Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

KERIS BENGGOLO IRENG (Part 4) - Api Di tengah Hutan

Kita tinggalkan dulu Indira yang sudah aman bersama Nyai Jambrong dan beralih ke Danan dan Cahyo yang mengajak Dirga ke Desa Windualit..

Anehnya saat mereka datang mereka menemukan bercak darah di batu besar sekitar desa

Note:
Mungkin yang belum tau atau lupa tentang desa windualit, bisa mampir lagi ke cerita Gending alas mayit untuk sekedar merefresh ingatan akan desa itu..


JEJAKMISTERI - Rimbunya pepohonan yang berbatasan dengan lembah saat ini membuat raut wajah Dirga seolah terkagum-kagum dengan pemandangan yang dilihatnya.

“Mas Danan, memang beneran ada desa di sekitar jurang ini?” Tanya Dirga.

“Jalan aja, Nanti kamu juga bakal tahu..” Jawabku sambil melempar senyum padanya.

“Kuwi koncomu mbok tinggal dewe ning buri?” (itu temenmu kamu tinggal sendiri di belakang?) Tanya Mas Jagad sambil melirik ke arah cahyo.

“Wis Mas, Biarin.. dia sendiri yang mau bawa barang-barang sebanyak itu. sudah tau medanya berat” Jawabku sambil meninggalkan Cahyo yang repot dengan pisang-pisang dan berbagai hasil panen yang ia bawa.

“Lho... ini kan buat Sekar sama Pak Sardi, masa kesana nggak bawa apa-apa?” Teriak Cahyo dari belakang.

“Ya nggak usah sebanyak itu juga... iyo ngerti kowe seneng karo Sekar, nanging yo ojo nyusahin.” (Iya ngerti kamu suka sama sekar, tapi ya jangan nyusahin” Balasku dengan sedikit ketus.

“Siapa yang suka sama Sekar? Ini tuh namanya etika bertamu... lagian nggak nyusahin kok” Balas Cahyo Sombong.

“Yo karepmu, terserah... lagian Pak Sardi kan juga punya kebun pisang. Desa windualit juga penghasil sayuran. Ngapain dibawain lagi?” Ucapku.
Seketika saat itu raut wajah Cahyo berubah dan menyusulku.

“Lah! Uassem!! Kok kamu nggak bilang Pak Sardi punya kebun pisang? Terus sia-sia donk ini?” Ucap Cahyo dengan wajah yang sedikit merasa malu.

Aku sedikit tertawa melihat raut wajah Cahyo.

“Lha kamu nggak ngomong, kirain emang sengaja untuk bekal perjalanan” Balasku.

“Wislah.. Mbuh!” Balas Cahyo dengan segera mendahuluiku dengan raut wajah yang berubah suntuk. Sementara itu Mas Jagad dan Dirga hanya tertawa mendengarkan perbincangan kami.

Setelah melalui beberapa jam perjalanan kami mencapai sebuah sungai yang menandakan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di sebuah desa yang tidak pernah kulupakan hingga saat ini.

Sebuah desa yang warganya pernah menolongku saat dulu sempat tersesat saat aku terjatuh di jurang pendakian di kaki gunung merapi. Sebuah desa tempat terjadinya sebuah kutukan ‘Gending alas Mayit’ yang mengorbankan banyak nyawa.

Dan Sebuah desa yang mengenalkanku pada seorang wanita yang juga tidak akan pernah bisa kulupakan… Laksmi.

“Heh... kok bengong?” Ucapan Cahyo mengagetkanku yang sedang melamun mengingat kejadian tentang Laksmi.

“Nggak, Cuma kaget aja sekarang udah ada jembatan buat nyebrangin sungai ini. Kayaknya desa windualit sudah sedikit lebih maju ya?” Jawabku mencoba mencari alasan yang kebetulan melihat sebuah jembatan baru di sungai itu.

“Iya juga ya, kalau begini mungkin suatu saat kita bisa bawa motor kesana” Balas Cahyo.

Aku mengangguk dan terus melanjutkan perjalanan sementara Dirga dan Mas jagad masih dengan senangnya menikmati udara segar di hutan ini.

Saat hampir mencapai desa, mendadak Dirga terhenti dan memperhatikan sesuatu diantara bebatuan di pinggir sungai.

“Mas Danan, bukanya ini... bercak darah?” Ucap Dirga yang tersadar akan keberadaan noda berwarna merah yang membekas diantara beberapa bebatuan besar.

