Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 1)


JEJAKMISTERI - Berlatarbelakang di tahun 1970an lalu, selama 30 tahun pemujaan iblis tumbal nyawa berlangsung. Berawal dari sakit hati karena ulah kakak kandungnya sendiri, wanita itu tega menghabisi sampai beberapa keturunan dari kakaknya.

Bahkan kedua anak dan suaminya sendiri pun ikut di jadikan tumbal dari pemujaan iblis alas angker. Dan akan berakhir setelah tujuh tali canang garbo telah terpenuhi sesuai kesepakatan yang pernah wanita itu buat.

***

"Aku ngerti jalur turunmu seko sopo! Aku yo ngerti dunyo seng tok nduweni saiki sumbere seko ngendi! dadi rausah mbok critakne dowo-dowo, Aku tetep gak setuju Nduk Kom tok rabi!" Tegas dan berat suara dari seorang laki-laki tua berkopiah jaring kepada seorang pemuda tampan yang berada di hadapanya. Pemuda itu sebentar tertunduk, menatapi lantai tanah tak rata sembari tangannya meremas pegangan kursi kayu.

Jiwanya bergolak marah, hatinya panas mendidih mendengar penolakan dari lelaki tua berwajah datar yang ia impikan bakal menjadi mertuanya.

Sang pemuda semakin terbakar emosi kala lelaki tua itu kembali berbicara sedikit menerangkan masa lalu dari kakek dan leluhurnya. Kepulan asap kemenyan dari rokok gulungan yang di hembuskan perlahan sang lelaki tua, tak lagi ia hiraukan meski menyesakkan dada.

Ingin rasanya saat itu ia berdiri dan mengumpat terlebih menghantam bibir tebal hitam lelaki di hadapanya, namun ia tahan, sebab ia sadar jika lelaki yang biasa di panggil Mbah Soko, bukanlah orang biasa.

Terbukti dari penolakanya yang begitu berani dengan perkataan kasar tentang keluarganya. Padahal satu Kampung, Desa atau bahkan tingkat Kecamatan tau siapa dirinya dan juga keluarganya.

"Aku ngerti seng tok pikir saiki, Aku yo ngerti nek koe loro ati! nanging koe yo kudu ngerti nek Aku ora bakal lilo ngeculke anakku dadi TRANGIS SRUNINGE keluargamu nang TANGGAL TELULAS!" (Aku tau yang kamu pikirkan sekarang, aku juga tau kalau kamu sakit hati! Tapi kamu juga harus tau kalau aku tidak ikhlas merelakan anakku menjadi trangis sruninge keluargamu di tanggal tigabelas!) Terjingkat, ternganga, sosok pemuda biasa di panggil Jasmoro mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan Mbah Soko.

"Mripat abang lan tangan jeger seng ngawal koe tekan kene, wes mulai do gemeruh, mulio sak urunge tak bakar kabeh!" Tegas, lagi-lagi ucapan Mbah Soko yang segera menyadarkan Jasmoro akan keadaan di sekelilingnya terasa panas. (Mata merah dan tangan jeger yang mengawalmu sampai sini, sudah mulai marah, sekarang pulanglah sebelum saya bakar semua!)

Belum sempat ia berdiri dan menyahut, Mbah Soko terlebih dahulu beranjak masuk kedalam. Jasmoro hanya termangu menatapi liukan kain batik berwarna hijau yang menjadi penutup sekaligus penyekat pandangan antara ruang tamu dan ruang dalam rumah Mbah Soko.

Masih tercium sengak aroma kemenyan menyesak ketika kaki Jasmoro mengayun keluar dari rumah Mbah Soko. Hatinya terasa sakit malam itu. Pikirannya di penuhi selingan amarah dan kecewa setelah dengan jelas niatnya untuk mendapatkan Kom. Anak bungsu Mbah Soko terpupus karena statusnya sebagai keluarga Murti Rahmi.

Jasmoro memang mengakui akan status keluarga terkhusus dari Nenek dan kini Ibunya. Ia yang telah mengerti dengan liku dan alur semua kekayaan berasal dari mana, tak menampik semua kebenaran yang di jabarkan Mbah Soko.

Namun hal yang membuatnya sangat kecewa dan marah adalah niatnya yang tulus untuk Kom. Bahkan dalam hatinya ia berjanji tak akan melibatkan Kom untuk urusan hitam pekat dalam lingkup keluarganya.

Namun itu tak cukup membuat Mbah Soko merelakan Kom untuk di jadikannya Ratu dalam rumah mewah nan megah milik keluarga MURTI RAHMI.

"Rasah mrino atimu Le, bakal tak dadekne awu canang wong tuek seng jenenge Soko! rasah kuwatir Le, Nduk Kom bakal dadi garwomu nang TANGGAL TELULAS sasi Pitu!" (Tidak usah berkecil hati nak, akan aku jadikan awu canang orang tua yang namanya Soko itu! Gak usah kuatir nak, anak perempuan itu akan menjadi istrimu di tanggal tigabelas bulan tujuh)

Jasmoro terjingkat, kaget, saat baru saja masuk kedalam mobil warna hitamnya, telinganya mendengar suara lirih menyengit. Walaupun ia terbiasa akan hal-hal aneh dan menyeramkan, namun untuk kali ini ia sedikit gemetar.

Apalagi ketika ia melihat dari kaca kecil yang terpasang di atas kepalanya, bola matanya seketika melebar.

Mulut Jasmoro terkatup rapat, keringat mulai merembes menembus kemeja polos yang menempel di tubuhnya, kala tatapannya dari kaca beradu dengan bola mata putih rata dari satu sosok perempuan tua yang duduk tepat di belakangnya.

"Iling-ilingo Le, TANGGAL TELULAS!"

*****

"Wes ngerti, krungu opo tujuane Jasmoro rene mau, Nduk?" (Sudah tau, dengar apa tujuannya Jasmoro kesini tadi, Nduk?) Ucap Mbah Soko pada satu sosok gadis berambut sepunggung yang baru saja menutup pintu.

"Wes, Pak. Aku wes krungu nek bapak nolak Mas Jas!" (Sudah Pak. Aku sudah dengar kalau bapak menolak Mas Jas!) ketus, sahut sang gadis berwajah ayu namun berbalut kerutan kecewa.

