Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Tumbal Terakhir (Part 2)


JEJAKMISTERI - "Awakmu kudu lungo seko kene Nduk. Seng iso nyelametke urepmu, yo awakmu dewe" (Kamu harus pergi dari sini Nduk. Yang bisa menyelamatkan hidupmu, ya kamu sendiri)

Lemah suara Mbak Soko, tubuhnya pun terasa lunglai tak bertulang, menyesali semua yang terjadi pada putri bungsunya.
Komala sendiri masih terisak, ada setitik penyesalan yang menggurat di wajah ayunya di samping rasa ketakutan pada dirinya.

"Sesok bapak tak ngabari Kakangmu, mengko ben iso secepete ngeterke awakmu nang gone Lekmu" (Besok bapak mau ngabari Kakakmu, nanti biar bisa secepatnya ngantar kamu ke tempat Pamanmu) Ucap Mbah Soko setelah beberapa kali menghempaskan nafas beratnya.

Tubuhnya yang kurus sangat terlihat ringkih. Di tambah expresi wajahnya yang tak bisa di tebak, semakin menampakkan beban berat menggelanyuti jiwanya.

"Pak, opo rabekno ae aku karo Mas Jas? mungkin iso dadi apik kabeh" (Pak, apa nikahkan saja saya sama Mas Jas? mungkin bisa menjadi baik semua) ucap komala, di sela senggukan tangis, mencoba memberikan solusi.

Namun, bukan jawaban kalimat yang ia dapatkan, melainkan lototan bola mata menajam dari bapaknya.

"Apik kanggone sopo!? ki nek awakmu kepingin roh, ngopo bapakmu tekat-tekate manggon nang omah gubuk koyo ngene, ninggalke omah apik, sawah, kebon, tegalan peninggalane Mbahmu, iku mergo merjuangke awakmu karo kakangmu! Nek gor miker gebyare dunyo, awakmu karo kakangmu rong tentu jek ambekan!" (Baik buat siapa!? Ini kalau kamu mau tau, kenapa bapakmu bertekat menempati rumah gubuk seperti ini, meninggalkan rumah bagus, sawah, kebun, ladang peninggalan kakek/nenekmu, itu karena memperjuangkan kamu dan kakakmu! kalau cuma mikir mewahnya dunia, kamu dan kakakmu belum tentu masih bernafas!) Sengit kali ini suara Mbah Soko, seperti ingin meluapkan kekecewaannya.

"Lemah iki, omah iki, hasil keringete bapak ibumu asli Nduk. Mergo bapak moh warisi bondone Mbahmu seng oleh-olehan seko ngabdi nang gone Rahmi sak tekane Ratri! Bondone iku bondo seng oleh seko ora apik, bondo seng di hasilke seko amise geteh keluargane dewe lan uwong-uwong gak salah! ijek untung Mbahmu ki sadar sak urunge bapakmu seng wes rengko iki dadi tumbale! iki kabeh wasiate Mbahmu! tapi saiki malah tok mulai meneh!" (Tanah ini, rumah ini, hasil keringat bapak dan ibumu asli Nduk. Karena bapak tak mau mewarisi harta Kakekmu yang di dapat dari ngabdi/bekerja di tempat Rahmi hingga sampai Ratri! hartanya itu harta yang di dapat dari tidak baik, harta yang di dapatkan dari amisnya darah keluarganya sendiri dan orang-orang tak bersalah! masih untung kakekmu sadar sebelum bapakmu yang sudah renta ini jadi tumbalnya! ini semua wasiat kakekmu! tapi sekarang malah kamu mulai lagi!) Sambung Mbah Soko sedikit mengulas masa lalunya.

"Terus kudu piye saiki aku Pak? mungkin nek ngomong apik-apik karo Mas Jas, iso gak koyo seng di bayangke Pak?" (Terus harus gimana saya Pak? mungkin kalau bicara baik-baik sama Mas Jas, bisa tidak seperti yang di bayangkan Pak?) Sahut Komala mencari sebuah harapan.

