Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NAPAK TILAS MAKAM LELUHUR


"Makam Ratu di Puncak Bukit"
JEJAKMISTERI - Siang itu hari sabtu, 20 februari 2021 jam 10.00 WIB aku berangkat ke rumah Om Wiwid. Dengan motor butut kesayanganku aku melaju ke arah Bantul. Sesampainya disana sudah ada Om Wiwid dan Mas Bagus sedang duduk santay di temani es teh dan gorengan. Aku bergegas turun lalu memberi salam. Salamku dibalas dengan hangat oleh mereka berdua. Meskipun baru pertama ketemu tetapi rasanya sudah kenal lama. Kami langsung akrab dan berbincang satu sama lain.

Hari semakin siang. Cuaca agak mendung tapi terkadang matahari memancarkan sinarnya. Om wiwid memenuhi janjinya untuk mengantarku ke suatu tempat yang bisa dibilang tempat keramat. Lokasi tempatnya tidak jauh. Hanya sekitar 10 menit sudah sampai. Begitu sampai kami bertiga langsung berhenti di parkiran motor. Di samping tempat parkir ada tangga kecil yang merupakan jalur yang harus dilewati untuk naik ke atas bukit. Om wiwid meminta ijin kepada Juru kunci makam. Seketika aku menoleh ke arah tangga. Ada dua orang prajurit membawa tombak yang sedang berjaga di depan anak tangga. Karena kami datang kesitu niatnya baik, ingin berziarah, kedua prajurit itu melemparkan senyum kepadaku. Memberi semacam sambutan dan mempersilahkan kami untuk naik ke atas.

Kemiringan tangga lumayan terjal. Ada semacam palang dari besi yang berfungsi sebagai pegangan. Satu demi satu tangga aku naiki. Dikanan dan kirinya ada pohon-pohon rindang. Baru datang saja aku sudah merasakan hawa sejuk yang meneduhkan hati. Positif sekali auranya. Saat tiba di tengah perjalanan kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Keringat mulai keluar dari pori-pori kulit. Nafas mulai agak berat. Anggap saja ini sedang olahraga. Hehe... Saat sedang istirahat itu aku melihat ada gambaran sosok lelaki di atas sana. Aku sempat bingung. Di atas ada Makam salah seorang Ratu tapi kenapa justru sosok laki-laki yang pertama kali muncul dalam pandangan batinku. Lalu aku bertanya kepada Om Wiwid.

"Om... Di atas ada Makam lelaki juga ya?"

"Iya, ada... Kok kamu tahu?"

"Iya om... Beliau sudah menunggu di atas. Beliau yang laki-laki ini berdiri di samping Ratu, tapi posisinya agak ke belakang sedikit. Beliau ini siapa ya Om?"

"Nanti kamu akan tahu sendiri jawabannya."

"Oke om..."

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menaiki tangga itu. Tak lama kemudian sampailah di depan Makam Utama. Makam ini dikelilingi pagar batu bata jaman dulu. Aku melihat ada sosok dua orang penjaga di depan pintu gerbang. Yang ini penjaganya lebih sakti. Sudah sekelas Patih atau Senopati. Badannya gagah tinggi besar dan sangat berwibawa. Aku mengucapkan salam dan meminta ijin untuk masuk ke area Makam. Kedua Penjaga itu mempersilahkan masuk.

Kaki kananku memijak tanah yang sakral itu. Diikuti dengan kaki kiri yang perlahan menyusul. Pandangan mataku langsung tertuju pada satu Makam yang berada dibawah Pohon besar. Om Wiwid mengajakku untuk mendekati makam itu. Mas Bagus mengikuti dari belakang. Kulihat dengan seksama tulisan yang ada di batu nisan itu. Aku dekati lalu aku sentuh batu nisannya dengan jemari tangan kananku. Seperti sedang menyentuh energi dan seketika menjalar ke dalam tubuhku. Sekarang aku tahu siapa nama beliau. Iya... Sosok lelaki yang aku lihat saat naik tangga tadi. Aku tidak berani menyebut namanya disini. Jika memang para pembaca penasaran dan ingin ziarah ke makam ini. Akan ada cara yang menuntunmu datang kesitu. Seperti aku yang tidak pernah ada rencana untuk datang kesitu. Tapi berkat perantara dari Om Wiwid dan Mas Bagus aku jadi tahu tentang tempat ini. Semua terjadi dan mengalir begitu saja.