"Lak yo krungu opo alasane bapak nolak lamarane Jas?" (Tapi ya dengar apa alasannya bapak nolak lamarannya Jas?) ucap Mbah Soko sembari duduk dan meraih korek api di atas meja.
Kepulan asap sebentar kemudian bergumpal-gumpal keluar dari bibir Mbah Soko.

Aroma menyan dan kelembak pun seketika merebak memenuhi seantero ruangan tak lebih dari 3x3 meter berdinding papan.
Akan tetapi, hal itu seolah tak membuat sang gadis yang tak lain adalah Komala, putri bungsu Mbah Soko terganggu.

Kini ia terlihat mendekat dan duduk di samping sang bapak.
"Sebenere aku gak kudu weruh urusan keluargane Mas Jas, Pak. Aku juga gak pengin krungu crito asal usul bondone wet seko simbahe biyen. Aku karo Mas Jas ki podo senenge, podo nrimone. Dadi gak enek masalah" (Sebenarnya aku tidak harus tau urusan keluarganya Mas Jas Pak. Aku juga gak ingin dengar cerita asal usul hartanya mulai dari kakek neneknya dulu. Aku sama Mas Jas saling menyukai, sama menerimanya. Jadi gak ada masalah,) ucap Komala pelan dan sedikit memelas.

"Akeh seng gak mbok ngerteni Nduk. Dudu masalah bondone, dudu masalah Jasmorone. Tapi masalahe mbisuk bakal dadi dowo meneh, mesakne wong-wong seng gak ngerteni perkoro gede wet di awali jaman mbah e Jasmoro dadi korban. Iku ngunu masalah nyowo Nduk, nyowone wong pirang-pirang!" (Banyak yang tidak bisa kamu mengerti, Nduk. Bukan masalah hartanya, bukan masalah Jasmoronya. Tapi masalahnya kelak akan jadi panjang lagi, kasihan orang-orang yang tak mengerti perkara besar yang di awali jaman kakek-neneknya Jasmoro dulu menjadi korban. Ini semua masalah nyawa Nduk, nyawanya orang banyak!) Sahut Mbah Soko mencoba menerangkan.

"Mas Jas iku wes janji mbek aku Pak. Bahwa gak bakal arep nglibatke aku nang urusan seng bapak omongke. Aku percoyo Mas Jas Pak, nek dekne gak bakal ingkar janji" (Mas Jas itu sudah janji sama saya Pak. Bahwa tidak akan mau melibatkan saya dalam urusan yang bapak ucapkan. Saya percaya Mas Jas Pak, kalau dia tak akan ingkar janji) Jawab Komala mencoba meyakinkan Mbah Soko.

"Nduk! Bapak nglakoni iki kanggo awakmu! kanggo masyarakat akeh! ora mergo ngge urusane bapak!" (Nduk! bapak melakukan ini untuk dirimu! untuk masyarakat banyak! tidak hanya untuk urusannya bapak!)

Kali ini suara Mbah Soko sedikit keras dan tegas mendengar jawaban sang Anak.

"Terserah Bapak!" Sahut komala yang tak kalah tegas setelah terdiam beberapa saat. Ia kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan Mbah Soko yang masih terpaku dengan sikap anaknya.

Helaan nafas begitu berat terhempas dari dada berbungkus kulit keriput, menandakan bahwa banyak gumpalan beban di dalamnya. Sejenak suasana terasa hening, tak terdengar lagi suara deru motor bersliweran dari jalan desa yang berjarak 100an meter dari kediaman sederhananya.

Di samping waktu yang memang telah larut, malam itu setelah kedatangan Jasmoro, Mbah Soko merasakan hal lain dari mulai hawa di dalam rumah sampai luar sekelilingnya.
Sejenak Mbah Soko terdiam sembari menatap ke arah pintu, sebelum tubuh tuanya bangkit dan melangkah mendekat.

Ia terlihat berani, namun saat akan membuka kancing pintu yang terbuat hanya dari paku melintang, ada keraguan tersirat dari wajahnya.

"Opo Rahmi wes melu-melu urusan iki?" (Apa Rahmi sudah ikut-ikutan urusan ini?)
Gumam Mbah Soko, sesaat setelah hidungnya membaui sesuatu.

"Ciloko nek pancen Rahmi wes ngrungsek perkoro iki!" (Celaka kalau memang Rahmi sudah turun tangan urusan ini!) seru lirih Mbah Soko kembali pada dirinya sendiri.

"Kletek... kriettt..." Akhirnya Mbah Soko dengan keberanian dan rasa penasaran membuka pintu.

Tapi tak lama, wajah tua miliknya yang awal tegang, terlihat memucat kala menatap ke halaman rumahnya yang tak seberapa luas, di sambut sebuah tandu berwarna hitam dengan empat lelaki kekar bertelanjang dada yang memanggulnya.

Semilir angin seharusnya sejuk nan dingin, di rasa panas menyapu seluruh kulit Mbah Soko. Apalagi, saat sehelai kain hitam penutup depan tandu terbuka, siutan angin kencang di barengi aroma busuk bercampur amis menyengat, langsung membuat tubuh Mbah Soko goyah mundur masuk kembali ke dalam.
Tak lama, Mbah Soko merasakan tubuhnya kaku, darahnya seakan terhenti mengalir, kala melihat satu sosok wanita renta berbola mata putih rata dengan helaian rambut memanjang seakan tanpa ujung turun dari tandu.

Sosok wanita tua itu melangkah perlahan. Tak terdengar suara langkah kakinya, hanya suara gesekan rambut sumber bau busuk yang menyapu tanah halaman sedikit berpasir.
Sosok itu terus mendekat ke arah tempat Mbah Soko berdiri. Bola mata putihnya menatap nyalang penuh makna, seolah menguraikan amarah yang bergemuruh terhadap diri Mbah Soko.

"Aku wes ngampuni bapakmu biyen, Soko! malahan tak kei kesempatan kanggo turune podo urep normal! Tapi saiki koe kewanen nampek putuku! Lawang garbo pitu wes kebuka, tanggal telulas sasi pitu kudu enek tetalen. Koe wani arep medot!? sak lembar nyowo tuomu kui ra bakal cukup nggo mbayar!" (Aku sudah mengampuni bapakmu dulu, Soko! Malah saya beri kesempatan buat keturunannya bisa hidup normal! Tapi sekarang kamu terlalu berani nolak cucuku! Pintu garba tujuh sudah terbuka, tanggal tiga belas bulan ke tujuh harus ada pengikat. Kamu berani ingin memutusnya? Satu lembar nyawa tuamu itu gak akan cukup untuk membayar!) Nyaring dan lirih suara sosok tua itu membisik di telinga kanan Mbah Soko. Namun, lain dirasa oleh gendang telinganya.

