Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 3) - Mbah Wir Dan Sumila


Kemarahannya kali ini menggetarkan seisi alam. Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, petir menggelegar bersahutan, hujan lebat tiba-tiba mengguyur bumi. Pohon-pohon banyak yang tumbang, tercabut bersama akarnya. Suasana pagi yang biasanya sunyi senyap, menjadi kacau. Penduduk berhamburan keluar rumah, lari menyelematkan diri karena banyak dari rumah mereka yang tertimpa pohon.

Sang pemilik rumah tengah, Sumila terbangun karena hiruk-pikuk yang terjadi. Bukan seperti biasanya terbangun karena suara bangkiyak yang dipakai Mbah Wir. Sumila tidak membuka jendela seperti biasa, tetapi melangkah ke pintu depan lalu membuka pintu. Di sana, dia melihat Mbah Wir sedang berdiri membelakangi pendopo.

Mata Sumila menatap Mbah Wir untuk beberapa saat, raut muka yang tadinya tenang terlihat murka. Sumila mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia menghela nafas panjang, melangkah mendekati Mbah Wir. Langkahnya agak tergesa tetapi wajahnya begitu tenang. Murka di wajahnya telah tertalan langkah kakinya yang tergesa.

"Mad, kowe ki nyapo?" (Mad, kamu ini sedang apa?) suaranya lembut tetapi berwibawa.

Seketika Mbah Wir tersadar dari amarah yang mengusai.

Tangan yang tadi mengepal perlahan melepas kepalan, wajah yang penuh kemarahan memudar menjadi rona malu dan rasa bersalah.

Hujan perlahan mereda lalu berhenti sama sekali. Angin pun perlahan pulih seperti biasa, menjadi angin pagi yang damai. Nanun, beberapa saat kemudian, saat Sumila berdiri tepat di depan Mbah Wir, tiba-tiba suasana menjadi sunyi-senyap.

Bahkan sisa air hujan yang akan jatuh dari pepohonan tidak jadi jatuh, berhenti di tempatnya, waktu seolah terhenti. 

"Pangapunten, Ndoro Putri." (Mohon maaf Ndoro Putri.) Wajah Mbah Wir tertunduk, sama sekali tidak berani mengangkat dagu apalagi menatap Sumila.
 
"Nesu kuwi oleh, Mad. Ning yo kudu eling tur duwe welas asih marang dulur lan tonggo teparo!" (Marah boleh saja, Mad. Namun mesti mampu mengendalikan, juga mesti memiliki belas-kasih pada saudara dan para tetangga!)

"Kabeh ki wis sengsoro amargo kahanan sing koyo ngene, atiku yo loro banget amarga rabiso nulung." (Semua sudah sangat sengsara karena keadaan, hatiku juga sakit karena tidak bisa membantu.)

"Kok saiki malah awakmu nambahi karo nesumu, terus ngorat-ngarit kampung. Njajal opo paedhahe?!" (Sekarang malah kau tambahi dengan luapan amarahmu, dengan mengobrak-abrik kampung, coba apa manfa'atnya?)

Mbah Wir Kindar hanya menunduk malu, gemetaran mendengarkan ndoronya berbicara panjang lebar. Tidak ada nada marah dalam setiap ucapan, tapi cukup membuat mbah Wir ketakutan.

"Wis kono gek wudhu terus sholat jama'ah subuh, mari ngono kowe kudu mbalekne kahanan. Mboh piye caramu kabeh kudu mbalik ning panggonane, tak kei wektu telung dino!" (Sudah sana berwudhu terus sholat jama'ah subuh, setelah itu kamu harus mengembalikan keadaan. Aku tidak mau tau bagimana caramu, yang penting semua harus kembali ke tempatnya, aku kasih waktu tiga hari!)

"Inggih, Ndoro Putri. Sendiko dawuh." (Baik Ndoro Putri. Sesuai perintah.)

Sumila berbalik, melangkah masuk rumah. Suasana kembali seperti sedia kala, udara berhembus tenang, titik air sisa hujan kembali jatuh. Mbah Wir masih memandang ndoronya hingga pintu ditutup kemudian melangkah pergi menuju sumur dan berwudhu.

