Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS BENGGOLO IRENG (Part 3) - Perayaan Pembuka

Panggung hiburan desa yang seharusnya menjadi momen menyenangkan berubah menjadi neraka. Ternyata sosok Indira memang diincar oleh seorang sosok nenek yang selama ini menunjukan diri pada indira..


JEJAKMISTERI - Suara gending gamelan sudah mulai terdengar sampai ke rumah Mbok Nasri. Tepat saat warga selesai menunaikan sholat Isa mereka terlihat berbondong-bondong berjalan ke arah lapangan belakang desa sambil menghampiri dan mengajak tetangga-tetangganya.

“Mbok! Sudah mau mulai lho..“ Teriak salah seorang warga yang kebetulan melewati rumah ini.

“Nggih yu... duluan saja” Teriak Mbok dari dalam rumah menjawab ajakan dari tetangganya itu.

“Yowis tak duluan, tak enteni ning kono yo!” (Ya sudah saya duluan, saya tunggu di sana ya!” Balas ibu itu.
Akupun segera bersiap-siap merapikan baju yang kukenakan. Baju seadanya yang ada diberikan oleh mbok Nasri namun cukup pas di badanku.

“Sudah lama tidak ada yang bikin panggung di desa ini, mungkin karena banyak yang gagal panen juga” Cerita Mbok sepanjang perjalanan.

“Nah kalau yang ini yang ngadain siapa mbok?” Tanyaku.

“Dari perangkat desa.. kalau tidak ada warga yang nanggep, biasa dari desa yang ngadain biar ada hiburan untuk warga” Cerita Mbok.
Di tempatku hiburan seperti ini sudah jarang. Sekalipun ada yang datang paling hanya pasar malam.

Namun pertunjukan yang bisa ditonton gratis oleh warga sepertinya sudah lama sekali.
Semakin mendekat ke arah lapangan semakin keras suara alunan musik yang kudengar.

Saat sampai disana aku tertarik dengan beberapa warga yang sudah siap lebih dulu sambil menggelar meja dan jajanan anak-anak untuk meramaikan acara ini.

“Wah banyak jajanan juga ya mbok, jadi kangen waktu indira masih kecil” Ucapku yang jadi sangat semangat saat melihat suasana di tempat ini.

Seorang bapak tua memarkirkan sepedanya dengan memajang permen di sebuah batang yang dibentuknya sendiri dengan gula dan pemanas di sepedanya.

Tukang bakso yang tadi pagi kulihat berjualan berkeliling di desa kini memarkirkan gerobaknya di sebelah penjual mainan bambu yang dikerubuti oleh anak-anak.

“Ini.. mbok ada uang, sana jajan” Ucap Mbok yang memberikan selembar uang padaku layaknya memberi uang jajan kepada anaknya.

“Aduh mbok, nggak usah!” Balasku.

“Sudah nggak papa, gak lengkap kalau kesini tapi nggak jajan” Ucapnya dengan sumringah.

“Makasi ya mbok” aku segera menerima uang sepuluh ribuan yang diberikan oleh mbok dan segera memilih-milih jajanan yang sedari tadi membuatku ingin mencoba satu per satu.

Aku memulai dengan menuju ke seorang bapak penjual bakso tusuk yang sedari tadi aroma hangat dari pancinya memanggilku untuk menghampirinya.

“Pak, ngantri sepuluh tusuk ya..” Ucapku yang ikut berkerumun dengan beberapa anak kecil yang sudah mengantri lebih dulu.

“Nggih mbak, ditunggu sebentar ya” Balasnya yang dengan sigap segera memenuhi permintaan para ‘penggemar’nya yang berebutan menyerahkan uang untuk membeli daganganya. Tak butuh waktu lama untuku mendapatkan giliranku.

