Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEMBOLO GENI BOLO SEWU (Part 7) - Saat Sawedang Murka


Dengan gerakan yang sangat cepat, Sawedang mendekati peti mati, dilemparnya buku di tangannya ke dalam peti mati lalu dengan kibasan tangan kanan Sawedang menutup peti mati. Suara berdebam kembali pecah saat tutup peti mati menyatu dengan induknya.

BAAAMMM!

Lacip meronta-ronta di dalam peti mati, berteriak-teriak mengumpat.

"AS*!

CEL*NG!

MACAN EDAN!

TOKNO AKU!

Sawedang sama sekali tidak terpengaruh oleh teriakan Lacip, meski seluruh isi kebun binatang keluar dari mulutnya. Sawedang menendang peti itu, peti mati melesat jatuh ke dalam sisi yang lain dari jurang, bukan sisi tempat orang-orang ditendang Lacip. Peti mati hilang di antara kabut, masuk ke kedalaman jurang.

Sawedang tampak memandang peti mati milik Lacip hingga hilang dari pandangan, sesungguhnya hatinya terluka. Tampak jelas, meski masih tampak beku, ada selulet duka mendominasi sorot matanya.

"Aku tahu, aku akan melukai Kang Mas Husain, tapi aku tidak memiliki pilihan. Lacip tidak dapat dialusi, kelakuannya sudah sangat keterlaluan.

Kang Mas Husain juga jadi lemah saat menghadapi Lacip, terlalu menyayanginya. Hatinya yang lembut selalu percaya bahwa Lacip masih bisa berubah, nyatanya Lacip justru semakin pongah dan membabi buta saat marah. Dia juga tipe orang yang menghalalkan segala cara agar keinginannya terwujud.

"Bene, ben sinau ning njeru jurang! Lakar urip yo uripo, lakar mati yo matio!" (Biar belajar di dalam jurang, aku sudah tidak peduli dia hidup atau mati!) ucapan Sawedang penuh luka, entah mengapa hatinya begitu sakit harus melakukan semua ini. Meski mulutnya berkata lain.

"Aku seperti ikut mati besama perginya peti mati milik Lacip." Sorot matanya makin beku, ada banyak hal yang terpampang dalam penglihatannya. Namun peti telah disegel dengan buku pemberian Sumila.

Sawedang terpaku beberapa lama saat, tersadar oleh suara Sumila, "Yayi Sawedang, aku njaluk tulung Kangmasmu gowoen munggah, tak enteni ning duwur." (Yayi Sawedang, tolong kau bawa ke atas Kangmasmu, aku tunggu di atas.)

"Inggih, Gusti Putri, sendiko dawuh," jawab Sawedang sambil mebungkuk santun, seolah Sumila ada di hadapannya. Setelah itu, Sawedang berjalan mendekati raganya, lalu tubuh halusnya kembali menyatu dengan raga. Kemudian mendekati tubuh Mbah Wir, menempelkan jari telujuk dan jari tengah pada leher dan pergelangan tangan Mbah Wir, memeriksa denyut nadi. Sawedang menghela nafas berat, sekarang dia mengerti kenapa Sumila segera paring titah saat Sawedang berasyik-masyuk dengan kesedihan. Keadaan Mbah Wir memang mengkhawatirkan.

Sawedang langsung memanggul tubuh Mbah Wir, sebelum meninggalkan tempat itu, dia memerintahkan anak buahnya untuk membawa naik ke atas semua orang yang ada di dasar jurang,
"Bawa mereka semua naik ke atas, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal!"

Sawedang mengibaskan tangan kananNya, serta merta ada jalan setapak yang berbentuk seperti tangga. Kakinya berlari ringan menaiki tangga, tangga itu ada tujuh tingkat berbentuk zik-zak hingga sampai ke atas jurang. Di pinggirnya ada pagar terbuat dari bambu, dibalut oleh mori (kain kafan) tipis yang transparan hingga bambu di dalamnya terlihat jelas.

