Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 4) - Dewi Larasati


Lacip semakin terkejut, begitu pun semua orang yang ada disitu. Namun tak tampak takut sama sekali dalam wajah Lacip,
"sudah kuduga, pasti kau yang akan ada di sini!" ujar Lacip kemudian, sambil berdiri. Nadanya sombong dan menantang.

"Katakan pada bendoromu untuk keluar! Aku tidak ada urusan denganmu!" Ucap Lacip lantang.

Macan putih itu mengaum dengan keras sebagai jawaban atas ucapan Lacip. Suara aumannya memekakkan telinga, menggema memecah kesunyian.

Seribu orang, pasukan yang dibawa Lacip berasal dari latar belakang yang berbeda. Orang-orang yang punya kemampuan yang berbeda. Hampir separuh dari mereka, berteriak kesakitan sambil menutup telinga. Ada beberapa orang yang langsung muntah darah lalu limbung, tak sadarkan diri. Sebagian lagi, ada yang dari telinga mulut, hidung, pori-pori, mengeluarkan darah tapi masih sanggub berdiri. Ada juga yang tampak sangat kesakitan tapi tidak ada tanda tanda luka fisik, sisanya langsung duduk bersila memejamkan mata.

Sementara Lacip, masih berdiri tegak, tertawa terbahak-bahak.

"Ha...ha...ha..., hanya segitu kemampuanmu, macan putih!"

Kali ini tanpa ba-bi-bu macan itu langsung menyerang Lacip. Terjadi pertarungan sengit antara keduanya. Macan putih mulai tampak terdesak. Bebepa kali tersungkur saat beradu kekuatan dengan Lacip.

Lacip terus mendesaknya, hingga akhirnya lacip melakukan pukulan telak yang tidak mampu dihindari, macan putih itu tumbang. Terkapar muntah darah. Saat terkapar, wujudnya berubah menjadi seorang pemuda tampan berpakaian serba putih. Pemuda itu berusaha bangkit, tapi Lacip tidak memberinya kesempatan.

Lacip kembali menghajarnya. Lacip seperti orang kesehatan menghantamkan setiap tinjunya, tanpa perlawanan yang berarti. Pemudah itu berusaha menahan serangan Lacip dengan kedua lengan.

Lacip kembali tertawa terbahak-bahak.
"Sudah kubilang aku tidak ada urusan denganmu, kau malah menantangku, sekarang kau takkan kuampuni!"

Lacip mencabut senjata, mengayunkan tinggi-tinggi, siap memenggal kepala pemuda itu, tapi sebuah suara mencegahnya.

"Nggak isin opo kowe mateni macan sing wis sekarat? ra mbok patheni engko lak yo mati dewe." (nggak malu apa kamu membunuh hariamau yang sudah sekarat? nggak kamu bunuh juga dia bakal mati.) Lacip mengehentikan niatnya, kembali menyarungkan senjata. 

"Wir methuo, ojo ndelik ning kele'e bendoromu!" (Wir keluarlah, jangan bersembunyi di ketiak tuanmu!) 

"Ha ha ha..., aku nyapo ngurusi awakmu. Leyeh-leyeh ning emperan karo ngrokok klobot, ra pingin po awakmu?" (Ha... ha... ha..., aku kenapa mesti menggubri dirimu? sedang bersantai di emperan, menikamati rokok klobot, apa kau nggak pengen?)

Setelah Mbah Wir menyelesaikan kalimatnya, Lacip langsung balik badan, meninggal halaman rumah keluarga Surodiko. Seluruh pasukan mengekor di belakangnya. Tergesa, menuju rumah tengah. Langkahnya setengah berlari, jelas dengan amarah yang meluap-luap. Sementara seperampat dari pasukannya terluka parah. Langkah mereka tertatih mengikutinya.

Mbah Wir sedang leyeh-leyeh sambil menikmati rokok klobot ketika Lacip dan pasukannya memasuki halaman rumah tengah. Mbah Wir sama sekali tidak bergeming, mengacuhkan kehadiran Lacip dan pasukannya. Merasa diacuhkan,  Lacip berang, memerintahkan anak buahnya untuk menyerang Mbah Wir. Namun rumah  sudah dipagari dengan pagar gaib. Sehingga tidak ada satu pun yang mampu menginjakkan kaki di undakan pendopo.

