Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMPAH SEBELUM KEMATIAN (Part 2) - Dia kembali bersama dendam

“Nggak! Nggak mungkin! Kamu sudah mati!!”

Bu Siti selalu terbangun dengan teriakan yang sama. Suaminya, Ardiman mencoba menenangkannya dan mencari tahu mimpi apa yang membuatnya seperti itu.

“Lek Samin, Aku ngeliat lek samin ngeliatin kita dari luar, Mas.. Sama seperti dulu sebelum ia mati. Ia memandangi kita dari seberang jalan.”

Ardiman sebenarnya merasa khawatir dengan mimpi istrinya itu, kepercayaan mereka masih menganggap bahwa mimpi itu adalah sebuah pertanda. Namun ia tidak ingin istrinya cemas dan meminta istrinya hanya menganggap mimpi itu sebagai kecemasanya saja.

Malam itu terasa begitu panjang untuk Siti. Ia terbangun dengan mata sembab dan sempat terlambat membuatkan sarapan untuk anaknya Ndari yang sudah duduk di bangku SMA. Siti pun berusaha menenangkan dirinya dengan memperbanyak aktivitas diluar pada hari itu.

Namun saat ia telah berada di rumah dan matahari mulai tenggelam, ia tersentak. Ia melihat sesuatu yang aneh berada di seberang rumahnya.

Lek Samin? Bukan.. itu tidak seperti di mimpinya.

Ia melihat Erna berdiri di seberang rumahnya dengan wajah pucat sembari menggandeng kedua anaknya dengan tatapan mata yang sayu…


Dia kembali bersama dendam

Malam itu terlalu mencekam untuk Erna yang masih kesulitan untuk berdiri di kamar anak-anaknya. Sosok pocong yang melayang di atas tubuh kedua anaknya yang masih tertidur membuatnya tak mampu menahan rasa takutnya.

“Pergi!! Pe—pergi!” Teriak Erna dengan suara yang gemetar.

Sosok itu tidak beranjak dari tempatnya, sebaliknya pocong itu menoleh dan menunjukkan wajah yang sangat dikenali oleh Erna.

“Sa—Samin?”

Menyadari hal itu wajah Erna pun semakin pucat. Ia sadar bahwa bila sosok itu benar adalah adiknya Samin, ia pasti membawa dendam yang begitu besar.

“Jangan, Min! Jangan anak-anakku!” Teriak Erna.

Tapi wajah pocong lek samin berubah bengis seketika. Raut wajah yang menunjukkan kebencian terpampang menatap Erna. Ia kembali menatap kedua anak yang tertidur dengan gelisah di atas kasur itu dan meneteskan cairan hitam kental yang tumpah dari mulut dan setiap lubang di wajahnya.

Erna memaksa dirinya bergerak untuk menjemput anaknya, tapi…

Bruggggh!

Pocong Lek Samin jatuh menimpa kedua anak itu dan seketika menghilang begitu saja. Erna menoleh ke segala arah dan tidak lagi mendapati keberadaan pocong Lek Samin di kamar itu.

“Nak.. bangun! Bangun nak!” Erna mencoba membangunkan kedua anaknya itu. Tapi ada yang aneh pada tubuh mereka.

Tak ada cairan hitam yang diteteskan oleh pocong lek samin, tapi setelah kejadian itu tubuh kedua anak erna menguning, dan mulai tumbuh bintil-bintil. Mereka berdua gelisah kesakitan namun tak mampu membuka matanya.

Erna pun bergegas menghampiri suaminya untuk meminta pertolongan, namun saat sampai di kamar ia mendapati suaminya tertidur dengan gelisah dengan kondisi yang sama seperti anak-anaknya. Ia melihat sosok Lek Samin tengah berdiri di sudut kamar.

Kali ini Erna sudah pasrah, ia tahu bagaimana ia dan keluarganya akan berakhir malam ini. Ia mengambil sebuah kertas dan menuliskan sesuatu. Dengan tatapan matanya yang kosong, ia menoleh sejenak ke arah pocong adiknya itu dan berjalan ke kasurnya.

Erna pun tidur memeluk suaminya yang terlihat kesakitan dan menutup mata menerima semua yang akan terjadi padanya.

