TANAH TELUH
JEJAKMISTERI - Sekitar tahun 1967an, di Pulau Boyan. Boyan adalah pulau kecil yang terletak di Laut Jawa, sekitar lebih dari 100km sebelah utara Pulau Jawa. Secara administratif pulau ini termasuk ke dalam wilayah sebuah Kabupaten di Jawa Timur.
Pulau Boyan hanya memiliki 2 kecamatan. Penduduk aslinya adalah pendatang, dimana sebelumnya pulau ini memang tak berpenghuni. Mata pencahariaan utama para penduduk kebanyakan adalah nelayan dan petani.
Di sebuah desa kecil yang terletak di kecamatan timur Boyan. Matahari mulai terbenam di ufuk senja, berganti langit berwarna temaram yang menyelimutinya. Menandakan waktu petang mulai datang.
Para petani di desa ‘Tandur Timur’ berbondong-bondong meninggalkan hamparan sawah yang terbentang luas di sana.
Di sebuah jalan setapak di tengah sawah, tampak seorang lelaki bertubuh sedang, memakai topi capil dan sarung yang disampirkan masih berdiri. Pak Jarwo mematung, memandangi petak sawah miliknya.
Lalu sebuah tangan menepuk bahu kirinya.
“Kenapa Wo? Kok malah melamun. Kamu nggak pulang?” Tanya Somad salah satu tetangga yang juga seorang petani.
Lelaki berusia 50 tahun itu menghela napas. “Lihat Mad. Sawahku mulai mengalami kekeringan, karena pasokan air yang kurang.”
“Mau bagaimana lagi. Musim kemarau memang sudah tiba. Tak hanya kamu Wo, pengairan air di sawahku juga tidak begitu bagus. Hasil panen juga tidak banyak.”
Jarwo terlihat berpikir sejenak “Tapi apa kau tahu. Lahan sawah di ujung timur sana selalu subur. Pasokan airnya juga terlihat banyak. Bagaimana kalau kita mengambil air di sana?”
Somad tersentak mendengar ucapan Jarwo “Gila kamu! Kamu tau siapa pemilik ujung sana?
Bisa-bisa celaka kita.”
“Mbah Darso bukan?” sahut Jarwo enteng “Gak bakal ketahuan, kalau kita mengambilnya diam-diam. Lagipula jarang orang yang mau pergi ke sawah tengah malam. Apalagi mbah Jarwo sudah tua renta.”
“Aku nggak mau ikutan Wo. Saranku urungkan niatmu itu. Belum lagi, para *montianak banyak berkeliaran di malam hari.” Ucap Somad begidik ngeri.
[*Red: Di daerah ini disebut ‘Montianak’. Dalam bahasa Indonesia dibaca ‘MatiAnak’ atau lebih dikenal dengan ‘Kuntilanak’].
Jarwo mengibaskan tangannya “Aku lebih takut keluargaku mati kelaparan daripada bertemu montianak.”
Tepat tengah malam lelaki berumur setengah abad itu berjalan melewati jalan setapak, sambil membawa dua ember kosong yang dipanggul dengan sebilah kayu dibahunya. Sedang tangan kanannya memegang lampu minyak sebagai penerangan.
Bahkan angin dingin yang berhembus menusuk sela-sela sendi tetap tak menyurutkan tekad Jarwo.
Beberapa kali matanya awas ketika melewati rimbunan pepohonan tinggi. Berharap tak bertemu montianak malam itu.
Hanya saja hal itu mustahil, mengingat aktifitas montianak justru berlangsung ganas di malam hari.
Sekelebat kain-kain putih lusuh tampak terbang berseliweran di antara pepohonan disertai suara melengking yang cukup memekakkan telinga.
‘Khaaakkk khaaaakkkakakak kakk khaaakkk’. Begitulah suara montianak terdengar.
Jarwo tetap berjalan maju menembus gelapnya malam.
Setelah berjalan kurang lebih satu kilometer, sampailah ia di sebuah lahan sawah. Di dekatnya tampak sebuah kolam sumber mata air yg cukup luas.
Ya sawah beserta kolam itu milik mbah Darso. Jarak mata air mbah Darso dan sawah milik Jarwo tidak begitu jauh, hanya 200 meter saja.
Ia pun mulai mengisi wadah-wadah air dan membawanya menuju lahan miliknya.
Setelah beberapa kali bolak-balik dan dirasa penyiraman tanaman miliknya sudah cukup, Jarwo memutuskan untuk beristirahat sebentar di *dhurung milik mbah darso sebelum pulang ke rumah.
Tanpa disadari, sepasang mata merah menyala tampak mengawasinya dibalik pepohonan pisang sedari tadi.
[*Dhurung: Lumbung khas pulau Boyan yang berfungsi untuk simpan padi. Bangunan dengan atap limas an khas Jawa.
Terdapat amben yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Biasanya atap bangunannya didesain dua kali lipat lebih luas daripada balai-balai dibawahnya agar bisa menampung padi sebanyak mungkin].