Aku dan yang lain segera menghampiri bebatuan yang di lihat oleh Dirga dan benar, di batu itu terlihat bekas cairan merah menyerupai darah yang mengering. Cahyo mencoba menyentuhnya dan mengendusnya.

“Ini benar darah, semoga saja bukan darah manusia” Ucap Cahyo yang segera berdiri seolah ingin secepatnya bergegas untuk sampai ke desa windualit.

***

Tepat saat sebelum gelap kami tiba di Desa Windualit, sebuah desa sederhana yang hampir didominasi dengan bangunan rumah kayu yang terlihat asri dengan hutan-hutan yang mengelilinginya.

Saat memasuki desa seketika kenangan-kenanganku akan tempat ini seolah merasuk ke ingatanku. Rumah singgah tempatku tersadar saat dibantu oleh Laksmi, Balai desa tempat merawat warga korban gending alas mayit, dan tentunya rumah Sekar dan Pak Sardi yang sedang kami tuju saat ini.

“Kulo nuwun..” (Permisi)
Aku memasuki teras rumah sebuah bangunan yang didominasi oleh kayu dan melihat lampu di dalam rumah mulai menyala.
Sekali lagi aku mengetuk pintu dan memanggil penghuni rumah tersebut.

“Kulo nuwun.. Sekar, Pak Sardi!”

Suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar mendekat disusul dengan terbukanya pintu kayu di hadapan kami.

“Mas Danan? Ini.. Bener Mas Danan kan?” Ucap sosok seorang perempuan yang membukakan pintu.

Seorang perempuan yang cukup manis untuk wanita seumuranya. Dia Sekar, seseorang yang sempat membantu kami untuk menuntaskan kutukan gending alas mayit di tempat ini.

“Nyari Siapa Sekar?” Balasku yang melihat sekar melongo mencari keberadaan seseorang yang sudah jelas kutahu itu siapa.

“Ini Dirga dan Mas Jagad, saudara saya dari Jawa Barat. Kita Cuma bertiga saja kok” Ucapku.

“Ohh.. iya, Sekar Mas.” Ucap sekar memperkenalkan diri dengan senyumanya yang ramah.

“Ya sudah, monggo masuk mas... bapak ada di dalem kok” Jawab Sekar yang masih mencoba menengok ke luar seolah berharap Cahyo ikut bersama kami.

“Heh.. Kelewatan! Aku beneran di tinggal?!” Teriak Cahyo yang sedari tadi bersembunyi di sebelah rumah karena malu dengan barang bawaanya.

“Lah.. mas Cahyo katanya nggak ikut?” Tanya Sekar yang seketika wajahnya berubah sumringah.

“Eh, i..ikut kok. Emang dasar Danan Aja yang iseng” Balas Cahyo.

Aku tertawa dan segera menceritakan alasan Cahyo ngumpet dari sekar karena malu dengan oleh-oleh yang ia bawa. Saat itu juga sekar juga ikut tertawa geli namun tetap berusaha menghibur Cahyo.

“Wahh Matur Nuwun lho Mas Cahyo... Bapak memang punya kebun pisang, tapi pisang tiap kebun kan rasanya beda-beda” Hibur Sekar.

“Tuh kan! Beda rasanya!” Ucap Cahyo.

Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang setika berubah ketika bertemu sekar.

***

“Sekar, ada tamu? Mbok disuruh masuk” Terdengar suara seorang Bapak dari dalam rumah yang aku tahu dengan jelas bahwa itu adalah suara pak Sardi.

“Iya Pak! Ini Mas Danan sama Mas Cahyo dateng!” Teriak sekar.

Mendengar jawaban sekar seketika terdengar suara langkah cepat dari dalam rumah menghampiri kami.

“Mas Danan, Mas Cahyo! Wah... ada tamu istimewa, ayo masuk-masuk” Ucap Pak Sardi.

Dengan segera kami salim dengan Pak Sardi dan mengambil posisi duduk di kursi kayu yang tersedia di ruang tamu rumahnya.

“Bu! Ada Mas Danan sama Mas Cahyo.. tolong siapin kopi ya!” Teriak Pak Sardi.

“Kalian baru sampai pasti belum makan kan? Makan disini saja ya.. tadi sekar masak sambel welut” Tawar Pak Sardi.

“Waduh nggak usah repot-repot Pak Sardi...” Ucapku.

“Yang penting kita boleh nambah Pak, soalnya kalau masakan sekar pasti enak.. kalau nggak kenyang tidurnya bisa nggak tenang” Lanjut Cahyo memotong perkataanku. Sontak aku merebut sarungnya dan melemparkanya kembali ke wajahnya.