Setiap kali kaki mereka hendak menyentuh undakan pendopo, pasti terpental. Akhirnya Lacip sendiri yang maju, rupanya dia pun mengalami nasib yang sama.

Lacip mencoba membuka pagar gaib, tetapi tidak berhasil. Beberapa anak buahnya yang memiliki kekuatan supra natural juga bergabung, itu pun tidak banyak membantu. Akhirnya, mereka menyerah. Lacip yang besar mulut dan arogan berteriak,

"Metuwo Wir, ojo delik ning njeru kurungan koyo kodok ning jeru bathok!" (Keluarlah Wir, jangan bersembunyi di dalam kurungan seperti katak dalam tempurung!)

Mbah Wir terkekeh mendenagr ucapan Lacip,
"He...he...he..., awakmu kliru Cip, dayoh kok ra kulo nuwun, yo mesti ae ra dibukakne lawang." (He...he...he...,Kamu kliru Cip, bertamu kok tidak mengucap salam, tentu saja nggak dibukain pintu.)

Setelah menyelesaikan ucapannya. Mbah Wir, beranjak meninggalkan tempat duduknya, berjalan menuju halaman. Tersenyum ramah menatap Lacip pasukannya. Sementara wajah orang-orang yang ditatapnya adalah wajah-wajah garang penuh amarah dan kebencian.

"Ono opo to kok do teng prengut, medayoh kok karo ngemu nesu." (Ada apa kok pada cemberut, bertamu kok sambil memendam amarah.) Mbah Wir  kembali terkekeh.

"Wis, rasah kakean bacot!" (Sudah, tidak usah banyak bacot!) Lacip menimpali sambil memberi isyarat kepada pasukannya untuk menyerang, pertempuran pun pecah. Jelas sangat tidak seimbang.

Pertarungan yang tidak seimbang itu berlangsung beberapa lama. Memang belum ada satu orang pun dari mereka yang berhasil menyentuh tubuh dari Mbah Wir. Namun terlihat Mbah Wir mulai terdesak.

Sepeminuman teh telah berlalu, mereka masih terus bertarung dengan sengit. Mbah Wir mulai kewalahan. Hingga suatu ketika senjata salah satu dari mereka hampir saja membabat pundak Mbah Wir.

Namun tiba-tiba pembunuh bayaran itu mengerang kesakitan. Senjatanya lepas dari genggaman, lengannya tertembus anak panah, berlumuran darah segar.

"Dewi Larasati?!" ucap Mbah Wir sambil menoleh, mencari arah datangnya anak panah.

Sumila sudah berdiri di bibir undakan pendopo sambil memegang busur. Perempuan cantik itu, melangkah perlahan menuju medan pertempuran. Sambil menghunus busur. Siapa pun yang berani mendekat pasti tertembus anak panah.

Sumila terus merangsek medan pertempuran, siapa pun yang menghadangnya pasti terjungkal. Umumnya mereka hanya sengaja dilumpuhkan, Sumila tidak mengarahkan anak panak ke jantung maupun kepala. Ada yang tertembus tangan dan kakinya, ada juda yang tertembus bahunya, ada juga di paha.

Sumila terus maju, mendekati Mbah Wir. Perempuan cantik itu, jelas sedang melindungi Mbah Wir. Saat Sumila tepat berada di depan Mbah Wir, tiba-tiba suasana menjadi sunyi-senyap. Waktu seolah terhenti, orang-orang terhenti bergerak, terpaku ditempatnya. Ada yang sedang meloncat di udara, ada yang sedang menghunus senjata, ada yang sedang terjengkang, tersungkur dan lain sebagainya. Lacip melotot menahan amarah. Alam pun membisu, membeku di tempatnya. Hanya Mbah Wir yang masih bernafas, ngos-ngosan. Menunduk tidak berani mengangkat kepala.

"Nyapo kok ndadak dolanan karo nyowo? opo nyowomu wis ra enek regane? Lek pancen nyowomu ra enek regane nyapo kowe mbiyen mlayu rene? Nyapo kok ra mbok serahke nyawamu marang wong-wong sing nguber-nguber awakmu?"