Dirinya merasakan seperti tertusuk besi panas yang masuk paksa ke dalam. Membuat matanya melotot seakan merasakan sakit luar biasa. Tak cukup sampai di situ, Mbah Soko pun merasakan indra penciumannya tiba-tiba panas dan seperti ada sesuatu yang mengalir keluar.

Dirinya pun akhirnya menyadari jika sesuatu itu adalah darah segar dari dua lubang hidungnya. Ia tau jika aroma busuk dari helaian rambut sosok tua itu, tak kuat ia cium sehingga menyebabkan darahnya menetes.

"Koe tetep tak ampuni saiki, mergo aku butuh koe nang sasi pitu tanggal telulas. Iki dadi peringatan kanggo koe, nyadarne koe, yen keturunanmu kudu dadi tali pengiket lawang garbo seng tak gawe. Wani polah, ra bakal slamet!" (Kamu tetap saya ampuni sekarang, karena aku butuh kamu pada bulan tujuh tanggal tiga belas. Ini jadi peringatan untuk kamu, menyadarkan kamu, kalau keturunanmu harus jadi penyambung pintu garba yang telah saya buat. Berani macam-macam, tidak akan selamat!)

Lagi, suara sosok wanita tua itu membisik lirih tapi terdengar melengking di telinga Mbah Soko. Membuat tubuhnya semakin kaku tak berdaya.
Hal itu di rasakan Mbah Soko cukup lama. Hingga sampai saat sosok tua itu melangkah masuk ke dalam kamar milik Komala, barulah Mbah Soko mulai mampu menggerakkan tubuhnya. Namun itu semua bukan malah membuat rasa takut dan cemasnya mereda, tapi malah semakin membuncah.
Mbah Soko menyadari jika sosok wanita tua itu masuk ke dalam kamar anak bungsunya, maka malapetaka yang dirinya takutkan akan terjadi. Mbah Soko pun segera memaksa tubuh lemahnya bergerak mengikuti arah sosok wanita tua itu. Ia kemudian mendekati pintu kayu kamar Komala, namun baru saja ia berhasil membuka pintu itu, lagi-lagi kakinya hanya bisa terpaku.

"Nyi Rahmi, tolong ojo anakku! tak ganti nyowoku, tolong Nyi..." (Nyai Rahmi, tolong jangan anakku! saya ganti nyawaku, tolong Nyai...) Kali ini, meski tubuhnya mengalami hal sama seperti semula, namun mulut Mbah Soko mampu berucap.

Akan tetapi, sedikitpun tak ada reaksi dari sosok wanita tua yang kini sudah berbaring tepat di samping anak bungsunya.
Anehnya, Mbah Soko jelas masih mencium pekat bau busuk bercampur amis dari sosok Nyi Rahmi, namun hal itu seperti tak berpengaruh pada diri Komala.

Matanya masih terpejam pulas walau tangan berjari hitam legam milik Nyi Rahmi tengah memebelai lembut rambutnya.
Mbah Soko terus meratap, memohon lirih di iringi tangisan. Mengharap iba dari sosok yang ia dengar kengerian dan kebengisannya semasa hidup.

Sosok yang ia tau dari orang tuannya adalah pemuja iblis di salah satu hutan demi sebuah kekayaan. Meski telah meninggal beberapa puluh tahun silam, tapi wujud wanita itu masih ada. Sebab ia tak di terima sebagai manusia kembali.

Sosok Rahmi akan terus menjelma selagi keturunannya menyambung tetalen dengan makhluk junjungan yang telah berikat. Ia akan hilang dan menjadi abdi abadi sang Iblis setelah tujuh tali canang garbo telah terpenuhi sesuai kesepakatan yang pernah ia buat.

Semua hal itu Mbah Soko ketahui dari orang tuanya dulu. Bahkan, dari sedikit belajarnya ia dalam hal kebatinan, Mbah Soko tau semua ritual penyambungan tetalen antara keturunan Rahmi dengan sang Iblis. Namun dirinya tak menyangka jika kini, calon penyambung tetalen itu adalah anak bungsunya sendiri.

"Brakkkkk...."

Satu suara benturan lumayan keras di iringi lenguhan menahan rasa sakit datang dari mulut Mbah Soko. Dirinya yang mencoba mendekat ke arah ranjang tempat sosok Nyi Rahmi yang masih berbaring di samping putrinya, tiba-tiba saja terhempas ke belakang menghantam dinding papan.

Mbah Soko sadar akan kekuatan yang di milikinya tak sepadan dengan sosok berambut panjang Nyi Rahmi. Namun demi sang Anak, ia memberanikan diri untuk melawan.

Berkali-kali Mbah Soko bangkit dan mencoba mendekat, tapi kembali ia terhempas. Sampai akhirnya sebuah lengkingan tawa ngikik dari sosok Nyi Rahmi, membuat tubuh renta berbalut kulit keriput Mbah Soko tak mampu lagi untuk sekedar berdiri.

"Tengeran iki wes dadi wujudte anakmu dadi wadah tetalenku! ra keno di guwak, ra keno di owah, mergo sambung karo nyowone. Tanggal telulas koe yo tak enteni Soko! nek pingin anak turunmu seng liane langgeng!" (Tanda ini sudah jadi wujud anakmu menjadi tempat penyambungku! tidak bisa di buang, tak bisa di rubah, karena menyatu dengan nyawanya. Tanggal tigabelas kamu juga saya tunggu Soko! kalau ingin anak keturunanmu yang lain selamat!)

Sentakan suara dari sosok Nyi Rahmi tak mampu lagi Mbah Soko jawab. Hanya sorot mata sayunya mengiring kepergian sosok Nyi Rahmi yang seolah melayang menembus dinding papan rumahnya menuju ke arah depan. Tiga kali suara pukulan gamelan Gong, menjadi akhir kejadian mengerikan bagi Mbah Soko.
Perlahan tubuhnya mulai bangkit, memaksa kakinya yang masih terasa berat berayun mendekati Komala. Hatinya pedih, kecemasan, kekhawatiran dan rasa putus asa, memaksa buliran bening mengalir dari dua bola matanya.