"Awakmu terlalu awam. Awakmu wes kadung kepincuk sranggine Rahmi. Tak wei ngerti Nduk, Jasmoro iku tetalen aluse Ratri, ibuk e. Seng tok lakoni karo awakmu iku bakale dadi awalan nyambunge iketan karo Iblis seng di puja Rahmi, leluhure Jasmoro. Sedang awakmu, bakal di dadekne lawang garbo ketelu nang Tanggal Telulas sasi pitu mengko. Jasmoro seneng karo awakmu kui mergo awakmu ragel jejer pancer, dudu mergo seneng lahir batine. Awet Rahmi nyekutuni Iblis alas geong, anak turune wes gak iso nduweni roso tresno meneh karo sepodone menungso. Mergo jiwo rogone wes ketali karo seng dianut. Dadi percuma masio awakmu arep nekat rabi karo Jasmoro, seng enak malah ndawakno persekutuane"

(Kamu terlalu awam. Kamu sudah terlanjur kebungkus tanda khususnya Rahmi. Harusnya kamu tau Nduk, Jasmoro itu tali sambungnya Ratri, Ibunya. Yang di perbuat denganmu itu bakal menjadi awal ritual tersambungnya ikatan dengan Iblis yang di puja Rahmi, leluhur Jasmoro.

Sedangkankan dirimu, akan di jadikan pintu garba ketiga di Tanggal Tiga belas bulan ketujuh nanti. Jasmoro suka kepadamu itu karena kamu bungsu terlahir bertanda khusus. Bukan karena suka lahir batinnya. Dari mulai Rahmi bersekutu dengan Iblis hutan geong, anak keturunannya sudah tidak bisa mempunyai rasa cinta, sayang lagi dengan sesama manusia. Karena jiwa raganya sudah terikat dengan yang di sembah. Jadi percuma meskipun kamu mau nekat menikah dengan Jasmoro, yang ada malah akan memperpanjang persekutuannya) Jawab Mbah Soko memberi penjelasan.

Entah mengerti atau hanya sekedar di dengar, Komala nampak tertunduk. Raut wajahnya sedikit berubah tempias, seperti tengah mempertimbangkan suatu pilihan.

"Blarrr... Blaarrrrr... krreakkk... kkreeeaakkkk...."

"Pak! opo iku?" (Pak! apa itu?) Pekik Komala yang tengah tertegun, kaget mendengar suara seperti benturan keras dari atap rumah, berposisi tepat di atas kamar Mbah Soko.

Mbah Soko yang ikut mendengar dan terkejut, tak menjawab pekikan Komala. Dirinya bangkit dan bergegas keluar dari dalam rumah menuju halaman belakang.

Gelap dan terasa sinung pertama di rasakan Mbah Soko sesampainya di sudut belakang rumahnya. Pandangannya langsung mengedar ke atas rumah, tempat sumber suara. Namun, hanya awan hitam yang tertangkap pandangan matanya.

Tak ada makhluk atau sosok apapun di atas atap rumah dimana dengan jelas dirinya dan Komala mendengar suara burung kematian di sertai benturan dari tempat itu.

"Enek opo Pak?" (Ada apa Pak?) Tanya Komala yang sudah berada di ambang pintu.

"Gak enek opo-opo. Paling gor manuk lewat" (Gak ada apa-apa. Mungkin cuma burung lewat) Sahut Mbah Soko sambil terus menatapi sekeliling rumahnya.

Beberapa menit Mbah Soko dan Komala berada di belakang. Setelah tak mendapatkan apa-apa, keduanya kembali masuk kedalam. Namun baru saja Mbah Soko ingin masuk ke dalam kamarnya, buru-buru ia urungkan demi mendengar jeritan Komala kembali.

