Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NENG LILI (Part 5 END)


JEJAKMISTERI - Hari itu, selang satu hari dari malam sosok Roni datang ke kostku, atau tepatnya masuk hari ketujuh kematian Roni, Aku berniat menemui Pak Farhan.

Kebetulan badanku yang bisa di bilang sudah 90% fit, bisa berkompromi dengan rasa penasaranku yang hampir membuncah. 
Langkah semangat dan penuh harap sedari kost, sedikit berujung kecewa, ketika sesampainya di tempat kerjaku, Pak Farhan belum datang. 
Dengan roman mulai di selimuti gelisah, Aku menunggu di tempat biasa nongkrong bersama Roni, bawah tangga penghubung tentunya. 

Senyap kurasa, hawa di sekitaran tempat yang biasa hangat, dengan kepulan asap rokok dan candaanku bersama Roni. 
Sedangkan, Hen, salah satu teman satu tim di OB,  tak bisa begitu lepas bergaul dengan kami, mungkin karena dia sudah menikah, dan sudah di karuniai seorang bidadari, membuatnya sedikit membatasi pergaulanya.  

Siang itu, mataku melihat Hen begitu lesu, entah capek atau ada alasan lain, tapi yang jelas, guratan-guratan layaknya orang kecewa, begitu terlihat di wajahnya. 
"Kenapa Mas Hen? kok kayak gak semangat gitu." sapaku saat ia menghampiriku dan duduk di kursi yang biasa Roni pakai. 
"Katanya kamu mau resign dari sini Ming?" ucap Hen balik bertanya. 
Sejenak Aku terdiam, mengingat kembali pesan dari sosok Roni.
"Iya mas, ibuku di kampung minta Aku pulang membantunya bertani." jawabku memberi alasan bohong. 
"Apa bukan karena Neng Lili dan meninggalnya Roni?" terhenyak tubuhku sesaat mendengar penuturan Hen. 
"Maksudmu mas?" tanyaku penasaran. 
Hen, sebentar menarik nafas panjang, sebelum menjawab rasa ingin tau ku, akan maksud dari ucapanya. 
"Sebenarnya, semua pekerja disini, khususnya yang sudah lama dan bukan terapis, tau jika..." terang Hen terputus. 
Bibirnya seperti ragu untuk meneruskan ucapanya, wajahnya menunjukan rasa takut, tapi entah karena apa. 

"Kenapa mas? jika apa mas?" kejarku dengan dada berdebar penuh harap. 
"Maaf Ming, Aku mau nerusin kerjaanku dulu. Kayaknya dah mulai banyak tamu." pamitnya yang tak merespon lagi rasa penasaranku. 
"Tapi memang benar kamu Ming! Disini gak cocok dan bukan tempatnya untuk orang yang masih lajang bekerja." ucapnya sebelum berlalu dari hadapanku. 

Rasa penasaranku semakin tak terarah mendengar kalimat ucapan Hen, yang kurasa ada makna tersembunyi di baliknya. 

Sekitar 10 menit, setelah kepergian Hen, orang yang Aku tunggu dan kuharap bisa menjawab rasa penasaranku, datang. 
"Lho, sudah sehat kamu Ming?" sapa pak Farhan ramah, yang melihatku berdiri menyambutnya. 
"Sudah Pak, tapi maaf, saya kesini bukan untuk bekerja, melainkan saya ada perlu sama Bapak." jawabku pelan.
Pak Farhan mengerutkan keningnya sebentar, matanya menatapku lekat, seperti ingin tau lebih dulu tujuanku, sebelum Aku sendiri yang mengatakan. 
"Perlu apa Ming?" akhirnya pertanyaan yang sudah kuduga, meluncur juga dari bibirnya. 