Mbah Soko tersengguk saat menatap tubuh anak bungsunya yang terbalut selimut kain batik. Ia merasa usaha dan harapannya sia-sia. Namun, ketika satu memori kenangan masa lalu antara dirinya dan orang tuanya melintas di pikiran, Mbah Soko bangkit.

Ia seperti mengingat sesuatu yang kembali membangkitkan secercah harapan untuk keselamatan keluarganya, terkhusus Komala.
Penerangan lima Watt dalam kamar ukuran 3x3, membantu pandangan Mbah Soko dalam mencari sesuatu.

Sesuatu yang saat ini ia butuhkan guna menyelamatkan banyak nyawa, termasuk nyawa anak dan dirinya sendiri.
Satu persatu tempat itu ia periksa dengan tangan sedikit gemetar. Hingga, sampai pada satu bungkusan dalam lemari kayu terlihat sudah lapuk, jari Mbah Soko menarik dan mengangkat sebuah bungkusan kecil.
Bungkusan dari kain hitam itu kemudian ia bawa ke dalam kamar pribadinya. Sesampainya, perlahan ia membuka satu persatu ikatan pada kain. Hingga saat bungkusan itu terbuka, wajah Mbah Soko menegang.

Urat lehernya menonjol, bibirnya tergetar melihat satu kilatan isi dalam bungkusan itu.
"Di sepuro kulo Pak, kepekso Jengger Cakut niki kulo gunakke. Dudu niate mateni, nanging kanggo ngrampungke lan nylametke putumu!"

lirih gumam Mbah Soko saat tangannya mengangkat sebuah boneka kecil berjengger, yang seperti terbuat dari tanah liat berwarna kuning yang mengeras. Tak hanya berupa boneka kecil. (Mohon maaf Pak, terpaksa Jengger Cakut ini saya gunakan. bukan niat untuk membunuh, tapi untuk menyelesaikan dan menyelamatkan cucu Bapak)

Mbah Soko juga mengambil sebuah keris berukuran sebesar jari kelingking yang terletak tepat di bawah boneka itu. Kemudian kedua benda yang tiba-tiba menebar bau wangi itu, ia bawa ke arah belakang rumah.

Langkah kaki Mbah Soko terhenti ketika sampai di bagian halaman belakang, tepatnya tiga langkah dari pintu papan penutup rumah yang juga berfungsi sebagai dapur. Mbah Soko terdiam sejenak, menunduk seraya menggerakan bibirnya, seperti tengah membaca sesuatu.

Hitungan sembilan puluh detik kemudian, Mbah Soko duduk bersila beralaskan tanah. Ia tak perduli dengan hawa dingin dari hembusan angin malam yang sesekali kencang menerpa wajah tuanya.
Mbah Soko masih tertunduk, menatapi dua benda yang telah ia letakkan di tanah.

Dada kurusnya bergemuruh, nafasnya tersengal dan sesekali terputus seolah menahan satu beban, hingga sampai pada tiga tarikan nafas, tiba-tiba suasana di sekitar tempat itu berubah.
Angin dini hari mulai bergemuruh beriring sesekali kilatan.

Taluh-taluh mulai terdengar menyahuti suara tawa ramai anak-anak kecil yang entah dari mana asalnya. Namun hal itu tak membuat Mbah Soko bergeming, bahkan ia terlihat semringah kala satu tawa panjang menggema di antara suara tawa anak-anak itu.

Tangan Mbah Soko cepat-cepat meraih keris kecil berwarna hitam saat suara tawa itu masih terdengar. Tanpa ragu ia segera menggoreskan ujung keris pada lengan keriputnya yang berakibat luka kecil dan meneteskan darah.

Tak membuang waktu, Mbah Soko segera melumuri keris dan boneka berjengger itu dengan darahnya sendiri sembari mulutnya menyebut sebuah nama dan kalimat mantra yang di ulang-ulang.
Setelah semua bagian terlumuri darah, Mbah Soko kembali diam menunduk.

Sama halnya dengan suara tawa yang mereda. Namun tak berapa lama, wajah Mbah Soko mendongak, menatap lurus ke depan, pada sepasang kaki hitam yang telah ada di hadapannya.

"Tak jogone kabeh seng ono nggok kene, mergo koe wes nangekne aku lan anak-anakku! tapi koe kudu ngerti yen aku karo anak-anakku butuh mangan!" (Saya akan lindungi semua yang ada di sekitar sini, karena kamu sudah membangunkan aku dan anak-anakku! tapi kamu harus tau kalau aku dan anak-anakku butuh makan!) Satu suara cempreng terbata, sedikit mengejutkan Mbah Soko.

Sesaat ia pun mendongakkan wajahnya ke atas, melihat ke arah sumber suara pemilik kaki kurus hitam berbulu di depannya. Meskipun dengan melotot dan menajamkan bola matanya, tapi Mbah Soko tetap tak dapat melihat wajah dari wujud makhluk itu.

Yang ia tangkap dari pandangannya hanya beberapa wujud anak kecil bergelantungan pada kedua tangan hitam sosok itu. Anak-anak itu tampak riang sembari tertawa, berlompatan dari tangan kanan ke tangan kiri.

Tubuh mereka sama kurus dan panjang, wajah mereka nyaris tak berindra. Hanya terdapat satu lubang di bagian mulut dan dua lubang pada indra penglihatan namun tak berbola.

Tak bertelinga, dan tak ada sehelai rambut yang menempel tapi terdapat gumpalan-gumpalan sebesar ibu jari kaki seperti jengger.
Mbah Soko tau siapa makhluk itu. Akan tetapi, itu baru sebatas cerita dari orang tuanya.

Dan kini, demi melindungi keluarganya ia harus berurusan dengan makhluk yang telah di tidurkan oleh orang tuanya puluhan tahun.

"Kulo ngertos Buyut..." (Saya tau Eyang buyut...) sahut Mbah Soko pelan, yang di sambut tawa dari sosok-sosok itu.