"Ono opo Nduk!?" (Ada apa Nduk!?) Tanya Mbah Soko saat mendapati Komala terduduk di depan pintu kamarnya sendiri.

"Wetengku Pak! loro banget!" (Perutku Pak! Sakit sekali!) Jawab Komala sambil menekan perutnya di sertai ringis kesakitan.

Mbah Soko yang mulai panik segera mendekat. Tangannya segera mengulur ingin membopong tubuh Komala, berniat membaringkan di atas ranjang kayu berkasur kapuk milik Komala. Tapi belum sempat tangan Mbah Soko menyentuh, tetiba saja tubuh Mbah Soko terjengkang kebelakang.

"Brrukkk!"

Mbah Soko sebentar meringis, namun segera tersadar akan keanehan yang baru saja ia alami. Ia pun bangkit kembali mendekat ke arah Komala yang kini terguling-guling di lantai tanah masih dengan kesakitan.

"Ahgg... Aghh... Aghh... Pak tolong, Pak...!"

Iba dan tak tega rasanya Mbah Soko mendengar erang dan rintihan Komala. Meski tak tau seberapa sakit yang di rasakan anak bungsunya, melihat dari raut wajah dan cucuran keringat yang keluar, Mbah Soko dapat memastikan rasa sakit luar biasa.

Akan tetapi Mbah Soko tak dapat berbuat apa-apa. Diulanginya sampai ke empat kalinya, usaha Mbah Soko sia-sia. Kedua tangannya tetap tak dapat menyentuh tubuh Komala, entah kekuatan apa dan dari mana, Mbah Soko masih belum mengetahui.

Kepanikan Mbah Soko yang berlangsung puluhan menit dengan kejadian itu sedikit mereda kala Komala mulai berangsur diam dan mampu duduk menyandarkan punggungnya di dinding papan. Walaupun nafasnya terlihat masih tersengal, tapi rintihan dari bibirnya sudah tak terdengar.

Mbah Soko kembali memberanikan diri mendekat, tapi lagi-lagi dirinya harus terjingkat dan menarik tubuhnya menjauh dari Komala. Kali ini bukan sebuah kekuatan yang menghantam tubuh ringkihnya, melainkan satu suara lantunan kidung nan nyaring dari arah depan ruang tamu.

Mbah Soko tertegun sejenak, menyesapi kemerduan suara yang tak asing baginya. Suara dan kidung macapat khusus untuk sebuah ritual yang telah lama tak ia dengar, kini tiba-tiba menggema di dalam rumahnya.

"Srengi Sukmo!" gumam Mbah Soko lirih, sebelum kakinya berayun melangkah menuju arah suara.
Pucat seperti tak teraliri darah seketika tubuh Mbah Soko, melihat satu sosok yang tengah duduk di kursi bambu sembari masih memperdengarkan senandung gending macapat tanpa iringan tetabuhan. Kini, bukan hanya makna dari tiap-tiap bait senandung itu yang membuat Mbah Soko tercekat takut, tapi juga pada sosok berkebaya batik dengan kepala bersanggul yang duduk dan berjarak tiga meteran dari tempatnya berdiri.

"Nyai Ratri!"

Lirih seperti tertahan pekikan yang keluar dari mulut Mbah Soko, menyebut nama sosok wanita itu. Seketika sosok wanita berkebaya batik dengan harum kamboja itu terhenti dari dendang senandungnya.

Tetapi, tak sedikitpun ia menoleh meski dirinya mendengar pekikan dari mulut Mbah Soko.

"Jek iling aku koe Soko!" (Masih ingat aku kamu Soko!) Ucap sosok itu dengan suara penuh wibawa.

"Ora bakal lali aku karo keluarga besar Murti Rahmi!" (Tidak akan lupa aku dengan keluarga besar Murti Rahmi!) sahut Mbah Soko sedikit bergetar.