Anak buahnya memanggul orang-orang yang terluka, mengikutinya dari belakang. Suasana yang tadi senyap berubah drastis, tampak kesibukan yang luar biasa di tangga itu. Orang-orang lalu-lalang naik-turun memanggul mayat dan orang-orang yang terluka yang tidak bisa berjalan. Yang bisa berjalan, tertatih menaiki tanga, ada juga yang terlihat dipapah.

Sawedang sampai di atas jurang, Sumila sudah menunggu di bibir jurang. Sawedang membaringkan tubuh Mbah Wir di rerumputan. Lalu merobek bajunya, dada kiri Mbah Wir biru memar. Sumila mengulurkan sebuah gulungan kain berwarna putih, Sawedang mengambil gulungan kain tersebut lalu menggelarnya di samping tubuh Mbah Wir. Ternyata, itu mori, berbentuk seperti sampur saat digelar memanjang.

Kemudian Sawedang melangkah mundur, berdiri tak jauh dari tubuh Mbah Wir yang terbaring seperti mayat, mbondo tangan (tangannya dilipat kebelakang). Sumila mendekati mori lalu bersimpuh, mori dan tubuh Mbah Wir ada dihadapannya.

Sumila membetulkan letak duduknya, kemudian menutup mata, meletakkan tangan kanan di depan dada. Beberapa saat kemudian, Sumila menyentuh lembut mori di depannya. Tangannya sangat hati-hati menyentuh mori, seperti takut menyakiti.

Hampir sepeminuman teh telah berlalu, Sumila masih melanjutkan aktifitasnya, ketika tiba-tiba Mbah Wir muntah darah. Anehnya mori itu tiba-tiba menghitam. Sumila membuka mata, wajahnya terlihat pucat, kelelahan. Detik selanjutnya, Sumila berdiri, sempoyongan. Belum sempat berdiri dengan sempurna, tubuhnya lunglai lalu terkapar dan tidak bergerak lagi.

Sawedang yang berdiri tidak jauh dari sana geragapan berusaha meraih tubuh Sumila. Namun sayang sudah terlambat. Semuanya memang terjadi begitu cepat. Sawedang menghela nafas berat saat dia memeriksa urat nadi Sumila.

"Kehabisan tenaga, hanya perlu istirahat." Ucap Sawedang kemudian.

Sementara suasana di sekitar Sawedang mulai ramai, orang-orang yang tadi mengekor di belakangnya sudah mulai berdatangan. Sawedang melambaikan tangan kepada salah satu dari mereka. Salah satu pemuda yang berpakain putih mendekat, lalu mengangguk santun.

"Tutup gerbangnya saat semua sudah naik ke atas! kita hanya memiliki waktu hingga besok. Besok Lacip akan terlepas dari segelnya. Sekarang, bawakan aku kereta kuda! aku harus membawa Kang Mas Husain dan Gusti Putri ke Lembah Biru."

"Inggih Gusti, sendiko dawuh," pemuda itu melesat meninggalkan Sawedang setelah mengangguk santun. Setelah beberapa lama, dia kembali bersama kereta kuda. Sawedang sedang ngembeni (memagari tempat itu) dengan kain mori.

"Jangan ada yang keluar dari kemben yang sudah kupasang sampai aku kembali! yang sudah meninggal tolong disucikan dan dikafani, lalu masukkan ke dalam peti mati! Yang masih hidup rawat baik-baik!"

"Inggih Gusti, sendiko dawuh." Pemuda itu undur diri. Sawedang mengangkat tubuh Mbah Wir, dibaringkan di dalam kereta yang sudah disiapkan. Setelah itu, Sawedang juga mengangkat tubuh Sumila, lalu membaringkan di samping Mbah Wir. Sebelum meninggalkan keduanya, Sawedang memberi totokan di beberapa bagian tubuh Sumila.

