Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

MISTERI LUBANG TAMBANG KOLONIAL BELANDA

JEJAKMISTERI - Kota Sawahlunto adalah kota yang terletak di timur laut Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat. Sawahlunto dahulu hanya merupakan lembah subur yang dijadikan sawah oleh warga setempat yang berbudaya Minang. Lembah itu dibelah oleh aliran Sungai Lunto.

Nama Sawahlunto sendiri diambil dari kata "sawah" dan Sungai "Lunto". Lembah yang subur dan kekayaan alam nusantara di Sawahlunto ini menarik kolonialis Belanda untuk menancapkan kukunya sedemikian rupa di sana pada saat itu. Sawahlunto yang merupakan ladang pertanian perlahan kemudian beralih fungsi menjadi daerah pertambangan batu bara di bawah kolonial Belanda.

Salah satu saksi bisu kekejaman pemerintahan kolonial Belanda di Sawahlunto adalah Lubang Tambang Mbah Soero.

Lubang Tambang Mbah Soero di Sawahlunto merupakan lubang bekas tambang batu bara yang bersejarah. Terdapat kisah seram tentang "orang rantai" di sana yang bisa membuat siapapun merinding.

Apa itu "orang rantai"?

Mereka adalah para pribumi yang membangkang dan tahanan politik, yang dipekerjakan paksa oleh Belanda sebagai penambang batu bara di Lubang Mbah Soero tersebut. Mengapa disebut manusia rantai? Sebab kaki, tangan dan leher mereka selalu dirantai tiap waktu.

Orang-orang rantai yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan diperlakukan dengan tidak manusiawi. Mereka bekerja siang malam dan tidak diberi makanan yang layak. Kalau mau bertahan hidup, ya harus kerja terus.

Namun rupanya, kisah menyeramkan tentang Sawahlunto bermula jauh sebelum lubang tambang batu bara itu dibuat.

Cerita mengerikan ini bermula saat Willem Hendrik de Greve, ahli geologi yang ditugasi pemerintah Belanda untuk menyelidiki keberadaan batu bara di Sawahlunto.

Penugasan Willem Hendrik de Greve dimulai pada tanggal 26 Mei 1867. Surat penugasan De Greve disepakati oleh gubernur jenderal pemerintahan kolonial Belanda saat itu, Pieter Mijer.

Pada tahun 1868, De Greve menemukan kandungan batu bara di Sungai Ombilin. Namun, tidak disangka, alam sekitar Sawahlunto berkata lain. Penunggu dan penjaga alam Sawahlunto bagaikan marah dan menolak keberadaan mereka. De Greve ditemukan meninggal dunia karena terseret air saat menyusuri jalur alternatif untuk mengangkut batu bara hasil temuannya pada 22 Oktober 1872 pada usia 30 tahun. De Greve meninggal di usia muda.

Eksplorasi itu sempat terhenti karena tidak disetujui oleh pemimpin suku di Sawahlunto. Mereka berpikir bahwa kematian De Greve adalah pertanda bahwa alam tidak menerima jika dirusak untuk kepentingan pribadi. Namun, pemerintah Belanda tidak menghiraukan nasihat tersebut. Setelah diketahui kandungan sumber daya alam dan potensi ekonominya, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk melanjutkan eksplorasi di Sawahlunto.

Pada akhirnya dimulai pula pembangunan infrastruktur tambang dan pendukungnya di Sawahlunto. Pembangunan infrastruktur tersebut di mulai pada tahun 1883 hingga 1894. Aktivitas pertambangan dimulai pada tahun 1892

Untuk mendukung aktivitas pertambangan di Sawahlunto, pemerintah Hindia Belanda menggunakan para narapidana sebagai tenaga kerja yang diambil dari penjara-penjara yang ada di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Medan (Sumatera Utara).

Para narapidana ini diangkut dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Perak, dan diturunkan di Pelabuhan Emmahaven, sekarang bernama Pelabuhan Teluk Bayur, yang dibangun kolonial Belanda antara 1888 dan 1893.

Mereka kemudian diangkut dengan kereta api ke Sawahlunto atau pusat aktivitas pertambangan Sawahlunto.

Para narapidana yang dipekerjakan di pertambangan Sawahlunto ini umumnya adalah narapidana yang dinilai pemerintah Kolonial Belanda sebagai pembangkang. Sebagian di antara mereka adalah tawanan politik Belanda, ada pula yang berasal dari kriminal, para penjahat kelas kakap atau yang dianggap sebagai penjahat.

Tawanan Belanda itu adalah orang-orang yang melawan Belanda. Mereka ingin mempertahankan tanah nenek moyang mereka yang dirampas Belanda. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menjadi kacung Belanda. Belanda mengganggap mereka adalah teroris, merusak wibawa dan kekuasaan Belanda. Suatu ketakutan yang luar biasa yang hinggap di kalangan tuan-tuan berkulit putih kala itu.

Jumlah tahanan yang dipekerjakan di pertambangan Sawahlunto diperkirakan berjumlah 2.000 orang. Di Sawahlunto inilah para narapidana itu dikerahkan habis-habisan tenaganya untuk membuat terowongan tambang. Pekerja paksa ini dikenal juga dengan sebutan "orang rantai" karena dalam kegiatan penambangannya kaki mereka tetap dirantai.

Saat mereka bekerja, hanya kaki yang dirantai. Akan tetapi, setelah bekerja dan kembali ke tahanan, kaki dan tangan semuanya dirantai.

Para pekerja ini menempati ruang bawah tanah yang dibangun Belanda. Pada dinding ruangan ini, baik di dalam maupun luar, dipasang pecahan kaca sehingga para penghuni tidak bisa bersandar.

Siksaan berupa cambukan sering kali mereka terima dari mandor, makanan yang diberikan pun terbatas. Oleh karena itu, banyak orang rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa itu.

Waktu itu, banyak pekerja yang meninggal di dalam lubang tambang. Kemudian, mayatnya ditimbun begitu saja di dalam lubang. Beberapa malah diselipkan di dinding-dinding lubang. Ketika bekas tambang ini dibuka pada tahun 2007, ditemukan banyak sekali tulang belulang bekas mayat manusia.

Semua narapidana yang didatangkan dari Pulau Jawa setelah berada di pertambangan Sawahlunto, tidak lagi menggunakan nama asli mereka.

Semua narapidana diberi tanda cap berupa angka seperti 2532 atau angka 7 di bagian tangan sebagai nama panggilan sehari-hari.

Jadi, mandor tidak memanggil nama asli, tetapi menyebut nomor atau angka yang tertera di tangan para napi sehingga di antara mereka sendiri tidak saling mengenal.

Di samping itu, keluarga atau kerabat sulit mencari para pekerja paksa di pertambangan batu bara di Sawahlunto ini karena tidak ada identitas.

Itulah yang menyebabkan banyak keluarga korban yang datang untuk mencari makam leluhur mereka di tanah Sawahlunto tidak bisa menemukannya karena di tempat-tempat pemakaman narapidana yang mati hanya tertulis angka.

Kini, Lubang Tambang Sawahlunto dibuka menjadi sebuah tujuan bagi semua wisatawan dari dalam negeri maupun berbagai mancanegara, terutama generasi muda bangsa ini yang ingin mengetahui drama perbudakan di negeri sendiri.
SEKIAN

close