu) ucap nenek sambil berjalan pulang.

Sampai malam hari kericuhan itu tidak berakhir, penuh dengan teriakan manusia tanpa surut dengan kata-kata lancang, seakan kehidupan hanya milik mereka semua, menganggap kesalahan orang lain menjadi ketentuan untuk mereka sirnakan dari muka bumi ini.

Mereka lupa jika Tuhan sang pemilik samudra pengampunan, tanpa memilah siapapun manusia itu!

Sehabis isya aku duduk di depan rumah ditemani oleh Farida, yang merasa aneh melihat semua ini. Beberapa kali dia menanyakan perihal penyiksaan itu.

"Mas, memang ga ada aparat kepolisian atau apa gitu yang bisa menghukum bapak itu. Daripada seharian penuh disiksa tanpa berhenti!" dia mempertanyakan keheranannya.

"Ya ada lah pihak berwajib tentunya, mungkin belum disampaikan kabar ini ke mereka atau entah bagaimana aku juga kurang tau Nduk." jawabku.

"Sesakti apapun manusia jika diperlakukan demikian ujungnya mati juga!" imbuhnya dengan sedikit menatap kosong.

"Iya juga sih, tetapi sepertinya warga juga sudah kesetanan, apa lagi mendengar beberapa kali ancaman dari pak Panjalu itu!" Jawabku.

Tidak berapa lama, terlihat ada motor yang melaju dengan kecepatan tinggi, dan menyeret manusia yang terantai itu. Kilapan aspal menyala, memercikan cahaya, karena gesekan besi rantai.

Terseret, berguling tanpa arah, manusia itu disiksa, sampai habis sebagian pakaiannya tergerus jalanan. Darah bekasnya itu menggaris di atas jalan hitam itu.

"Astagfirullah," teriak Farida.

Kami berdiri menatap dengan rasa tidak tega, melihat manusia diperlakukan seperti hewan. Gerombolan masa sudah berkerumun memegang kayu juga besi, menunggu motor itu balik membawa korban kearah mereka.

Suara geberan motor itu sangat keras terdengar memutar balik dari kejauhan kembali melaju kencang menyeret raga laki-laki itu. Sesampainya di hadapan orang-orang itu, mereka kembali memukulinya seperti ingin membunuh binatang.

"Kamu masuk saja nduk!" suruhku ke Farida.

"Iya mas!" jawabnya langsung berlalu masuk ke dalam rumah.

Peristiwa itu menjadi beban bagiku, ingin menolong tidak bisa, membiarkan juga ikut kena imbas dosa, karena mata ini menyaksikan. Niat hatiku ingin mecoba mendekat lalu berusaha sebisanya berbicara dengan mereka,

belum sampai ditempat itu, terlihat empat orang menggotong batu paving beton, menimpakan pas di kepala laki-laki yang tergeletak itu.

Prakkkkkk....
Beton itu hancur menjadi beberapa bagian, pecah juga kepala orang sakti itu.

"Mati... wes, sokor, bongko, modar....,"
Kata itu terus keluar saling mengumpat, dengan kebanggaan diri saat mereka semua dirasuki oleh setan dalam dirinya.

Tubuh itu terlihat kejang, Ia belum juga mencapai matinya mesti darah dan otak telah berhamburan. Matanya masih melotot tanpa berkedip dengan darah yang menggelembung dari hidung, hingga cucuran darah segar keluar dari mulut.

Penyiksaan itu belum berakhir sampai datang mas Pur (abang kandungku) yang baru saja tiba dari mendakinya.

"Astagfirullah kalian kalau mau nyiksa orang jangan seperti ini kasihan dia, cabut saja cincin dijari itu biar mati!" Mas Pur berkata dengan rasa ibanya.

"Ga usah melu-melu gus, nek wedi doso!" (Tidak usah ikut-ikut gus, kalau takut dosa) teriak salah satu dari mereka.

"Aku ga melu-melu Kang, cuma ngertio, menungso iki bakal nuntut bales!" (Aku tidak ikut campur kang, cuma ketahuilah manusia ini akan menuntut balas) jawab mas Pur, lalu berlalu pergi pulang ke rumah.

Tubuh tidak berdaya itu terus kejang-kejang, suaranya ngorok seperti ingin mengucapkan sesuatu namun mulut terus keluar darah yang menyumbat tenggorokannya.

Aku hanya mendekat lalu tepat dihadapannya jongkok meminta maaf sambil mencabut cincin di jari tengah sebelah kanan. Hingga suara itu terhenti, tubuhnya lemas terkulai mati, tidak bernafas lagi.