Sawedang tersenyum, "ngapunten Gusti Putri, kalau nggak ditotok aku nanti panejenengan salahkan karena membaringkan penjenenganipun berdampingan dengan Kangmasku. Mengobati saja pakai kain kafan, apalagi dibaringkan berdampingan, bisa panjenengan bakar rumahku."

Sawedang memberi totokan kepada Sumila agar terus tertidur. Selain takut menerima kemarahan Sumila, itu juga bertujuan agar Sumila beristirahat. Dengan tidur yang cukup, tenaganya akan segera pulih.

Sawedang telah berada di atas kereta, duduk sebagai kusir. Sesaat kemudian menyentak tali kekang kuda. Kuda berlari menyeret kereta bagai terbang menembus pekadnya belantara Raung, jika dilihat dengan mata biasa kereta kuda itu tidak menjejak tanah.

***

Undangan Dari Amis Darah

Tempat yang mereka tinggalkan terpapar pemandangan yang sangat mengerikan. Ratusan mayat berjajar dengan rapi di atas rerumputan ditutupi mori. Sementara di sisi lain banyak tubuh terbaring tak berdaya, umumnya, mereka memar di dada kiri, berwarna biru kehitaman. Persis dengan luka yang di miliki Mbah Wir.

Sebagian besar mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh seperti punggung, tangan dan kaki. Ada yang kakinya patah jadi lima, ada yang kehilangan tangan. ada yang tulang punggungnya patah, yang terparah tidak bergerak, koma. Yang masih bisa jalan meski dengan bantuan penyangga, bisa dihitung dengan jari.

Orang-orang berpakaian serba putih, mengurus mereka tanpa bicara sepatah katapun, susana sangat beku dan mencekam. Terkadang tatapan orang-orang berpakaian serba putih begitu mengerikan, tatapan mereka adalah tatapan membunuh.

Yang lebih mengerikan, terkadang mereka tiba-tiba terpaku menatap orang-orang yang sedang dirawat, memandangi dengan tatapan mendamba. Seolah mereka adalah hidangan yang lezat, tatapannya begitu lapar.

"Tuan, apa anda baik-baik saja?" seorang pembunuh bayaran gemetaran memberanikan diri bertanya. Mencoba memecah bekuan, Ia merasa sangat terancam. Karena laki-laki yang sedang merawatnya menatapnya dengan tatapan membunuh, seolah ingin mencabik-cabik tubuhnya lalu menikmati dagingnya. Laki-laki itu tergagap dan menggeleng pelan, selulet kemarahan jelas tergambar di bola matanya. Meski berusaha ditekan. Sepertinya ia mengerti bahwa laki-laki yang sedang dirawatnya, merasa terancam.

"Apa Gusti Pangeran akan kembali malam ini?" masih gemetaran pembunuh bayaran itu kembali bertanya, entah ide sitting dari mana dia bertanya tentang Sawedang. Yang dia pahami satu-satunya yang membuat tenang dan merasa aman hanya kehadiran Sawedang.

Saat Sawedang tidak ada di sana mereka, dia merasa nyawanya selalu terancam. Laki-laki berpakaian putih lagi-lagi tidak menjawab, hanya kembali menggeleng. Namun ada yang berubah dari sorot matanya, mata yang tadi tampak marah berubah beku. Sang pemubunuh bayaran, sudah tidak berani bertanya apa-apa lagi. Wajahnya tampak putus asa.

Kemben yang dipasang Sawedang sesungguhnya adalah pertanda yang sangat jelas bahwa para pembunuh bayaran tidak dapat keluar dari area kecuali dengan ijin mereka. Sekaligus pelindung yang sengaja dipasang untuk melindungi mereka dari keganasan belantara. Karena sesungguhnya, Sawedang tidak percaya sepenuhnya dengan anak buahnya. Namun pelindung itu begitu tipis, bisa saja salah satu dari mereka menyeret pembunuh bayaran keluar dari area yang dikembeni lalu mencabik-cabik tubuh para pembunuh bayaran dan menjadikan santapan lezat.

