Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jiwa Yang Tersesat (Part 16 END)


JEJAKMISTERI - Ada rasa lega yang kurasakan, saat aku berhasil membawa keluar sukma Pak Prabowo dari istana Ratu Gayatri. Namun rasa lega itu tak bertahan lama, karena sepertinya aku masih harus berusaha lebih keras lagi untuk menuntun jiwa malang itu kembali ke raganya. Ratu Gayatri sudah jelas jelas berkata bahwa setelah jiwa Pak Prabowo keluar dari istananya, maka jiwa itu sudah bukan menjadi tanggungjawabnya lagi. Praktis kini aku harus berjuang sendiri. Sementara beberapa makhluk liar penghuni alam itu, yang sepertinya telah mengendus jiwa tak bertuan milik Pak Prabowo, segera berlomba lomba untuk mendapatkannya.

Ini sulit! Jumlah makhluk makhluk liar itu terlalu banyak. Aku tak bisa lagi mengusir mereka hanya dengan mengintimidasinya dengan energiku. Hanya ada satu cara. Aku harus melepas sukmaku dari raga, agar bisa melawan mereka secara langsung.

Tapi itu tak bisa kulakukan, karena disini aku juga harus tetap menyalurkan energiku kepada Pak Prabowo dan Bu Rokhayah. Jika aku melepas sukma, maka otomatis energi yang kusalurkan kepada kedua orang itu juga akan terputus, yang berarti aku akan membuat jiwa malang milik Pak Prabowo akan kehilangan arah dan tak bisa kembali ke raganya.

Sial! Kenapa sebelumnya aku tak berpikir bahwa akan ada kejadian seperti ini? Andai tadi aku juga mengajak Ramadhan!

"Jangan risau Nisanak!" sebuah suara lembut nan merdu mengusik indera pendengaranku, disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan berpendar kebiruan yang menebarkan aroma harum semerbak, yang dengan cepat melesat kedepan dan menyerang makhluk makhluk liar itu.

"Dia...., peri itu?"

"Fokuskan energimu untuk menuntun jiwa malang itu pulang! Soal makhluk makhluk liar ini, biar menjadi urusanku!" Dayang Kesambi, Peri yang semenjak tadi selalu mengikuti Igun itu kembali berseru, sambil berkelebatan kesana kemari mengusir makhluk makhluk liar yang mencoba mendekat ke arah jiwa malang milik Pak Prabowo.

Ah, akhirnya aku bisa menarik nafas lega. Bantuan datang tanpa diduga duga. Peri bernama Dayang Kesambi itu, sepertinya kemampuannya lumayan juga. Dengan pedang kecil panjang yang memancarkan sinar redup kebiruan di tangannya, ia membantai tanpa ampun makhluk makhluk liar itu. Gerakannya yang gemulai namun mematikan itu sempat membuatku terkesima sesaat, sebelum aku sadar bahwa aku juga masih punya tugas yang harus segera kuselesaikan.

Sadar bahwa waktuku tak banyak, aku segera kembali memfokuskan energiku pada jiwa malang milik Pak Prabowo. Energi yang kusalurkan ke tubuh Pak Prabowo dan Bu Rokhayah semakin kutambah, agar jiwa malang itu bisa lebih mudah menemukan dimana keberadaan raganya.

Pelan namun pasti, usahaku mulai menunjukkan hasil. Jiwa malang itu semakin mendekat ke portal yang menjadi pembatas antara alam nyata dan alam gaib. Kuperintahkan kepada Bu Rokhayah untuk terus memanggil nama Pak Prabowo sambil menahan nafas, sementara dikejauhan sana Dayang Kesambi semakin dibuat sibuk oleh makhluk makhluk liar yang sepertinya semakin banyak saja.

Sepuluh, sembilan, delapan...., kira kira tinggal sepuluh hitungan lagi bagi jiwa malang milik Pak Prabowo untuk sampai di raganya. Dayang Kesambi melompat mundur, mendekat ke arah jiwa malang itu sambil menyabetkan pedang cahaya birunya kedepan. Selarik cahaya kebiruan berbentuk melengkung panjang terpancar kedepan, menyapu makhluk makhluk liar yang masih berusaha merangsek maju itu.

"Whuuuussss...!!!"

"Groaaaarrrr...!!!"