Pocong Lek Samin pun melayang mendekat secara perlahan untuk menuntaskan dendamnya pada Erna dan keluarganya.
...

Di rumahnya, Bu Siti terlihat sedang memandang sebuah kamar. Sebelumnya kamar itu tertutup oleh lemari besar dan tidak pernah ia dan semua anggota keluarganya ketahui keberadaanya sejak kecil. Beberapa bulan setelah sepeninggal Raden Sasmito, Pak Rusdi dan beberapa saudara tertua mereka lah yang menemukan kamar itu.

Bu Siti sedikit gemetar melihat pintu kayu tua yang sudah lapuk itu, ia seolah merasa menyesal sudah memasuki tempat itu bersama kakak-kakaknya sebelumnya.

Kringgggg…

Suara telpon berbunyi mengagetkan Bu Siti.

“Halo..”

Ndari mengangkat telepon itu dan mengetahui bahya Pakde Sunar yang menelepon mereka. Sunar adalah adik langsung dari Rusdi, kakak dari Siti.

“Bu.. Bulek Erna meninggal..” ucap Ndari dengan wajah bingung.

Mendengar ucapan itu seketika wajah Bu Siti pucat. Ia bergegas mengambil gagang telepon itu dari tangan Ndari.

“Mas? Sing nggenah kamu!” (Mas? Yang bener kamu!) Bu Siti tidak percaya dengan ucapan Pakde Sunar.

“Sumpah, aku ora ngapusi. Erna, suaminya, dan anak-anaknya ditemuin nggak meninggal di rumahnya. Ini aku baru sampe..” Jelas Pakde Sunar.

Bagaimana cara Bu Siti menjelaskannya. Baru saja semalam ia melihat adiknya menatap rumah dari seberang bersama kedua anaknya. Waktu itu Bu Siti langsung membuka gorden, namun wujud Erna dan kedua anaknya tiba-tiba menghilang. Sekarang ia tahu bahwa itu adalah sebuah pertanda.

Atau mungkin, sebuah peringatan…

Di Pemakaman Erna, wajah cemas terlihat di wajah seluruh keluarga Raden Sasmito. Itu bukan wajah sedih akan kematian adek mereka. Tapi raut wajah cemas atas beberapa hal yang tidak wajar yang terjadi akhir-akhir ini.

“Bener, Mas. Ini pasti ulah samin..” ucap Siti pada kakaknya, Rusdi.

“Jangan ngawur kamu,”

“Tapi bener  mas, kita sendiri saksinya Erna nelpon kita hari sebelumnya. Dia bilang Samin datang ke rumahnya…”

Pak Rusdi masih tidak bisa menerima ucapan diluar nalar itu. ia masih terus menyangkal dan menganggap keluarga adiknya itu menginggal karena penyakit.

“Samin? Samin ke rumah Erna? Maksudnya gimana?”

Ternyata dari jarak yang tidak begitu jauh, Pakde Sunar mendengar perbincangan Bu Siti dan Pak Rusdi. Ia pun mendekati mereka mempertanyakan apa maksud perbincangan mereka berdua.

“Mbuh, Si Siti itu! Dia ketakutan sama orang yang sudah mati!” Ucap Pak Rusdi yang terlihat malas memperpanjang perbincangan itu dan memilih untuk meninggalkan mereka.

Bu Siti melihat Sunar kakaknya yang ia anggap lebih bijak dari Rusdi. Ia yang sudah benar-benar cemas dengan situasi ini pun menceritakan tentang apa yang terjadi kemarin.

“Erna sempat menelepon kalau Samin datang ke rumahnya…”

“Ndak mungkin, Siti. Samin sudah meninggal..”

“Nah kami juga berpendapat begitu, tapi Erna bersikeras kalau yang datang adalah samin. Anak-anaknya juga mengenalinya,”

Sunar yang mendengar cerita itu pun kebingungan dengan cerita dari Siti. Tapi dari sini ia sedikit mendapatkan firasat yang tidak enak. Ia membuka kemungkinan bahkan bisa saja kematian Erna tidak wajar.

“Terus, semalem aku juga ngeliat Erna ada di seberang rumah. Dia menatap rumah kami dari sana dengan wajah pucat. Pas Saya mau samperin, tiba-tiba Erna dan anak-anaknya sudah tidak ada.”