Aku segera kembali menghampiri mbok yang sempat beberapa kali mengobrol dengan warga. Namun sebelum kembali sampai ke simbok aku tersadar dengan keberadaan seorang anak kecil yang mengenakan sarung yang kemarin sempat berpapasan denganku sedang berebutan jajan bersama anak-anak yang lebih kecil darinya. Aku dan mbok memilih duduk di tikar tepat di depan panggung bersama beberapa warga yang beberapa kali melemparkan senyum pada kami. Tepat saat suara gong terdengar warga segera memenuhi tikar di sekitarku, wajah simbok sudah tidak sabar menantikan acara apa yang akan disajikan di panggung di hadapan kami.
Walaupun saat ini suasana terlihat meriah, tetap saja sesuatu seperti merasa menusuk jantungku sesekali saat teringat apa yang terjadi dengan orang tua dan mbakyuku.

Suara kidung gamelan mengalun mengantarkan sebuah cerita yang dibacakan oleh seorang dalang yang menjadi narator dalam pertunjukan wayang dagelan ini. Walaupun disebut wayang, tapi ceritanya tidak baku seperti cerita pewayangan.

Cerita dibuka dengan tingkah laku punakawan yang dipadukan dengan cerita sehari-hari yang berkali-kali membuat penonton terpingkal-pingkal.

“Sudah, aku mau pergi saja dari sini! Aku akan pergi mengarungi lautan!” Ucap tokoh Gareng yang membelakangi Petruk sambil membuang muka.

“Ojo... jangan Reng!” Tahan Petruk dengan wajah khawatir.

“Kamu tidak bisa menghalangiku Keputusanku sudah bulat untuk mengarungi lautan..” Balas Gareng lagi yang berbalik membelakangi petruk ke sisi lainya.

“Nggak, nggak gitu! Masalahnya setauku mengarungi lautan tuh mustahil! Yang aku tahu karung lebih cocok buat ngarungi beras” Jawab Tokoh petruk yang diiringi dengan suara musik dan simbal yang memecahkan tawa seluruh penonton di lapangan ini.

Simbok benar-benar tertawa lepas saat itu. Akupun mulai lupa dengan masalahku dan mulai bisa menikmati acara ini.
Saking serunya kami semua tidak sadar bahwa waktu sudah mulai mendekati tengah malam.

Lakon pengisi acara mengistirahatkan sebentar para pemainya sebelum nanti kembali melanjutkan acara.
Penonton dengan setia menunggu di tengah dinginya malam karena memang sudah yakin puncak acaranya akan lebih seru nanti.

Tapi.. entah tanpa ada alasan yang jelas, saat itu aku merasa gelisah seolah merasakan sesuatu yang aneh.

“Arum.. kamu pulang saja sama ibu ya” Terdengar suara anak bersarung tadi dari jauh menyuruh pulang teman perempuan seumuranya.

Wajahnya terlihat aneh sambil menatap ke atap-atap desa seolah sesuatu juga membuatnya tidak nyaman.
Suara gong terdengar lagi, pertanda acara berikutnya akan dimulai.

Kali ini suara gong itu tidak disahut dengan musik lainya melainkan diganti dengan sosok bayangan sseorang yang menari dengan aneh di belakang kain putih yang disinari dari belakang.
Aku mencium aroma kemenyan yang berasal dari belakang panggung.

Saat itu juga suasana berubah menjadi aneh. Warga saling bertanya-tanya, namun rasa penasaran mereka membuat mereka tetap bertahan di tempat itu.
Tidak ada yang terjadi. Hening.. hanya suara warga yang berbisik-bisik yang terdengar.

Namun sosok wanita di belakang kain putih itu tetap menari dengan aneh dan semakin aneh.
Beberapa warga mulai merasa tidak nyaman. Akupun mulai merasakan bahwa ada yang tidak beres. Seorang warga mencoba mendekat mencari tahu apa yang terjadi di belakang panggung.