Laki-laki yang tadi bertanya kepada pemuda yang merawatnya tubuhnya menggigil, membayangkan hal itu. Dia dicekam kengerian dalam diam, meringkuk di tempatnya tanpa mampu untuk sekedar mengeluh. Keputusan Sawedang meninggalkan mereka demi membawa pulang Mbah Wir dan Sumila adalah keputusan yang salah. Ada yang tidak dihitung, yaitu anak buahnya yang sebetulnya juga tidak nyaman dengan kehadiran manusia di wiliyahnya.

Hampir separuh belantara Raung sudah ditinggalkan oleh Sawedang, ketika Mbah Wir membuka mata, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Setelah beberapa lama, Mbah Wir menyadari sedang ada di dalam kereta milik Sawedang. Mbah Wir langsung duduk, menatap Sumila yang tertidur di sampingnya. Lalu beringsut, memegang punggung Sawedang. Sawedang sangat terkejut, reflek menghentikan kereta, menoleh ke belakang tersenyum tipis.

Saat mata keduanya bersitatap, Mbah Wir melihat kekacauan yang sedang terjadi, panik Mbah Wir meloncat ke depan, duduk di samping Sawedang. Langsung menarik tali kekang kuda, menghentaknya dengan arah putar balik.

"Kang Mas, kok arah putar balik?!" tanya Sawedang bingung.

"Matamu, meleko!" jawab Mbah Wir penuh amarah. Ragu-ragu Sawedang memejamkan mata, saat membuka mata, Sawedang meloncat dari kereta lalu melesat, dalam sekejab menghilang dari pandangan. Ia menyadari telah membuat kesalahan yang fatal.

Sawedang sampai terlebih dahulu di area yang dikembeni, situasi begitu panas, ada ketegangan dalam bisu yang begitu kuat. Aura hitam penuh amarah, kebingungan sedang mengungkung tempat itu. Sawedang mengibaskan tangan, wajahnya beku. Ekpresinya tak terbaca, tiba-tiba banyak sekali orang yang berpakaian serba putih yang terpental, lalu lari tunggang-langgang meninggalkan tempat itu, mereka berlari meninggalkan area yang dikembeni.

Saat kaki mereka keluar dari area yang dikembeni, mereka langsung berubah menjadi wujut aslinya, macan putih. Bola mata mereka berekilat marah, berubah merah padam, tatapannya murka dan penuh kebencian.

Yang tersisa, berlari ke arah Sawedang, langsung menekuk lutut.

"Bangunlah, pulanglah! maafkan aku telah memberi anda semua beban yang tidak seharusnya.'' Ucap Sawedang, beku.

Mereka berdiri, mengangguk santun, kemudian berlalu. Ada beberapa orang yang masih berlutut, tidak berani bangun, mereka tetap menunduk. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Sawedang, orang-orang yang dipasrahi mengawal tempat itu. Tanpa berkata sepatah katapun, Sawedang membuat garis melingkar, dengan jari telunjuknya, Garis berwarna keemasan tampak muncul melingkari mereka.

"Aku akan berurusan dengan kalian saat urusanku selesai!"
Sawedang memberi perintah, sangat marah. Lalu meninggalkan mereka menuju orang-orang yang terluka. Satu-persatu diperiksa urat nadinya.

"Selamat datang kembali Gusti Pangeran, Matur suwun penjenenganipun sudah berkenan kembali untuk melindungi kami."

Sawedang mengela nafas berat, "Ini salahku, harusnya aku tidak meninggalkan anda semua,'' keluhnya.
Setelah itu, Sawedang terlihat sibuk berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya. 

