Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 5) - Joyo Sukmo


"Jika aku diam bukan berarti aku kalah!" kata-kata Lacip terus terngiang di telinga Mbah Wir.

Kata-kata yang dibisikkan oleh Lacip melalui telepati, sesaat setelah Bolo Sewu nyengkiwing tubuhnya lalu membawanya ke utara, ke arah jurang di lereng Raung.

Mbah Wir merasakan kalimat yang diucapkan Lacip penuh amarah dan kebencian, ada demdam yang berkobar. Menyala-nyala, Kobaran api dendam yang akan mampu meluluh lantakkan apa pun yang ada di dekatnya.

Mbah Wir, menyesap rokok klobotnya di pendopo seperti biasa, pikirannya masih tertuju pada kalimat yang diucapkan Lacip sebelum dia dibawa oleh bolo sewu ke utara, menuju Jurang Raung.

Mbah Wir, memejamkan mata, menajamkan penglihatan batin. Mencoba melacak keberadaan Lacip, tapi semuanya gelap, ada kabut tebal dan gelap tak tertembus. Kabut tebal dan gelap seolah tak terujung, semakin masuk ke dalam kabut hitam, Mbah Wir semakin kehilangan arah.

Saat Mbah Wir membuka mata, ada duka menggelayut manja, ''Lacip masih sangat muda,'' keluhnya.

"Dia hanya remaja yang beranjak dewasa, kenapa mesti keblinger jadi anteknya PKI!" jelas ada amarah penyesalan dalam nada bicaranya.

"Lacip, memiliki ilmu kanuragan yang tinggi dan ilmu bathin yang mumpuni.'' Mbah wir kindar masih ngruweng sendiri, helaan nafasnya berat.

''MATAMU CIP, RAMIKIR AWAKMU!"

Tiba-tiba, Mbah Wir mengumpat keras, hampir berteriak. Hatinya resah, Lacip begitu menyita perhatiannnya.

"Harusnya aku senang, Lacip yang begitu menginginkan nyawaku dan nyawa seluruh keluarga Ndoroku telah dapat kusingkirkan, tapi nyatanya aku begitu gelisah?! aku tidak pernah tenang sejak Lacip di bawa ke jurang oleh bolo sewu."

Sekuat apa pun Mbah Wir berusaha menepis rasa kehilangan dan rasa bersalah, tetap saja tak mampu menepisnya.

"Harusnya aku bisa menyelamatkan lalu membimbingnya menjadi manusia yang lebih baik,'' lagi-lagi Mbah Wir menyalahkan diri sendiri.

"Mestinya, aku bisa mengurungnya di sini, di Lembah Biru. Bukan membuangnya ke jurang." penyesalan benar-benar mengusai Mbah Wir.

"Kini aku tidak mungkin menyelamatkannya, jurang tak tertembus, tidak olehku atau oleh bolo sewu. Bolo sewu bisa meletakkan mereka semua ke jurang karena Ndoro Putri mengijinkan, Ndoro Putri pasti telah memagari area di mana mereka diletakkan.

Aku tidak mungkin menyampaikan keresahanku kepada Ndoro Putri, mengingat perbuatan Lacip. Ndoro Putri tidak mungkin mengijinkan untuk mencari Lacip apalagi berkenan membuka pagar gaib.

Titah beliau sudah pun terucap, 'tidak ada yang bisa keluar dari sana kecuali memiliki keikhlasan.' Bagaimana pemuda searogan Lacip bisa keluar dari sana?!"

*** 

Sepekan sebelumnya.

Satu-persatu, para pembunuh bayaran diletakkan kedalam jurang oleh bolo sewu. Jurang itu sangat dalam, jika pohon paling besar di belantara Raung dipotong lalu dijatuhkan ke jurang, maka suara batang pohon tidak akan terdengar saat jatuh, saking dalamnya.

Dari cerita turun temurun dari leluhur, Jurang sesungguhnya sebagai tameng dan penyelamat bagi orang-orang yang tinggal di sebelah timur selatan Raung.

Jika Raung 'ndandan' (meletus) mengeluarkan lahar, maka lahar akan mengalir lewat Jurang. Hingga tidak akan meluber ke perkampungan, lahar akan berjalan dengan tenang menuju muara, muaranya adalah laut selatan.

Di dalam jurang ada air terjun, dari air terjun, mengalir membentuk sungai. Sungai ini mengairi ribuan hektar sawah dan kebun hingga laut selatan, melewati Lembah Biru. Sekarang, sungai dari air terjun menjadi sumber air bagi jutaan warga di bawahnya. Disalurkan melalui pipa ke desa-desa dan kota-kota di sekitarnya, baik yang dibangun oleh suwasta maupun pemerintah.

Untuk mencapai air terjun, harus menembus pekatnya belantara Raung lalu membuat jalan sendiri menuruni jurang. Jika ingin menuju air terjun, mesti membawa peralatan lengkap dan memadai, karena jika tergelincir maka nyawa taruhannya. Setelah menuruni jurang, harus menyebarangi sungai berkali-kali, melewati banyak air terjun yang lebih pendek. Air terjun ini juga terbentuk dari air terjun inti (air terjun yang paling tinggi). Bagi yang memiliki keberanian bisa menaiki tebing, mencapai gua dibalik air terjun yang paling tinggi, di sana juga ada banyak air terjun kecil-kecil yang sangat indah.

Dari keterangan orang-orang yang pernah ke sana dan pengalaman pribadi, saat kita menyebrangi sungai. Hitungan berbeda, antara orang satu dengan lainnya, ada yang mengatakan menyebrang tujuh kali, ada yang mengatakan sebelas kali, ada juga yang bilang tujuh belas kali bahkan ada yang bilang menyeberang dua puluh satu kali. Sedikit membingungkan.