Sialnya, sebelum warga itu mendekat sebuah benda terlempar dari atas kain putih ke tengah-tengah warga.
Warga yang kejatuhan benda itu tiba–tiba berteriak dengan histeris seperti kesetanan.

“K..kepala! Itu kepala orang!” teriak seorang ibu yang seketika ketakutan disusul dengan warga di sekitarnya yang ikutan panik.
Tak lama kemudian sebuah kepala kembali terlempar dari balik kain.

Kali ini aku yakin, itu adalah kepala pemeran salah satu punakawan yang sedaritadi menghibur kami.

“T..tolong! Ada apa ini!” Teriak warga lainya yang semakin panik. Saat itu juga kain putih di panggung tersibak dan terlihat seluruh pengisi acara, pemain musik, dan dalang narator sudah mati bersimbah darah. Dan di atas panggung hanya ada seorang nenek yang tertawa gila dengan rambutnya yang acak-acakan dan mulutnya yang berlumuran darah.

“Nenek gila! Apa yang kamu lakukan?” Ucap seorang warga yang mencoba mendekati nenek itu, namun orang itu mendadak terhenti, sesuatu seperti mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan membantingnya ke tanah.

“Hek.. ya, hek... hek.. ya..” suara itu terdengar dari nenek itu yang masih menari-nari sambil tertawa di panggung diatas mayat-mayat para pengisi pentas.

Warga berlarian meninggalkan lapangan, aku yang sebelumnya memeluk simbok segera menariknya untuk segera pergi kembali ke rumah walaupun aku tidak tahu apakah kami bisa aman di rumah.

Saat meninggalkan lapangan seluruh warga menjerit ketakutan dengan histeris. Aku baru sadar penyebab ketakutan itu berasal dari sosok-sosok yang saat ini terlihat bersliweran di desa.

Desa Wadirejo.. desa yang sejak tadi pagi dipenuhi dengan hiruk pikuk warga desa kini berubah seratus delapan puluh derajat.
Setiap jalan-jalan di desa dipenuhi oleh makhluk-makhluk buruk rupa yang bergentayangan. Mulai dari sosok pocong yang menatap kami dari atap-atap desa, kuntilanak yang memainkan kursi goyang di teras rumah, hingga roh-roh dengan wajah yang tidak berbentuk bersliweran di jalan.

“Nduk.. ada apa ini nduk?” Ucap Simbok yang ketakutan.

Aku tidak mampu menjawab apa-apa dan hanya bisa memeluk simbok dan berjaga agar tetap dekat dengan warga lain.

***

“Butuh lebih dari seratus nyawa untuk kebangkitan ndoro...“ Terdengar suara nenek yang berjalan tertatih menghampiri warga desa dari belakang.

Pemandangan saat itu terlalu mengerikan, di hadapan kami berkumpul berbagai macam demit yang menguasai desa dan di belakang kami datang seorang nenek gila yang kuduga adalah biang dari semua ini.
T...tunggu, nenek itu...

Aku menyipitkan mataku dan mulai mengenali, bahwa nenek itu adalah nenek yang terlihat saat aku sakit kemarin dan yang muncul di kamar mandi.

“T..tidak... ternyata itu bukan halusinasiku” gumamku dengan wajah yang semakin pucat.

Tubuhku lemas, aku tidak tahu apa yang harus kami perbuat, sampai tiba-tiba terdengar suara anak laki-laki yang berteriak.

“Kesini! Desa sebelah aman!” ucap anak laki-laki bersarung yang melemparkan berbagai macam benda ke tanah bersama seorang anak perempuan.

Entah apa yang dilakukan, namun jalanan yang dilempari benda oleh mereka tidak didekati oleh roh di sekitar desa.
Kami semua berlari mengikuti arahanya, samar-samar aku melihat bibir anak itu terus membaca doa-doa yang kutahu adalah doa untuk menenangkan roh yang sudah meninggal.