"Maaf pak sebelumnya, saya meyakini Bapak tau sesuatu yang ada kaitanya dengan kematian Neng Lili dan Roni." sebuah pertanyaan tanpa basa-basi, tetiba saja lancar meluncur dari mulutku. 
Pak Farhan terkesiap mendengar serangkaian ucapanku, wajahnya seketika berubah menyengit, menunjukan ketidaksukaanya padaku. 
"Kamu ini ngomong apa! sudah jelas Neng Lili meninggal karena penyakit Livernya. sedang Roni meninggal  karena kecelakaan. Kok kamu malah menanyakan dan menuduh saya tau sesuatu. Aneh kamu ini Ming." Bantah Pak Farhan tanpa menatap kearahku. 
"Maaf Pak... Maaf sekali. Tapi saya merasa ada yang ngganjal dari semua kejadian ini. Seperti ucapan bapak saat di tempat kecelakaan Roni, siapa yang Bapak maksud DIA! dan kenapa saya tak boleh menatapnya lama-lama!" sahutku sedikit menggebu. 
"Dan satu lagi! mungkin Bapak masih ingat, ketika bapak menenangkan ketakutanku untuk bersyukur karena bukan Aku! Pasti di balik ucapan Bapak, ada sesuatu yang Bapak ketahui." kembali kuberondong Pak Farhan dengan mulai emosi. 

Pak Farhan terdiam, menunduk, dengan mata menatap keramik lantai bawah, seperti tengah mencerna ucapan-ucapanku. 
"Sudahlah Ming, kalau kamu ingin berhenti dari tempat ini, gak apa-apa, itu lebih bagus." jawabnya pelan, seperti tak mau menjawab rasa penasaranku. 

"Memang saya sudah memutuskan untuk berhenti Pak, tapi bagaimana bisa saya tenang jika banyak pikiran yang ganjil, terus menghantuiku. Apalagi, arwah Roni masih mendatangiku." ungkapku yang kali ini dengan suara lirih. 
"Maksudmu!" kali ini kulihat wajah Pak Farhan begitu serius mendengar penuturanku barusan. 
"Iya Pak... kenapa saya datang kemari mencari Bapak? itu karena arwah Roni." terangku yang membuat Pak Farhan tertegun. 

"Maaf Ming, saya masih banyak kerjaan. Bos juga mau datang hari ini. Jadi saya tinggal Ming." ujar Pak Farhan yang kutau sebuah alasan. 
Tapi Aku sendiri tak bisa mencegah, ketika kakinya mengayun, meninggalkanku yang masih berdiri mematung penuh rasa kecewa. 
Aku yang sudah berpikir tak ada harapan akan terjawabnya rasa penasaranku, hanya bisa melangkah gontai, meninggalkan tempat yang selama sebulanan pernah menjadi rumah keduaku. 

Sampai malam menjelang, pikiranku masih diliputi tanda tanya dan kecewa. Harapan yang sudah kuanggap sia-sia, serta rasa takut yang masih selalu menyergapku, membulatkan tekadku untuk kembali ke kampung halamanku, di kabupaten perbatasan jawa tengah-yogyakarta. 
 
Rasa takut kembali menghampiri, manakala suara ketukan pintu mengejutkanku di malam yang sudah larut. 
Aku sudah membayangkan jika ketukan itu pasti dari sosok arwah Roni, tapi kali ini Aku salah. 
Ketukan yang kembali terdengar, kemudian di barengi suara seseorang mengucap salam, membuat rasa takutku berganti heran. Pasalnya suara itu sangat Aku hafal.

"Pak Farhan!" sapaku setelah kubuka pintu dan melihat sosok Pak Farhan berdiri di luar pintu. 
"Silahkan masuk pak." ucapku mempersilahkan. 
"Gak usah Ming, Saya kesini mau mengajakmu." jawaban Pak Farhan membuatku mengerutkan kening. 
"Mangajak saya?  kemana pak?" tanya heran.
"Kesuatu tempat yang bisa membuatmu mengerti semuanya." jawabnya, kembali membuatku bingung. 
"Ayo Ming! Sekarang! " kali ini suaranya tegas, mungkin karena Pak Farhan melihatku yang malah melamun ragu. 
Tanpa mendengar kedua kalinya, Aku segera menyambar jaket dan mengunci pintu kost serta mengekor di belakang Pak Farhan. 

Satu hal yang sudah kuduga sejak awal mengikutinya, bahwa tempat yang kami tuju adalah gedung lantai tiga tempatku beberapa hari kemarin bekerja. 
"Kita lewat belakang Ming." ajak Pak Farhan yang hanya ku iyakan sembari terus mengikutinya. 