Selanjutnya aku menoleh ke arah Makam yang paling bagus diantara makam-makam yang lain. Makam yang batu nisannya paling tinggi diantara yang lain. Aku dekati makam itu lalu aku duduk bersila disampingnya. Ini adalah Makam Ratu. Salah satu permaisuri kerajaan yang paling cantik pada masanya. Aku luangkan waktu sejenak untuk mengirimkan doa. Apapun agama dan keyakinan kita. Doa itu akan sampai ke arwah para leluhur kita jika doa dilantunkan dengan setulus hati. Beliau akan bahagia jika anak cucu dan keturunan masih ingat dan menghormati para leluhur.

Komplek makam ini tidak terlalu luas. Ada beberapa pohon tua yang umurnya sudah ratusan tahun. Tempat ini didominasi oleh energi positif tapi entah mengapa aku merasakan ada kesedihan yang tersimpan. Sepertinya aku perlu bertanya kepada seseorang. Beliau yang bisa menjelaskan tentang arti kesedihan itu.

"Makam Ratu di Atas Bukit"

Komplek makamnya berada di puncak bukit. Meskipun gundukan tanah ini tidak terlalu tinggi tetapi warga sekitar sudah terbiasa menyebutnya gunung. Leluhur jaman dulu yang masih keluarga keraton atau kerajaan biasanya dimakamkan ditempat yang lebih tinggi. Sebagai bentuk penghormatan beliau setelah wafat. Selain itu untuk menghindari serangan binatang buas dan mengantisipasi jika terjadi bencana alam. Komplek makam Ratu tidak terlalu luas. Ada beberapa pohon besar yang usianya sudah ratusan tahun. Auranya sangat positif dan bawaannya adem. Betah rasanya duduk disini.

Diantara semilir angin yang berhembus pelan menerpa wajahku. Ada cerita kesedihan yang terlintas menyentuh jiwaku. Pada suatu masa, ada sebuah kerajaan yang sudah mengenal wayang gedog sebagai sebuah seni pertunjukan. Wayang ini digelar pada saat acara-acara tertentu. Ada seorang Dalang yang cukup populer karena sangat piawai dalam memaiankan wayang gedog. Dalang tersebut memiliki istri yang sangat cantik. Kecantikan parasnya serta halusnya tutur kata wanita ini mampu membuat sang Raja jatuh cinta. Meskipun wanita cantik ini sudah punya suami yaitu Ki Dalang tapi Raja punya kuasa untuk tetap meminang dia sebagai permaisuri. Sejak saat itu beliau resmi menjadi Ratu. Meski jauh di dalam lubuk hatinya. Ia tetap mencintai suaminya Ki Dalang. Cinta yang tulus dan tak akan pernah tergantikan.

Semenjak Ratu berada di Istana. Timbul konflik dan huru hara di wilayah kerajaan. Ada banyak orang yang tidak suka pada sang Ratu dan melakukan berbagai cara untuk membunuhnya. Sebenarnya ada banyak versi tentang pilunya kematian sang Ratu dan suaminya ki Dalang. Bukan kapasitas saya untuk menceritakan keseluruhan sejarahnya. Aku hanya bisa menceritakan perasaan yang muncul dari sudut pandang kebatinanku.

Ki Dalang meninggal dunia lebih dulu. Selang berapa lama barulah Ratu menyusul. Kematian sang Ratu membuat hati sang Raja sangat hancur. Berhari-hari Raja memangku jasad Ratu di atas bukit ini dengan kesedihan yang mendalam. Tapi akhirnya sang Raja sadar kemudian meminta prajurit untuk memakamkan jasad Ratu yang amat dicintai itu tidak jauh dari makam Ki Dalang suaminya.

Makam itu masih terawat hingga sekarang. Saat aku memanjatkan doa untuk sang Ratu beliau datang sembari tersenyum. Pesona kecantikannya memang luar biasa. Dibalut pakaian yang anggun berwarna biru. Rambutnya hitam lurus sepinggang. Aura kesedihan yang aku rasakan bukan dari beliau sang Ratu dan suaminya Ki Dalang. Mereka berdua sudah bahagia di alam sana. Cinta mereka berdua abadi sampai mati. Energi kesedihan itu justru datang dari perasaan sang Raja saat kehilangan permaisuri yang sangat dia cintai. Kesedihan juga datang dari orang-orang yang menyaksikan tragedi itu. Ada banyak kejadian memilukan yang terekam di tempat ini. Semoga ada pembelajaran dari sepenggal kisah yang pernah dialami leluhur kita.