Pakde Sunar menghela napas mendengar cerita itu.

“Mungkin benar, Ti. Ada yang tidak wajar.” Balas Pakde Sunar yang mulai mengetahui awal mula kematian Erna.
...           

Setelah selesai dari pemakaman, mereka memutuskan untuk berbicara sebentar sebelum kembali ke kota masing-masing. Di Situ Pakde Sunar menunjukkan sebuah coretan di sobekan kertas yang ia temukan di rumah Erna.

“Kita sudah melakukan hal yang mengerikan.. Dia kembali, Samin…

Dia kembali untuk membalas dendam atas apa yang telah kita lakukan.

Kematian tanpa siksaan adalah hukuman teringan untuk kami…”

Mereka mengenal tulisan tangan itu dan meyakini bahwa itu benar-benar tulisan Erna.

Tatapan Bu Siti dan Pakde Sunar mengarah kepada Pak Rusdi. Tidak banyak yang bisa mereka bicarakan. Tulisan itu membuat mereka tidak bisa menyangkal akan keanehan yang terjadi.

Keesokkanya warde Desa Danumulyo dibuat keheranan dengan kedatangan beberapa orang yang mengenakan pakaian sangat ‘nyentrik’. Seorang pria berumur yang mengenakan blangkon dan tangan yang dipenuhi batu akik. Orang-orang itu mendatangi rumah Bu Siti yang sekaligus peninggalan Raden Sasmito. Di sana Pak Rusdi, Bu Siti, Bu Enggar, Bu Kusuma, Dan Pak Sarjo sudah menunggu di sana.

Pak Rusdi yang mengumpulkan mereka. Kelima orang itu adalah anak dari Raden Sasmito yang tinggal di desa Danumulyo dan di sekitarnya.

“Kenapa sampe segininya to, Mas?” Tanya bu kusuma.

“Iyo, aku kan sudah bilang kalau nggak mau ikut-ikutan..” Tambah Bu Enggar.

Kusuma dan Enggar adalah anak dari Raden Sasmito yang hidup paling sederhana. Kusuma hidup bersama suami dan seorang anaknya dengan mengelola warung sembako untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan Enggar bekerja sebagai guru dan suaminya di bekerja sebagai pegawai.

“Semua sudah terlanjur. Kita Cuma bisa mencari cara untuk mengatasi masalah ini…”  Balas Pak Rusdi.

“Tapi apa kita nggak cukup dengan meminta maaf pada Samin dan mengirim sesajen? Kenapa kita harus memanggil dukun kayak gini?” Tanya Pak Sarjo.

“Bodoh kamu Sarjo! Kalau istri kamu dibunuh, memangnya kamu mau memaafkan pelakunya Cuma dengan sesajen?!” Balas Pak Rusdi.

Sarjo dan yang lain tidak lagi menentang ucapan kakak tertuanya itu. Mereka sudah melihat dengan jelas bahwa diantara mereka Rusdilah yang paling khawatir.

“Rudi Arto Sasmito…”

Dukun itu muncul dari sebuah kamar yang sebelumnya disembunyikan di balik lemari kayu besar. Kamar tua yang berisi barang-barang antik dan tidak terawat. Ada sebuah guci di tengah kamar dan sebuah cerimin besar dengan kayu berukiran ular yang mencolok di ruangan itu.

“Njih Mbah Sondo?” Balas Pak Rusdi sopan.

“Kalian sudah tahu apa yang disembunyikan orang tua kalian?” tanya dukun yang bernama Mbah Sondo itu.

Pak Rusdi menoleh ke arah saudara-saudaranya sebelum menjawab ke dukun itu.

“Sepertinya sudah, mbah. Namun kami tidak tahu kalau ada lagi yang Bapak atau ibu saya sembunyikan lagi..” Jawabnya.

Mbah Sondo memainkan janggutnya dan mendekati mereka berlima.

“Tentu saja, kalian sudah tahu. Di dalam guci itu sudah ada foto seorang perempuan dan gumpalan rambut. Kalian yang melakukannya?”

Pak Rusdi sedikit ragu, tapi ia memutuskan untuk menjawabnya.