Di keheningan malam, di bawah sinar rembulan yang berwarna sedikit kekuningan. Tampak sesosok lelaki tua duduk diatas kursi kayu depan rumahnya. Rumah kayu itu tidak begitu besar dan terletak cukup jauh dari pemukiman warga.
Di sisi baratnya terdapat ladang yang ditanami macam-macam, seperti pohon pisang, singkong, ubin jalar, dll. Sedangkan sisi timur dan selatan hanya lahan kosong yang ditumbuhi rumput ilalang yang cukup tinggi.
Rambut gondrongnya yang memutih sedikit berkibas diterpa angin malam.
Lelaki tua itu beberapa kali menghisap pelan rokok lintingan di antara bibir keringnya. Mata keriputnya menerawang jauh, menatap rumput-rumput ilalang yang bergoyang karena tertiup angin.
Tiba-tiba sebuah suara berbisik di telinganya. Mbah Darso pun berdecih.
“Dasar manusia rendah tak punya tata karma.” Desisnya lirih.
Ia pun bangkit, membuang sisa rokok lintingan dan menginjaknya. Lalu tubuhnya yang sedikit membungkuk berjalan kembali memasuki rumah.
**************
Sore keesokan harinya…
“Bu… Tolong bikinin kopi.” Pinta Jarwo pada istrinya.
“Iya pak.” Jawab Sri kemudian sambil melangkahkan kakinya ke dapur.
Jarwo yang baru saja pulang dari sawah kemudian duduk bersandar di amben ruang tengah dalam rumah, sambil mengibas-kibaskan toping capingnya karena kegerahan.
'BRUUUUUKKKK!'
Tiba-tiba terdengar sesuatu yang keras menghantam atap rumahnya.
Jarwo yang terkejut, langsung melonjak keluar dari rumah. Ia pun mengecek sambil mengintip atas genteng jerami, namun tak menemukan apapun. Perasaannya mendadak berubah tidak enak.
“Buu…. Kira-kira suara apa ya diatap tadi?” Tanya Jarwo khawatir ketika istrinya mengantar kopi.
Dahi Sri berkerut heran.
“Suara apa pak?”
“Loh. Masa gak denger? Suaranya cukup keras loh. Diatas genteng tadi. Tapi bapak liat gak ada apa-apa.”
“Udahlah pak. Mungkin itu halusinasi bapak karena kecapekan.” Ucap istrinya menenangkan.
Malam harinya Jarwo berkeringat dan resah dalam tidurnya. Ia bermimpi berada disebuah lahan kuburan yang cukup luas. Tak ada siapapun disana. Hening dan mencekam.
Tampak sebuah pohon beringin besar berdiri tegak di tengah-tengahnya.
Tiba-tiba Jarwo melihat sosok hitam berdiri di depan pohon beringin tersebut.
Awalnya sosok itu hanya setinggi Jarwo, namun ketika ia mulai berjalan kearah Jarwo. Sosok itu berubah menjadi besar dan semakin besar. Hingga cahaya rembulan mulai meneranginya.
Kini makhluk hitam itu berubah hingga setinggi 5 meter. Badannya ditumbuhi rambut hitam dan kasar. Matanya yang sebesar lepek berwarna merah menyala.
Tangannya panjang hampir menyentuh tanah dengan kuku-kuku yang tajam. Sedang ke empat gigi taring panjangnya mencuat keluar berlawanan arah.
Jarwo tak kuasa menahan rasa takut ketika manatap makhluk tersebut, mulai berjalan mundur dengan tubuh bergetar. Makhluk itu menatap Jarwo tajam.
Terdengar suara menggeram dr dalam seolah2 murka padanya. Jarwo segera berbalik & berlari sekencang-kencangnya menjauhi makhluk tsb.
Hanya saja sejauh apapun Jarwo berlari, ia selalu kembali kearah pohon beringin. Makhluk itu masih berdiri di sana dengan seringai mengerikan seolah-olah mengejek tingkah Jarwo.
Hingga akhirnya Jarwo sudah tak mampu berlari. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Lelahnya benar-benar nyata.
Tanpa disadari ternyata makhluk itu sudah berdiri tepat dihadapannya. Dengan mudah makhluk itu mengangkat Jarwo dengan menarik kedua tangannya.
Ternyata tangan Jarwo dimasukkan ke mulutnya. Makhluk itu melahap dan mengunyah kedua tangan Jarwo perlahan, seolah mengunyah tulang muda ayam.
KRATAKKK. KRATAKKKK. KRAKK..
Jarwo histeris. Ntah sudah berapa banyak darah mengucur dari kedua tangannya yang mulai hancur.
“Ampuuuun… ampuuuun … sakitttt..”
Beberapa daging dan kulit tangan Jarwo berjatuhan di atas tanah. Makhluk itu tetap mengunyah seolah-olah Jarwo memang santapannya. Jarwo meringis, ia sudah tak dapat menahan rasa sakitnya lagi.
Hingga akhirnya ia mendengar suara familiar ditelinganya.
“Pakkk… banguuun pakkk… banguuun.”