Kututup doaku bersamaan dengan kedua telapak tangan yang mengusap wajahku. Rasa sedih yang ada dalam benakku perlahan sirna seiring dengan suara kicauan burung yang bersahutan. Ku langkahkan kakiku untuk beranjak menuju sebuah sendang yang tidak jauh dari makam. Aku ingin membasuh wajahku dengan air sendang.

"Makam Ratu di Puncak Bukit"

Setelah selesai memanjaatkan doa untuk Sang Ratu, Ki Dalang dan semua leluhur yang dimakamkan disitu, aku beranjak keluar bersama Om Wiwid dan Mas Bagus menuju sendang yang lokasinya tidak jauh dari makam. Melewati jalan setapak yang kanan kirinya ditumbuhi semak belukar. Hanya perlu berjalan kaki sejauh 50 meter untuk tiba di sebuah sendang. Om Wiwid dan Mas Bagus sudah tidak asing dengan tempat ini karena dulu masa kecil mereka sering mbolang ke tempat ini. Berbeda dengan aku yang baru pertama kali memijakkan kaki di puncak bukit yang hijau ini.

Di depan sana ada pagar bumi atau tembok yang tebal dan tinggi mengelilingi sendang. Ada bagian terbuka yang digunakan sebagai pintu keluar masuk sendang. Ada energi kuat yang menarikku masuk kesana. Terdengar sebuah bisikan lembut yang terus terngiang di telingaku kala itu. Beliau menggunakan bahasa jawa yang halus. Aku tahu artinya tapi aku tidak bisa menirukan kata-katanya. Kalau diartikan ke bahasa Indonesia kurang lebih seperti ini: "Kemarilah cah bagus, mendekatlah ke tepi sendang. Basuhlah kedua tanganmu beserta wajahmu. Air sendang ini akan memberimu ketenangan dan menghapus segala kesedihan."

Perlahan kulangkahkan kaki mendekati sendang. Disamping sendang ada sebuah pohon tua yang besar dan sangat rindang. Secara kasat mata, air sendang ini memang tidak terlalu jernih. Tapi jika dilihat dengan mata batin airnya sangat jernih. Aroma wanginya semerbak bagaikan diguyur bunga setaman. Aku meminta ijin untuk menyentuh air itu. Cleesss.... Sejuk sekali airnya. Asliii... Muncul perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Di belakang sana ada Om Wiwid dan Mas Bagus yang terus mengawasiku dari kejauhan. Kali ini aku merasa sedang berdiri di suatu tempat yang berbeda. Seperti sedang duduk di ranah dimensi lain.

Jari tangan kanan aku ayunkan di pojokan sendang itu berulang kali. Lalu aku basuh kedua tanganku secara perlahan. Selanjutnya aku basuh wajahku sekalian aku basahi rambutku. Hmmm... Seger airnya. Aku usap air yang menempel diwajahku sembari memejamkan mata. Saat aku buka kembali mataku ternyata ada seorang dewi yang sedang berendam di Sendang tersebut. Dia melemparkan senyum tipis ke arahku. Bagian perut kebawah terendam air. Tangan kanan dan kirinya bergantian membasuh pergelangan tangannya yang kuning langsat itu. Duh Gusti... cantik sekali wajahnya. Tatapan matanya lembut meneduhkan hati. Aku langsung merinding saat itu juga. Merinding yang sama terulang saat aku nulis cerita ini. Hehe...

Aku menoleh ke belakang untuk memastikan Om Wiwid dan Mas Bagus masih berada ditempatnya. Mereka berdua sedang asik ngobrol disana. Aman terkendali... Aku tidak diculik ke dunia lain. Lalu aku kembali melihat ke arah dewi yang tadi berendam di sendang tapi beliau sudah tidak ada. Hilang entah kemana.

Dalam hati aku bergumam. Terimakasih Dewi sudah mengijinkan aku berkunjung ke sendangmu. Airnya bisa membuat jiwaku lebih tenang sekarang. Seperti filosophi air yang selalu mengajarkan penerimaan. Apapun masalah dan kesedihan yang terjadi dalam hidup harus kita hadapi dengan ikhlas dan legowo. Perlahan aku menjauh dari tepian sendang lalu berbaur lagi dengan Om Wiwid dan Mas Bagus. Tiba-tiba Om wiwid bertanya kepadaku :

"Mas lihat apa di Sendang itu?"