Satu persatu aku menatap mereka semua yang kini berselimut ketakutan dengan sendirinya, menandakan setan yang menyusup raga mereka sudah pergi dengan kemenangan.

Aku berdiri di atas kubangan darah bercampur otak manusia, lalu memberikan cincin itu ke salah satu pemuda yang ikut menghakimi si dukun sampai mati.

"Iki cincin sing marai sakti, cekelen, kubur jasad.e pak Jalu. Wes podo puaskan?"

(Ini cincin yang membuatnya sakti, peganglah, kubur jasadnya pak Jalu. Sudah pada puaskan) ucapku lalu beranjak pulang setelah
menyerahkan cincin milik dukun itu.

Belum juga kaki ini sampai depan rumah, motor itu kembali menyala lalu menyeret mayat itu, entah dibawa pergi kemana, tanpa memandang jika itu mayat yang mesti selayaknya di layakkan setelah kematiannya!

***

Malam itu aku duduk sambil bercerita soal kejadian itu dengan masku, membahas semua hal, hingga mengambil sudut pandang kami berdua. Jika kesalahan itu tanggung jawab diri dengan sang pencipta tanpa adanya manusia memberi hukuman dengan penyiksaan sampai menghilangkan nyawa.

Akan tetapi jika dipandang dari segi ilmu hak, perzinahan seperti itu hukumnya sangat berat.

"Kejadian ini tidak akan berhenti sampai disini!" kata mas Pur.

"Berlanjut ke ranah hukum maksudnya mas?" aku bertanya.

"Lebih dari itu le!" balasnya sambil menghela nafas.

"Maksudnya?" aku mulai penasaran.

Hanya senyum itu tersungging memperlihatkan jawaban misterinya, Mas Pur memang selalu begitu, menuntun diriku untuk mencari tau jawabannya sendiri. Karena sudah sangat hafal dengan sikap dan sifat itu, aku hanya membalas senyumnya tanpa bertanya lagi.

"Manungso urip iku tanpa duweni kasucen, anamung nglakoni lakune kersoning Alloh. Ojo ugem marang howo lan nafsu mengko mundak keblinger!"

(Manusia hidup itu tanpa memiliki kesucian, hanya menjalani perjalanan atas kehendak Tuhan, jangan mengikuti hawa nafsu nanti nanti bakal celaka) ucap nenek keluar dari dapur yang di ikuti Farida membawakan dua cangkir kopi untuk kami berdua.

Beliau duduk dengan kami memberikan wejangan kehidupan, mengasah kembali keyakinan diri cucunya! Kami bertiga hanya menyimak tuturan kebajikan itu, agar dapat mawas diri, berjalan dengan kehendak takdir yang tergaris.

"Iling-iling yo le, urip iku tinandur, lan bakal nuwi pawinih besok ing alam kono! Thukulan uga ora bakal nguwuh tanpa tirumat kang bener."

(Diingat ya nak, hidup itu menanam, dan akan memanen nanti di alam sana! Tanaman juga tidak akan berbuah tanpa dirawat dengan benar) kata beliau memberi gambaran kehidupan.

Makna dari nafas kehidupan ini adalah untuk menuju hal apa yang kita terapkan, akan memberi hasil untuk diri pribadi di kehidupan yang sesungguhnya. Gambaran seperti itu langsung menjadi sebuah ganjalan dihatiku, dengan mengingat peristiwa tadi, yang tanpa mempertimbangkan perbuatan keji mereka.

Manusia bersalah tidak akan usai dengan menambahkan kesalahan lain, justru akan menjadi kodrat keburukan dimana anugrah sebagai insan sempurna itu hanya gelar semata.

Kembali dalam kodrat diri jika manusia tersempurnakan dengan akal sehat, agar bisa memilah kebenaran, merangkum kebaikan, mengendalikan diri dari empat unsur hawa nafsu, menekan diri agar tidak merambah dalam bujuk rayu iblis.

Itu yang menjadikan kita semua menyandang makhluk dengan karunia sempurna.
SEDULUR PAPAT, LIMO PANCER. (mengendalikan empat hawa nafsu, dengan akal sehat).

Terdengar ketukan pintu juga salam seseorang yang tengah datang bertamu. Mengabarkan kondisi mayat tadi.

"Assalamuallaikum, Kulo nuwun." (Permisi) Mbah Muhroji, sesepuh desa datang bertamu.

"Waallaikumsalam, monggo wo mlebet" (Membalas salam, silahkan 'pak tua' masuk) jawab kami, lalu mas Pur mempersilahkan beliau masuk.