Sri mengguncang-guncang tubuh suaminya yang sedang mengigau. Tak beberapa lama Jarwo terbangun dengan peluh disekujur tubuhnya.
“Bapak nggak apa-apa?” Tanya Sri khawatir.
Jarwo menatap Sri dengan napas ngos-ngos an. “Sa… yaaa… saya mimpi bu..ruukk buu.”
“Istighfar pak .. istighfar.”
“Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullahal’adziim…”
“Saya ambilin minum ya pak. Biar tenang.” Tawar istrinya. Jarwo mengangguk pelan.
Tak lama setelah Sri meninggalkannya ke dapur, Jarwo merasakan rasa tak nyaman di sekujur tubuhnya.
Tubuhnya terasa panas, seolah-olah sedang direbus di atas perapian. Saking panasnya Jarwo sampai melepas kaos putih lusuhnya dan melemparkannya ke tanah.
Disusul dengan tangannya yang tiba-tiba terasa gatal. Awalnya hanya telapak tangan, lalu rasa gatal itu menjalar hingga ujung lengannya.
Jarwo pun mulai menggaruk-garuk kedua tangannya secara bergantian.
“Buuuu…. Buuuu..” Teriak Jarwo kemudian.
Namun tak ada jawaban, seolah Sri tidak mendengar suara Jarwo.
“Buuuuu… Buuuu.”
“Ini kenapa tangan jadi gatal begini ya?” keluhnya.
Rasa gatal yang teramat itu hanya terasa ditangannya. Sedang tubuhnya tidak merasakan apapun kecuali panas.
Saking gatalnya, tanpa sadar Jarwo menggaruki tangannya hingga berdarah.
Meski darah mulai mengucur, hal itu tidak meredakan rasa gatalnya sama sekali. Jarwo pun semakin kalap menggaruk.
Tak terasa kulit dan daging terkelupas sedikit demi sedikit menempel di kuku-kukunya.
Jarwo bertingkah seperti orang gila, matanya menyalang melihat kuku-kukunya sendiri sambil terus menggaruk.
“Astaghfirullah bapak.” Sri berteriak histeris
“Gataaal buuu. Gataaal.”
Sri mencegah tangan Jarwo yang terus menggaruk, namun gagal. Sampai-sampai ia mendorong istrinya sendiri hingga terjatuh ke tanah.
“Jangan digaruk lagi pakk. Jangan!” Pinta Sri setengah memohon. Namun tak digubris.
Tiba-tiba Jarwo merasa mual. Seolah-olah sesuatu memberontak keluar dari perutnya.
"HOEEEEEKK" Jarwo muntah darah. Darah berwarna hitam kecoklatan.
Sri yang kaget makin histeris. Tiba-tiba Jarwo terjatuh dan mengalami kejang-kejang. Matanya terbelalak hingga kornea mata hampir menghilang dan berubah warna menjadi putih seluruhnya. Sri pun segera bangun dan keluar meminta pertolongan.
Ketika Sri kembali bersama warga, semua sudah terlambat. Jarwo ditemukan tewas dalam keadaan mata terbelalak dan mulut menganga. Tangan Jarwo yang tadinya berdarah-darah, berubah menjadi luka borok bernanah dan mengeluarkan bau tak sedap.
Kedua tangannya hampir hancur karena luka-luka garukan yang sudah menganga. Sri yang histeris tak kuasa menahan diri hingga jatuh pingsan.
**************
Sore berganti malam. Sayup-sayup terdengar suara lantunan anak-anak mengaji dari sebuah dhurung yang cukup besar.
*Bentuk bangunan dhurung yg masih dilestarikan di Pulau Boyan hingga saat ini. Hanya saja sudah lumayan jarang ditemukan. Luas dan besarnya pun macam-macam.
Ustadz Malik memfungsikan dhurung miliknya sebagai tempat mengajar ngaji untuk anak-anak di desa ‘Tandur Timur’ seusai shalat maghrib.
“Nuuuur… Nuri."
Sontak panggilan itu menghentikan aktifitas ngaji anak-anak termasuk ustadz Malik. Dilihatnya seorang wanita paruh baya bertubuh tambun dan pria tua disampingnya menghampiri Nur. Mimik wajahnya terlihat khawatir.
“Iya mak Farida?” sahut Nur kemudian.
“Kamu tadi main sama Eni kan? Kamu tahu tidak sekarang Eni dimana?”
“Loh emang Eni belum pulang mak?”
“Kalau Eni sudah pulang, ngapain emak tanya kamu sekarang.”
Nuri beradu pandang dengan Nilam yang berada di sisinya.
“Tadi Nur sudah mengajak Eni pulang sore tadi mak. Cuma Eninya gak mau karena masih main engklek sama Ani dan Halimah. Ya kan Nil?”
Nilam mengangguk meng'iya'kan.
Kini mata mak Farida beralih mencari-cari sosok yang dimaksud Nuri. Anak-anak yg lain ikut beradu pandang mencari keberadaan Ani dan Halimah diantara mereka. Hingga akhirnya beberapa anak di ujung barat dhurung berpindah posisi,
memberi ruang jeda agar mak Farida bisa melihat jelas Ani dan Halimah yang ternyata berada dibelakang mereka.
