Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cokro Kolo Munyeng (Part 11)


JEJAKMISTERI - Tiga benda berwarna hitam melesat tiga paku bumi berkepala ular naga mengarah ke tubuh kolo Bendono dengan cepat tombak ditarik kembali dan diputarkan untuk menghalau tiga Paku Bumi...

"Tring... tring..." tiga paku bumi terpental aku yang terpelanting mampu berpijak kembali dan menoleh kearah datangnya tiga paku Bumi, satu sosok berkelebat dan hilang dari pandanganku,
"Hmmmm... siapa yang telah menyelamatkan, nyawaku, apakah itu nyai Kantil Semayang,"

Kolo Bendono bertolak pinggang dengan tawa terbahak bahak,
"Hahaha.. hahaha... tadii ada yang menyelamatkanmu, tapi jangan harap kamu akan selamat dari tanganku" ucap Kolo Bendono disusul dengan gerakan untuk kembali memecah raganya.

Aku segera memukulkan telapak tanganku dengan hijib ayat kursi untuk membakar Kolo bendono dan tidak memberikan kesempatan untuk memecah raga, sebuah hawa panas menyebar mengurung Kolo Bendono, Kolo Bendono merubah gerakannya dengan memutarkan tombaknya satu deru angin yang keluar dari putaran tombak menderu menghalau energi panas dari Hijib Ayat qursi,

Energi angin dari Kolo Bendono kalah cepat dan tak mampu menahan semua energi Hijib Ayat qursi..
Hijib Ayat qursi membakar separuh badan Kolo Bendono, pinggang dan kakinya terbakar, kolo Bendono meraung kepanasan, dua tangannya sibuk hendak memadamkan api yang membakar separuh badannya, melihat itu aku segera membaca doa Jibril dan "wushhhh..." satu energi panas menghantam kaki Kolo Bendono, disusul teriakan kesakitan, separuh raga Kolo Bendono hancur, ketika tanganku terangkat untuk menuntaskan perlawan Kolo Bendono, separuh raga kolo Bendono hilang dan menggumpal jadi asap hitam, semakin lama semakin menipis dan sirna di hadapanku.

Pagi itu secangkir kopi telah tersaji di meja, sambil mengaduk kopi dan menyulut rokok aku menatap wajah Atun dan berkata,

"Kamu jujur Tun.. apa kamu melakukan hubungan badan dengan istrimu?? tanyaku penuh selidik.

"Eee...ngga wi.. engga.." jawab Atun gugup.

"Aku minta kamu jujur Tun.. ini untuk keselamatanmu" aku kembali bertanya.

"Belum sempat masuk Wi.. aku sudah di cekik duluan hehehe.." jawab Atun dengan tersipu malu.

"Ya sudah.. ini pelajaran buat kedepannya, jangan sampai semua sia-sia, ini tinggal sepuluh malam lagi kamu harus kuat, ujiannya semakin berat Tun..." ujarku mengingatkan Atun.

"Iya Wi..." jawab Atun singkat.

Handphoneku berbunyi satu nada pesan masuk, Kamim mencariku, aku katakan nanti aku datang ke pondok habis dzuhur.

Selesai sholat dzuhur aku segera memacu sepeda motor tua peninggalan almarhum bapakku, hingga tak terasa aku sudah didepan pondok dan menyalami kyai Soleh, setelah berbincang-bincang sebentar aku segera menuju kamar Kamim.

"Gimana Mim sehat.." tanyaku.

"Alhamdulillah sehat Wi.." jawab Kamim sambil membenahi sarungnya.

"Wi apa benar Hamidah sudah menikah sama Atun..??" Tanya Kamim.

"Benar Mim.." jawabku.

"Oh.. Syukurlah kalau begitu semoga Hamidah dan Atun bahagia" ucap Kamim.

"Aamin.." jawabku.

"Wi.. aku ingin pulang kampung, mungkin aku mau hidup di kampung saja Wi.." ujar Kamim.

"Ya kalau dikampung, sawah dan ladang semua terserah Mim.." balasku.

"Tapi, aku sudah Aman kan..??" tanya Kamim.

"Kalau menurutku, lebih baik disini dulu sambil menunggu situasi benar-benar Aman, aku tidak bisa menjawab Aman atau tidak Mim.." jawabku.

"Menurutmu, Aman tidak?" kamim bertanya kembali.