“Yang Sopan” Balasku yang diikuti dengan tawa sekar dan pak sardi.

***

“Oh iya, teman-teman Mas Danan ini siapa? Mbok yo saya dikenalin,” Ucap Pak Sardi.

“Saya Jagad Pak Sardi masih saudara sama Mas Danan, dan ini keponakan saya Dirga, Mohon maaf ya pak.. numpang ngerepotin” Mas Jagad berinisiatif memperkenalkan diri setelah perkenalan singkat dengan Sekar di depan tadi.

“Nggak, Nggak papa... Kami malah seneng Mas Danan dan Mas Cahyo mampir ke desa ini lagi, apalagi ngajak teman-temanya. Tapi ya mohon maaf, disini seadanya. Maklum akses desa ini ke kota agak jauh..” Ucap Pak Sardi,

“Kami yang terima kasih Pak Sardi, Mbak Sekar sudah disambut begini” Lanjut Dirga yang ingin ikut di percakapan kami.
Beberapa gelas kopi disajikan kepada kami bersama berbagai macam gorengan yang membuat kami leluasa memulai perbincangan-perbincangan kecil.

Kami meminta ijin kepada Pak Sardi untuk menginap di rumah singgah tempatku dulu pernah bermalam saat tersesat di desa ini. Awalnya Pak Sardi meminta kami untuk menginap di rumahnya, namun karena kami cukup ramai kami tetap memutuskan untuk tidur di rumah singgah.

“Sebenarnya Mas Danan ada tujuan apa mampir kesini mas?” Tanya Pak Sardi.

“Oh nggak pak, Cuma nganterin Cahyo aja.. katanya kangen sama Sekar” Jawabku sambil meledek Cahyo yang sedari tadi hampir tidak berhenti bercerita kepada Sekar.

“Heh, jawab sakpenake wae..“ Balas Cahyo dibalas dengan tawa sekar.

“Lha kan bener, aku yo kangen karo sekar, pak sardi, dan warga desa yang ramah-ramah” Lanjutku lagi.

“Ya kalian kan bisa bebas mampir kesini kapan saja, nanti kalau jembatan sudah jadi dan jalur hutan sudah dibuat kalian bisa naik motor ke desa ini” Jelas Pak Sardi.

“Iya pak, tadi kami juga melihat sudah mulai ada pembangunan di desa sini.. tapi sebenernya ada satu tujuan lagi. Kami mau mengantarkan Dirga ke Sendang Banyu Ireng di Alas Mayit. Ada sesuatu yang ingin kami ceritakan disana.” Jelasku.

Saat mendengar itu Pak Sardi dan Sekar saling bertatapan. Dari tingkah mereka aku merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi.

“Mas Danan, sebelum kesana ada sesuatu yang harus kami ceritakan dulu” Ucap Pak Sardi dengan wajah yang sedikit serius.

Pak Sardi menceritakan, beberapa minggu ke belakang ada kejadian-kejadian yang aneh. Kejadian bermula saat salah seorang warga yang pulang berkebun berlari terbirit-birit ketakutan dan menggedor pintu rumah Pak Sardi.

Menurut pengakuanya ia melihat sesosok pocong berkain kafan yang sudah memerah dengan darah melayang di mulut hutan yang warga sebut dengan nama “Alas Mayit”.
Menurut cerita Pak Sardi, sudah lama warga tidak melihat keanehan di hutan itu semenjak kepergian kami.

Wargapun sudah mulai memasuki hutan mencari kayu bakar dan mencari tanaman umbi-umbian.
Setelah kemunculan makhluk itu, Pak Sardi mencoba kembali masuk ke alas mayit namun ia tidak menemukan sosok yang diceritakan oleh warga itu.

“Saya memang merasakan ada sesuatu disana, namun saya tidak berhasil menemukan apapun” Cerita Pak Sardi.

“Tapi setelah itu, ada beberapa warga lagi yang melihat keberadaan pocong itu tak hanya itu tidak sedikit warga yang melihat penampakan roh yang bersliweran di hutan, sepertinya makhluk itu bukan berasal dari hutan ini” Tambah Sekar.

Aku berpikir sejenak dan teringat dengan bercak darah yang dilihat oleh Dirga tadi.

“Sekar, apa ada warga desa yang jadi korban makhluk-makhluk itu?” Tanya Cahyo.
Sekar menggeleng.