"Ani! Halimah! Bener kalian tadi main engklek sama Eni?"
Ani dan Halimah saling pandang dengan sedikit ketakutan.
"Gi.. gini mak Farida. Tadi seusai main engklek kami sudah mengajak Eni pulang. Cuma Eninya masih pengen main petak umpet sebentar. tee.. rus." Ani menelan ludah.
"terus yaa udah kita main sebentar. Saya yang jaga. Saya cuma ketemunya Halimah. Eni nya ngilang. Saya dan Halimah
sudah mencari-cari Eni di tanah lapang. Kami kira, Eni sudah pulang duluan meninggalkan kami." Jelasnya kemudian.
"Wewe gombel..." sahut Nilam lirih. Nuri melirik Nilam dengan perasaan tak enak.
Raut muka mak Farida pun terlihat berang
"Terus Eni dimana sekarang?"
"Kaa... kami gak tau mak." Sahut Halimah terbata-bata.
"Yaa Allah bapaaakk. Paaak.. Eni dimana?"
Mak Farida akhirnya menangis tersedu-sedu sambil memeluk suaminya. Sontak suasana disekitar dhurung menjadi kisruh. Ustadz Malik berusaha menenangkan mereka dan menghampiri mak Farida.
"Tenang buu... tenang..." suami mak Farida berusaha menenangkan.
"Mak Farida. Mohon tenang dulu. Apa Eni sudah dicari ke rumah sanak saudara atau rumah teman2nya yang lain?"
"Sudah pak ustadz. Kami sudah mencari kemana-mana. Lalu kami ingat Eni sempat pamit main bersama Nuri."
Tampak beberapa warga yang tak sengaja lewat, akhirnya menghampiri dhurung ustadz Malik karena penasaran dgn keributan yang terjadi.
"Assalamu'alaikum. Ada apa ini kok ribut2?"
"Eni anak kami hilang." sahut Pak Romli suami mak Farida dgn suara bergetar.
"Astaghfirullahal'adziim. Bagaimana bisa? "
Keributan makin tak terkendali. Mak Farida masih menangis. Ustadz Malik berusaha tenang dan memikirkan solusi.
"Tenang bapak-bapak, mak Farida. Begini saja.Tolong bapak Isman dan Bagus kumpulkan para warga laki-laki. Kita cari Eni bersama-sama di seluruh desa."
Pria berusia 35 tahun itu tampak berpikir sejenak.
"Jangan lupa bunyikan kenthongan saat mencari Eni. Saya akan menyusul setelah mengantar anak-anak pulang ke rumah masing-masing."
"Baik pak ustadz." Sahut Pak Isman
"Dan Pak Romli tolong titipkan Mak Farida di rumah kerabatnya. Sedang pak Romli boleh ikut mencari Eni bersama warga."
Pak Romli hanya mengangguk pasrah.
Akhirnya beberapa warga desa 'Tandur Timur' akan memulai pencarian Eni malam itu. Sedang ustadz Malik mengantar pulang anak didik ngajinya satu persatu.
"Eni dibawa wewe gombel ustadz." Sahut Nilam tiba-tiba.
Saat itu tinggal mereka berdua kloter paling akhir yang diantar ustadz Malik pulang ke rumah. Ustadz Malik tersenyum kecut. Dia tahu Nilam bisa melihat hal-hal ghaib. Salah satunya berkat khadam yg dimiliki.
"Saya tahu."
"Tadi saya melihatnya. Dibalik pohon bambu di tanah lapang. Makanya Nuri saya ajak cepet-cepet pulang. Ya kan Nur?"
Nuri meringis mendengar perkataan Nilam. Karena dia sendiri tidak bisa melihat wewe gombel yang dimaksud.
"Pak Ustadz. Kalau Eni gak cepat-cepat ditemukan. Dia bisa hilang selamanya."
"Hussh.. Jangan ngomong gitu Nil." Sahut Nuri khawatir. Bagaimanapun Eni masih kerabatnya.
"Inshaa Allah Eni bakal ditemukan. Kita doakan saja ya."
"Ustadz Malik tahu nggak. Wewe gombel itu merupakan salah satu peliharaan mbah Darso."
Ustadz Malik menghentikan langkahnya dan memandang Nilam dengan mimik serius.
"Kamu tahu darimana Nilam?"
"Barusan eyang kung ngasih tahu Nilam."
[*Eyang Kung (Eyang Melengkung) -ini khadam yg dimiliki Nilam. Menurut Nilam, eyang kung berwujud sosok kakek bertubuh bungkuk melengkung, dengan dagu panjang lancip sedada dan memiliki janggut putih yang panjang mencapai tanah.
Eyang Kung ini memang merupakan salah satu khadam yang bertugas secara turun menurun menjaga keluarga Nilam].
"Kamu tahu Eni disembunyikan dimana sama wewe gombelnya?"
Nilam tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng.
"Eyang Kung gak ngasih tau ustadz."