Tak sulit bagi Pak Farhan, untuk masuk kedalam gedung yang sudah seperti rumahnya sendiri. Sebab, ia sudah puluhan tahun di tempat itu. 
Jantungku mulai berdebar-debar setelah kakiku masuk lewat pintu kecil, yang hanya bisa dilalui satu tubuh tanpa bisa bersimpangan. 
Halaman belakang lantai dasar yang baru pertama Aku masuki, terlihat indah dengan didesain mirip sebuah taman dengan karikatur khas tionghoa. Tapi, ketika melangkah lebih masuk, ke separuh halaman yang beratapkan genteng, suasana seram sangat terasa. 
Hawa lembab dan sinup kental menyelimuti, di tambah penerangan redup remang, sangat kontras dengan halaman sebelahnya yang terang walau beratapkan langit. 

"Tempat apa ini Pak?" tanyaku pada Pak Farhan yang tengah mengamati sebuah peti kayu terbungkus kain putih berenda, menggambar bunga-bunga mawar sebesar kepalan tangan orang dewasa. 
"Ini adalah jasad Neng Lili (sekali lagi nama samaran)" jawab pak Farhan, seketika membuatku tercekat. 

"Maksud bapak?" tanyaku bingung di barengi rasa takut. 
"Kamu pasti bingung." jawabnya singkat. 
Pak Farhan kemudian mendekati peti mengkilap, yang kutebak dari kayu pilihan dan mahal tentunya. 
Perlahan kuamati Pak Farhan tengah menyibak kain tilam putih, yang menutupi bagian atas peti. Setelah tersingkap, tanganya kemudian membuka tiga buah gembok, yang terpasang di tiga titik samping dan menarik rantai kecil, pengikat antar ketiga gembok. 

Pelan tutup peti kayu di geser Pak Farhan menyamping, aroma wangi kamboja seketika menyeruak tajam setelah peti terbuka lebar, dengan sebujur tubuh wanita bergaun putih terbaring di dalamnya. 
Jantungku mulai berdegup tak beraturan disertai keringat mulai mengucur deras, ketika pandanganku tertuju pada wajah mayat wanita di dalam peti. 

Wajahnya begitu putih hampir menyamai gaunya, matanya yang sipit, di hiasi bulu-bulu lentik, terlihat indah saat terpejam. Bibirnya yang tipis terkatup rapat serta satu hiasan di kepala yang mirip dengan sebuah mahkota, menguatkan dugaanku, jika mayat wanita ini berdandan layaknya seorang pengantin. Namun, bukan itu yang membuatku ketakutan, tapi wajah sosok ini, sama persis dengan wajah sosok yang kulihat menari-nari, kala kecelakaan di alami Roni sampai meninggal. 

"Inilah jasad asli Neng Lili." jelas Pak Farhan kembali.
Aku tak menanggapi penjelasan Pak Farhan, Aku justru beringsut mundur dengan ketakutan, ketika sosok yang terbujur seperti melotot padaku. 
"Ming kamu kenapa?" tanya Pak Farhan seperti ikut bingung.
"Gak Pak... gak apa-apa." jawabku gugup. 
"Lalu, apa hubunganya dengan semua ini Pak?" tanyaku dengan jantung masih berdebar kencang. 
"Kamu tunggu di situ saja." sahut Pak Farhan yang malah memberi perintah padaku. 
Sedikit heran dan salut melihat apa yang tengah di lakukan Pak Farhan, ia begitu berani memolesi wajah jasad dalam peti dengan sesuatu yang mirip salep. 
Setelahnya, ia semprot seluruh tubuh jasad hingga bagian dalam peti sampai rata. 
Seketika bau wangi sengit menyebar dari dalam peti, bersumber dari parfum yang di semprotkan Pak Farhan. Yang entah apa mereknya, tapi bisa dipastikan, mahal harganya menurutku. 

Ketika fokus mataku masih tertuju pada Pak Farhan, tiba-tiba Aku merasakan tiupan angin lembut di leher belakang yang membuat bulu kuduku meremang. 
Beberpa kali Aku menoleh kebelakang, tapi hanya onggokan kain-kain putih lusuh yang terlihat. 
Hingga pada satu ketika, mataku melihat dua sosok yang berdiri di luar bangunan tempatku dan Pak Farhan berdiri. 
Kedua sosok itu samar terlihat, tapi jika di amati baik-baik, kedua sosok itu, seorang laki-laki dan perempuan. 