"Kalau mau pulang hati-hati dan jaga diri baik-baik, walau bagaimana juga dirimu telah menikmati kekayaan dari hasil pesugihan, aku khawatir makhluk-makhluk itu sedang menunggu lengahmu, ada baiknya tunda saja dulu Mim.." ujarku.

"Tapi Wi.., orangtuaku sudah sangat tua, butuh orang untuk menjaganya"

"Ooo.. ya sudah, semua terserah dirimu.." ujarku.

Dua hari kemudian Kamim pulang kampung, sesampainya dikampung Kamim mengabariku bahwa telah sampai dengan selamat.

Dua hari, saudara Kamim menelponku bahwa Kamim sudah tiga hari badannya demam lewat vidio call, aku bertatap muka dengan Kamim.

"Mim.. usahakan malam ini kamu jangan tidur, dzikir dalam hati, baca surah yasin.." anjurku.
Kamim hanya anggukan kepala.

Malam harinya aku merasakan suasana hati yang tidak enak, pikiranku ingat sama Kamim, aku coba kirim alfatiha sebanyak-banyaknya buat Kamim, batinku berkata, "hmm... terjadi sesuatu dengan Kamim."

Selepas sholat subuh, satu nada pesan masuk, aku segera menbacanya, "Kamim.. telah pulang... untuk selamanya.."
Secara lahiriah Kamim meninggal tapi secara Batin Kamim dibawa kealam Siluman sebagai tebusan atas kekayaan yang sudah diberikan oleh raja Siluman.."

Hari ketiga puluh tiga. Malam ketiga puluh empat, saat itu Hamidah sudah tertidur lelap, aku minta Atun untuk berjaga dan duduk ditepi ranjang.

"Kamu jaga ditepi ranjang dan usahakan jangan tidur, nanti kalau kamu ngantuk jangan tidur, biar nanti aku yang mengawasi Hamidah  faham Tun.." ucapku mengingatkan Atun.

"Iya Wi.. faham" jawab Atun.

"Angan lupa sambil berdoa dan dzikir.." ujarku kembali mengingatkan Atun.

"Aman...Wi.." jawab Atun sambil mengangkat ibu jarinya.

Aku dibangunkan Atun saat jam dinding menunjukan pukul 02.00 dini hari, setelah meneguk kopi aku duduk dikursi panjang dan menghadap kearah ranjang Hamidah, tubuh Hamidah terlihat bolak balik, seakan tidak tenang, lalu tiba-tiba Hamidah duduk di tepi ranjang sedangkan dua matanya masih terpejam. 

"Kamu lagi nunggu aku datang yah hahahaha" suara Hamidah mengagetkan aku.

"Iya, tapi bukan kamu yang kutunggu" jawabku.

Hamidah yang terpejam, tiba-tiba membuka kancing bajunya..

"Celaka..." gumamku.

"Tun... tun.. bangun tun.." ucapku sambil menggoyangkan tubuh Atun, Sementara Hamidah telah membuka bajunya dan melemparkan baju itu kearahku desahan napas Hamidah memburu dan langkah Hamidah berjalan kearahku, tanganku dengan cepat menyambar cangkir kopi dan menyiramkan kewajah Atun, Atun gelagapan dan mengusap wajahnya lalu menatap kearahku, aku segera memberi isyarat dengan kedipan mata juga gerak bibir kearah datangnya Hamidah.

"Cepat tun.. tutup tubuh istri mu.." ujarku menyuruh Atun dengan cepat, Atun menyambar selimut dan menutupi tubuh Hamidah yang masih terpejam.

Satu sosok dengan telinga runcing bertaring dan berkuku tajam dipunggungnya, seperti sebuah sirip ikan yang menonjol juga ekor yang panjang, tumbuh dibagian belakangnya tampak Kakinya, menyerupai kaki harimau dan dia bukan Nyai Dayang Wungu.

"Aku tidak akan keluar dari raga ini, sebelum kamu pergi.." ucap sosok menyeramkan.

"Aku akan memaksamu keluar.." balasku dengan nada mengancam.

"Paksalah kalau kamu bisa.." ujar makhluk itu.

Aku segera meminta Atun untuk bersama-sama membaca doa, setiap doa yang kubaca makhluk itu terus tertawa membahana, apapun doa yang kubaca makhluk itu tidak merasakan apa-apa dan semakin keras tertawanya.

Semua doa-doa yang kupelajari tidak berpengaruh.. keringatku sudah membasahi tubuhku, Atun Sudah mulai merasakan ketakutan, suara Hamidah bergema meski matanya terpejam.