“Nggak ada mas, tapi bapak cukup sering mengecek ke dalam hutan untuk mencegah makhluk-makhluk itu melukai warga. Sayangnya seperti yang bapak cerita tadi, saat kesana bapak tidak menemukan apapun” Jelas Sekar.

Aku menceritakan tentang bercak darah di bebatuan di pinggir sungai pada Sekar dan Pak Sardi. Tapi menurut mereka tidak ada warga yang terluka atau terkena serangan dari makhluk-makhluk itu.

“Ya sudah, besok biar sekalian kita cari tahu.. yang penting itu sambel welutnya kita urusin dulu, kasihan lho itu kalau sudah disambelin tapi nggak ketemu nasi” Ucap Cahyo yang dengan wajah isengnya.

“Eh o iya, ayo makan dulu.. duh kok saya sampe kelupaan keasikan ngobrol” Ucap Pak Sardi yang segera mengajak kami ke dapur.

“Jull.. panjul, sing sopan to njul...” (Jul Panjul... yang sopan to Njul) Ucapku sambil menggelengkan kepala.

“Ealah nan, kowe yo sakjane wis laper to? Tenang tak wakilin ngomong... isine nggo aku wae” (Ealah Danan, kamu ya sebenernya udah laper kan? Tenang tak wakilin ngomong... malunya biar aku aja) Bisik Cahyo.

“Hoo.. Bener, cocok. Kowe sing isin aku sing wareg. Ayo cepet...” (Bener, cocok, kamu yang malu aku yang kenyang ayo cepet.) Balasku.

“Mas Danan, Punya temen kaya mas cahyo lagi nggak? Kayaknya aku butuh satu” Sambung Dirga.

“Nggak ada, yang satu ini sudah mau punah.. kemarin aja udah ada museum yang mau ngurusin” Balasku.

Tanpa sadar sarung cahyo sudah terlempar menutupi wajahku disusul dengan beberapa kali tangan cahyo menggasak kepalaku.

Namun begitu sudah sampai di meja makan perhatian kami beralih ke masakan yang sudah disediakan oleh Sekar.
Malam itu kami tutup dengan jamuan dari Pak Sardi sebelum Sekar mengantar kami ke rumah singgah yang tidak jauh dari rumanya.

“Mas, besok pagi tak masakin nasi pecel... kalau mau pergi bilang-bilang ya” Ucap Sekar sebelum meninggalkan kami di rumah singgah.
Kelelahan kami selama perjalanan membuat kami mudah untuk tertidur saat itu.

Namun di tengah lamunanku aku masih terpikirkan mengenai bercak dara dan kemunculan sosok ghaib di Alas Mayit. Tidak mungkin makhluk-makhluk itu muncul tanpa sebab.

***

Alas mayit.. Warga desa turun temurun menyebut hutan ini dengan nama yang mengerikan karena kejadian-kejadian yang pernah meneror desa windualit sebelumnya.

Apalagi dengan keberadaan kompleks makam tua yang sudah tidak terawat dan tidak diketahui siapa saja yang dimakamkan di tempat itu.

Rimbunya pepohonan di hutan ini menghalangi cahaya matahari untuk masuk sehingga bahkan di siang hari kami masih cukup kesulitan memperhatikan langkah kami.

“Mas Danan, inget nggak waktu dulu mas Danan nolongin anak salah seorang warga yang diculik wewe gombel dan di bawa ke sendang itu?” Ucap Pak Sardi mencoba mengingatkanku tentang kejadian dulu.

“Iya Pak, tersesatnya saya kala itu sepertinya memang sudah diatur oleh Tuhan sehingga saya bisa turut andil dalam rentetan kejadian besar” Balasku.
Sepanjang perjalanan aku melihat mas jagad sibuk memperhatikan sekitar hutan seolah merasakan sesuatu.

“Mas Jagad, ada apa?” Tanyaku.

“Benar kata Pak Sardi, ada orang lain di hutan ini...” Jawab Mas Jagad.

Aku mencoba menenangkan diriku dan mencari keberadaan sosok yang dimaksud mas Jagad. Sayangnya aku tidak merasakan apapun seperti yang diceritakan Mas Jagad.

***

Langkah kaki kami mengantarkan kami ke kompleks pemakaman tua yang sebagian nisanya tidak berbentuk. Beberapa makam baru ada di bagian pinggirnya namun semakin ke dalam hanya makam yang sudah tidak berbentuklah yang ada di tempat ini.