Mbah Soko cepat-cepat menggali tanah berpasir di hadapannya setelah suara tawa dari makhluk itu mereda dengan wujudnya yang sudah menghilang.
Dua jengkal lubang tak seberapa lebar yang hanya cukup untuk boneka dan keris bertumpangan, akhirnya telah selesai.

Mbah Soko lalu mengubur dua benda itu dan setelahnya ia kembali ke dalam. Tanpa menyadari jika ada sepasang mata bening yang menatapi dirinya dari seberang pekarangan batas, berpagar anyaman bambu.

Pemilik dari sepasang bola mata itu tampak marah. Kilatan dari wajah tegasnya mengurat penuh dendam. Tangannya mengepal kuat, mencerminkan kesiapan dalam kekerasan.

"Tuo A*u!!! ra keno di apik i, malah njalok perang alus!" (Tua Anj*ng!!! tidak bisa di ajak baik-baik, malah minta perang halus!)
Umpat sang lelaki yang masih menatap ke arah halaman belakang rumah Mbah Soko dari celah pagar bambu.

Setelah puas dengan umpatan dan cacian, lelaki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan pekarangan milik warga yang berbatasan dengan tanah Mbah Soko. Ia berjalan menembus gelapnya malam khas pedesaan.

Sesampainya di depan gerbang masuk desa, lelaki itu kemudian masuk ke dalam sebuah mobil hitam yang telah terdapat seorang sopir di dalamnya. Tak lama mobil itu pun melaju, berputar arah menuju barat Desa melewati jalanan tanah berlubang dengan hamparan sawah-sawah di kanan kiri.

Tak sampai empat puluh menit, mobil itu berbelok dan masuk ke sebuah gapura berukir, bersayap pagar tembok setinggi dua meter beebentuk persegi.
Sampai dua ratusan meter mobil itu melaju pelan dan berhenti di sebuah garasi.

Tak hanya satu, ada beberapa mobil lain yang terparkir di garasi itu, menandakan jika sang pemilik bukanlah orang sembarangan. Mengingat dari deretan mobil dan rumah besar nan megah berpagar tembok yang mengelilinginya.

Lelaki yang tak lain adalah Jasmoro, berjalan cepat masuk ke dalam rumah berpintu kayu jati mengkilat setelah turun dari mobil pribadinya. Wajahnya masih terlihat merah dengan kilatan api kemarahan pada sorot matanya.

Ia terus melangkah menyusur lantai rumah milik orang tuanya yang beralaskan marmer motif batu alam pecah mengkilap.
Sunyi, hening, seolah tak berpenghuni rumah besar nan megah itu.

Hanya terdengar langkah Jasmoro bersahut detikan jam dinding berbungkus kayu di sudut ruang tamu utama. Sampai akhirnya, langkah Jasmoro memelan saat menginjak di sebuah ruangan bercahaya remang. Jasmoro kemudian berhenti sejenak dan terdiam, ia seperti ragu untuk lebih mendekat ke arah pintu berwarna coklat tua. Namun, mengingat kembali apa yang sudah ia lihat tentang ritual Mbah Soko, Jasmoro akhirnya meneruskan langkahnya.

"Mlebu o Le, Ibu wes nunggu wet mau." (Masuk lah Nak, Ibu sudah menunggu dari tadi.)

Belum sempat Jasmoro menyentuh handle pintu, satu suara lembut dari dalam memantapkan langkahnya.

"Ibu..." ucap Jasmoro setelah membuka pintu dan berdiri dua langkah dari sesosok perempuan yang tengah duduk di atas kursi goyang dengan posisi membelakangi.

"Ibu wes ngerti, tapi ojo kuwater le, Ibu karo eyangmu gak bakal meneng wae! saiki awakmu mlebuo nang pendopo limo, istirahato sewengi iki, wes wayahe awakmu ketemu eyangmu. Mergo awakmu bakal dadi peneruse" (Ibu sudah tau, tapi jangan khawatir, Ibu sama Eyangmu tak akan tinggal diam! sekarang kamu masuklah ke pendopo lima, istirahatlah malam ini, sudah saatnya kamu bertemu eyangmu. Karena kamu akan menjadi penerusnya)

Pelan dan penuh wibawa suara dari sosok perempuan yang membelakangi Jasmoro.
Tanpa menunggu kedua kali, Jasmoro segera menunduk dan pergi meninggalkan kamar itu. Ia kembali berjalan menyusuri ruang demi ruang sampai pada ruang terakhir belakang.

Jasmoro pun terus melangkah keluar tanpa memperdulikan apapun. Ia baru berhenti ketika sampai pada sebuah bangunan cukup besar berdinding papan kayu berukir dari mulai tiang-tiang penyangga hingga atap.

Meski tak ada penerangan langsung di sekeliling tempat itu, namun dari sorotan cahaya lampu pagar, tampak ruangan itu begitu terawat.
Jasmoro segera melangkah menaiki tiga tangga kayu menuju pintu.

Tangannya segera mendorong pelan daun pintu sisi kanan sebelum tubuhnya hilang masuk ke dalam ruangan yang bila di lihat secara batin, terang benderang dengan kilauan cahaya berpendar perak keemasan serta terdengar alunan gamelan pengiring tembang-tembang Jawa halus.

Nyaring bersahutan suara kokok ayam mengawali pagi setelah lantunan Adzan subuh dari tiap-tiap Masjid selesai, menjadi penanda bagi para penduduk Desa guna memulai beraktifitas di dapur maupun di dalam rumah.

Hal yang sama biasa di lakukan oleh Mbah Soko dan Komala. Mereka yang hanya berdua setelah kakak Komala memilih merantau bersama sang Istri, selalu berbagi tugas dalam kegiatan sebelum Sang Surya terbit.

Tapi pagi itu hal berbeda dan tak biasa di rasakan oleh Mbah Soko. Dirinya yang telah terbangun tak mendapati anak gadisnya yang biasa duduk menanak nasi di depan tungku. Mbah Soko segera bergegas menuju kamar sang anak, demi memastikan setelah beberapa tempat ia datangi namun tetap tak mendapati sosok Komala.
Semenit kemudian nafas Mbah Soko nampak lega. Raut wajahnya pun terlihat tenang, saat melihat tubuh sang anak masih terbaring lengkap dengan selimut kain batik.

Mbah Soko akhirnya mengalah menggantikan tugas yang biasa di lakukan Komala. Dirinya menduga jika Komala masih marah atas penolakan lamaran Jasmoro sehingga tak mau melakukan tugas rutinnya.