Aku benar-benar bingung.. menghadapi makhluk ini, makhluk ini terus mengejekku.

"Ayo.. surah apa yang mau kamu baca, keluarkan semuanya" ucap makhluk yang bernama srenggana maruta.

Aku betul-betul dibuat putus asa oleh srenggana maruta, dia berkacak pinggang sambil menunjuk nunjuk kearahku.

"Saakeh akehne gembolanmu, isih kalah karo sholawatmu" (sebanyak banyaknya ilmumu, masih kalah sama sholawatmu) Sebuah ucapan terdengar oleh telingaku, ya itu ucapan dahulu dari mbah yai Ambari, seakan kembali terdengar.

Aku segera menghentikan doa dan meminta Atun untuk sama-sama bersholawat, aku segera memejamkan mata, hatiku menyebut Asma gusti Allah, mulutku mengucap sholawat nabi.

Srenggana Maruta menutup telinganya dan langsung melesat keluar dari raga Hamidah, melihat itu.. aku segera berlari kekamar kosong dan mengheningkan cipta menyatukan hati dan pikiran, sesaat kemudian aku mengejar kearah srengana Maruta yang sudah menantiku.

Pertempuran kembali terjadi dengan sebuah tongkat berkepala ular Naga Srenggana Maruta menyerangku, deru angin yang keluar dari kibasan tongkat menimbulkan hawa dingin dan lembab juga bau amis darah yang menyengat.

Saling serang tak terelakan kilatan cahaya perak terus berbenturan dengan tongkat Naga Srenggana Maruta, tiba-tiba srenggana Maruta melompat kebelakang dan menancapkan tongkatnya, mulutnya komat kamit membaca mantra, asap kuning turun dari atas menyelimuti tongkat Naga.. perlahan dan pasti asap kuning itu berwujud seekor ular yang besar dengan dua tanduk dikepalanya.

Ular itu melesat kearahku dengan mulut yang terbuka seakan ingin memperlihatkan taringnya, srenggana Maruta mengangkat tangannya keatas tidak lama kemudian kedua tangannya berubah menjadi hitam, lalu sebuah bola api melesat kearahku, aku mengibaskan Pedang Sirr yasin untuk memenggal kepala ular bertanduk, dan tepat mengenai leher ular itu, tapi jangankan memenggal lehernya, melukai ular itupun tidak, bola api yang melesat, aku songsong dengan pululan Jibril, satu dentuman terjadi saat dua hawa panas berbenturan.. "daaarrrr" aku terjengkang dengan merasakan sakit diulu hati, kepala ular telah terbuka lebar siap mencaplok kepalaku, aku tancapkan pedang sirr yasin, lalu memejamkan mata dan memanggil satu nama.. Wangsa direja.. "batinku sambil menepuk tanah..."

Sebuah bayangan bungkuk berkelebat dan memukul kepala ular besar dengan jarik yang biasa dipakai oleh perempuan pulau jawa diperutnya pada jaman lalu.

Ular yang terkena pukulan dikepalanya menggelepar seakan merasakan kesakitan.

"Mbok...Nah..!!!" seruku.

"Aku meminta sahabatmu untuk menjaga ndok Hamidah, ayo Wi pilih mana lawanmu.." jawab mbok Nah sambil tersenyum.

"Hehehe terserah mbok Nah saja, aku ngikut" jawabku.

"Hei.. nenek bongkok mau apa kamu kesini??" tanya Srenggana Maruta.

"Aku kesini mau menghajarmu..." jawab Mbok Nah sambil melompat dan menerjang.

Aku segera merapal Hijib ayat qursi untuk membakar sosok ular jelmaan dari tongkat Srenggana Maruta.

Satu hawa panas menyebar mengelilingi tubuh ular bertanduk, ular itu membuka mulutnya dan satu uap panas bergulung keluar dari mulut ular itu dan menyebar menutup energi Hijib qursi.. hawa panas beradu dengan hawa panas, pijaran-pijaran api meletup dan  "darrrrrrrt" aku terjajar kebelakang.

Sementara itu mbok Nah tengah beradu tenaga ketika satu ujung kamben di pegang Srenggana Maruta dan ujung satunya dalam genggaman mbok Nah.. terlihat asap putih keluar dari tubuh masing-masing... tak lama kemudian dua tubuh sama-sama terjengkang kebelakang seiring suara "blarrrr..." dan terputusnyan kain Kamben.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close