Deru angin beraroma wangi semerbak terdengar, disusul dengan jerit kematian dari para makhluk liar yang terhumbalang kesegala arah, tersapu oleh cahaya kebiruan yang terpancar dari pedang cahaya milik Dayang Kesambi.

"Enam! Lima! Empat! Tiga! Dua! Satu! Cepat! Tutup portal gaibnya, SEKARAAAANNGGG...!!!" Dayang Kesambi berseru lantang, begitu jiwa malang milik Pak Prabowo telah berhasil melintasi portal gaib pembatas antara alam nyata dan alam astral itu. Aku yang tanggap dengan apa yang dimaksud oleh peri cantik itupun segera melakukan apa yang ia perintahkan. Portal gaib itu segera kututup, sebelum makhluk makhluk liar yang masih tersisa berhasil melintasinya. Dayang Kesambi sendiri, dengan gesit segera melompat melintasi portal yang sudah nyaris tertutup itu.

"Hufth! Akhirnya, selesai sudah!" Dayang Kesambi mengibaskan pedang cahaya di tangannya, dan ajaib! Pedang panjang yang memancarkan cahaya redup kebiruan itu tiba tiba lenyap begitu saja. Sekilas kulihat peri itu sempat melirikku dengan pandangan tajam dan bibir mengerucut, sebelum beranjak untuk kembali ke tempat Igun berada.

"Tunggu!" seruku setelah aku memastikan bahwa jiwa malang milik Pak Prabowo benar benar telah kembali kedalam raganya. "Terimakasih!"

Peri itu menghentikan langkahnya. Namun ia sama sekali tak berusaha untuk membalikkan tubuhnya. Hanya matanya yang kembali melirik tajam ke arahku. Aku tau, ia sangat kesal kepadaku.

"Dan maaf, kalau aku sudah membuatmu kesal!" aku berdiri dan menghampiri peri itu. "Kau marah padaku?"

Aku sengaja berdiri dihadapan peri itu. Kini bisa kulihat wajah cantik nan rupawan itu. Jelas rasa kesal masih terpancar dari wajah itu. Bahkan si pemilik wajah seolah tak mau membalas tarapan mataku, dan lebih memilih untuk menunduk dan menyembunyikan wajahnya dariku.

"Ayolah! Jangan ngambek begitu! Aku minta maaf kalau sudah membuatmu kesal! Bukan maksudku untuk..."

"Cih!" Dayang Kesambi mendecih. "Kau pikir aku peduli? Ingat baik baik manusia! Aku sama sekali tak ada urusan denganmu! Dan jangan pernah berpikir aku melakukan semua ini karena ingin membantumu! Tidak! Tidak sama sekali! Semua yang kulakukan di dunia manusia ini, semata mata hanya karena aku melaksanakan perintah dari Gusti Ratuku! Soal bagaimana sikap dan sambutan yang kau berikan kepadaku, apa peduliku? Aku sama sekali tak peduli!"

"Hey! Tunggu dulu!" aku sedikit berlari, mencoba menjajari langkah Dayang Kesambi yang sedikit tergesa itu. "Kau mau kemana?"

"Pulang! Tugasku disini sudah selesai!"

"Tidakkah kau ingin sejenak tinggal dulu disini? Kau bisa singgah kerumahku! Janji deh, aku nggak aka ketus lagi sama kamu. Kemarin itu....., kemarin itu aku hanya takut kalau saudaraku yang disana itu sampai terpengaruh olehmu, karena yang kutahu, bangsa peri sepertimu itu...."

"Kenapa? Karena kami dikenal sebagai makhluk yang suka menggoda kaum laki laki?"

"Ah, aku..."

"Tak apa. Apa yang kaupikirkan itu tak sepenuhnya salah. Bangsaku memang sudah ditakdirkan untuk menjadi seperti itu. Tapi, aku, Dayang Kesambi, adalah peri terhormat! Panglima perang dari kerajaan peri yang disegani. Jadi jangan samakan aku dengan peri peri yang lain."

"Iya. Aku paham. Dan sekali lagi aku mohon maaf. Jadi..."

"Mungkin lain kali Nisanak. Suatu saat, kalau aku kembali mendapat tugas ke dunia manusia lagi, aku akan singgah menemuimu. Biar bagaimanapun, aku senang bisa mengenalmu. Kau orang baik, sama seperti saudaramu yang disana itu. Untuk saat ini, aku benar benar harus segera kembali ke istanaku. Tapi sebelum itu, kau tak keberaran kan kalau aku pamit kepada saudaramu itu?" Dayang Kesambi melirik ke arah Igun yang juga tengah memperhatikan kami.