Dari pengalaman pribadi, tiga kali kesana hitungan memang berbeda. Semakin bernafsu ingin cepat sampai maka akan terasa lebih jauh, medan akan terasa lebih berat. Apalagi jika mengeluh tidak berkesudahan, maka akan sangat sulit mencapai air terjun.

Para pembunuh bayaran diletakkan di bagian terdalam dan terasing dari jurang, bagian yang tidak pernah terjamah oleh manusia. Sisi paling gelap dari jurang.

***

MASUK JURANG

Ayo podo eleng-tineleng, mergo urip kui gak asing soko olo-tinolo. Wong salah rarumongso Pengeran siji, ati siji, sukma siji, urep yo kaping siji. Sabar digarne, karep diantepne, jutek disirepne. Karo lingsire piker kang mateng, ugo weteng kang anteng, jagat muter-seser urep diantengne, kui sejatine keihlasan.

***

LEMBAH BIRU 1962 

Mbah Wir, masih terus berusaha melacak keberadaan Lacip. Namun tak tertembus, semuanya gelap, Mbah Wir seperti berada di dalam jurang yang gelap. Kabut tebal yang melingkupi jurang seperti tidak berujung. Selalu, semedinya mental, tidak mampu mencapai dasar jurang.

Mbah Wir, seolah dilempar keluar sebelum bisa mencapai dasar jurang, terpental bangun dari semedi. Namun Mbah Wir tidak berhenti mencoba, terus melakukannya hingga hari ke empat puluh satu. Sumila menemui Mbah Wir dalam semedinya.

Sumila datang bersama macan putih di sampingnya, macan putih yang biasa menunggu gerbang masjid wetan. Macan putih itu sempat dilukai oleh Lacip, sepertinya sudah pulih.

"Tangio, Mad!" suara Sumila pelan, berwibawa bernada perintah. Mbah Wir membuka mata lalu berdiri, tubuh halusnya keluar dari raga, sementara raganya masih duduk bersila. Mbah Wir langsung menekuk lutuk ketika sudah berada di depan Sumila.

"Ngaturaken gunge samudra pangasami Ndoro Putri, amargi kulo sampun lancang madosi Lacip." (Saya mohon ma'af beribu ma'af, Ndoro Putri, karena saya telah lancang mencari Lacip.)

"Ngadeko, Mad!" (Bangunlah, Mad!) Serta-merta, Mbah Wir berdiri.

Sumila menyerahkan sebuah bungkusan berwarna putih. Saat diperhatikan dengan seksama, kain yang dipakai membungkus adalah mori (kain kafan). Berbetuk segi empat yang semua ujungnya saling di'ikatkan seperti glempo.

Mbah Wir, menerima dengan kedua tangan, kepalanya tetap menunduk.

"Budalo ngalor, Wir! Lacip pendemen, kuwi segele, wong-wong liyane gowoen mulih!" (Berangkatlah ke utara, Wir, kuburlah Lacip! itu segelnya. Para pengikutnya, bawalah pulang!)

Mbah Wir, tampak shock. Cara Sumila memanggilnya, menandakan bahwa perintahnya tidak bisa dibantah, padahal Mbah Wir beharap bisa membawa Lacip pulang. Malah diberi perintah untuk mengubur dan menyegelnya di dalam jurang. Beberapa detik kemudian, Mbah Wir berucap,

"Inggih, Ndoro Putri, sendiko dawuh.'' (Baik, Ndoro Putri, seuai perintah.)

Mbah Wir, berlalu dari hadapan Sumila setelah berpamitan, naik ke punggung macan putih.

Beberapa saat kemudian, macan putih berlari bagai angin menembus gelapnya malam menuju utara, gunung Raung. Tampak Sumila duduk bersimpuh tidak jauh dari raga Mbah Wir kindar, belakang sebelah kanan.

"Mad, awakmu kudu nyampek jurang bengi iki, lek awakmu kasep nyowone wong-wong rabakal ketulung."

(Mad, kamu harus sampai jurang malam ini, jika kau terlambat nyawa orang-orang (para pembunuh bayaran tidak akan tertolong) Mbak Wir mendengar Sumila berbisik ditelinga.

"Inggih, Ndoro Putri, sendiko dawuh.'' jawabnya singgkat.

Mbah Wir, memeluk leher macan putih, berbisik,
"Aku tak mlayu dewe wae, awakmu yoben iso mlayu luwih cepet," (aku akan berlari saja, supaya kau bisa berlari lebih cepat,) macan putih, mengangguk.

Setelah itu, Mbah Wir meloncat dari punggung macan putih, lalu melesat bagai angin meninggalkannya.

Macan putih juga melesat menguntit di belakang Mbah Wir. Beberapa saat kemudian, keduanya sudah melewati hutan pinus lalu perkebunan cengkeh dan mulai memasuki belantara. Terus masuk ke dalam belantara hingga akhirnya keduanya berhenti di atas tebing jurang.

Keduanya manguk-manguk (berdiri bimbang) diatas jurang. Sesungguhnya Mbah Wir tidak tahu jalan masuk jurang,

"Piye caraku mlebu jurang?" batinnya, ingin sekali bertanya kepada macan putih, tapi canggung untuk mengatakan. Detik berikutnya, mata Mbah Wir membulat sempurna, bibirnya reflek berteriak.

"AAACCCKKK!"

Macan Putih mendorong tubuh Mbah Wir masuk ke dalam jurang, lalu dia sendiri juga meloncat, keduanya melesat bagai roket menuruni jurang.

Mbah Wir jatuh di atas tanah basah, merasakan seluruh tubuhnya remuk, sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap. Sementara, macan putih juga terkapar di sampingnya, tidak bergerak.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close