Terlihat raut muka takut di wajahnya namun dia tetap memaksakan diri untuk memandu kami.
Belum sempat meninggalkan desa tiba-tiba aku dan simbok yang berjalan dengan lambat di hadang oleh nenek tua gila itu yang tiba-tiba ada di hadapanku.

“Cah ayu.. ayo ikut eyang, ndoro pasti seneng ketemu kamu” ucap nenek setan itu yang berjalan mendekatiku dengan tangan di belakang bersama berbagai makhluk yang mengikuti dirinya.

“J..jangan ganggu Indira” Teriak simbok yang mencoba mengusir nenek itu sambil melempar batu atau apapun yang ia temui.
Aku menahan simbok dan terus mengajaknya untuk kabur namun terlambat, sepertinya nenek itu sudah mengincar diriku.

“Mbok, mbak.... Kesini! Lari!” Ucap bocah tadi yang terus melemparkan benda seperti garam dan beberapa kunir yang segera dijauhi setan-setan disekitarnya.

Aku tak mampu berpikir apa-apa lagi, bila memang makhluk ini mengincarku setidaknya bocah itu bisa menolong simbok agar selamat.

“Dik.. maksud saya mas! Tolong bawa Simbok!”

Teriakku sekeras mungkin dan segera berlari ke arah berlawanan dari simbok dan jalan yang dibuat bocah itu.
Benar Saja.. seluruh makhluk yang sedari tadi mengerubungi desa segera menatap ke arahku dan bersiap mengejarku.

Aku berlari dan terus berlari, tidak mungkin aku berlari ke arah desa sebelah bila ternyata makhluk-mahkluk ini mengincarku. Di tengah redupnya jalanan desa aku terpaksa berlari ke arah hutan belakang desa yang sempat dilarang oleh bocah itu.

Tidak ada pilihan lain saat itu, sialnya sepanjang aku berlari hanya berbagai macam makhluk seperti pocong dan dedemit yang ikut berlari di sekitaran semak yang berada di sekitarku.

“Nggak usah lari cah ayu... Nenek pasti nangkep kamu” Tiba-tiba sosok nenek tadi sudah ada di hadapanku.
Aku berbelok menerobos sisi lain hutan mencoba menghindarinya lagi. Tak sedikit luka di tubuhku yang diakibatkan oleh duri dari tanaman di hutan ini.

Mungkin aku akan menyesal berlari ke dalam hutan di gelapnya malam seperti ini. Terangnya cahaya bulan hanya semakin memperjelas keberadaan puluhan pocong yang sudah bertengger di pepohonan menatap ke arahku.

Aku hampir putus asa untuk berlari sampai tiba-tiba aku melihat sebuah rumah kayu tua yang berada di tengah hutan ini. Di sebelahnya ada sebuah pohon tua yang sangat besar dengan akar yang menjuntai dan terlihat mengerikan.

Tanpa berpikir panjang aku segera berlari memasuki rumah itu dan menutup pintunya rapat-rapat. Entah apa bagunan reyot ini bisa melindungiku dari demit-demit tadi.

Gelap, sangat gelap.

Tidak ada penerangan di bangunan tua ini. Seketika saat aku masuk hanya suara nafasku yang terdengar di telingaku. Aku duduk menekuk kakiku menahan pintu rumah sambil menahan tangis.

Bagaimana mungkin aku bisa terjebak di sebuah rumah reyot di tengah hutan sementara demit-demit sudah memenuhi hutan ini dan mengincarku.

***

“Khkehekhe... Cah ayu, nenek wis teko” (Cah ayu, nenek sudah sampai)
Terdengar suara mengerikan nenek itu yang berjalan menyeret kakinya mendekat ke arahku.
Kali ini aku tidak bisa menahan tangisku, dan seketika air mata membasahi wajahku yang sudah pucat pasi.