Dingin dan kaku rasanya tubuhku, saat kedua sosok yang terlihat dari sorot matanya, menatapiku dan Pak Farhan. 
Aku segera merapatkan tubuhku ke tubuh Pak Farhan yang sudah selesai mengurus jasad dalam peti. 
Pak Farhan sendiri mungkin merasakan ketakutan atau sekedar kasihan denganku, sehingga ia mengajakku untuk meninggalkan tempat yang seumur hidupku, tak akan pernah sudi lagi untuk aku melihatnya.
Aku yang masih seperti awal berangkat, mengekor di belakang, merasa jika ada yang mengikuti langkah kami berdua. 
Sampai di depan kostku, aku masih tetap merasa yang mengikuti kami, ada di belakang. Tapi entah Pak Farhan ikut merasakanya atau tidak, sebab, kulihat beliau begitu tenang. 

"Maaf Pak! Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku tak sabar meski Aku dan Pak Farhan baru masuk dan duduk di lantai kamar kostku. 
Pak Farhan tak langsung menjawab, ia menarik nafas panjang, wajahnya menyiratkan satu beban yang terlihat sangat berat. 
"Kamu tau siapa pemilik tempat itu?" ucap Pak Farhan, balik bertanya.
"Pak Januar." jawabku.
Tapi, tampaknya jawabanku tak di benarkan Pak Farhan, ia terlihat menggelengkan kepalanya. 
"Orang taunya bahwa tempat itu Januar pemiliknya, padahal, Januar sama denganku, sama-sama bekerja tapi tak bisa lepas." jawab Pak Farhan, membuatku mulai bingung. 
"Lalu, siapa pemilik aslinya Pak?" tanyaku sangat penasaran. 
"Mungkin kamu belum pernah melihatnya, namanya Pak Leo." jawab Pak Farhan menyebut nama yang asing bagiku. 
"Sedangkan jasad yang kamu lihat dalam peti tadi adalah Wujud dari BADAL Neng Lili asli. Dia adalah salah satu sumber kekayaan Pak Leo." sambung Pak Farhan kembali.
"Kenapa aku menyuruhmu untuk bersyukur? Sebab kamu tak di pilih menjadi PENGANTIN GAGAR MAYANG. Gaun pengantin pesanan Neng Lili, yang lebih dulu di ambil Roni, Hanyalah sebuah simbol." jelas Pak Farhan.
Aku masih bingung mencerna semua penjelasan Pak Farhan, yang sepertinya mengandung teka-teki lebih besar dari sekedar kematian Neng Lili dan Roni. 
"Setelah nanti Kuceritakan semuanya, pulanglah. jangan pernah berpikir untuk kembali bekerja di tempat itu, kecuali jika kamu sudah menikah. Sebab, Pak Leo Hanya mengorbankan perempuan dan laki-laki lajang yang belum punya ikatan." satu pesan mendalam dari Pak farhan, sebelum beliau menceritakan semuanya. Dari mulai siapa Pak Leo, Januar, Jasad dalam peti yang sebenarnya Badal perewangan dari Pak Leo.

Setelah mendengar cerita panjang lebar pak Farhan, aku menyimpulkan jika Aku dan Roni yang memang sudah menjadi target untuk di jadikan tumbal Pengantin Gagar Mayang, untuk di pasangkan dengan Neng Lili terapis, yang sudah menjadi wadal lebih dahulu. 
Sedangkan sosok asli Neng Lili adalah anak dari Pak Leo yang menjadi wadal awal, tapi tubuhnya akan utuh, untuk terus mencari wadal baru bunga Pengantin Gagar Mayang setiap setahun sekali. 
Pak Leo, orang kaya raya dengan banyak usaha, dimana para pekerjanya rata-rata wanita dan pria muda, sebab, ia yang sudah bersekutu dengan iblis, punya kewajiban menumbalkan satu lelaki bujang, dengan perempuan lajang untuk di jadikan Pengantin Gagar mayang, yang telah ia buka awal dengan menumbalkan anak gadisnya, NENG LILI. 
Roni, dia lebih tergoda dan menerima tawaran menikah dengan sosok Badal Neng Lili yang sebenarnya adalah wujud iblis perewangan Pak Leo.
Padahal, tawaran itu sebenarnya hanyalah simbol untuk menjadikan Wadal dari Badal sosok iblis yang menjelma menjadi NENG LILI...

-SELESAI-

close