"Aku melihat ada seorang dewi, Om"

"Apa warna selendangnya?"

"Kuning Om, kuning gading gitu lho warnanya."

"Iya bener. Sama dengan yang aku lihat. Itu tadi selendangnya mau diberikan ke kamu tapi kenapa tidak kamu terima?"

"Mboten Om. Saya merasa belum pantas untuk menerimanya. Hehe".

"Iya sih. Kalau belum yakin dan siap jangan diterima. 
Kalau nenek yang di bawah pohon itu kamu lihat ndak?"

"Enggak Om. Aku fokus sama Dewi selendang kuning sampai gak lihat ada penunggu lain juga disana. Hehe..."

Saat itu juga aku melihat ke arah bawah pohon. Ternyata benar ada sosok nenek berdiri disana. Beliau menatap tajam ke arahku. "Ngapunten nggih mbah, kulo namung nderek wisuh".

*******

Perjalanan kami pun berlanjut..

*******

"Makam Leluhur di Lereng Gunung Sumbing"

(Pepunden)
Ini adalah pengalaman mistis yang dialami Mas Agus saat berkunjung ke rumah salah satu temannya yang bernama Susilo di sebuah dusun yang masih masuk kawasan Kabupaten Magelang. Dusun terpencil ini berada di lereng gunung sumbing. Sore itu tiba di rumah Susilo sekitar jam 4 sore. Susilo masuk ke dapur untuk membuatkan minum. Tiba-tiba Mas Agus seperti ditarik oleh sebuah energi dari alam sekitar. Ia mencari tahu darimana energi itu berasal. Energi itu mengarahkan Mas Agus untuk berjalan menuju ke arah lereng gunung sumbing. Disana ia menemukan sebuah makam yang bagus dan sangat terawat. Makam ini dibuatkan pendopo sebagai pelindung dari terik matahari dan hujan. Dari bentuk nisan menandakan bahwa usianya sudah ratusan tahun.

Kedatangan Mas Agus disambut hangat oleh Keluarga Pepunden yang pertama kali membuka perkampungan di tempat ini. Pepunden itulah yang dimakamkan ditempat ini. Nama beliau adalah Ki Coloksono dan istrinya bernama Nyi Guwayani. Tidak ada kesan seram di tempat inu, yang ada Aku bersyukur bisa berjumpa dengan para leluhur yang menjaga tempat ini. Aku duduk bersila sejenak untuk mengirimkan doa. Setelah selesai berdoa, seperti ada energi lain yang terpancar dari makam yang berbeda. Makam yang posisinya berada di pojok. Aku menoleh ke arah sana. Ada semburat cahaya putih yang memancar di atas makam tersebut. Aku bergegas mendekati sumber cahaya itu.

Aku baru menyadari bahwa ada 1 makam lagi yang memiliki residual energi yang cukup kuat. Aku duduk disampingnya lalu aku baca tulisan yang terpahat di batu nisan. "Sayid Abdurachman" seorang tokoh pemuka agama yang pertama kali datang ke kampung ini untuk menyebarkan agama Islam. Saat aku sebut namanya, seketika muncul gambaran visual dalam pandangan batinku. Seorang lelaki muda dengan jubah putih yang terurai panjang sampai menyentuh tanah. Aura wajahnya bersih, teduh dan menentramkan jiwa. Beliau menggenggam sebuah tasbih di tangan kanannya. Beliau juga mengenakan surban putih di kepala. Menyapaku dengan santun, Assalamu'alaikum Warrahmatullahi wabarakatuh...

Langsung ku jawab, Walaikumsalam Warrahmatullahi wabarakatuh...

Sedangkan dari kejauhan makam kedua pasangan suami istri tersebut ada 1 makam lagi yang menarik perhatian Mas Agus.

Makam itu adalah tempat peristirahatan terakhir dari Nyi Klithik. Seorang gadis cantik yang pernah menjadi bunga desa pada masanya. Mas Agus berusaha berkomunikasi dengan kembang desa itu tapi dia hanya tersenyum dan tersipu malu. Dia memakai gaun panjang berwarna putih dan duduk di bawah pohon yang rindang. Dia hanya berani menatap dari kejauhan. Senyum tipisnya sungguh manis tak terlupakan. Nyi Khlitik ini adalah anak dari Pepunden Ki Coloksono dan Nyi Guwayani.

SEKIAN

close