Tak ada rasa lelah yang di tampakkan dari tubuh tuanya, semua tugas ia lakukan dengan cekatan meski malam itu dirinya hanya beristirahat tak lebih dari dua jam.

Bola besar ciptaan Tuhan akhirnya muncul bersamaan dengan selesainya semua pekerjaan rumah, yang di kerjakan sendir Mbah Soko. Sebentar kemudian, ia kembali bergegas membangunkan sang anak. Namun, tak ada reaksi apapun yang di tampakan Komala, meski kedua matanya telah terbuka.

Wajahnya datar, tatapannya nanar dan tak menggubris panggilan serta ajakan dari Mbah Soko.
Mbah Soko yang menyadari ada keanehan dalam diri Komala, memilih untuk meninggalkan kamar sang anak. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam yang lalu, saat wujud dari Rahmi mendatangi Komala. Dirinya juga mengingat kalimat terakhir yang di ucapkan sosok Rahmi, sebelum wujudnya menghilang.
Ada kekhawatiran yang muncul dalam benak Mbah Soko, meski ia telah memagari sekeliling kediaman rumahnya dengan salah satu peninggalan orang-tuanya yang ia tau mempunyai kekuatan. Tetapi, mengingat yang tengah ia hadapi adalah perwujudan dari sesosok Iblis haus darah dan nyawa, rasa was-was pun tak dapat lepas dari benaknya.
Hari itu di lalui Mbah Soko dengan perasaan tak menentu, di samping sikap Komala yang membisu tanpa bicara sedikitpun. Perasaan adanya banyak mata mengawasi di sekeliling rumahnya bila masuk waktu Mahgrib membuat ketidaknyamanan Mbah Soko. Dirinya tau jika puluhan pasang mata itu dari sosok-sosok pelindung Rahmi.

Walau tak dapat masuk apalagi menyentuh ke dalam rumahnya, Mbah Soko tetap saja selalu terjaga sepanjang malam.

Hari kedua masih dengan keadaan yang sama. Sikap dari Komala dan suasana luar rumah Mbah Soko tetap tak berubah.
Memasuki hari ketiga, saat fajar mulai meredup, seperti biasa Mbah Soko berkutat dengan berbagai macam hewan peliharaannya.

Ia yang memang sangat menyukai dalam beternak, selalu meluangkan waktu untuk mengurus sendiri. Tapi di sore itu, dirinya yang baru saja mulai memasukan hewan ternak miliknya ke dalam kandang, tiba-tiba merasakan hal berbeda.
Mbah Soko mencoba menepis dan tak memperdulikannya.

Ia tetap merampungkan memasukan semua hewan peliharaannya hingga lantunan Tarhim berkumandang dari Masjid Desa. Namun baru saja Mbah Soko akan beranjak dari kandang sederhana buatannya, satu suara sedikit mengejutkan juga membuatnya semringah.

"Pak, enek seng golek i" (Pak, ada yang mencari)

"Sopo Nduk?" (Siapa, Nduk?) Jawab Mbah Soko sembari tersenyum saat tau Komala anaknya yang sudah dua hari hanya diam akhirnya mau berbicara.

"Kang Roji, kae saiki nunggu nang ngarep" (Kang Roji, itu sekarang nunggu di depan) Sahut Komala sembari memutar tubuhnya kembali masuk.

Mbah Soko pun segera bergegas mengikuti dari belakang. Kakinya langsung mengayun ke ruang depan dan menemui seorang lelaki 40an yang tengah berdiri di ambang pintu.

"Mlebu Ji" (Masuk Ji)
Sapa Mbah Soko pada lelaki satu RT dengannya.

"Mpon, Mbah. Mriki Mawon. Karangane wektune mpon peteng. Niki kulo di kengken Pak Rudin, mangke njenengan di suwuni tulung kangge nderek acara slametan ba'da Isya wonten ndaleme" (Sudah, Mbah. Di sini saja. Berhubung waktunya sudah gelap. Ini saya di suruh Pak Rudin nanti Mbah Soko di minta tolong untuk ikut acara selamatan setelah Isya di rumahnya) Ucap lelaki bernama Rozi, menyampaikan maksud kedatangannya.

"Oh... iyo Ji. Insya Allah engko tak mangkat. Maturnuwon Ji wes nyampekne" (Oh... Iya Ji. Insya Allah nanti berangkat. Terima kasih Ji sudah menyampaikan)

"Njeh, Mbah. Sami-sami" (Iya, Mbah. Sama-sama) lelaki bernama Roji pun segera berlalu pergi setelah mendengar jawaban Mbah Soko dan tak lupa berpamita.
Sedang Mbah Soko, kembali masuk dan menutup pintu, kala pandanganya sudah tak melihat tubuh Roji.

Kakinya kembali melangkah ke arah belakang berniat untuk memastikan keadaan seluruh rumahnya.
Namun, saat akan melewati kamar Komala, langkah Mbah Soko terhenti. Kulit wajahnya yang keriput terlihat semakin mengkerut, ketika satu suara merdu berdendang lagu macapat dari arah dalam kamar anaknya.
Rasa heran dan penasaran segera bergelanyut dalam diri Mbah Soko.

Ia tau anaknya tak pernah belajar atau pun menghafal lagu jawa halus yang jarang orang tau, apalagi bagi orang-orang seumuran Komala.

Suara itu semakin lirih namun semakin nyaring dan jelas layaknya seorang sinden. Membuat Mbah Soko tak dapat menahan lagi keingin tauannya.
Tak ada yang aneh saat mata Mbah Soko mengitari seluruh ruang kamar Komala. Semua tampak seperti biasa.

Hanya, ketika pandangannya beradu tatap dengan mata Komala, Mbah Soko terperanjat. Jelas bagi Mbah Soko jika bola mata itu bukan milik anaknya. Dirinya tau betul bila Komala tak pernah menatap tajam apalagi sinis meski dalam keadaan marah sekalipun.

"Nduk... Awakmu gak opo-opo?" (Nduk... Kamu tidak apa-apa?)
Tak ada sahutan, tak ada reaksi apapun dari Komala, membuat Mbah Soko semakin bingung.