“I—iya, Mbah..”

Mbah Sondo mengangguk dan meminta anak buahnya menutup pintu kamar itu dan kembali ke ruang tamu.

“Sebenarnya kalian mempunyai pilihan untuk tidak meneruskan apa yang telah dilakukan oleh orang tua kalian,” Ucap Mbah Sondo sambil menggeleng menyayangkan perbuatan anak-anak Raden Sasmito itu.

Mereka berlima sedikit merunduk. Walau begitu sepertinya Pak Rusdi terlihat belum menyesali perbuatannya.

“Tapi Mbah Sondo bisa menolong kami kan?” Ucap Pak Rusdi.

Mbah Sondo meletakkan cangkir kopinya dan tertawa.

“HAHAHAHA… Jangan buat saya tertawa! Jangan panggil saya Mbah Sondo kalau tidak sanggup menangani hal seperti ini. Tenang saja, Mahar kalian tidak akan sia-sia!”

Wajah mereka berlima terlihat sedikit lega mendengar ucapan itu.

Mbah Sondo mengatakan bahwa malam ini ia akan menginap di makam tempat Samin dan istrinya dimakamkan. Sementara itu Pak Rusdi dan saudara-saudaranya dibawakan beberapa benda berisi kembang, rempah, dan berbagai isi ubo rampe.

“Letakkan benda ini di bawah atau di samping kasur yang ditiduri oleh anggota keluarga kalian. Nyalakan kemenyan dan  biarkan terbakar sampai habis.

Malam ini jangan keluar rumah, sesajen itu akan memanggil sesuatu yang menjaga rumah kalian…”

Bu Siti sedikit merinding mendengar perintah itu, tapi ucapan mbah Sondo benar-benar meyakinkan mereka bahwa ia bisa melindungi mereka dari teror roh adik mereka.

Matahari mulai terbenam, Mbah Sondo dan kedua anak buahnya meninggalkan keduaman Sasmito dan pergi ke pemakaman. Kelima anak Raden Sasmito menuruti perindah dukun itu untuk menyalakan sesajen di bawah kasur di rumahnya masing-masing.

Malam semakin larut. Desa Danumulyo sudah sepi dari orang-orang yang beraktivitas. Ada sekumpulan warga yang melakukan ronda di malam itu. Sejak awal mereka sudah merasakan perasaan yang tidak enak. Terlebih mereka sudah tahu mengenai kedatangan dukun dan berkumpulnya keluarga Sasmito itu.

Saat itu seorang warga yang bertugas untuk ronda mampir dulu ke mushola untuk buang air kecil sementara dua orang yang lainnya menunggu di depan mushola. Hawa dingin begitu menusuk saat itu.

Suara langkah kaki seseorang terdengar meninggalkan mushola. Mereka mengira orang itu adalah temannya yang sudah selesai untuk menumpang untuk buang air kecil. Namun saat menolah, seketika wajah mereka pucat.

Yang keluar dari mushola adalah sosok yang cukup mereka kenal.. Lek Samin.

Sosok itu berjalan begitu saja dan bahkan menoleh sejenak dan menunduk dengan sopan ke arah petugas ronda sebelum meninggalkan mereka. Mereka berdua terpaku tak mampu berkata-kata sampai temanya kembali dan menyadarkan mereka.

Awalnya teman mereka itu tidak percaya dengan cerita mereka berdua, namun setelah berjalan beberapa saat mereka melihat sesuatu yang membuat mereka hampir jatuh lemas.

Di hadapan mereka melintas sesosok pocong yang melayang dari arah pemakaman menuju ke desa. Jelas.. begitu jelas…

Dari wajahnya mereka bisa memastikan bahwa sosok pocong yang melayang itu adalah pocong Lek Samin. Mereka pun tak mampu menahan rasa takut mereka dan melarikan diri.

Sementara itu di rumah anak-anak Raden Sasmito mereka sudah melakukan apa yang di perintahkan Mbah Sondo. Sesajen sudah diletakkan dan kemeyan sudah terbakar hingga habis. Mereka mencoba untuk tidur dengan lelap di rumahnya masing-masing. Namun tidak bisa.