Aku mengingat sosok demit tua yang mengaku menguasai tempat ini dan akhirnya menghadang setan-setan mengejarku dan pak sardi saat itu dan belakangan aku baru tahu bahwa ia adalah Eyang Widarpa. Eyang sudah banyak menolongku bahkan sebelum aku mengenal namanya.

“Dirga, menurut cerita, ini adalah makam prajurit-prajurit dan rakyat kerajaan Darmawijaya yang meninggal karena perang bodoh antar kedua patih” Jelasku pada Dirga.

“Apa benar mas Danan? Bentuknya sudah tidak karuan begini?” Balas Dirga.

“Itu menurut cerita roh seorang nenek yang menjadi korban perang itu, dan itu mungkin saja benar karena istana tempat Prabu Arya Darmawijaya bersemayam ada di dekat sini” Jelasku lagi.

Sebuah sendang dengan air yan berwarna hitam terlihat dihadapan kami bersama sebuah batu besar yang merupakan bekas batang pohon beringin yang menjadi fosil.

Aku merasakan sesuatu yang aneh di tempat ini. sebuah perasaan yang membuatku tidak nyaman tiba-tiba hadir saat aku menginjakkan kaki ke wilayah sendang banyu ireng.

“Pakde, Kerisku... kerisku bergetar!” Ucap Dirga pada mas Jagad yang berusaha memegangi kerisnya yang bergetar seolah ingin menunjukan sesuatu.
Tak lama dari ucapan Dirga tiba-tiba Keris Ragasukma muncul dari sukmaku dan menunjukkan reaksi yang sama.

“Danan, Wanasura gelisah... ada sesuatu di tempat ini” Ucap Cahyo.

“Pak Sardi, Hati-hati... jangan jauh-jauh dari kami” Ucapku.

Mas Jagad menepuk pundak Dirga dan menyuruhnya tenang dan ia berjalan mendekat menuju sendang banyu ireng.

Mengambil sejumput tanah di dekatnya dan membacakan sebuah doa sebelum melemparkanya kembali dengan membentuk sebuah garis.
Tepat saat itu juga kami merasakan langit berubah menjadi gelap seolah akan turun hujan deras.

Tepat saat petir menyambar berbagai sosok muncul di tempat yang sebelumnya sepi dan tenang.
Dari tingginya pohon di hutan melayang sosok pocong dengan kain kafan yang penuh dengan darah melayang dan menatap kami dengan matanya yang memerah.

Di balik-balik pepohonan seperti mengintip sosok hitam besar bermata merah dan berbulu lebat yang juga teruss menatap kami.
Entah aku tidak bisa menghitung berapa sosok roh yang bergentayangan beterbangan di atas kami.

“I...ini apa Mas Jagad?” Tanyaku.

“Mereka bersembunyi disisi lain hutan ini... sepertinya mereka memiliki tuan” Jawab Mas Jagad.

Sebelum aku sempat menjawab tiba-tiba sosok roh wanita dengan wajah penuh luka bakar dan rambut yang hanya tersisa beberapa helai melayang cepat ke arahku dan menjatuhkanku ke tanah.

Ia tertawa cekikikan menindih tubuhku dan mencoba menahan tanganku.

“T...tolong!! S-aakit...“ Ucap makhluk itu dengan lirih namun berbanding terbalik dengan tindakanya yang mencoba mencelakaiku.

Aku membacakan doa untuk menenangkan makhluk itu namun hampir tidak terjadi apapun denganya. Sepertinya sebuah ikatan hitam mengendalikan makhluk ini.

Cahyo dengan sigap membacakan doa di lenganya dan memukul makhluk itu hingga terpental dan kembali melayang bersama makhluk lainya. Serentak dengan kejadian itu tiba-tiba aku merasakan sebuah kekuatan mengerikan dari salah satu candi di dekat sendang banyu ireng.

“Mas, hati-hati ada sesuatu disana” Ucap Dirga yang merasakan peringatan dari keris yang ia pegang.
Seorang pria berambut panjang dengan jenggot dan brewok menutupi wajahnya dengan tubuh kurus dengan pakaian yang sudah tidak berbentuk keluar dari bangunan candi itu.

Tubuhnya penuh dengan luka dan darah mengalir dari bekas luka itu.

Di tanganya tergenggam sebuah keris yang baru saja ia cabut dari warangkanya.

