Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 2) - Rencana Busuk PKI


Mereka mengumpulkan seribu pendekar pilih-tanding yang direncanakan akan membinasakan kelima keluarga Mbah Surodiko. Seluruh isi dusun sudah mengetahui hal ini, suasana menjadi sangat mencekam. Dusun yang tadinya sepi, kini mulai ramai oleh kedatangan orang asing yang umumnya angkuh dan petantang-petenteng.

Ada yang bersenjatakan badik, pedang, tombak, keris, panah, pistol dan senapan api. Ada juga yang tidak memiliki senjata. Konon yang tidak memiliki senjata justru mereka lebih sakti, karena konon mereka menyimpan senjatanya di dalam tubuh masing-masing.

Mereka tinggal di rumah-rumah penduduk, membaur dengan masyarakat lokal. Tidak ada yang berani membantah saat mereka datang ke rumah warga lalu memutuskan untuk tinggal dengan warga. Jika berani menolak, mayat warga tersebut akan berdiri tanpa kepala keesokan harinya.

Yang paling menyebalkan, mereka jadi tuan bagi setiap keluarga yang rumahnya mereka pilih untuk mereka tinggali. Warga hanya bisa pasrah, bersikap sangat hati-hati dalam tekanan dan ketakutan. Kekhawatiran selalu menyelimuti hari-hari mereka. Salah sedikit nyawa mereka sebagai taruhan.

Dusun Lembah Biru menjadi sangat ramai bagai kota baru, kedatangan orang-orang yang umumnya berpenampilan seram dangan tingkah arogan. Namun kelima keluarga Mbah Surodiko terlihat tenang dan biasa saja. Mereka mempersiapkan seuatu, akan tapi secara diam-diam. Bergerak tanpa diketahui siapa pun, dengan bantuan Mbah Wir mereka menyebar mata-mata ke setiap sudut dusun. Mbah Wir mempergunakan Gembolo Geni Bolo Sewu. Seribu Raksasa tak kasat mata sudah disebar, mengawasi gerak-gerik musuh keluarga Surodiko. Informasi detail, rencana exsekusi mati keluarga Surodiko juga sudah sampai ke telinga keluarga tersebut.

Pembesar PKI merencanakan, keluarga Surodiko akan dikepung oleh seribu pendekar pilih tanding lalu akan dihabisi ditempat. Hari H sudah ditentukan. Setiap sudut dusun, jalan keluar dusun sudah dipasang penjaga. Sehingga tidak memungkinkan keluarga Surodiko untuk melarikan diri.

Suasana dusun Lembah Biru semakin panas, hawa terasa makin panas dan menyesakkan. Tidak ada seorang pun yang berani kasak-kusuk. Jika sesama penduduk saling berpapasan tidak ada yang saling memandang wajah apalagi bertegur-sapa. Mereka berjalan dengan menundukkan kepala. Aktifitas mereka juga hanya seperlunya. Sebelum matahari terbenam, rumah-rumah penduduk sudah tertutup. Pintu dan jendela sudah di kunci, tidak ada seorang pun yang berani beraktifitas setelah matahari terbenam.

Di malam hari sangat sepi seperti desa mati. Binatang malam pun seolah ikut takut. Tidak ada suara jangkrik atau burung hantu, atau binatang lainnya. Tidak juga lolongan anjing apalagi suara kucing. Rumah-rumah penduduk, akan kembali terbuka saat matahari sudah menampakkan diri.

***

Tanah Pilihan

Lima rumah, keluarga keturunan Mbah Surodiko sangat sepi. Bedanya, mereka masih sholat berjam'ah seperti biasa tiap waktu, selesai berjamaah sholat maghrib masih terdengar suara lantunan bacaan Al-qur'an dan suara anak-anak mereka yang belajar mengaji, ditutup dengan sholat isyak berjama'ah. Begitu juga, selesai berjama'ah sholat subuh masih terdengar suara lantunan bacaan Al-qur'an di mushala masjid kulon.

Rumah tempat Mbah Wir ngenger adalah rumah tengah. Rumah anak tertua keturunan Mbah Surodiko yang bernama Sumila. Rumah itu disebut rumah tengah karena memang letaknya di tengah, di antara masjid wetan dan masjid kulon. 

Selain itu, rumah itu merupakan punjer (pusat), karena sesungguhnya tanah yang dimana rumah tengah berdiri adalah tanah pilihan. Tanah di mana awal mula keluarga Mbah Surodiko menancapkan tongkat pertama kali, saat beliau babat alas lalu tinggal di tempat itu. Yang kemudian hari diberi nama dusun Lembah Biru. Ada sumur tua di sana, sumur yang digali sendiri oleh Mbah Surodiko pada saat baru-baru datang ke hutan dimana sekarang telah menajdi dusun Lembah Biru. Sumur yang tidak pernah asat (kering) meski kamarau panjang.

Biasanya, dalam tradisi jawa, anak ragil (bungsu) yang akan menempati rumah orang tua. Namun ada pengecualian karena hanya Sumila yang mampu mewarisi ilmu orang tuanya. Maka dialah yang terplih untuk nyengkuyung (menjaga) kelaurga. Pada zaman itu, rumah-rumah masih sangat jarang jadi lahan sekitar lima hektar hanya ada satu rumah joglo. Ada pendopo yang cukup luas di depan rumah utama.

Tiap malam, hanya Mbah Wir yang terlihat duduk santai sendirian. Di tengah pendopo sambil menikmati rokok klobot (kulit jagung muda yang dikeringkan) kesukaannya. Jika sudah lewat tengah malam, Mbah Wir akan bersila sambil memejamkan mata, mirip orang yang sedang bertapa. Konon begitulah cara Mbah Wir tidur. Saat tarkhim (waktu sebelum subuh) Mbah Wir akan membuka mata lalu berdiri dari tempat duduknya, kemudian berjalan ke arah sumur. Suara langkah kakinya, klotak! klotak! klotak! membangunkan seisi rumah.

Sudah seminggu, Mbah Wir tidak terlihat duduk bersila setelah lewat tengah malam. Terlihat mondar-mandir di depan pendopo sambil mbondo tangan. Terkadang kembali duduk, menikmati rokok klobotnya. Jelas sedang berpikir keras meski wajahnya tetap terlihat tenang.

Malam itu, sekitar jam tiga pagi, tiba-tiba Mbah Wir berdiri, berjalan ke halaman, lalu berhenti tepat di tengah halaman. Wajahnya terlihat sangat serius, seperti sedang mendengarkan penjelasan dari seseorang, tetapi tidak tampak ada siapa pun selain dirinya. Beberapa saat kemudian, wajah Mbah Wir terlihat sangat tegang. Jelas sedang menahan amarah, giginya gemeretak, tangan mengepalkan, tubuh gemetaran menahan amarah.

"Yo siapno, kabeh!" (Ya siapkan semua!). Itu kalimat yang terucap, lalu berbalik masuk ke pendopo. Berdiri di tengah-tengah pendopo, membelakangi halaman dengan kemarahan yang memuncak.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close