Pada saat kereta yang sama ditumpangi Mbah Wir memasuki area yang dikembeni. Sebelum turun dari kereta, Mbah Wir sempat memeriksa urat nadi Sumila. Mbah Wir tersenyum tipis, kemudian jarinya membuat lingkaran yang melingkari kereta tersebut. Yang tejadi persis seperti yang dilakukan Sawedang sebelumnya, garis berwarna keemasan tampak muncul melingkari kereta. Mbah Wir mendekati Sawedang, menatapnya tajam, Sawedang mengangguk pasti. 

"Lakukanlah, Kang Mas. Sebelum semua menjadi terlambat. Sepertinya mereka tidak terima karena aku melindungi kaummu."

Mbah Wir langsung duduk bersila, bibirnya gruweng membaca mantra,
"Niat ingsung matek aji.....," Mbah Wir melanjutkan kalimatnya, Mbah Wir melanjutkan membaca mantra di dalam hati.

Beberapa saat kemudian, bermunculan banyak sekali raksasa dengan wajah seram. Lalu mengangkat satu-persatu tubuh orang-orang yang terluka, saat semua yang terluka sudah dibawa pergi, raksasa-raksasa itu mulai memanggul mayat-mayat yang berjejer, membawanya ke selatan, ke arah Lembah Biru. Bersama hembusan angin mereka semua hilang dalam sekejab.

Dalam sekejab, suasana menjadi senyap, hanya gemerisik dedaunan yang tersisa. Mbak Wir membuka mata lalu melesat setelah berpamitan kepada Sawedang. Malam itu akan menjadi malam yang panjang buat mereka.

Sesaat setelah Mbah Wir pergi, dari arah belantara banyak sekali macan muncul, mengepung area yang dikembeni. Rupanya bau amis darah telah mengundang mereka.

Tanpa memperdulikan macan yang mengepungnya, Sawedang berjalan mendekati orang-orang yang dikurung dalam lingkarang emas, wajahnya beku. Ditatapnya dalam-dalam orang-orang dihadapanya. Mereka menunduk, dalam. Tidak berani menatap Sawedang.

Sawedang melakukan beberapa gerakan khas, gerakan yang sama saat menghadapi Lacip. Serta-merta bebera peti mati melesat dari arah jurang, jatuh berdebam di hadapan mereka.

BAAAAAMMMMM!

BAAAAAMMMMM!

BAAAAAMMMMM!

Berjajar di hadapan mereka, wajah orang-orang itu langsung pucat pasi, tubuh mereka gemetaran. Menggigil dengan tatapan ngeri. Begitu pun macan yang mengepungnya, mereka tanpa sadar mundur beberapa langkah, tatapan mereka tidak segarang sebelumnya. Sawedang tersenyum sinis, "aku akan membuka pagar gaib yang kubuat, kalian boleh memilih keluar dari kemben yang kubuat atau masuk ke dalam peti mati!"

Sawedang mengibaskan tangannya kiri, setelah menyelesaikan kalimatnya. Wajah tanpannya berubah menjadi berwibawa, gerakannya anggun namun wajah bekunya membiaskan kengerian. Siapa pun yang memandang wajahnya saat itu, akan langsung tertunduk.

Lagi-lagi macan-macan yang mengepung mundur beberapa langkah. Aura yang sangat gelap mulai menyelimuti tempat itu, amarah Sawedang membuat siapa pun langsung ciut, termasuk macan-macan yang mengepungnya.

Garis keemasan menghilang bersamaan dengan turunnya tangan Sawedang. Orang-orang itu langsung menghambur bersujud di kaki sawedang, "kami pantas mati, Gusti."

Sawedang tertegun beberapa lama memandang orang-orang kepercayaannya. Hatinya begitu sakit sesungguhnya,
"Hatiku begitu sakit, tapi kesalahan kalian fatal. Sedetik saja aku terlambat, maka orang-orang yang telah kita keluarkan dari jurang, semua akan jadi mayat. Atau mungkin mereka semua akan dicabik-cabik lalu dimakan hidup-hidup."