***

Persiapan Menghadapi Musuh

Pagi itu, para penduduk justru seperti punya alasan untuk saling bertegur-sapa dan saling membantu, Suasana menjadi mencair pagi itu. Mereka bergotong royong membantu para penduduk yang rumahnya tertimpa pohon, bersama-sama mebersihkan jalan. Karena sebagian jalan juga tertutup, terhalang oleh pohon yang tumbang. Ibu-ibu dan para anak gadis berkumpul di rumah-rumah yang terkena bencana, membantu memasak untuk para laki-laki yang bergotong-royong. Hari itu adalah hari terindah bagi penduduk dusun Lembah Biru. Mereka seperti menemukan kembali kehidupan mereka yang telah menghilang sejak lama. Setelah sekian lama, mereka bisa saling bertegur sapa dan bercengkrama tanpa rasa takut.

Mbah Wir, membaur dengan penduduk ikut bergotong-royong, sekaligus pergunakan waktu untuk berkeliling dusun. Ada hal lain yang sedang Mbah Wir kerjakan selain bergotong royong. Mbah Wir sedang memantau secara langsung keadaan dusun Lembah Biru, lalu menandai beberapa tempat.

Hari yang sangat sibuk telah berakhir, senja membayang. Para penduduk sudah kambeli ke rumah masing-masing. Ada rona bahagia di wajah-wajah mereka, meski masih tergambar lelah. Namun cukup menjadi penawar bagi setiap hati yang telah lama dicekam kengerian.

"Oalah, yo susah yo bungah, dusune morat-marit." (Oalah, ya susah ya senang, dusun morat-marit.) ucap seorang ibu kepada suaminya saat keduanya telah di dalam rumah.

"Iyo, bune, kabeh kui ono hikmahe. Lek dusune ra morat-marit kabeh yo rabakal wani tulung-tinulung sambi gojek koyo mau." (Iya, bune, semua ada hikmahnya. Jika dusun tidak morat-marit semua nggak akan kita berani saling menolong sambil bercanda seperti tadi.)

Pasutri itu tampak bahagia, meski penat seharian kerja bakti. Keduanya masih terus mengobrol sanati menceritakan pengalaman bertemu warga. Sesuatu yang sejak lama tidak berani mereka lakukan.

Senja telah menanggalkan mega, lelap dalam dekapan malam. Warga dusun Lembah Biru telah masuk rumah, menutup pintu dan jendela rumah rapat-rapat. Mbah Wir berjalan menuju mushola masjid kulon untuk menunaikan sholat maghrib berjama'ah. Suasana seperti biasa, masih sepi, hanya keluarga keturunan Mbah Surodiko yang berjama'ah. Namun ada yang berbeda malam itu, Mbah Wir terlihat masuk ndalem (rumah utama). Pasti ada hal sangat penting hingga Mbah Wir sowan ke rumah utama.

"Ndoro, mereka sudah menentukan hari H," ucap Mbah Wir.

"Maksudmu piye, Kang Mad?" tanya laki-laki di hadapanya.

"Tanggal dimana kita semua akan dihabisi." Ucap Mbah Wir menjelaskan.

Laki-laki itu tampak tercekat mendengar ucapan Mbah Wir, wajah yang tadinya begitu tenang bak lautan berubah tegang, giginya gemeretak menahan amarah.

Rupanya Mbah Wir sudah mengetahui bahwa seluruh keluarga keturunan Surodiko akan dihabisi. Makanya sangat marah dan tidak dapat mengendalikan emosi kemaren malam. Beruntung Sumila bisa menghentikannya. Jika tidak keadaan bisa jauh lebih buruk, pastinya penduduk yang akan jadi korban. Mbah Wir memang tidak pernah mampu menghadapi Sumila, bukan karena kalah sakti tetapi Mbah Wir adalah orang yang ngugemi tata krama. Setinggi apa pun kesaktian seseorang, mesti mengerti andap-asor. Apalagi terhadap bendoronya, orang yang telah memberinya perlindungan di saat orang lain menginginkan nyawanya.

"Mereka bahkan sudah menyiapkan lubang untuk mengubur kita semua." Ucap Mbah Wir, selanjutnya. Laki-laki itu langsung berdiri, mengepalkan kedua tangan. 

"Kau harus menggantikanku ngimami untuk tujuh hari ke depan! aku akan masuk kamar tengah mulai malam ini. Siapapun yang bertanya tentang keberadaanku, sampaikan bahwa aku sedang ke mbabatan."

"Inggih, Ndoro. Sendiko dawuh."

"Berundinglah dengan Sumila dan Manan, atur setrategi dengan benar! Utamakan keselamatan orang banyak!"

"Inggih, Ndoro. Sendiko dawuh."

"Kau bertanggung jawab atas keselamatan rumah tengah, rumah wetan ada Kang Sawedang. Sedang rumah ini akan jadi tanggung jawabku dan Manan."