"Ya. Silahkan. Aku sama sekali tak keberatan."

"Baiklah kalau begitu, sekalian aku juga pamit kepadamu Nisanak "

"Ratih! Panggil saja aku Ratih!"

"Ya. Mbak Ratih. Aku mohon pamit!" Dayang Kesambi membungkuk ke arahku, seolah memberi hormat atau semacamnya, membuatku nyaris tertawa geli. Sikapnya itu sangat berlebihan menurutku. Tapi mungkin memang sudah seperti itu adab di bangsa mereka.

Aku hanya bisa menatap peri cantik itu yang kini tengah berbicara serius dengan Igun. Lalu kualihkan pandanganku ke arah keluarga Pak Prabowo yang sedang berpelukan dan bertangisan. Tangis bahagia, yang tanpa kusadari membuatku ikut menitikkan air mata. Air mata bahagia, karena bisa sedikit meringankan penderitaan sesama. Aku berhasil!



****

Kembali ke pokok cerita

Tegang! Demikian yang aku rasakan saat Mbak Ratih telah memulai ritualnya. Aku hanya bisa berharap, ritual ini bisa berhasil, dan aku bisa memenuhi janjiku kepada Bu Rokhayah dan Lastri.

"Sepertinya ini tidak akan mudah," Dayang Kesambi yang juga memperhatikan Mbak Ratih bergumam lirih.

"Apa maksudmu?" tanpa sadar aku menimpali gumaman Dayang cantik itu.

"Temanmu itu, aku tau kemampuannya sangat tinggi. Tapi aku nggak yakin ia bisa melakukan semua ini seorang diri!" ujar Dayang Kesambi lagi.

"Sesulit itukah?"

"Yach, berurusan dengan dua dunia yang saling berseberangan, tentu saja bukan hal yang mudah. Tapi aku salut kepada temanmu itu. Sifatnya itu, mengingatkanku kepada Gusti Ratu Gayatri."

"Lalu, apa yang sebaiknya...."

"Tunggu! Sepertinya sudah dimulai!" Dayang Kesambi semakin tajam menatap ke arah Mbak Ratih yang masih duduk bersila dengan mata terpejam itu. "Benar dugaanku! Ini tak mudah! Dan sekarang, waktunya aku untuk bertindak!"

"Hey, apa yang..." ucapanku tertahan saat tiba tiba Dayang Kesambi melesat kedepan sambil menghunus pedang kecil panjang berwarna kebiruan yang entah ia dapat darimana, lalu sosoknya menghilang menembus derasnya air yang mengalir deras dari atas bendungan.

"Sial! Apa yang terjadi sebenarnya? Andai saja ada yang bisa kulakukan....." rasa cemas mulai meladaku, saat kulihat tubuh Bu Ratih yang masih fokus dengan ritualnya itu kini bergetar hebat. Dari mulutnya terus keluar perintah yang ditujukan kepada Bu Rokhayah untuk memanggil nama sang suami. Bu Rokhayahpun berulang ulang menyebut nama sang suami dengan suara bergetar. Bahkan kini mulai kudengar isak tangisnya, disela sela ia memanggil nama sang suami.

"Mas Bowooo...!!! Ini Rokhayah istrimu Maaassss...!!! Pulanglah Mas! Aku dan anakmu sudah sangat merindukanmu! Kembalilah Mas! Tidakkah kau rindu dengan aku dan anakmu?" suara Bu Rokhayah terdengar sangat menyayat hati, disela sela suara gemuruh air sungai yang tertumpah dari atas bendungan. Aku tercekat! Tanpa sadar mulutku mulai komat kamit membaca doa doa sebisaku, sambil berharap semoga doa yang kupanjatkan bisa sedikit membantu usaha yang tengah dilakukan oleh orang orang di depanku itu.

"Ahhhh...!!!" tiba tiba Mbak Ratih mendesah keras, sambil melepaskan pegangan kedua tangannya dari tangan Bu Rokhayah dan Pak Prabowo. Kedua tangan itu lalu ia rentangkan kedepan, lalu dengan susah payah ia satukan di depan dada.

