Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

GEGER MUSTIKA (Part 12 END) - Pulang

Lanjutan kisah hidup seorang manusia dengan iblis yang bersemayam dalam dirinya.

Titisan Raja Siluman Ular


Pulang

Di luar sana, di tengah angin yang bergulung-gulung, terlihat pancaran sinar warna-warni hingga menyeruak masuk ke dalam rumah.

Mpu Dharmapala dan Thole terkesima. Sebuah fenomena yang menakutkan sekaligus menakjubkan tengah mereka saksikan. Sementara aku hanya bisa terpaku sambil memeluk Mayang erat-erat.

"Cahaya itu.."

Mulutku bergumam lirih. Aku tau betul cahaya apa itu. Cahaya ajaib dari mustika Ismaya. Apakah mustika itu telah kembali?

"Mayang, lihat cahaya itu." Pintaku pada Mayang. Mayang perlahan melihat ke arah yang kumaksud. "Mustika Ismaya?" Tanya Mayang.

Aku mengangguk. Aku tak tau bagaimana dan darimana datangnya mustika itu, tapi yang pasti, aku tak mau kehilangan benda itu lagi.

Aku berdiri lalu melangkah keluar diiringi Mayang yang bersembunyi di balik punggungku, sementara mpu Dharmapala dan Thole mengekor di belakang.

Subhanallaaah...

Mulutku spontan berucap takjub melihat pemandangan luar biasa yang terpampang di depan mata.

Di tengah terpaan angin yang makin reda, seluruh area sekitar rumah nampak dipenuhi cahaya warna-warni yang begitu indah.

Lalu di sana, nampak mustika Ismaya yang mengambang lembut beberapa jengkal di atas tanah. Batu itu bergerak-gerak seolah hidup. Kami semua terpana, tapi ternyata itu belum seberapa..

Tiba-tiba saja mustika itu memancarkan cahaya warna-warni bak pelangi yang melesat menembus langit.

Kejadiannya sama persis seperti yang pernah kusaksikan di kawah gunung Krakatau waktu itu. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda...

Tiba-tiba saja, mustika itu bergerak keluar meninggalkan pancaran sinarnya, lalu secara perlahan terus bergerak mengambang menuju ke arah kami.

Aku pun siap untuk menyambutnya, tapi ternyata mustika itu tak datang kepadaku, melainkan datang kepada orang yang sama sekali tak kuduga-duga..

"Mas? Bagaimana ini mas?" Tanya Thole yang kebingungan melihat mustika itu kini berhenti dan mengambang tepat di hadapannya. Cahaya indahnya bahkan menyelimuti sekujur tubuh pemuda itu yang jadi terdiam tak tau harus berbuat apa.

Demi melihat hal itu, seketika aku tersadar, lalu memahami arti dari semua perjalanan ini. Rupanya mustika itu sengaja membawaku jauh mundur ke masa lalu untuk bertemu dengan pemiliknya yang sejati.

Sang Maha guru Ismaya...

"Jangan takut. Mustika itu memang ditakdirkan untuk jadi milikmu. Ambillah, kamu berhak menerimanya." Ucapku coba menjelaskan pada Thole.

Mendengar hal itu, Thole memberanikan diri menyentuh mustika itu yang seketika membuat tangannya jadi bercahaya.

Mpu Dharmapala terkagum-kagum, apalagi melihat sekujur tubuh cucunya ikut bersinar menyatu dengan mustika Ismaya yang kini ada dalam genggamannya.

Hatiku lega. Mustika itu kini ada di tangan yang benar. Aku tak tau perjalanan hidup macam apa yang akan dijalani Thole nanti, tapi yang pasti, kelak dia akan jadi seorang maha Guru seperti yang sudah digariskan oleh Tuhan.

"Mas Yudhaaaaa! Maaaas! Mas Yudhaaaa!"

Terdengar suara Panji yang memanggil-manggil. Suaranya sayup terdengar dari balik cahaya pelangi menjulang tinggi yang tadi mustika Ismaya ciptakan.

