Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 1) - Keluarga Surodiko


Prolog
Kisah ini adalah kisah yang tidak pernah diceritatakan. Terjadi pada tahun 1962, di sebuah dusun kecil di lereng Gunung Raung sebelah selatan. Sebelah timur Gunung Kumitir, dusun ini bernama Lembah Biru.

Ada seorang pendekar pilih tanding bernama Ahamd Husain, lebih dikenal dengan sebutan Mbah Wir Kindar. Mbah Wir lahir tahun 1918, salah satu orang yang dipaksa ikut kerja paksa di jaman penjajahan Jepang. Membangun terowongan kereta api yang menghubungkan kabupaten Banyuwangi dan kabupaten Jember. Terowongan yang menerobos Gunung Kumitir. Selain membangun terowongan tersebut, Mbah Wir juga dipaksa ikut kerja paksa untuk membangun benteng milik Jepang di pantai Grajakan, Laut Selatan. 

Kabar yang berhembus, Mbah Wir memiliki Ajian Seipi Angin. Dari lereng Gunung Raung ke pantai Grajakan selalu jalan kaki. Meski hanya berjalan kaki, perjalanan ditempuh dengan waktu sangat cepat, lebih cepat dari kecepatan kuda. Selain Ajian Seipi Angin, ada satu ajian lagi yang jarang diketahui orang, Mbah Wir memiliki ajian Gembolo Geni Bolo Sewu.

Tidak banyak yang tau dari mana Mbah Wir berasal, karena Mbah Wir bukan penduudk asli lereng Gunung Raung. Mbah Wir berasal Magelang, tersesat ke Banyuwangi saat dalam pelarian. Mbah Wir melarikan diri dari kejaran para tuan tanah di zamannya, yang terpesona oleh ketampanan Mbah Wir.

Para tuan tanah yang gemar menjadikan laki-laki sebagai kekasih, mereka menjadikannya sebagai rebutan. Dari pada tidak mendapatkan Mbah Wir, lebih baik melihatnya jadi mayat. Bagi mereka, kegagalan adalah aib. Mbah Wir dikejar-kejar akan dibunuh. 

Dalam pelarian, Mbah Wir mengabdi pada sebuah keluarga Surodiko. Salah satu orang yang membabat alas dan membangun Lembah Biru. Selain itu juga bersahabat dengan macan putih, salah satu penguasa lereng Gunung Raung 'Gusti Pangeran Sawedang'.

***

Suasana dusun Lembah Biru dan dusun-dusun di sekitarnya seperti Telaga Mukti, Paras Tembok dan beberapa desa disekitarnya sangat mencekam karena masa itu adalah masa jaya-jayanya PKI.

Padi padi yang hampir panen tiba-tiba dipanen tanpa ijin kepada pemiliknya. Buah-buahan dan hasil bumi lainnya yang ditunggu tiap tahun untuk panen juga tiba-tiba dipanen tanpa ijin. Jika berani melawan akan kehilangan nyawa secara misterius. Tiba-tiba mayatnya sudah berdiri di lereng-lereng jalan berbukit yang ada di sekitar dusun Lembah Biru. Mayat-mayat itu diberdirikan tanpa kepala.

Para petinggi PKI sering mengadakan pesta berupa pertunjungan Janger, ketoprak dengan menyanyikan lagu Genjer-genjer sebagai lagu wajib. Dalam waktu yang sangat singkat mereka sudah memiliki banyak sekali pengikut. Entah itu karena takut atau tergiur oleh segala kemudahan yang mereka janjikan. Namun di antara hingar-bingar yang terlihat, jelas suasana yang mencekam. Siapa yang terlihat bersuara beda dengan mereka apalagi berani berdebat atau ngrasani, dipastikan akan hilang dari peredaran. Mayatnya akan berdiri tanpa kepala di suatu tempat yang mudah disaksikan orang banyak.

Lubang selua 5×5 meter dengan kedalaman yang sama, sudah mereka siapkan di beberapa titik sudut kampung yang tak terlihat. Hanya orang-orang tertentu saja yang tau dan mengerti lubang-lubang itu disiapkan untuk apa. Itu adalah calon kuburan masal yang mereka siapkan untuk orang-orang yang mereka anggab pembangkang atau mengusik kejayaan mereka.

Hampir semua warga dusun Lembah Biru ikut menjadi anggota PKI,  umumnya karena takut. Jika ada yang secara sembunyi-sembunyi melakukan ibadah sesuai keyakinan, maka sudah bisa dipastikan besoknya akan jadi mayat. Mayat tanpa kepala akan berdiri di lereng bukit di sekitar Dusun Lembah Biru. Penduduk pasti gempar dan menjadi semakin ketakutan.

Tersebutlah, lima keluarga yang tidak pernah bisa mereka sentuh. Itu adalah lima keluarga yang berada di masjid kulon (waktu itu masih mushola) sekarang sudah jadi masjid jami' dan masjid wetan (zaman itu belum ada meski mushala) sekarang juga sudah jadi masjid jami' juga.

Lima keluarga itu adalah keluarga keturunan Mbah Surodiko, yaitu orang yang membabat alas dusun Lembah Biru. Keluarga tempat Mbah Wir ngenger. Setiap kali ada yang berniat jahat, mereka pasti tertidur di emperan rumah. Paginya terbangun, tuan rumah yang membangunkan. Atau mereka mengaku melihat macan putih berjaga di depan pintu. Karena hal ini mereka lari terbirit-birit, ketakutan. Ada juga yang mengaku, melihat setiap sudut rumah dan pekarangan dijaga oleh butho (raksasa) dengan wajah menyeramkan. Siapapun yang berani mendekat, pasti dicengkiwing (diangkat dengan jari) lalu dilempar jauh dari pekarangan kelima keluarga tersebut.

Berbagai usaha dilakukan oleh para pembesar PKI untuk menundukkan kelima keluarga tersebut, tetapi tidak pernah berhasil. Mulai menyewa pendekar pilih tanding sampai memakai cara halus dengan mengirim santet, rupanya keluarga Mbah Surodiko memang bukan keluarga sembarangan. Ditambah lagi, Mbah Wir yang ada bersama mereka.

Seorang pendekar yang memiliki Ajian Rawa Rontek, secara terang-terangan menantang keluarga Mbah Surodiko. Namun dia terjungkal hanya beberapa jurus saat menghadapi Mbah Wir lalu memohon ampun.

Pembesar PKI di dusun Lembah Biru tidak pernah menyerah. Kali ini mereka membuat perencanaan yang sangat matang. Yakin bahwa kali ini akan mengubur mayat keluarga keturunan Mbah Surodiko. Oleh karenanya lubang 5x5 meter dengan kedalaman yang sama sudah disiapkan di beberapa titik.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close