"Nduk, awakmu mau nembang opo? seko ngendi belajar tembang kui mau?" (Nduk, kamu tadi nembang apa? dari mana belajar tembang tadi itu?) Lagi, Mbah Soko mencoba berbicara dengan Komala sembari mendekat dan duduk di tepi ranjang persis di samping Komala.

"Tembang opo Pak? aku wet mau ki lempet-lempet ngene, gak nembang opo-opo. Salah rungon bapak mungkin" (Tembang apa Pak? aku dari tadi tu beres-beres pakaian gini, tidak nembang apa-apa. Salah dengar bapak mungkin)

Satu ucapan akhirnya keluar dari mulut Komala menjawab ucapan bapaknya. Namun mendengar jawaban itu, Mbah Soko semakin termangu. Pikirannya segera melayang jauh, meraba tentang apa yang sebenarnya ia alami.

"Tenan Nduk, awakmu gak nyanyi, nembang?" (Benar Nduk, kamu tidak bernyayi, nembang?)
Tanya Mbah Soko mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Wes to Pak, aku ki tenan ra nyanyi opo meneh kok nembang!" (Sudah lah Pak, aku beneran gak nyanyi apa lagi kok nembang!) Sahut Komala sedikit mulai ketus.

"Yo wes nek pancen awakmu ora. Ki Bapak arep kenduren gone Pak Rudin, ojo metu-metu seko omah karo ojo tok bukakke lawang misal ono wong ketok-ketok sak durunge bapak muleh. Di gatekne tenan pesene bapak iki Nduk!" (Ya sudah kalau benar kamu tidak. Ini bapak mau acara selamatan tempat Pak Rudin, jangan keluar-keluar dari rumah sama jangan kamu bukain pintu misalkan ada orang ketuk-ketuk sebelum bapak pulang. Di jaga benar pesan bapak ini Nduk!)

Pesan Mbah Soko sebelum ia berpamitan dan melangkah keluar dari kamar Komala.
Komala sendiri tak menjawab. Ia hanya menatap punggung bapaknya saat pergi dengan tatapan datar tak berexpresi.

Mbah Soko akhirnya berangkat untuk menghadiri undangan dari Pak Rudin. Ia berjalan sendiri dengan bermodalkan senter berbatre 2. Sarung motif kotak-kotak dan kemeja putih lusuh serta kopiah jaring menjadi ciri khasnya dalam menghadiri tiap acara apapun di Desa tempatnya tinggal.

Jalanan berlubang ia lalui dengan berat hati. Bukan persoalan jalan yang selama hidupnya tak tersentuh kata Aspal, tapi perasaannya yang harus meninggalkan Komala sendiri, di saat keadaan penuh bahaya.

Riuh dan hampir telah di penuhi warga yang di undang, kala Mbah Soko sampai di kediaman Pak Rudin. Ia yang sedikit banyak di hormati sebagai sesepuh Desa, mendapat tempat tak jauh dari sang pemilik rumah.

Obrolan dan candaan sementara dari para warga sebelum acara di mulai, mencerminkan keakraban antar sesama tanpa membedakan status, meski mereka mayoritas hidup dalam taraf menengah ke bawah.

Lima belas menit kemudian acara pun akhirnya di mulai. Mereka dengan khusuk mendengarkan kalimat demi kalimat tentang tujuan bapak Rudin yang di sampaikan oleh seorang Ustad muda.

Setelah selesai, acara inti pun di mulai dengan di pimpin seorang Kyai sedikit lebih muda dari Mbah Soko.
Acara demi acara itupun berjalan lancar, sampai pada acara penutup yang kembali di sampaikan Ustad muda setelah puluhan Bait Doa selesai di baca dengan khusuk oleh Sang Kyai, satu persatu para warga pun berpamitan.
Dengan meneteng bungkusan kantung plastic yang berisi Sodaqoh berupa makanan khas sebuah acara, para warga bersuka cita masih dengan candaan di sepanjang perjalanan pulang. Namun tidak untuk Mbah Soko.

Ia yang memang di kenal sedikit pendiam memilih untuk menjadi pendengar obrolan dari warga lain yang kebetulan satu arah di jalan pusat Desa.
Sekitar sepuluh menit berjalan, kini hanya tinggal Mbah Soko dengan seorang tetangga yang berjarak seratusan meter rumah keduanya.

Dan tak lama, setelah sang tetangga sampai di rumahnya, Mbah Soko mempercepat ayunan langkah kakinya.
Mbah Soko yang sedari berangkat merasakan batinnya tak enak, di rasanya semakin besar ketidaknyamanan itu.
Satu dua ketukan di pintu papan rumahnya, tak ada jawaban.

Mbah Soko pun memilih mendorong pintu yang tak terkunci dan melangkah masuk masih sembari memanggil nama Komala.
Sunyi, suasana rumah Mbah Soko. Meski sebenarnya hal itu terjadi setiap malam, namun malam itu, Mbah Soko merasakan kesunyian lain dari malam biasanya.

Mbah Soko segera beranjak menuju kamar Komala setelah meletakkan bungkusan makanan yang ia bawa dari rumah Pak Rudin di atas meja lapuk, biasa untuk tempatnya bersantap sambil meneguk segelas teh hangat.

Suara gemerasak pertama terdengar di telinga Mbah Soko dari arah kamar Komala, saat ia mulai mendekat. Sebentar Mbah Soko terdiam, mengernyitkan kening, memastikan dan meraba tentang suara itu.
Lima tarikan nafas kemudian Mbah Soko memutuskan masuk.

Tak ada apapun, tak ada siapapun di dalam kamar Komala. Akan tetapi satu hal yang membuatnya terperanjat disertai dada bergemuruh.
"Nduk! Nduk Kom!" panggil Mbah Soko sembari berjalan keluar.

Satu dua panggilan Mbah Soko tak ada sahutan. Ia masih terus memanggil dan mencari sampai ke arah belakang. Dan tepat ketika dirinya akan melewati pintu, Mbah Soko berpapasan dengan Komala yang hendak masuk.

"Seko ndi awakmu, Nduk!?" (Dari mana kamu Nduk!?)

"Adus, Pak" (Mandi, Pak) "Jawab jujur! enek opo iki mau?" (Jawab jujur! ada apa ini tadi?)
Seolah tau akan sesuatu yang terjadi, Mbah Soko mulai mendesak Komala dengan tegas.