“Getih... Kei aku getih” (Darah... berikan aku darah)

Pria itu berjalan tertatih-tatih dengan dengan mata yang sepenuhnya memutih dan menyebrangi sendang banyu ireng di hadapan kami. Kemunculan pria itu tiba-tiba membuat semua makhluk yang baru saja muncul dihadapan kami tersenyum dan menatap ke arah kami.

“Danan hati-hati!” Teriak Cahyo yang segera memanggil kekuatan Roh Wanasura yang ada di tubuhnya. Sepertinya instingnya merasakan hal yang sangat berbahaya.

Dan benar saja, tak butuh lama hingga Roh Gentayangan di sekitar kami mendekat mengitari kami dan makhluk hitam berbulu besar berlari bersiap menyerang kami dengan cakarnya yang panjang.

Dengan sigap cahyo menghalau makhluk itu hingga terpental, namun dari sisi lain makhluk panjang bermata merah merayap ke arahku dan bersiap menanggkapku, namun aku membacakan doa pada keris ragasukma dan menusukkanya pada lenganya hingga membuatnya menjauh.

“Mas Danan, Dirga!” Teriak Pak Sardi yang melihat keanehan pada tubuh dirga.
Seluruh kulit dan matanya terlihat memerah, ia mencoba mempertahankan kesadaranya sambil terus menggenggam keris peninggalan leluhurnya di tanganya.

Melihat hal itu mas jagad segera meraih Dirga dan membacakan doa yang cukup panjang untuk menenangkanya. Pak Sardi juga membantu namun sepertinya sosok di dalam tubuh Dirga menolak untuk pergi.
Aku melihat keadaan sekitar dan tidak menemukan sosok pocong berkain kafan merah tadi.

“Khikhikhi... Darah, darah anak itu yang terbaik” Ucap Dirga dengan suara berat yang tersengal sengal sambil melotot ke arah kami dengan matanya yang memerah.

“Danan, aku tahan makhluk ini! kamu urus orang itu!” Ucap Cahyo sambil menunjuk ke seorang pria yang masih berusaha menyeberangi Sendang banyu Ireng dengan langkah yang terseok seok.

Dengan segera aku melompat ke dalam sendang dan menarik kerisku dan menyerangnya hingga kedua keris kami beradu dan mementalkan kami berdua.

“I...Itu bukan keris biasa Danan!” Teriak mas Jagad mencoba memperingatkanku. Keris itu dialiri kekuatan hitam, bukan... kekuatan merah darah pekat yang membuatku merinding setiap menatapnya.

Aku menoleh pada Dirga yang semakin berteriak kesakitan. Tak mau membuang waktu aku segera berdiri dan menghampiri kembali Pria itu yang juga memaksa untuk berlari mengejarku.

Anehnya sebelum kami saling beradu kekuatan lagi tiba-tiba pria itu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dan membenturkanya ke Waturingin di tengah sendang hingga darah segar bermuncratan.

“A...arrrgg!! Hentikan!!“ Teriak laki-laki itu yang kembali membenturkan kepalanya.

Aku mencoba mendekat, kali ini bukan untuk menyerangnya melainkan untuk menghentikanya. Aku yakin ada sesuatu yang tidak kami mengerti disini.

“Pergi! Menjauh!! Kalian bisa mati!” Teriak pria itu namun aku tidak mempedulikanya dan tetap menahan tubuhnya.

Sesekali aku memperhatikn matanya yang kembali dengan pupilnya dan kembali memutih seolah sedang melawan sesuatu di dalam dirinya.

“Api!! Aku butuh api itu!” Teriak orang itu.

Aku tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan, namun pak sardi seolah menyadari sesuatu dan segera menghampiri kami. Ia membacakan doa, menggerakan tanganya dan sesuatu muncul di hadapan kami.

“I...Itu! Itu Geni Baraloka Paklek!” Teriak Cahyo yang menyadari api yang turun ke tangan Pak Sardi.

Dengan tubuh yang berlumuran darah, pria pemegang keris berbilah merah itu memaksa dirinya berlari menuju api itu hingga tubuhnya terbakar namun perlahan ia mendapatkan kesadaranya dan demit di sekitar kami menjauh seperti tadi.

Aku menoleh kepada Dirga, ia terbaring lemah namun tubuhnya sudah kembali normal seperti sebelumnya. Apa yang terjadi dengan semua ini? Siapa Pria ini?

***

Aku mencari peralatan p3k yang sekarang selalu kubawa di tasku dan mencoba menghentikan pendarahan di kepala pria tadi sembari mas jagad mencoba memulihkan kesadaran dirga.

***

“Pergi... menjauh dari saya!” Ucap Pria yang terbaring lemah dengan semua luka ditubuhnya.