Kecerobohan orang-orang kepercayaan Sawedang, membiarkan orang luar masuk ke area yang telah dikembeni.

"Jika orang-orang yang kita tolong menjadi mayat di wilayahku, dibawah perlindunganku, itu berarti hubungan dengan keluarga Surodiko juga akan rusak. Hubungan yang sudah dijaga ratusan tahun akan berakhir ketegangan, kedua belah pihak akan saling curiga." Mereka hanya semakin menunduk mendengar Sawedang berbicara panjang lebar.

Sawedang menatap tajam orang-orang kepercayaannya, menahan amarah. Wajah mereka tampak bingung, Sawedang mengerutkan kening.

"Atau telah terjadi konspirasi?" entah mengapa tiba-tiba fikiran itu terlintas.

"Jika ini konspirasi, mestinya mereka tetap mematuhi perintahku. Tidak mengijinkan siapa pun masuk ke dalam area yang kukembeni."

Sawedang mengibaskan tangan kanan, sesaat setelah menyelesaikan kalimatnya, tutup dari peti mati bergeser dari tempatnya. Terangkat naik, lalu mengambang di udara.

"Masuklah!" Suaranya sangat pelan nyaris berbisik tapi mengintimidasi, Sawedang langsung balik badan. Kedua tangan mengepal menahan amarah dan duka.

Orang-orang itu tanpa suara memilih peti matinya sendiri-sendiri. Mereka memang tidak memiliki pilihan, jika memilih keluar dari area yang di kembeni, mereka juga akan dicabik-cabik oleh macan-mcan yang sedang mengepung area tersebut.

Setelah itu, setiap peti mati menutup dengan sendirinya. Suara berisik terdengar sesaat setelah peti-peti itu bertemu penutupnya masing- masing. Detik berikutnya, peti-peti mati itu melayang perlahan menuju jurang.

Suasana berubah beku, angin bertiup kencang, kabut tebal tiba-tiba turun memenuhi permukaan jurang. Dalam sekejap peti-peti itu ditelan oleh kabut.

"Jika kalian tidak bersalah, kalian akan terbebas di hari ke-empat puluh satu. Namun jika semua ini adalah pengkhianatan, maka kalian akan jadi penghuni jurang selamanya."

Kalimat demi kalimat yang diucapkan Sawedang penuh luka, Sawedang teramat sangat menyayangi orang-orang kepercayaannya, mereka telah bersamanya hampir sepanjang hidup.

Lunglai, Sawedang melangkah mendekati kereta lalu naik perlahan ke atas kereta, dihentaknya perlahan tali kekang kuda.

Kuda-kuda itu melangkah perlahan seolah mengerti bahwa Ndoronya sedang berduka.

"Begitulah, antara baik dan buruk sesungguhnya pembatasnya sangat tipis. Pembatasnya adalah hatimu sendiri, mergo atimu sing mutusne." (Karena hatimu yang memutuskan.)

Sawedang tersentak mendengar Sumila. Lalu menghentikan kudanya dan menoleh ke belakang, Sumila masih terbaring, tertidur karena totokannya. Detik berikutnya dengan jari telunjuknya, Sawedang menyentuh beberapa bagian tubuh Sumila, serta-merta Sumila membuka mata. Tersenyum tipis, Sawedang membantunya untuk duduk.

Di luar kereta, macan-macan yang mengepung area yang dikembeni mulai melangkah mendekat. Mereka mendekat dengan tatapan garang, aura haus darah mengoar memenuhi tempat itu. Sawedang tercekat, bukan karena ciut menghadapi macan-macan yang mengepungnya. Namun Sawedang tidak ingin terjadi pertumpahan darah. Namun sepertinya, kali ini Sawedang tidak ada pilihan lain.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close