Nuri memandang Nilam dan ustadz bergantian. Meskipun penglihatannya terbatas karena cahaya obor yang temaram. Tapi Nuri bisa melihat wajah khawatir milik ustadz Malik.
Seusai mengantar Nilam dan Nuri, ustadz Malik segera menghampiri kerumunan warga yang sudah berkumpul di depan rumah Mak Farida.
"Gimana pak ustadz. Bisa kita mulai pencariannya?" Tanya Pak Rahmad yang merupakan salah satu orang yang dituakan di desa.
Ustadz mengamati beberapa warga yang membawa kenthongan dan sebagian lain membawa obor.
"Ingat ya bapak2. Panggil nama Eni dgn suara lantang sambil bunyikan kenthongan. Telusuri seluruh desa. Jangan lupa selalu berdoa." Tegas ustadz Malik kemudian.
"Berarti bener nih si Eni di culik wewe gombel!?" Bisik seorang warga.
"Sssttt!!!" Tegur yg lain .
Riuh...
Suara kenthongan pencari si anak hilang memecah keheningan malam. Angin bertiup pelan, hanya saja rasa dinginnya cukup menusuk sendi tulang. Sejumlah 15-20 warga menelusuri jalan-jalan setapak mengelilingi desa, gelap tentu saja.
Karena desa bahkan pulau ini belum mendapat aliran listrik. Dengan mengandalkan cahaya obor temaram, mereka masih berusaha mencari Eni hingga tengah malam.
"Bagaimana ini ustadz? Belum ada tanda-tanda Eni" Tanya Pak Rahmad yang terlihat kelelahan, bahkan suaranya sedikit serak.
"Baiklah kita istirahat sebentar."
************
Ustadz Malik kembali berpikir sejenak. Bahkan selama pencarian, Ustadz Malik tak pernah lepas dari wirid agar Eni bisa segera ditemukan. Tiba-tiba ia teringat perbincangannya dengan Nilam.
Akhirnya ustadz Malik pamit pulang terlebih dahulu lewat Pak Rahmad. Pasalnya, mencari Eni yang sedang disembunyikan wewe gombel terbilang sulit. Karena wewe gombel ini memiliki majikan.
Rencananya ustadz Malik akan melakukan tirakad tertentu dari rumah. Ustadz Malik memang memiliki ilmu kebatinan, karena pernah mondok dan berguru dengan salah satu Kyai besar di Jawa Timur.
**********
Sore itu sebelum kejadian Eni menghilang...
"Dua puluh delapan... dua puluh sembilan... tiga puluh..." Sayup suara Ani terdengar.
Eni berlari mencari tempat persembunyian dan mulai menjauhi tanah lapang.
Sejenak mata bulatnya menelisiri sekeliling, hingga akhirnya ia memutuskan bersembunyi di sekitar rimbunan pohon bambu.
Di dekat rimbunan batang bambu, terdapat sebuah batu besar berwarna hitam dan tumbuhan menjalar yang sedikit lebat.
Awalnya ia ragu, takut-takut ada ular di sana. Namun setelah memeriksa area tersebut dan dirasa cukup aman. Eni pun memutuskan tetap bersembunyi di balik batu hitam.
Eni yang bersandar di balik batu sedikit menahan tawa mendengar suara cempreng Ani, yang sedang mencari-cari dirinya dan Halimah.
"Hi hi hi.."
Eni terdiam karena barusan seperti ada yang ikut tertawa lirih dibelakangnya.
Ia menoleh dan tak melihat apapun. Tiba-tiba angin semilir bertiup, menghasilkan suara-suara khas bambu yang bergerak-gerak.
'Mungkin suara bambu yang tertiup angin.' Batinnya menenangkan.
"Hi.. hi... hii..."
Suara itu terdengar kembali.
Trakkk tratakk trakkk...
Terdengar bunyi batang bambu yang saling bergesekan.
Bukan gesekan batang bambu yang membuatnya waspada, tapi suara tawa lirih wanita itu permasalahannya.
Tak bisa dipungkiri suara itu membuat bulu tengkuk Eni berdiri. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk segera beranjak dan berlari menjauhi tempat itu karena ketakutan.
Eni berlari secepat mgkin menuju tanah lapang, ia tak peduli lagi kalo pun Ani menangkapnya sekarang.
"Hosshh.. hossh.."
Eni mulai mengatur napas yang hampir habis. Tangannya memegang dada yang jantungnya berdetak cepat seolah-olah ingin melompat dari tempatnya. Matanya terasa sedikit berkunang-kunang.
"Fiuuuuh..."
Eni memang sudah sampai di tanah lapang, hanya saja tempat itu sepi. Dan tiada siapapun di sana. Kepalanya berputar, menoleh sekeliling berusaha mencari keberadaan teman-temannya.
"Anii... Halimaaah.." Panggilnya kemudian.
Tak ada sahutan.
"Aniii... Halimah... Kalian dimana?"
Matanya mendongak ke langit-langit yang sudah berwarna oranye keabu-abuan.