“Tenang dulu Pak! Tenang! Seharunya Api ini bisa menahan sesuatu yang mempengaruhimu!” Ucap Pak Sardi, namun sepertinya ia mulai khawatir karena Geni Baraloka yang dulu ditinggalkan Paklek di hutan ini kini semakin mengecil.
Saat Pria itu mulai tenang angin kembali mulai berhembus dengan tenang.

Kami menarik nafas dalam-dalam atas kejadian singkat namun hampir mencelakai salah satu dari kami.

“T..Terima kasih, maafkan atas semua kejadian ini” Ucap orang itu yang sudah mulai bisa mengendalikan dirinya.

“Pak, Ceritakan kepada kami.. apa yang sebenarnya terjadi?” ucap cahyo yang sudah tidak sabar untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Pria itu mencoba berdiri dan menyandarkan tubuhnya di salah satu pohon sementara kami mengikutinya.

“Saya Suroto Jogopati... saya sengaja mencari hutan ini. Menurut cerita yang saya dengan, di hutan ini ada Api yang bisa menolong saya..” Cerita orang itu.

“Maksud Pak Suroto, Geni Baraloka ini?” Tanyaku.

Ia mengangguk. Sepertinya aku mulai mengerti maksud keberadaanya di tempat ini.

“Keris itu adalah keris terkutuk, hampir seluruh keluargaku mati karenanya.. Aku adalah pewaris yang terpilih dan keris itu tidak mau meninggalkanku yang telah disumpah oleh garis keturunan darahku” Jelasnya sambil menunjuk keris yang ia lempar menjauh.
Kami memang merasaan sesuatu yang berbahaya pada keris itu, dari kekuatanya saat berbenturan aku bisa merasakan bahwa keris itu berasal dari Jaman yang sama dengan Keris Rogosukmo.

“Saya harus menjauhkan keluargaku dari bahaya dengan menjauhkan diri dari mereka, namun setiap saya sudah hampir mati keris itu mengambil alih tubuh saya dan mencari korban untuk memperpanjang umur saya...” Jelasnya.

Sebuah cerita yang mengerikan, sebuah pusaka bisa mengambil alih kesadaran empunya dan mencelakai orang lain.

“Danan, bisa kamu putihkan keris itu?” Tanya Cahyo.
Benar kata cahyo, ada baiknya aku mencoba memutihkan keris ini.

Dengan segera aku mengambil keris yang terjatuh di tanah itu. sebuah kekuatan besar seperti beradu dengan keris rogosukmo yang kumiliki namun aku terus mencoba membaca doa untuk memutihkan keris ini, namun sama sekali tidak berhasil.

Seolah merespon perbuatanku tiba-tiba keris itu bergerak terlepas dari warangkanya dan melesat ke arah Pak Suroto dan menancap di pohon persis disebelah wajahnya.
Dengan lemah pak suroto mengambil keris itu dan memandangnya.

“Keris Benggolo Abang.. sebuah kutukan yang diturunkan oleh leluhur kami. Banyak hal yang bisa didapatkan oleh pemilik keris ini namun bayaranya tidak akan pernah sebanding”

Aku masih meratapi kegagalanku memutihkan pusaka itu namun sepertinya Pak Suroto juga sudah menebak hal itu.

“Pak suroto, coba ceritakan kepada kami... siapa tau kami bisa membantu. Mas Danan dan Mas Cahyo sebelumnya sudah pernah membantu desa kami dari hal serupa” Ucap Pak Sardi.

Saat itu Pak Suroto menatapku dan Cahyo dan memperhatikan keris yang ada di genggamanku. Wajahnya terlihat ragu namun sepertinya ia tetap memutuskan untuk bercerita.

***

Pak Suroto memulai ceritanya dengan keberaadaan kerisnya yang sudah dimiliki olehnya selama turun temurun. Namun saat dimiliki oleh ayahnya, keris itu di segel dan tidak pernah digunakan hingga diturunkan kepada dirinya.

Sebelumnya Pak Suroto tidak pernah memperhatikan keris itu karena memang tidak memiliki niat untuk menggunakanya. Hingga saat suatu malam tiba-tiba segel keris itu terlepas dan mengambil alih kesadaran Suroto.

Yang ia ingat seperti ada suara yang memanggil sosok yang berada di dalam keris itu terus menerus. Ia tidak sadar dengan apa yang terjadi hingga suara tangisan anaknya yang paling kecil menyadarkanya dan melihat hal mengerikan di hadapanya.