(Kenapa kau bermain-main dengan nyawa? apa nyawamu sudah tidak ada harganya? Kalau memang nyawamu tidak berharga untuk apa dulu melarikan diri kemari? Kenapa tidak kau serahkan saja nyawamu kepada orang-orang yang memburumu?) Sumila mengajukan setiap pertanyaan dengan amarah yang meluap-luap.

Mbah Wir tertunduk, wajahnya bersemu merah. Malu bercampur sungkan mendengar Sumila memarahinya. Ingin menjawab, tapi rupanya lidahnya kelu. Kewibawaan Sumila benar-benar membuat bibirnya seperti dijahit. Namun, Sumila mampu membaca pikiran Mbah Wir.

"Maksudmu gur dolanan tapi kowe lali sing mbok adepi kui wong sewu!" (Maksudmu cuma main-main tapi kamu lupa yang kau hadapi seribu orang!)

Sumila, tiba-tiba mengarahkan busurnya ke dada Mbah Wir. Lengannya gemetaran, berusaha menahan agar anak panah tidak terlepas. Keringat dingin membasahi tubuh Mbah Wir, kekuatan busur dan panah di tangan Sumila bisa membuat dadanya pecah jika terlepas. Apa lagi dengan amarah yang membuncah, tubuhnya bisa menjadi kepingan dan tidak dikenali.

DAAARRR!

Anak panah itu akhirnya terlepas, kaki Mbah Wir langsung lemas, tubuhnya tersungkur.

***

Jurang

Mbah Wir ambruk, tercekat beberapa saat. Meraba dadanya, saat menyadari dadanya tidak terluka, panik meraba mencari bagian tubuhnya yang terluka. Saat menyadari seluruh tubuhnya masih utuh, Mbah Wir semakin menyadari siapa sesungguhnya Sumila.
       
Detik-detik terakhir, Sumila berubah fikiran. Lalu anak panah dilepaskan ke udara.  Membentur padar gaib, menimbulkan medan magnet dan suara ledakan. Mbah Wir tetap menunduk.  Tidak menyangka Sumila mengampuninya.

"Mad, lingguho! Matek Aji Gembolo Geni Bolo Sewu. Kon nyengkewing wong-wong sing isih sehat, kon ngguwak ning jurang sisih kidul kang ono ing Raung. Ning aku pingin wong-wong kui panggah urip!"

(Mad, bersiaplah! Matek Aji Gembolo Geni Bolo Sewu. Perintahkan untuk nyengkiwing orang-orang yang masih sehat, buang mereka ke jurang di sisi selatan Gunung Raung. Namun aku menginginkan mereka tetap hidup!)

"Inggih, Ndoro Ayu. Sendiko dawuh."

"Ilingo,  awak e dewe ra duwe hak karo nyowone wong-wong kui! Gusti Kang Murben Dumadi sing duwe wenang. Ora bakal iso metu ko kono kejobo duwe ati ikhlas!"

(Ingat! Kita tidak memiliki hak atas nyawa mereka. Nyawa sepenuhnya kewenangan Yang Maha Kuasa. Mereka tidak akan bisa keluar dari jurang itu kecuali mereka memilki keikhlasan!)

"Inggih, Ndoro Ayu. Sendiko dawuh."

"Sing do tatu, tinggalen!" (Yang terluka, tinggalkan saja!)

"Inggih, Ndoro Ayu. Sendiko dawuh."

Setelah menyelesaikan kalimatnya Mbah Wir, langsung bersila. Sumila balik badan sambil mengibaskan tangan, berjalan pelan menuju pendopo. Saat kaki Sumila menginjak undakan pendopo, suana kembali seperti semua. Mereka tampak kebingungan, tidak mengerti apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Belum sempat mereka keluar dari kebingunngan, tiba-tiba tubuh mereka sudah dicengkiwing oleh raksasa dengan wajah yang sangat meyeramkan. Mereka tidak tau dari mana raksasa-raksasa itu berasal. Jumlahnya sangat banyak, mungkin ada seribu. Masing-masing nyengkiwing satu orang. Lalu membawa orang-orang itu berlari ke arah utara, ke arah Gunung Raung. Jelas mereka tersiksa dibawa berlari, saking cepatnya mereka berlari udara yang berhembus menjadi sangat kencang seperti badai.