Tepat saat malam melewati puncaknya hal yang sama terjadi di rumah mereka.

Suara ketukan pintu…

Tok tok… tok tok…

Suara ketukan itu berbunyi berkali-kali. Mereka tahu hal itu tidak wajar dan mencoba untuk tidak menghiraukannya, namun suara itu terus terdengar seolah sengaja untuk mengganggu ketenangan mereka.    

Bu Kusuma yang mulai tidak tahan dengan gangguan itu mencoba melawan rasa takutnya sekaligus menjawab rasa penasaranya. Ia meninggalkan kamarnya untuk mengintip siapa yang mengetuk pintu rumahnya itu.

Tapi… Bu Kusuma terhenti. ia terjatuh saat melihat sesuatu yang melayang-layang menghadangnya seolah melarangnya untuk melangkah maju.

“Ojo lungo…” (Jangan pergi…)

Suara itu terdengar dari bayangan hitam yang berada di hadapan Bu Kusuma. Namun itu hanya sesaat sebelum bayangan itu tiba-tiba menghilang seperti terhisap oleh sesuatu.

Suara ketukan itu berhenti…

Bu Kusuma mencoba menunggu beberapa saat sampai akhirnya suara ketukan itu tidak terdengar lagi. Ia pun berjalan perlahan mendekati pintu rumahnya dan berniat mengintip dari kaca jendelanya.

Bu Kusuma menyesal melakukannya…

Seketika nafasnya berderu cepat, tubuhnya panas dingin melihat apa yang ada di depan rumahnya saat itu.

Ada sosok yang menanti dengan tenang di sana. Sesosok pocong…

Wajahnya penuh amarah seolah bersiap menimpakan semua dendamnya pada semua orang yang tinggal di rumah itu. Bu Kusuma pun lari terbirit-birit kembali ke kamarnya. Ia mengecek ke arah sesajen yang diberikan oleh mbah sondo. Ia merasa tenang ketika sesajen itu masih ada. Ia mengambil kesimpulan jangan-jangan sosok makhluk yang melarang dirinya tadi adalah suruhan mbah sondo untuk melindungi keluarganya.

Malam itu terasa begitu panjang, tapi pada akhirnya ia pun menemui pagi.

Hari berikutnya, kelima anak raden sasmito itu saling menghubungi dan sama-sama menceritakan bahwa mereka mengalami kejadian yang sama. Ada ketukan pintu dan mereka sama-sama melihat pocong lek samin di depan rumah mereka, namun sosok itu tidak bisa masuk.

Pak Rusdi pun merasa senang bahwa dukun yang ia pekerjakan ternyata benar-benar dapat melindungi mereka. Ia pun ingin menemui Mbah Sondo untuk menanyakan hasil dari ritualnya semalam.

Belum sempat mengumpulkan anak-anak raden sasmito, Pak Rusdi dan Pak Sarjo bertemu di jalan dan mendapati ada keramaian di desa. Seseorang yang baru saja berlari terengah-engah bercerita dengan wajah pucat.

“Pemakaman! Di Pemakaman!!” ucap orang itu berusaha mengatur nafasnya.

“Ada apa di pemakaman?”

“Ada mayat! Ada mayat di pemakaman!!” Lanjut orang itu.

Seketika suara kasak kusuk terdengar diantara warga. “Jangan becanda kamu, namanya pemakaman ya isinya mayat”

Orang itu menggeleng, ia menarik nafas dalam-dalam dan menceritakan apa yang ia lihat.

“Ada mayat tiga orang di sana. Pakaian mereka seperti dukun…”

Mendengar ucapan itu Pak Rusdi dan Pak Sarjo pun bergegas menuju ke pemakaman dan benar-benar mendapati apa seperti yang warga desa itu ceritakan.

Itu Mbah Sondo dan kedua anak buahnya

Mereka mati dengan mengerikan. Seluruh kulitnya menghitam dan darah keluar dari setiap lubang di wajahnya. Belum ada yang berani menyentuh jasadnya itu.

Melihat hal itu wajah Pak Rusdi pucat. Ia sudah melihat langsung pocong lek samin malam itu. Sekarang ia melihat bahwa seorang Mbah Sondo saja tidak bisa melindungi mereka.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close