Sesepuh itu datang mengabarkan pada abangku agar memberi tahu para pemuda juga warga untuk menguburkan jasad itu dengan layak, karena setelah diseret mayat itu hanya dilempar ke dalam liang lahat, tanpa mensucikan,

memakaikan kafan, langsung di kubur dengan kondisi mengenaskan seperti itu. Maksud mbah Muhroji kenapa menyuruh abang karena peranan abang di desa sebagai ketua pemuda!

Mendengar penjelasan itu mas Pur langsung berlari meninggalkan rumah. Tanpa berpamitan langsung meninggalkan kami semua yang masih terduduk di situ.

***

Pahami diri, agar mampu berjalan meniti hidup saat ini, juga kehidupan sejati yang akan datang!

Peristiwa memilukan itu menyebabkan munculnya babak baru di kehidupan kami.

Kematian Pak Panjalu menjadi awal dari teror arwah dukun yang meminta dikuburkan selayaknya manusia, dia menginginkan ketenangan dalam akhir penantian di alam barzah.

Namun ternyata hati manusia yang memperlakukannya secara tidak selayak ternyata belum memiliki rasa iba, sehingga belum paham untuk menggapai amanah memperlakukan jenazah selayaknya kodratnya setelah menuai ajal.

Kematian bukan akhir dari hidup, tetapi awal dari kenyataan bahwa kita akan meniti hidup yang sesungguhnya.
Sudah menjadi konkwensi bahwa kita harus mempertanggungjawabkan segalanya, menuai apa yang telah manusia tanam dalam perjalanan fana ini.

Sebesar gunung pahala akan mendapati ratusan balasan nikmat, begitu juga sebaliknya, setitik dosa juga akan mendapatkan deranya ratusan kali lipat.

Namun waktu saat ini bukan menjadi hal mudah untuk mengevaluasi apakah kita yang beruntung lolos sebagai hamba atau hanya sampah kehidupan yang tidak akan pernah berhasil melanjutkan kembali kehidupan disisi Nya.

Dera itu membelenggu abadi jika mutlak diri menentang ketetapan yang sudah ada dalam perjanjian antara Tuhan dengan umatnya.

***

"Kae malah arep menyang ngendi?" (Itu malah mau kemana) nenekku meneriaki mas Pur yang berlalu meninggalkan kami semua.

"Kulo susul riyen mbah!" (Saya susul dulu nek) ucapku berpamitan.

Aku lalu ikut berlari mengejar kemana langkah abangku pergi dengan sangat buru-buru, entah mau kemana. Beberapa kali aku memanggilnya baru langkah itu terhenti, lalu memandangku setelah membalikan diri kearahku.

"Arep ngendi mas?" (Mau kemana mas) tanyaku pada mas Pur.

"Sampean tunggu ngomah ae, aku arep ngusulke ning pak carik, yen mayit iku kudu disampurnaake!"
(Kamu tunggu diruamah saja, aku mau isulkan 'bertamu' ke pak kades, jika mayat itu harus disempurnakan. 'dikuburkan selayaknya manusia') jawab abangku dengan sangat buru-buru.

"Aku melu mas." (Aku ikut mas) kataku, ingin menemaninya.

"Wes ga usah le, pean omongi Armani wae nek mas nunggu ning dalem.e pak carik yo!" (Sudah tidak usah le, kamu bilangin Armani saja kalau mas menunggu di rumahnya pak jades ya) suruhnya padaku.

Tanpa berlama-lama dia melanjutkan kembali langkahnya, aku menuruti perkataanya pergi ke rumah sahabat baiknya.

Seperti biasa kampungku selalu sepi ketika malam hari, ditambah dengan adanya kejadian pembunuhan itu, semakin sunyi tanpa terlihatnya aktivitas siapa pun di luar rumah. Jam memang sudah menunjukkan waktu hampir berada dipertengahan malam,

gelap menyelimuti jalan karena memang penerangan lampu di jalan jarang ada. Lampu di depan rumah para warga juga hanya mampu menerangi halaman saja.

Saat dipersimpangan jalan menuju makam tiba-tiba ada perasaan tidak nyaman, merinding datang saat hidung ini mencium bau darah yang sangat amis. Aku hanya berhenti ketika saat mendapati benturan energi ghaib seperti ini, ingin mengetahui setan apa yang akan menampakkan wujudnya!

Tidak seberapa lama tepat dari jauh bayangan manusia berjalan terpincang, terlihat sangat kesusahan melangkah dengan berbunyi rantai yang ia seret. Gemrincing berderat terdengar.