"Whuusss...!!!" dari sebalik guyuran air terjun sosok Dayang Kesambi muncul dengan penampilan sedikit berantakan.

"Ugghhhhhh...!!!" tubuh Pak Prabowo yang terduduk diatas kursi roda mengejang. Dari mulutnya keluar suara lenguhan. Lalu dengan tiba tiba laki laki itu terlompat dari atas kursi rodanya, berdiri terpaku menatap ke arah Bu Rokhayah dan Lastri secara bergantian, dan....
"Khayah?! Lastri?! Kalian?"

"Maaaassss...!!!"

"Bapaaaakkkkk....!!!"

Ketiga anak, emak, dan bapak itu lalu saling berpelukan dan bertangisan. Aku menghela nafas lega. Sepertinya ritual yang dilakukan oleh Mbak Ratih telah berhasil.

Mbak Ratih dengan sedikit terhuyung lalu bangkit dari posisi duduknya, lalu menghampiri Dayang Kesambi yang hendak kembali ke tempatku. Kulihat kedua perempuan itu terlibat pembicaraan serius, sambil sesekali melirik ke arahku. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku tak begitu peduli.

Tak lama, kulihat Dayang Kesambi melangkah ke arahku, sambil merapikan rambut dan pakaiannya yang sedikit berantakan itu. Seulas senyum manis nampak tersungging di bibirnya.

"Bagaimana?" tanyaku tak sabar, saat Dayang Kesambi telah tiba dihadapanku.

"Sudah! Semua sudah selesai," Dayang Kesambi menjawab pelan. Ia berdiri di sebelahku, lalu ikut memandang kearah keluarga Prabowo yang masih saling berpeluka dan bertangisan itu. "Mbak Ratih itu, ternyata dia lumayan hebat juga ya."

"Eh, sejak kapan kau ikut ikutan memanggil dia Mbak Ratih?"

"Memangnya nggak boleh?"

"Ya boleh aja sih. Dia, memang orang yang spesial. Karena itulah aku minta bantuannya untuk menyelesaikan masalah ini."

"Kau beruntung Ndra, punya teman sebaik dia."

"Ah, kau juga tak kalah baik kok. Aku juga merasa beruntung bisa mengenalmu, Dayang Kesambi. Tanpa bantuanmu, mungkin ritual ini tak akan berhasil. Aku ucapkan banyak banyak terimakasih, karena kau sudah bersedia membantu."

"Tak perlu berterimakasih, aku hanya sekedar melaksanakan perintah dari Gusti Ratu Gayatri. Tak kurang dan tak lebih. Dan sekarang, karena tugasku disini sudah selesai sudah saatnya aku harus kembali ke alamku."

"Secepat itukah?"

"Yach, sebenarnya aku masih ingin berlama lama disini. Masih banyak hal hal yang ingin kulihat, dan rasanya aku juga masih ingin lebih lama lagi bersamamu. Tapi tugas lain mungkin sudah menungguku di istana sana Ndra. Mau tak mau, aku harus segera kembali."

"Jadi..."

"Aku pamit Ndra! Senang bisa mengenalmu! Kuharap, suatu saat kita bisa bertemu kembali!"

"Dayang Kesambi...."

"Panggil saja aku Kesambi."

"Kesambi! Nama yang aneh, tapi aku suka! Aku juga berharap, suatu saat kita bisa bertemu kembali."

"Mudah mudahan Ndra! Aku pergi ya, tolong sampaikan salamku untuk Mbak Ratih!"

"Ya. Akan kusampaikan, Kesambi."

"Selamat tinggal Ndra."

"Selamat jalan, sahabatku Kesambi."

Sosok Dayang Kesambi pelan pelan mulai memudar, berubah menjadi gumpalan kabut tipis yang semakin lama semakin memudar, untuk akhirnya lenyap tanpa meninggalkan bekas. Masih sempat kulihat peri cantik itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku, sebelum benar benar lenyap dari pandanganku.

"Ah, Kesambi, aku benar benar berharap, suatu saat kita bisa bertemu kembali," desisku pelan.

"Gun!" tepukan tangan Mbak Ratih mengejutkanku. "Sedih ditinggal piaraan cantikmu itu?"

"Aish, apaan sih Mbak?!" rungutku, kaget. "Jangan sebut dia...."