Suara langkah kaki terus mendekat. Jantungku berdegup semakin kencang bersamaan dengan semakin dekatnya langkah-kaki itu. Sampai tiba-tiba suara kaki itu menghilang.
Aku menunggu beberapa saat, dan aneh... suara langkah kaki itu benar-benar tidak ada lagi.

Kucoba mengatur nafasku dan mengumpulkan keberanian untuk memastikan keadaan di luar.
Aku berdiri dan mendekat ke arah jendela kayu yang memiliki celah-celah kecil untuk mengintip.

Saat ini rasa takutku sama sekali belum hilang hingga aku harus memaksa kakiku yang masih gemetar untuk berdiri mengintip dari lubang itu.

“Nenek sudah sampai!”

Tepat saat aku menajamkan mataku di jendela wajah nenek itu tepat berada di hadapanku dengan tawanya yang mengerikan dari mulut yang sudah dipenuhi dengan darah itu.
Sontak aku terjatuh ke belakang dan sekuat tenaga merangkak melarikan diri ke belakang rumah.

Berkali kali aku terjatuh tak mampu menahan lemahnya kakiku sampai tiba-tiba aku seperti menabrak sesuatu yang mendekat dari arah belakang rumah.

Terlalu gelap, aku tidak dapat memastikan apa atau siapa yang kutabrak barusan hingga tiba-tiba nyala api kecil menyulut ke sebuah lampu minyak yang dibawa oleh seseorang yang kutabrak tadi.

“Ngapain kamu disini..”

Seorang nenek, itu ucapan seorang nenek. Tapi aku memastikan, nenek itu bukan nenek yang tadi mengejarku. Ia sudah sangat bungkuk, wajahnya terlihat sangat tua namun setidaknya pakaian dan tubuhnya masih terawat.

“Sudah ayo kita keluar..” Ucap nenek itu.

“Nek.. ada, ada setan di luar. Ada nenek tua juga di luar, dia sudah membunuh beberapa orang” Ucapku memperingatkan.

Nenek itu tidak menggubris dan terus berjalan ke arah pintu rumahnya dengan membawa sebuah lampu minyak yang menggantung di tanganya.

Tepat saat nenek itu membuka pintu sosok nenek yang sedari tadi mengejarku sudah berdiri tepat di depan pintu dengan wajah yang mengerikan.

Aku ingin memperingatkan nenek yang membawa lampu tadi namun aku sendiri terlalu takut bahkan hanya isak tangis saja yang keluar dari mulutku.
Tapi.. yang terjadi benar-benar diluar perkiraanku.

Sosok nenek bungkuk yang mengajakku keluar tadi tiba-tiba menendang nenek setan itu hingga terpental dan memuntahkan darah dari mulutnya.
Seketika aku tercengang..

”Siapa nenek ini?” Pikirku.

Melihat nenek tadi terkapar di tanah, seluruh demit yang memenuhi hutan terlihat gentar. Akupun memberanikan diri untuk mendekat ke pintu keluar.

“K..Kowe! Kowe Nyai Jambrong?” (K..kamu! Kamu Nyai Jambrong?) Ucap nenek setan itu yang tiba-tiba terlihat panik.

“Dukun Goblok! Nek kowe uwis ngerti, ndang lungo! Ojo wani-wani nyedaki omahku!” (Dukun Goblok! Kalau kamu sudah tahu cepat pergi! Jangan berani-berai mendekati rumahku) Ucap sosok nenek yang disebut dengan nama Nyai Jambrong itu.

“B..bukan! Saya tidak bermaksud mengganggu nyai.. hanya wanita itu! Kami ingin wanita itu!” Ucap Nenek itu.

“Ora urusan! Minggat!” (Aku tidak peduli! Pergi!) Ucap Nyai Jambrong dengan wajah penuh kekesalan namun bukanya pergi Nenek itu malah berdiri seolah bersiap menghadapi Nyai Jambrong.