"Pak Panjalu!" ucapku lirih, dengan menunggu sosok itu mendekat.

Berjarak tidak seberapa jauh baru terlihat dengan jelas, tangan dan kakinya sudah sama sekali tidak berbentuk dengan tulang-tulang yang patah. Pecahnya kepala itu masih menganga terbuka, semua muka juga sekujur tubuhnya hancur dengan daging terkoyak,

memampangkan hancurnya tubuh itu. Mulutnya terbuka lebar dengan sobekan pipi akibat tulang rahang yang mencuat keluar.

Aaaaaaaaaaaaaa....

Suara itu terdengar semakin jelas, ketika jarak kami sudah berdekatan. Mulut itu masih mengeluarkan darah yang berwarna hitam pekat.

"Innalillahi wainnalilahi rojiun"
Kata itu yang terucap saat melihat kondisi pak Panjalu.

Langkahnya terhenti saat dia berdiri beberapa langkah di depanku, hanya suara ngorok yang terdengar, tanpa mengucapkan apa-apa. Beberapa langkah aku maju mendekat meski bau amis itu semakin membuatku pusing. Tetapi dengan sempoyongan dan susah payah, mayat itupun bergerak mundur.

Seakan jarak ini sudah dia tetapkan seolah-olah supaya kami tidak bisa saling mengapai. Karena penasaran kembali aku melangkah maju, tetapi begitu lagi dia mundur.

"Pak Jalu maunya apa?" Aku bertanya agar tau maksud arwahnya mendatangiku.

Tanpa mengucap apapun, lalu aku menoleh ke arah lain ketika sebuah panggilan terdengar. Tidak jauh dari situ kang Rofi sedang berjalan, lalu melihatku tengah berdiri di sini. Aku kembali arahkan pandangan ke pak Panjalu, namun sosok itu sudah tidak terlihat,

menghilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apapun. Hal itu membuat aku hanya menghela nafas dengan rasa yang tidak karuan diperlihatkan kondisi jasad itu.

"Nopo wonten mriku mas?" (Ada apa disitu mas) tanya kang Rofi.

"Mboten nopo-nopo kang, ajeng ting griyone kang Armani!" (Tidak apa-apa kang, mau menuju rumahnya kang Armani) jawabku.

"Ngapunten mas, kulo niki ajrit." (Maaf mas, saya ini ketakutan) Tiba-tiba ucapannya terdengar memberi tahu.

"La wonten nopo kang?" (Lah ada apa kang) tanyaku ingin tahu.

"Griyo kulo digedori tiyang mas, namung dipadosi mboten wonten sinten-sinten!" (Rumah saya digedor orang mas, namun dicari tidak ada siapa-siapa) dia menjelaskan, dengan kepanikan.

Mendengar perbincangan kami, ada beberapa warga yang datang menghampiri, mereka menceritakan jika rumah mereka semuanya digedori oleh orang, namun ketika mereka memastikan keluar dan mencari keseluruh halaman juga pekarangan rumah tidak ada siapa pun.

Mereka juga mendengar bunyi seretan rantai terus berjalan mengelilingi rumah sambil mengedor pintu juga jendela.

Peristiwa itu dirasakan oleh semua orang yang tengah berkumpul, mereka memastikan jika mulai diteror oleh setannya dukun itu,

sementara penguburannya masih sangat baru, hanya hitungan jam yang lalu. Janji itu langsung dibayarnya tanpa menunggu lama, jika pak Jalu menuntut balas, kematiannya akan membawa kegentingan baru.

Para warga yang kini merasa ketakutan itu beramai-ramai mendatangi rumah pak lurah, meminta pendapat atas ketakutan yang mereka alami. Kini malam jadi ricuh dengan berita baru yang sangat cepat menyebar, hingga hampir semua warga megalami teror yang sama.

Tanpa harus mendatangi kang Armani, ternyata dia sudah datang kemari, berbarengan dengan Arif adiknya. Lalu aku menyampaikan apa yang disuruh oleh abang. Dia pun langsung bergegas menyusul mas Pur di rumahnya pak carik, karena di sana pasti ada hal penting yang dibahas mengenai hal ini.

Setelah semua bubar aku menuju pulang, untuk memastikan jika nenek juga Farida tidak apa-apa di rumah. Tetapi aku tetap merasa tenang karena adik angkatku itu sudah biasa soal astral, bersinggungan dengan ghaib juga tidak membuatnya gentar.

"Apa benar ini semua perbuatan pak Jalu! Jika dirinya belum merasa tenang dalam liang kuburnya!" terus pertanyaan itu berulang kali muncul dalam benak.