Seketika aku dan Mayang saling pandang. Kami tau, itu adalah panggilan untuk kami pulang.

"Eyang, maafkan kami, kami harus pergi. Terima kasih atas semua kebaikan eyang. Sebenarnya kami bahagia bisa ada di sini, tapi ini bukan rumah kami. Sekarang ijinkan kami untuk pulang." Ucapku pamit pada mpu Dharmapala.

Lelaki tua itu mengangguk. Dia tau apa maksud dari ucapanku. Dia pun menghampiriku lalu memelukku erat-erat.

"Pergilah nak. Meskipun berat, tapi saya tak bisa menahanmu disini. Terima kasih atas segala kebaikan yang pernah kamu buat. Semoga Tuhan selalu menyertaimu."

Mayang meraih jemari mpu Dharmapala lalu menciumnya. Sang mpu membalas dengan belaian sayang di kepala Mayang.

"Saya pamit eyang."

"Pergilah nduk. Berbahagialah dengan calon suamimu di tempat asal kalian. Doa restuku mengiringi kalian."

Aku dan Mayang menghampiri Thole yang kini berdiri dengan mata berkaca-kaca. Sementara mustika Ismaya kini ada dalam genggamannya.

"Mas yudha, kak Mayang, apakah kalian harus pergi? Kenapa tidak tinggal di sini saja bersama kami? Lalu bagaimana nasib kerajaan ini? Siapa nanti yang akan menjaganya?"

"Maafkan kami. Tapi kami benar-benar harus pergi. Jaga mustika itu baik-baik. Kelak kamu akan jadi orang hebat dengan mustika itu. Dan kerajaan ini? Dia telah memiliki pelindungnya yang sejati, yaitu kamu."

Thole coba tersenyum meski terlihat getir. Kemudian terdengar kembali suara Panji yang memanggil-manggil.

"Mas Yudhaaaaa! Maaaas! Mas Yudhaaaa!"

Kugandeng tangan Mayang lalu menuntunnya sampai di depan cahaya pelangi yang masih memancar menjulang tinggi.

Sebentar kami menoleh demi melihat semuanya untuk yang terakhir kali, lalu tersenyum pada mpu Dharmapala dan Thole yang melambaikan salam perpisahan.

"Bismillah.."

Ucapku sembari melangkah masuk bersama Mayang ke dalam sinar pelangi yang seolah membentuk dinding menjulang. Lalu tiba-tiba..

ZIP!

Tubuh kami seolah terhisap masuk ke dalam sebuah labirin raksasa yang menjulang tinggi ke angkasa.

Lalu kami dibawa melesat naik bagaikan dalam sebuah wahana dimana ada banyak lubang-lubang aneh pada dindingnya.

Namun tiba-tiba kami berbelok arah masuk ke dalam salah satu lubang yang gelap tak ubahnya sebuah lorong.

Kugenggam tangan Mayang erat-erat sementara kami terus melesat di dalam lorong gelap menuju cahaya menyilaukan di ujung sana, hingga akhirnya..

BRUK!

Tubuhku terbanting jatuh di atas bebatuan kerikil, sementara Mayang jatuh persis menidih tubuhku.
Hmpphh!

Punggungku terasa sakit sementara Mayang meringis sembari memegangi kepalanya yang sempat membentur jidatku.

"Kita dimana?" Tanyaku pada Mayang yang kini telah berdiri namun masih nampak kebingungan memperhatikan sekelilingnya.

"Sepertinya kita sudah kembali." Jawab Mayang.

Aku pun berdiri lalu ikut memperhatikan sekeliling. Benar kata Mayang. Entah bagaimana kami telah kembali berada di puncak gunung Krakatau.

"Mas Yudhaaaa! Maaas! Mas Yudhaaaaa!" Terdengar suara Panji yang memanggil entah darimana.

"Jiiiii! Panjiiiiii!" Aku balas berteriak tak kalah lantang berharap Panji bisa menemukan keberadaan kami.

Lalu dari kejauhan, nampak Panji yang terlihat kaget lalu berlari tergopoh-gopoh menghampiri.