"Sial! Aku ditinggal pulang ternyata." Gerutunya kesal.
Tak jauh dari tempatnya, Eni menangkap sosok familiar sedang berjalan ke arahnya.
Seorang wanita bertubuh tambun dengan selendang tipis berwarna hijau tua yang membungkus rambut, melambaikan tangan seolah menegaskan Eni untuk segera datang menghampirinya.
"Emak?" Gumamnya lirih.
Eni segera berlari menghampiri Mak Farida.
"Mak... Maaf Eni sudah mau pulang kok ini." Jawabnya takut-takut.
**************
Mak Farida hanya mengangguk, tanpa sepatah katapun tangannya langsung menggapai Eni dan menggandengnya pulang.
Sesampainya di rumah Mak Farida menggiring anak perempuannya langsung menuju dapur. Eni sedikit heran dgn perilaku emaknya yang hanya diam sedari tadi. Selain itu, biasanya Mak Farida pasti ngomel-ngomel dan akan menyuruhnya untuk segera mandi.
Karena seusai shalat maghrib ia harus pergi ke dhurung ustad Malik untuk ngaji rutin harian.
"Makk.. Eni mau mandi dulu. Kan habis ini harus jamaah maghrib di surau, terus ngaji ke ust Malik."
Mak Farida melotot tak suka padanya. Lalu tetap menarik Eni ke meja dapur.
Eni masih merasa aneh dengan sikap emaknya, namun ia tidak bisa menolak.
'Emak kok aneh banget ya.' batinnya.
Emak Farida mulai membuka tudung saji di meja makan. Mata Eni membelalak kaget mendapati sajian masakan yang terlihat enak-enak.
Ada beberapa varian masakan, diantaranya ikan bakar kakap, ikan kuah kuning, kepiting kuah santan, rendang, dan opor nangka..
Eni meneguk ludah bukan main dan tiba-tiba saja perutnya berbunyi karena lapar.
"Ini ada acara apa mak, kok tiba-tiba masak enak-enak begini?"
Tetap tak ada sahutan sedikitpun yang keluar dari mulut emaknya.
Karena sudah kepalang lapar, Eni tak begitu memperdulikan sikap aneh mak Farida lagi.
Ia pun segera duduk, mengambil piring anyaman bambu beralaskan daun pisang, dan menyendok beberapa entong nasi hangat diatasnya.
Eni pun menyantap masakan mak Farida dengan amat lahap.
"Hwennak mhakk.." ucapnya disela-sela kunyahan.
Mak Farida mengambil posisi duduk disamping Eni, lalu mengelus-elus rambut belakang Eni secara perlahan.
Ujung sudut bibir keringnya mulai tertarik, menampilkan senyum tipis yang sedikit lebar. Mulai lebar. Lalu semakin lebar. Memandang Eni senang dengan raut mengerikan.
"Hi hi hi..."
Eni memasukkan sesuatu berwarna hitam dan bertekstur lembek ke dalam mulutnya secara terus menerus. Ia memakannya secara lahap, tak sadar bahwa apa yang masuk ke dalam kerongkongannya adalah kotoran hewan Sapi dan Kambing.
Seorang nenek berkulit keriput terkekeh pelan. Rambutnya yang kusut dan kasar menutupi sebagian wajah. Tampak payudaranya yang panjang dan kendor dengan otot-otot hitam yang mngerikan, menjuntai berusaha menutupi tubuh Eni sepenuhnya.
"Hi.. hi.. hi.."
Sementara itu di sebuah rumah yang nampak sederhana....
******
Sudah tiga hari dua malam Eni masih belum ditemukan. Mak Farida makin kalut. Kedua anak-anaknya yang lain berusaha menenangkan. Ustadz Malik masih melakukan tirakad dari tengah malam hingga shubuh tanpa tidur.
Hingga suatu shubuh, Pak Joko pergi ke kebunnya yang berada didekat tanah lapang. Menyabit rumput untuk pakan hewan-hewan ternaknya. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan dibalik rimbunan pohon pisang.
Awalnya Pak Joko mengira itu bangkai hewan. Namun setelah di dekati dan menyingkirkan tumbuhan jalar serta daun-daun yang menutupi, betapa kagetnya ia ternyata 'itu' adalah Eni.
Tubuhnya terlihat sangat kotor. Matanya terbelalak dengan pandangan kosong. Pak Joko sempat mengira Eni sudah tewas. Namun setelah mengecek kondisi tubuh gadis kecil itu sekali lagi, ternyata jantung Eni masih berdetak. Napasnya masih ada.
Pak Joko langsung mengangkat tubuh Eni dan meminta pertolongan warga.
Lagi-lagi kehebohan terjadi didesa, setelah satu bulan tragedi kematian tak wajar Pak Jarwo. Namun hal itu adalah satu dua dari sekian tragedi yg sudah biasa terjadi di desa 'Tandur Timur' dalam 30 tahun terakhir.