Ingin rasanya ditemui lagi, lalu sosok mayat itu menyampaikan maksudnya agar bisa tau keinginan yang dimaksudkan. Tetapi hati ini juga yakin jika arwah itu masih merasa belum disemayamkan dengan baik, jadi sangat wajar jika semua ini terjadi, meminta pertanggung jawaban semua warga demi ketenangan dirinya.

"Assalamuallaikum" salamku ketika tiba dirumah.

"Waallaikumsalam" jawaban itu terdengar dari Ida yang lalu membukakan pintu.

"Mana nenek nduk?" tanyaku padanya.

"Simbah sare mas!" (Nenek tidur mas) jawabnya.

Aku dan Farida duduk meminum kopi buatannya yang kini sudah dingin. Aku Menceritakan pada Farida jika warga sudah mulai merasa diteror oleh arwah dukun itu. Namun gadis di depanku ini hanya tersenyum, senyumannya menjadi jawaban bagiku jika dirinya seakan sudah mengetahui semua itu.

"Yang semua warga rasakan juga aku sendiri mendengar mas, hanya tidak menghiraukan hal itu!" katanya memberi tahu.

"Jadi tadi rumah ini juga digedor-gedor ya nduk?" aku bertanya karena penasaran.

"Iya mas, dan feelingku juga mengatakan jika itu bukan perbuatan wajar manusia, makanya aku biarkan saja tanpa mengintip keluar!" ujarnya.

"Ya sudah istirahatlah nduk, sudah larut!" kataku padanya.

***

Malam ini aku hanya duduk sambil menikmati kopi juga rokok, berharap jika gangguan itu muncul, agar dapat aku hampiri mayat berjalan itu. Tetapi sampai jam tiga dini hari semua yang diharap tidak kunjung datang. Justru abangku yang kini sudah pulang ke rumah.

Menceritakan jika besok pagi semua sepakat untuk membongkar makam itu, mensucikan mayat, memakaikan kafan, dan digelar tahlilan agar kampung ini bisa tenang, warga tidak merasa mencekam melalui malamnya dalam rumah mereka sendiri.

Sampai subuh berkumandang aku masih terjaga dalam kamar, lalu nenek mengajak untuk pergi ke masjid. Belum sampai dimasjid yang tidak seberapa jauh dari rumah, seorang bapak-bapak lari ketakutan, dengan muka pucat menghampiri kami. Berteriak meminta tolong jika dirinya melihat Pak Jalu.

"Mbah.. mbah.. ono Setane pak Jalu!" (Nek.. nek.. ada setannya pak Jalu) Ucap bapak itu yang memberi tahu kami.

"Setan opo, wani mateni uwong kok wedi setan!" (Setan apa, berani membunuh orang kok takut setan) Nenek berkata dengan sedikit menyindirnya.

"Sumpah mbah, aku lagi wudhu ditemoni kok!" (Sumpah nek, aku sedang wudhu dilihatin kok) kembali bapak itu menjelaskan, sambil bergidik ngeri. Lalu kembali berlari kerumahnya tidak jadi ikut berjamaah di masjid.

Jamaah memang bisa dihitung dengan jari pagi ini, tidak seperti dulu meski subuh tetap saja masih banyak warga yang beribadah. Entah lantaran mereka takut datang ke masjid karena setan itu, atau memang sudah lama tempat ibadah ini sepi! Aku yang jarang pulang tidak tau akan pastinya!

Ternyata masih saja banyak manusia yang bisa ditakuti jin atau arwah orang mati yang tidak tenang seperti ini, Entah apa yang menjadikan semua itu sebagai sebuah kengerian. Padahal menurutku semua juga akan melewati fase kematian, yang hidup akan mati untuk kembali.

Sekarang mereka takut melihat wujud yang menakutkan. Namun mengapa saat beramai-ramai menghajar secara membabi buta, mereka semua tidak merasa takut melihat bentuk yang sama, justru setelah menjadi mayat, semua menjadi ketakutan sendiri-sendiri.
Manusia banyak lucunya!

Sepulangnya beribadah di masjid aku tertidur karena memang semalaman tidak bisa tidur memikirkan semua peristiwa ini, dan juga menunggu yang tidak datang, yaitu arwah Pak Panjalu.

Jam sembilan pagi abangku membangunkan untuk ikut datang membongkar makam sang dukun, bersama dengan warga lainnya. Ajakan itu langsung aku iyakan untuk hadir ke makam bersama dengan abang dan yang lain.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close