Seluruh anggota keluarganya bergelimpangan penuh luka dan menatapnya dengan ketakutan seolah melihat sosok monster yang mengerikan.
Pengakuan dari keluarganya Ia kerasukan dan disekitarnya terdapat banyak makhluk halus yang menuruti perintahnya.

Mengetahui kejadian itu saudara-saudaranya datang dan mencoba membantunya. Namun segala cara tidak berhasil, sebaliknya ada beberapa saudaranya yang mencoba merebut keris itu darinya namun berakhir naas dengan kematian.

Melihat sudah ada korban nyawa Pak Suroto memilih untuk meninggalkan keluarganya dan mencari cara sendiri untuk menolong dirinya hingga ia mendengar kabar mengenai sebuah api yang sering muncul di hutan bernama Alas Mayit yang bisa menenangkan roh.

Ia memaksa dirinya untuk mencapai hutan itu, melukai dirinya setiap hampir kehilangan kesadaran. Setiap keris itu mempengaruhi tubuhnya seluruh demit pengikut keris itu selalu menampakan diri untuk mencari darah untuk tuanya.. Namun keberadaan api di hutan itu berhasil menahanya setiap ia mulai menggila.

“Pantas saja geni baraloka mengecil dengan cepat berbeda dengan sebelumnya yang bertambah besar secara perlahan” Ucap Pak Sardi.

“Yang lebih membuat khawatir, sebenarnya itu pusaka apa? Bagaimana keris itu bisa melepas segelnya sendiri Nan?” Tanya Cahyo.

***

“Keris itu tidak sendiri, saudaranya memanggilnya” Tiba-tiba Dirga menghampiri kami seolah mengetahui sesuatu.

“Saat kerasukan tadi aku mendapat gambaran tentang keberadaan tiga buah keris kembar.” Lanjut Dirga.

Seolah sudah mulai pulih, Dirgaduduk bersila mengambil posisi nyaman untuk menceritakan penglihatanya.

“Coba Jelaskan apa yang kamu lihat Dirga?” Perintah Mas Jagad.

Dirga menceritakan penglihatanya tentang Tiga buah keris, Keris Benggolo Ireng dan keris benggolo abang yang berkekuatan hitam dan Keris Benggolo Lanang netral seolah tak memiliki kekuatan.

Keris Benggolo Ireng telah bangkit seolah memulai sesuatu hal yang akan menimbulkan banjir darah berdasarkan sumpah yang dilakukan oleh pemilik sebenarnya dari keris itu.

“Saya tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi sepertinya aku pernah mendengar cerita dari abah tentang hal ini” Ucap Dirga.

“Benar Abah tahu tentang ini?“ Tanya Jagad.

“Cuma satu cara untuk memastikan, tapi sepertinya keberadaan keris ini memiliki hubungan dengan leluhurku.” Jawab Dirga.

Dari perbincangan ini kami mengambil kesimpulan bahwa suatu hal besar akan terjadi.

Apakah akan lebih mengerikan dari terbukanya gerbang Jagad segoro demit dulu? Atau malah sebuah tragedi yang tidak bisa dicegah oleh kami?

“Pak Sardi, aku akan meminta paklek kesini. Sepertinya hanya Geni Baraloka Paklek yang bisa menahan sosok yang mempengaruhi Pak Suroto ini.” Ucapku. Cahyo mengangguk setuju.

“Abah pernah berurusan dengan seorang dukun yang tinggal di sekitar pabrik tahu dekat desa saya. saat itu dukun itu dibantu oleh salah seorang pengguna Keris Benggolo Ireng yang hampir menghabisi nyawa Abah.

Beruntung saat itu abah bisa selamat dengan bantuan temanya..” Jelas Dirga.

Mendengar cerita Dirga, kami tidak mempunyai pilihan lagi. kami harus mencari tahu tentang hal ini sebelum teragedi mengerikan yang memakan banyak korban akan terjadi lagi.

“Setelah paklek datang sepertinya kita harus segera menemui Abah, kita tidak bisa menunggu lebih lama” Ucap Mas Jagad.

Kami setuju, Sepertinya ucapan iseng kami untuk main ke rumah Dirga menjadi sebuah keharusan dengan adanya kejadian ini.

Disamping itu, entah mengapa aku merasa semangat saat akan bertemu keluarga Dirga, keluarga trah Darmawijaya yang sudah bersahabat dengan leluhurku dari sejak jaman dahulu.
[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close