“Ora Iso.. Bocah kuwi uwis disumpah kanggo wadah Keris Benggolo Ireng! Wis wayahe keris Ndoro Agung Songgokolo bangkit!” (Tidak bisa.. anak itu sudah disumpah untuk menjadi wadah keris benggolo ireng! Sudah saatnya keris Ndoro Agung Songgokolo bangkit!) Ancam Nenek demit itu.
Nyai Jambrong tidak bergeming ia terus menatap nenek itu dengan tatapan penuh ancaman.

“Opo kowe tau kerungu Nyai Jambrong Wedi karo wong liyo?” (Apa kamu pernah mendengar Nyai Jambrong takut dengan orang lain?) Ucap Nyai Jambrong dengan sombongnya.

“Jangan sombong! Kesaktianmu tidak akan cukup melawan Ndoro!” Ancam nenek itu lagi.

“Memang tidak akan cukup, tapi kalau hanya untuk memisahkan kepalamu dari tubuhmu aku tidak butuh waktu lama”

Seketika ucapan Nyai Jambrong membuat wajah nenek itu menjadi pucat. Tawa sombongnya yang sedari tadi meneror warga desa seketika menghilang.

“Urusan kita belum selesai, jangan coba-coba melindungi wanita itu. Semua selir ndoro diutus untuk mengambil jantung wanita itu dan seluruh keluarganya..”

Tepat sesudah menyampaikan ancaman itu, nenek itu mundur dan setengah berlari seolah ketakutan dengan sosok yang dipanggil ‘Nyai Jambrong’ ini.

***

“N..Nyai, terima kasih” Ucapku yang mulai merasa tenang.

“Tidak usah bilang apa-apa, aku tidak menolongmu.. lambat laun kamu pasti mati. Masalahmu terlalu besar, aku tidak bisa berbuat lebih jauh dari ini” Ucap Nyai Jambrong yang segera menutup pintu dari luar dan berjalan meninggalkan rumah dibawah pohon besar itu.

“Nyai tahu apa yang terjadi dengan saya? Apa saya tidak ada harapan untuk bisa selamat?” Tanyaku yang mengejar Nyai Jambrong yang sepertinya bergegas menuju desa.

“Saya tidak tahu, Keturunanmu sudah mengikat sumpah dengan sosok yang mengerikan. Tidak lama lagi akan ada bencana yang mengakibatkan banyak korban akibat sumpah itu” Ucapnya yang terus memaksa berjalan dengan buru-buru.

“Terus saya harus bagaimana nyai? Sekalipun aku mati bencana itu tetap akan ada kan?” Balasku lagi.

“Kamu ikut saya, cucuku kenal beberapa pemuda yang mungkin bisa membantu kamu. Seseorang pemegang keris pusaka dan seseorang yang dipercayakan roh kera pelindung hutan Wanamarta” Ucapnya.

Aku terhenti mendengar ucapan Nyai Jambrong itu, sekilas cara Ia menceritakan kedua pemuda itu seperti sebuah dongeng cerita rakyat yang mustahil ada di jaman sekarang.

Namun kejadian yang menimpaku beberapa hari ini tidak memberiku pilihan untuk mempercayai cerita itu.

“Memang mereka itu siapa Nyai? Dukun?” Tanyaku.
Nyai Jambrong menggeleng, ia seperti sedikit tersenyum saat mengingat tentang pemuda itu.

“Sing siji jenenge bocah ketek, sing siji meneh diceluk Bocah Asu” (Yang Satunya namanya bocah monyet, yang satu lagi sering dipanggil Bocah An**ng) Aku sedikit tertegun mendengar panggilan aneh yang disematkan Nyai Jambrong pada kedua pemuda itu.

Namun mimik mukanya yang berubah saat mengingat kedua orang itu sedikit meyakinkanku bahwa ada kesempatan bagiku untuk menghentikan tragedi yang dimulai oleh keluargaku melalui kedua orang yang ia ceritakan ini.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close