Mbah Wir membuka mata, berdiri. Lalu beranjak dari tempatnya menuju pendopo.  Orang-orang yang terluka juga dicengkiwing, tetapi tidak dibawa ke jurang. Mereka hanya dibuang di belantara Raung, sebelum jurang selatan.

Satu-persatu para pembunuh bayaran yang masih sehat, diletakkan ke dalam jurang. Jurang itu sangat dalam, sejauh mata memandang tak dapat mencapai dasar jurang. Jika pohon yang paling besar di hutan belantara Raung dipotong lalu jatuh ke jurang, maka suaranya saat mencapai dasar jurang tidak akan terdengar.

Jurang selatan, sesungguhnya sebagai tameng dan penyelamat bagi orang-orang yang tinggal di sebelah timur selatan Gunung Raung. Jika Gunung Raung dandan lalu mengeluarkan lahar. Maka lahar itu akan mengalir melalui jurang. Hingga tidak akan meluber ke perkampungan. Lahar akan berjalan dengan tenang menuju muara.

Di dalam jurang terdapat air terjun, dari air terjun mengalir membentuk sungai. Sungai ini mengairi ribuan hektar sawah dan kebun di bawahnya hingga sampai laut selatan. Sungai ini juga melewati Lembah Biru. Sekarang sungai ini menjadi sumber air bagi jutaan warga di bawahnya. Disalurkan melalui pipa-pipa, menuju desa-desa dan kota disekitarnya. Baik yang dibangun oleh swasta maupun pemerintah.

Untuk mencapai air terjun, harus menembus pekatnya belantara lalu membuat jalan sendiri menuruni jurang. Jika orang biasa dan tidak memiliki ilmu kanuragan ataupun linuwih harus membawa peralatan lengkap. Karena jika tergelincir maka nyawa taruhannya.

Setelah menuruni jurang untuk bisa mencapai air terjun yang paling besar dan paling tinggi harus menyebrangi sungai berkali-kali. Melewati beberapa air terjun lainnya yang lebih pendek.  Bagi yang  beruntung dan memilki keberanian bisa menaiki tebing untuk mencapai gua dibalik air terjun yang paling besar. Disitu juga ada air terjun kecil-kecil, yang sangat indah. Dari keterangan orang yang pernah ke sana dan pengalaman pribadi saat menyebrangi sungai. Hitungannya berbeda antara satu orang dan yang orang lainnya. Ada yang mengatakan meyebrang tujuh kali, ada yang mengatakan menyebrang sebelas kali, ada yang bilang tujuh belas bahkan ada yang bilang dua puluh satu kali.

Dari pengalaman pribadi tiga kali kesana hitungan memang berbeda. Semakin bernafsu untuk cepat sampai maka akan semakin terasa lebih jauh. Medan terasa lebih berat, apalagi jika dicampur dengan grundel (mengeluh tidak berkesudahan) maka akan sangat sulit mencapai air terjun.

Orang-orang ini diletakkan di bagian terdalam, bagian terasing. Daerah yang tidak pernah dijamah oleh manusia. Sisi paling gelap dari jurang. Sisi di mana hanya orang-orang yang ikhlas yang bisa keluar dari sana, seperti yang dikatakan Sumila. Jika ingin keluar dari jurang, harus benar-benar berserah dan mampu memahami bahwa dirinya telah bersalah lalu merefleksikan diri.

"Hanya orang-orang yang mampu mengusai 'joyo sukmo' yang akan keluar dari sana." Ucap Sumila.

Jika masih ada sedikit saja sifat 'angku' di dalam hatinya, yang percaya bahwa dia mampu keluar dari sana. Atau sedikit saja dia percaya bahwa dia memiliki kekuatan akan bisa keluar dari sana maka dia tidak akan pernah menemukan jalan keluar. Itu artinya dia akan menjadi penghuni abadi jurang.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close