Komala sedikit terperanjat mendengar pertanyaan bapaknya yang sedikit keras. Wajahnya mulai menegang, namun ia mencoba tetap tenang.

Komala tak menjawab lagi pertanyaan bapaknya, ia memilih berjalan masuk ke dalam kamar ingin mengganti pakaian. Belum sempat ia melepas kain sarung dan handuk yang menempel di tubuhnya, Mbah Soko sudah kembali berada di ambang pintu kamarnya dengan wajah mulai memerah.

"Jawab, Nduk! enek opo iki mau!?" (Jawab, Nduk! ada apa ini tadi!?)
Lagi, Mbah Soko mengulang pertanyaan yang sama, berharap akan jawaban dari Komala. Namun sekali lagi Komala hanya diam. Ia duduk membelakangi sang bapak dan hanya tertunduk.

"Awakmu wes wani nglanggar tatanan adab, Nduk! sopo... Karo sopo awakmu le nglakoni! jawab Nduk!" (Kamu sudah berani melanggar aturan beradab, Nduk! siapa... Dengan siapa kamu melakukannya! jawab Nduk!)

Kali ini suara Mbah Soko menggelegar. Dirinya benar-benar yakin dengan sikap diamnya Komala, bahwa dugaannya di iyakan.
Mbah Soko cepat melangkah mendekat ke arah jendela tanpa teralis kamar anaknya yang masih terbuka.

Sebentar ia melongokkan kepalanya keluar dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepi, hening, hanya hembusan angin malam yang Mbah Soko dapatkan.
Setelah tak menemukan apa-apa, Mbah Soko menutup rapat jendela dan menguncinya.

Wajahnya yang sudah memerah, mendekati Komala yang masih tertunduk menyandar. Tangan Mbah Soko seketika mencengkram lengan Komala sembari menanyakan hal yang sama. Awal sikap Komala masih sama, diam dan menunduk.

Sampai akhirnya dengan iringan sesenggukan Komala mengakui dan menyebut sebuah nama.
"Iyo, Pak. Aku wes ngelakoni. Aku nglakoni kerono seneng podo seneng karo Mas Jas" (Iya, Pak. Aku sudah melakukannya. Aku melakukan karena suka sama suka dengan Mas Jas)

"Brukkk...."

Luruh tubuh tua Mbah Soko mendengar jawaban Komala. Ia tersandar di dinding papan, menatap nanar ke depan tanpa ada expresi.

"Iku artine awakmu wes mbungkar opo seng bapak tandur nang mburi omah!?" (Itu artinya kamu sudah membungkar apa yg sudah bapak tanam di belakang rumah!?)
Tanya Mbah Soko setelah beberapa saat terdiam menahan letupan amarah.

Komala hanya mengangguk tanpa berani menatap wajah bapaknya. Sedangkan Mbah Soko, seketika bangkit melihat anggukan kepala Komala.

Wajah Mbah Soko langsung memucat, keringat dingin mengucur kala sampai di halaman belakang rumah, mendapati dua benda peninggalan orang tuanya yang ia andalkan untuk menjaga rumah dan keselamatan keluarganya telah lenyap. Hanya menyisakan lubang kecil sedalam dua jengkal.

Sesaat Mbah Soko diam menatapi lubang, sebelum membalikan badan menghampiri Komala yang masih terduduk di kamar.

"Sopo seng ngandani awakmu kon njikok barang peninggalane Mbahmu?" (Siapa yang memberitahumu untuk mengambil barang peninggalane Eyangmu?) tanya Mbah Soko.

"Mas Jas Pak. Supoyo bapak ngrestui aku karo Mas Jas" (Mas Jas, Pak. Supaya bapak merestui saya dan Mas Jas) jawab Komala sedikit berani mendongakkan kepalanya.

"Keliru awakmu Nduk! awakmu wes di apusi. Opo ngerti akibat seko gaweanmu seng gak ngregani omongane wong tuo!? saiki tak weruhno, ayo meluo, delok nganggo mripatmu dewe!" (Salah kamu Nduk! Kamu sudah di tipu. Apa kamu tau akibat dari perbuatanmu yang tak menuruti ucapan orang tua!? sekarang bapak perlihatkan, ayo ikut, lihat dengan mata kamu sendiri!) Tanpa menunggu jawaban dari Komala, Mbah Soko langsung menarik tangan anaknya.

Membawanya menuju belakang rumah di mana pintunya masih terbuka.
Sedetik dua detik tak ada apa-apa. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba saja Komala memekik ketakutan. Tubuhnya menggigil dingin, wajahnya memucat serta bibirnya bergetar.

"Iki Nduk akibate, iki seng bapak wedeni, iki seng bakal dadi hiasan urepmu sabendinone! kuat ra kuat, sanggup ra sanggup awakmu kudu siap ngadepi" (Ini Nduk akibatnya, ini yang bapak takutkan, ini yang akan jadi hiasan hidupmu setiap hari! kuat tidak kuat, sanggup tidak sanggup kamu harus siap hadapi)

"Op... Opo maksudte, Pak?" tanya Komala dengan suara bergetar, menyiratkan ketakutan yang sangat.

"Demit-demit kui kabeh bakal ngetutke awakmu, njogo awakmu, nandi wae awakmu lungo. Mergo awakmu wes di anggep ndorone wet bar awakmu mbungkar Jengger Wilak lan wes dadi garwo batine Jasmoro" (Makhluk-makhluk itu semua akan mengikuti kamu, menjaga kamu, dimanapun kamu berada.

Karena kamu sudah di anggap tuannya sedari kamu membungkar Jengger Wilak dan melakukan hubungan batin dengan Jasmoro)
Serak, parau, penuh keputus asaan suara Mbah Soko menjelaskan kepada Komala.

Sementara Komala masih menggigil ketakutan. Dirinya yang berdiri di belakang bapaknya, tak berani mengangkat muka, hanya sesekali melirik ke arah puluhan sosok wanita bergaun putih, berkebaya dengan rambut menjuntai sampai mata kaki, berwajah putih, berhias alis hitam pekat selaras dengan bibir yang sama hitamnya. Tak hanya itu, sosok-sosok itu melayang bergantian berkeliling dan memutari sekitaran tempat itu, sambil terus menatap ke arah mereka, dengan bola mata putih rata dan cekung masuk kedalam.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya
close