Setelah 2 minggu kejadian Eni yang menghebohkan. Tiba-tiba tersiar kabar bahwa wewe gombel yang menculik Eni adalah milik mbah Darso. Ntah bagaimana berita itu tersebar dikalangan warga. Padahal Nilam, Nuri, apalagi Ust Malik tak pernah menceritakan perihal itu pada siapapun.
Kemungkinan besar ada warga yang tak sengaja mendengar pembicaraan Ustad Malik dengan Damar (kerabat jauh Nuri), saat usaha pencarian Eni yang hilang.
Ustad Malik memang sempat membahas bagaimana cara menemukan wewe gombel melalui alam gaib dengan Damar.
Satu malam sebelum Eni ditemukan, Ustad Malik berhasil menemukan persembunyian
Wewe Gombel tersebut. Ia sempat melakukan peperangan gaib, hingga akhirnya berhasil mengalahkan si wewe dan merantainya.
Lalu ustad Malik pun menginterogasinya.
Dimana Eni disembunyikan? Apakah si wewe menculik Eni karena kehendaknya sendiri atau suruhan dari sang majikan. Awalnya makhluk tersebut tak mau mengaku dan hendak melakukan tipu daya padanya. Namun Ustad Malik paham betul cara kerja jin kafir yang penuh kebohongan.
"Ayo ngaku! Dimana Eni kamu sembunyikan?"
"Hmmmm.... hmmmmm...." makhluk itu hanya menggeram lalu menyeringai.
"Kalau mau anak itu kembali. Berikan aku sajen. Aku lapar."
"Saya tidak akan pernah bernegosiasi dengan makhluk sepertimu!"
Usut punya usut, beberapa hari sebelum Eni diculik. Ternyata Mak Farida sempat cek cok mulut dgn anak perempuan mbah Darso yang bernama Siti di pasar perihal saingan dagang.
Akhirnya Ustad Malik membuang jauh-jauh si wewe gombel ke laut. Mengetahui hal itu sepertinya membuat mbah Darso geram. Terbukti ketika Ustad Malik tak sengaja berpapasan, mbah Darso terlihat marah sekali meski tidak mengeluarkan perkataan apapun dari mulutnya.
************
Nanang merintih tatkala seluruh tubuhnya terasa panas. Rasa panasnya bukan main parahnya. Bahkan telapak kakinya sedikit melepuh. Sudah sepuluh hari bocah berusia 11 tahun menderita demam yang tak kunjung reda.
Orang tuanya pun sudah membawanya berobat ke puskesmas desa dan memanggil mantri. Hanya saja, diagnosisnya sedikit aneh. Nanang didiagnosa tidak menderita penyakit parah apapun, kebanyakan dari mereka bilang bahwa Nanang hanya terkena masuk angin atau gabag'en (campak).
Namun demamnya masih tinggi tak mengalami penurunan sama sekali. Tak ada tanda bercak merah ataupun rasa gatal. Gejala yang nampak hanya demam tinggi saja.
Segala upaya sudah dilakukan. Baik obat medis dari mantri maupun obat racikan tradisional.
Nuri, Nilam, Santoso, dan kedua temannya yang lain memutuskan untuk menjenguk Nanang, teman satu madrasahnya itu.
Saat pertama kali memasuki kamar Nanang, Nilam sempat sedikit tersentak. Namun tak lama kemudian, mimik wajahnya kembali seperti biasa seolah tak terjadi apa-apa.
"Wedhus Gembel." Gumamnya kemudian.
Lagi-lagi hanya Nuri yang mendengarnya. Karena memang Nilam selalu berdiri sebelahnya.
Santoso, Imam, dan Cahyo sempat mengajak guyon Nanang agar merasa terhibur. Nanang sedikit tersenyum, meskipun wajahnya terlihat pucat dan lemas.
Setelah beberapa lama, akhirnya mereka semua berpamitan. Ketiga teman lelaki Nuri dan Nilam keluar terlebih dahulu.
"Mak Saroh boleh ngomong sebentar?!" ucap Nilam kemudian.
Mak Saroh, ibu Nanang sedikit heran namun akhirnya meng-iya-kan ajakan gadis kecil dihadapannya.
Lalu Nilam pun mengajak Mak Saroh ke arah belakang ntah kemana. Meninggalkan Nuri seorang diri diruang tamu rumah Nanang.
Tiba-tiba Cahyo menjulurkan kepalanya melewati pintu.
"Ayo pulang!" Ajaknya
Nuri sempat menoleh kebelakang "Duluan aja. Aku nunggu si Nilam."
"Emang Nilam kemana?"
Nuri memutar bola matanya mencari alasan. "Errr... Nilam kebelet katanya."
Cahyo berdecak lalu kembali menarik kembali kepalanya menghilang dibalik pintu.
"Maksud dari Wedhus gembel itu apa?" tanya Nuri tiba-tiba.
Tampak alas kaki-kaki kecil mereka menapak tanah bebatuan jalan yang tidak beraspal. Nilam menoleh sekilas pada Nuri.
"Uhm... kamu tau kan wujud wedhus gembel kalau ada gunung berapi yang mau meletus?"