"Ya ya ya, aku tau! Aku sudah bicara tadi dengan teman perimu itu. Dia baik Gun. Kuakui itu. Tapi biar bagaimanapun, dia itu bukan manusia. Alam mereka berbeda dengan alam kita. Jadi kuharap, jangan terlalu dekat bergaul dengan mereka."

"Iya Mbak, aku paham."

"Ya sudah! Sekarang semua sudah selesai. Jiwa Pak Prabowo sudah kembali. Dan janjimu kepada Bu Rokhayah dan Lastri juga sudah terpenuhi. Lain kali, berpikir dulu sebelum mengucapkan janji kepada orang lain. Pikir baik baik, apakah kamu benar benar bisa memenuhi janjimu itu atau tidak. Jangan sampai, karena janji yang kau ucapkan, kau justru membuat orang lain kesulitan."

"Iya iya Mbak. Maaf kalau sudah merepotkan Mbak Ratih. Aku hanya..."

"Sudah. Nggak usah dibahas lagi. Itu, Lastri sudah menunggumu. Dia berharap kamu bisa ikut kembali ke rumahnya. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan kepadamu katanya."

"Ah, mungkin di lain kesempatan saja Mbak. Sekarang sudah pagi, dan entah sudah berapa hari aku nggak pulang. Jadi, sekarang aku mau pulang dulu. Soal ke rumah Bu Rokhayah, nanti saja ya Mbak, sekalian kita berdua kesananya."

"Ya sudah kalau begitu. Ayo, kita temui mereka, dan kita antar sampai ke batas desa."

****

Akhirnya, semua berakhir sudah. Berawal dari rasa penasaran, membuatku terseret dalam sebuah petualangan yang sangat menegangkan. Beruntung aku masih punya orang orang baik yang akhirnya bisa menuntaskan masalah yang tanpa sengaja aku ciptakan itu. Mbak Ratih, Ratu Gayatri, Dayang Kesambi, dan juga Kyai Jambrong. Juga Slamet dan Cempluk, yang meski dengan cara mereka yang absurd, tapi tanpa mereka mungkin aku belum bisa menuntaskan masalah yang kuhadapi ini. Tanpa mereka, entah akan seperti apa nasibku kini.

Aku hanya bisa tersenyum membayangkan ulah Slamet dan Cempluk kemarin, hingga tanpa sadar aku telah sampai di halaman rumahku. Rumah kecil sederhana, yang meski baru kemarin aku tinggalkan, namun sudah membuatku rindu untuk memasukinya. Rindu ingin segera memeluk Aish, anak semata wayangku, rindu dengan omelan omelan Indri istriku, rindu dengan aroma wangi kopi hasil seduhan jemari lentik Indri, dan rindu ingin segera merebahkan tubuh lelahku diatas balai balai bambu yang ada di teras rumah kecil ini.

Suasana sepi meski matahari mulai meninggi. Pintu depan kulihat sudah terbuka lebar. Namun tak kudengar celotehan Aish yang biasanya meramaikan istana kecilku itu. Tak juga kulihat sosok Indri yang sepagi ini biasanya sudah sibuk menjemur pakaian di tali jemuran yang ada di halaman ini. Kemana mereka semua?

"Ndut...!!!" seruku sambil masuk ke teras rumah.

"Bruuukkk...!!!" sesuatu melayang tepat ke arahku, saat aku baru saja sampai di depan pintu. Refleks aku menangkap benda itu. Sebuah jaket yang....., ALAMAAKKK...!

"Ndut...," aku tercekat saat melihat Indri yang telah berdiri di hadapanku dengan mata nanar berkilat menatap ke arahku. "Bagaimana jaket ini bisa berada di tanganmu?"

"Harusnya aku yang nanya Mas, bagaimana bisa jaket milikmu itu bisa dipakai sama cewek nakal yang biasa mangkal di waduk sana?!" sinis Indri bertanya, dengan mata yang masih terus saja menatapku.

"Eh, itu...., sebenarnya...."

Sial! Lagi lagi sial! Jaket ini, ini jaket yang kemarin kupinjamkan kepada Cempluk saat sedang kesurupan di bawah bendungan. Bagaimana bisa sampai di tangan Indri.

"BRUAAKKK...!!!"daun pintu terbanting keras tepat di depan hidungku.

" Ndut...!!!"

"Ngelayap aja terus! Jangan pulang sekalian!"

"Wedhus!"

---==TAMAT==---

*****
Sebelumnya

close