"Astaga! Kamu kemana saja mas? Dari tadi aku cari-cari sampai suaraku serak! Joyokusumo mana? Kok yang ada malah kak Mayang?"

"Joyokusumo?" Tanyaku heran.

"Iya! Mana orang gila itu? Sejak tadi aku sudah berhasil mengalahkan kelima kalajengking raksasa itu. Lalu aku cepat-cepat kesini untuk membantumu. Tapi kamu dan Joyokusumo malah menghilang."

Aku terdiam. Penjelasan Panji barusan menandakan kalau aku dan Mayang kini berada di waktu ketika aku sedang menghadapi Joyokusumo. Sukar dipercaya, padahal sejatinya kami sudah pergi selama berbulan-bulan.

Aku pun menceritakan pada Panji tentang kejadian yang sebenarnya. Mulai dari saat aku melawan Joyokusumo, lalu aku yang merebut mustika Ismaya, hingga petualanganku dan Mayang di negeri Wiraloka sampai akhirnya kami bisa kembali ke tempat ini.

"Gila! Luar biasa! Mustika itu benar-benar dahsyat! Tapi aku bersyukur akhirnya benda itu ada di tangan pemilik aslinya." Ucap Panji.

Kini semuanya sudah berakhir. Kami pun memutuskan untuk pulang. Panji kembali memintaku untuk bersila sambil memejamkan mata, lalu tiba-tiba kami sudah kembali berada di dalam kamar kontrakanku.

"Lho? Kak Mayang kok nggak langsung pulang ke istana? Memangnya nggak capek berbulan-bulan jadi manusia?" Tanya Panji pada Mayang yang telah kembali pada wujud gaibnya dengan aroma bunga melati yang harum semerbak.

Tapi bukannya menjawab pertanyaan Panji, Mayang malah berpaling ke arahku lalu melontarkan sebuah pertanyaan.

"Yud, pernikahannya bagaimana?"

Jelas aku kaget. Tak menyangka kalau Mayang bakal menanyakan hal itu.

"Pernikahan? Ya batal dong May, kan kita sudah pulang?"

"Tapi kamu kan sudah janji? Katanya kamu nggak bakal ingkar?" Tanya Mayang lagi.

"Ya itukan disana, kalau disini kan lain." Jawabku lagi.

"Ini kalian ngomongin apa sih?" Tanya Panji yang kebingungan mendengar perdebatan kami.

"Ini lho Ji! Dia ini sudah janji mau menikahiku! Bahkan kami sudah menentukan harinya." Sahut Mayang terdengar jengkel.

"Yang bener mas?"

"Iyaaaaa! Tapi itu kan disana! Sekarang kan waktu dan tempatnya beda!" Sahutku jadi serba salah.

"Waaah, nggak boleh gitu mas, janji tetap janji, harus ditepati." Sahut Panji malah memanas-manasi.

"Nah! Itu baru benar! Hayo! Mau ngomong apa kamu?" Ujar Mayang merasa ada yang membela.

"Semprul kowe Ji! Bukannya menengahi malah bikin tambah ruwet!" Sahutku sambil mendelik.

Panji malah tertawa. Niatnya untuk membuatku makin terpojok sepertinya berhasil.

Kini Mayang terus memaksaku sambil ngoceh tentang arti penting sebuah janji, sementara aku sebisa mungkin terus membela diri.

"Terus kak! Tagih terus! Pokoknya harus jadi! Kabari aku kalau kalian sudah sepakat! Aku mau pergi dulu, perutku lapar! Mas, aku pamit ya? Yang semangat ributnya! Hahahaha.."

Lalu Panji pun menghilang entah kemana, meninggalkanku bersama Mayang yang makin kesal dan geregetan hingga mencubiti badanku sampai biru-biru.

ADUH! UDAH DONG MAY!

----- SELESAI -----

Terima kasih telah menyimak kisah ini. Nantikan lanjutan kisah perjalanan hidup Yudha pada episode-episode berikutnya!
close