Nuri menggeleng. Bagaimana dia bisa tau, di pulau Boyan kan tidak ada gunung aktif. Ketika di Solo pun juga jauh sekali dari gunung merapi. Hanya ada gambar-gambar dua dimensi dari buku pelajaran saja. Bagaimana cara Nilam bisa tau realisasi wujud dari 'Wedhus Gembel'?
"Emang kamu tau bentuknya?"
"Ya taulah. Eyang Kung yang ngasih tau. Contohnya kayak gumpalan asap kelabu yang menyelimuti Nanang tadi."
"Hah?"
Nuri kembali terkejut dengan pernyataan Nilam. Ia tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Nilam pun kembali bercerita.
"Tadi pas pertama kali kita masuk kamar Nanang. Aku udah melihat gumpalan asap itu. Asapnya memang panas sekali. Karena itu aku gak betah lama-lama di sana."
"Emang apa yang sebenernya terjadi sama Nanang?"
Nilam menghela napas "Ada jin yang sedang mengerjainya. Makhluk jelek itu meniupkan asap seperti wedhus gembel secara terus-menerus ke Nanang."
Nilam sedikit mendeskripsikan wujudnya. Menurutnya makhluk itu memiliki kulit berwarna hitam legam, berkepala botak, dan memiliki sepasang tanduk kambing di atas kepalanya. Nuri menanyakan perihal bagaimana bisa Nanang di ganggu makhluk itu.
"Aku sempet sih tadi berbincang-bincang sebentar."
Nuri paham Nilam ngobrol dengan makhluk itu lewat suara batin. Secara dari tadi Nilam lebih banyak diam saat berada di kamar Nanang. Kalaupun dia tiba-tiba berbicara sendiri, bisa-bisa temannya ketakutan melihatnya.
"Awalnya 'dia' menolak mengatakan apapun. Dengan bantuan dari eyang kung dan kupaksa dengan sedikit ancaman agar mau mengaku. Ternyata 'dia' gak terima atas perlakuan Nanang pada majikannya. "
"Emang majikannya siapa?"
"Raden." Jawab Nilam kemudian.
Sebenarnya permasalahannya sepele. Hanya karena pertengkaran anak-anak pada umumnya. Tapi kenapa Nanang sampai diserang sebegitu parah?
Raden ini salah satu cucu mbah Darso. Ya dia seumuran dengan Nanang dkk. Berawal dari permainan sepak bola tradisional di desa. Kala itu Raden satu tim dengan Nanang. Nanang ini badannya lebih bongsor dari anak-anak seumurannya, makanya dia agak disegani. Jaman pas masih kecil, bisa dibilang jadi ketuanya.
Biasanya tim Nanang selalu menang. Tapi semenjak Raden masuk ke timnya menggantikan Slamet, timnya jadi sering kalah.
Slamet diganti karena ia pindah dengan keluarganya ke kecamatan sebelah.
Alhasil Nanang jadi kesal dan menyalahkan kekalahan tim sama Raden. Bisa dibilang Raden secara fisik agak lemah karena badannya kurus.
Hingga suatu hari mereka bertengkar disekitaran pematang sawah. Namanya juga anak kecil, kalau ada temannya bertengkar rata-rata bukannya dipisah tapi malah disorakin.
Pertengkaran berakhir dengan Nanang yang berhasil mendorong Raden ke pematang sawah yang baru ditanamin.
Badannya kotor penuh lumpur. Raden nangis tapi gak ada yang mau nolongin, karena Nanang melarang siapapun untuk menolongnya.
Setelah itu Raden dikeluarkan dari tim dan gak ada siapapun yang mau menerimanya. Alias dia dikucilkan teman-teman sebayanya di desa.
Semua itu karena pengaruh Nanang. Istilahnya 'gak dibolo'. Nanang memang terkenal anak yang rada tengil di desa.
Si Raden ini punya satu Jin penjaga yang memang dikasih mbah Darso. Bedanya, Raden gak bisa lihat dan gak punya kemampuan seperti Nilam.
Karena Jin bertanduk kambing ini tugasnya hanya menjaga saja. Karena perbuatan tidak menyenangkanyan pada Raden, jadilah Nanang dikerjain sama jin penjaganya. Nilam mengetahui detail cerita karena mendapat sebuah penglihatan di sana.
"Nah terus tadi kamu ngasih tahu mak Saroh gitu?" Nilam mengangguk.
"Emang dia percaya?"
"Awalnya sih nggak begitu percaya. Cuma tadi aku saranin satu hal. Suruh si Nanang minum air daun kelor atau bidara yang sudah dibacain doa."
"Kalau memang ada perubahan dan demamnya mulai turun, aku saranin mak Saroh untuk meminta bantuan ustad Malik. Biar penjaganya si Raden pergi nggak ganggu lagi. Dibersihin lah istilahnya."
Nuri mengangguk mengerti. Memang dibanding anak-anak seumurannya, Nilam memiliki pemikiran yang lebih dewasa. Mgkin juga karena dia sering berinteraksi dengan makhluk-makhluk yang usianya ratusan hingga ribuan tahun lamanya.
SELESAI