"Inggih, Ndoro. Sendiko dawuh." 

Setelah Mbah Wir menyampaikan kesanggupan, laki-laki itu masuk ruang tengah. Pada saat yang sama seorang laki-laki yang lebih muda masuk rumah utama. 

"Sugeng rawuh, Ndoro." Ucap Mbah Wir, menyambut laki-laki itu.

"Lho, Kang Mas Sujak, endi?" (Lho, Kang Mas Sujak, mana?) tanya laki-laki itu.

"Tindak dateng mbabatan, Ndoro." (Pergi ke mbabatan, Ndoro.)

Mbah Wir benar-benar menyampaikan sesuai pesan yang ditingalkan. Manan tampak tersenyum, matanya tajam menatap ke arah pintu kamar tengah. Mbak Wir juga tampak tersipu, menyembunyikan senyumnya.

Di dalam rumah utama Mbah Wir sedang berunding dengan Manan, ayah Sumila. Keduanya berunding dengan sangat serius, karena permasalahan sangat pelik. Bukan hanya lima keluarga keturunan Mbah Surodiko yang terancam tapi seluruh penduduk dusun Lembah Biru.

Para pembesar PKI berencana menjadikan penduduk dusun Lembah Biru sebagai sandra. Jika mereka tidak bisa mengalahkan keluarga keturunan Mbah Surodiko. Maka mereka akan menekan dengan cara memenggal kepala penduduk satu-persatu.

"Rencana yang licik!" ucap Manan geram. Mbah Wir hanya tersenyum kecut menimpali kalimat Manan.

"Rupanya para pembesar PKI sudah mulai bisa membaca kemampuan kita,"

"Betul, Ndoro. Dari mata-mata yang disebar, saya mendapat informasi bahwa ada beberapa pembunuh bayaran mengundurkan diri setelah mengetahui bahwa kita yang mereka hadapi. Entah karena sungkan atau karena takut."

"Mungkin juga, mereka sudah mengukur kemampuan sendiri. Mengerti bahwa tidak mungkin mengalahkan kita, lalu mengundurkan diri."

"Bisa jadi, Ndoro."

"Masalahnya, saya tidak bisa langsung memagari rumah-rumah penduduk dengan pagar gaib. Karena banyak dari pembunuh bayaran tinggal bersama mereka."

"Pagari saja semua rumah penduduk, lalu kirim pesan rahasia. Sampaikan apapun yang terjadi mereka tidak boleh keluar rumah!"

"Inggih, Ndoro. Sendiko dawuh."

Pembicaraan berakhir dengan keputusan bahwa mereka akan menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Selebihnya mereka hanya bisa pasrah marang Gusti. Setelah itu, Mbah Wir meninggalkan rumah utama. Manan tampak berdiri di depan pintu, menatap Mbah Wir hingga hilang dari pandangan. 


Mbah Wir  Mulai bergerilya keliling dusun Lembah Biru, memberi pesan rahasia kepada setiap rumah agar di hari yang sudah di tentukan, sebelum matahari terbenam tidak ada satupun keluar rumah apa pun yang terjadi. Apa pun yang mereka dengar atau jika ada yang berteriak minta tolong sekalipun mereka harus tetap tinggal didalam rumah. Karena rumah sudah dipagari dengan pagar gaib. Jika mereka keluar maka sama saja mengantar nyawa.

Hampir pagi ketika Mbah Wir  menyelesaikan semua tugasnya. Lalu kembali ke rumah dan langsung pergi ke sumur untuk berwudhu. Seperti biasa suara bangkiyak yang dipakainya membangunkan Sumila. Setelah sholat subuh ia menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Sujak dan Manan kepada Sumila. Sumila hanya mengangguk, tatapannya tampak khawatir.

"Berhati-hatilah, Mad! Sepertinya kita akan menghadapi lawan yang sepadan kali ini."

"Inggih Gusti, sendiko dawuh."

***

Hari itu berlalu seperti biasa. Terlepas dari semua yang Mbah Wir lakukan tiap hari, ada hal lain yang tiap hari Mbah Wir lakukan sebagai manusia biasa. Mengurus sawah dan kebun juga ngangon. Mbah Wir memiliki beberapa kerbau dan kuda yang harus diurus.

Ada tugas lain yang harus dilakukan tiap pagi dan sore, yaitu menek (naik pohon) kelapa untuk mengambil nira. Ada lima puluh pohon yang mesti diambil niranya tiap hari.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close