"Nek koe arep ngerti salahmu opo, takok bapakmu!" (Kalau kamu mau tau salahmu, tanya bapakmu!)

sinis dan sengit kali ini suara sosok wanita yang Mbah Soko tau sebagai penerus Murti Rahmi.

"Nyai, tolong... tolong ojo anakku. Nyowoku iki wae seng dadi gantine, culno anak-anakku. Ben aku wae seng nebus salah e wong tuoku"

(Nyai, tolong... tolong jangan anakku. Nyawaku ini saja yang jadi gantinya, lepaskan anak-anakku. Biar aku saja yang menebus kesalahan orang tuaku) Parau dan memelas suara Mbah Soko.

Ia berharap dengan itu, bisa menyelamatkan Komala, putri bungsunya. Namun, bukan jawaban kalimat yang di terima Mbah Soko, melainkan tawa panjang melengking dari sosok Ratri, seolah ucapan dan permohonan Mbah Soko hanya sebuah lelucon baginya.

Mbah Soko sendiri mengartikan tawa dari sosok Ratri adalah sebuah penolakan serta ejekan. Ia pun terduduk lemah tanpa tau harus berbuat apa. Jiwanya meronta ingin melawan, tapi tak mungkin ia sanggup, apalagi pusaka pelindung satu-satunya warisan dari orang tuanya, telah lenyap akibat perbuatan anaknya sendiri.

"Soko! nyowomu kui ora kanggo opo-opo. Seng tak butuhke getihe Komala kanggo mbayar kesalahane wong tuomu biyen. Sak liane kui, aku ra butuh! iling-ilingen Soko, TANGGAL TELULAS SASI PITU, anakmu tak jukok, wani gawe perkoro, ra ono seng slamet sopo wae, seng ijeh mambu geteh seko wong tuomu!"

(Soko! nyawamu itu tidak berguna apa-apa. Yang aku butuhkan darahnya Komala untuk membayar kesalahan orang tuamu dulu. Selain itu, aku tak butuh! ingat-ingatlah Soko, TANGGAL TIGA BELAS BULAN KETUJUH, anakmu saya ambil, berani buat masalah, tak akan ada yang selamat siapa saja yang masih ada ikatan darah dengan orang tuamu!)

Jiwa dan batin Mbah Soko benar-benar terpukul mendengar ucapan disertai ancaman dari sosok Ratri. Ia tau, jika ucapan itu bukanlah sebatas ucapan di bibir belaka, namun lebih kepada kenyataan yang tertunai, seperti yang dirinya ketahui sejak dari jaman kedua orang tuanya dulu masih mengabdi pada keluarga besar Murti Rahmi.

*****

"Pak?" Panggil Komala sembari menyeka keringat pada wajahnya yang memucat.
Mbah Soko hanya diam. Entah lidahnya yang kelu atau karena amarah yang tependam sehingga mengabaikan Komala.

Perlahan kaki Mbah Soko melangkah menuju kamarnya tanpa mau berpaling sedikitpun, di kepalanya terpenuhi kalimat-kalimat bernada peringatan dan ancaman yang tak main-main dari Trah Murti Rahmi.

Mbah soko benar-benar tak terjaga sedikitpun malam itu. Gelisah, takut dan ngeri, menggumpal menyatu dalam dirinya. Sampai akhirnya, saat fajar mulai menyembul menampakkan kegarangannya, Mbah Soko baru keluar dari kamar.

Tak ada kalimat apapun ketika dirinya berjalan keluar rumah. Tak juga seperti biasa selalu mencari Komala ketika pagi menjelang. Mbah Soko terus melangkah sampai melewati dua tiga rumah tetangganya.

Hingga tiba pada rumah paling ujung berbatasan dengan hamparan sawah, barulah dirinya berhenti.
Sedikit ragu saat bibir Mbah Soko ingin mengucap salam, namun ketika terbayang wajah anak-anaknya, sebaris kalimat salam itu pun keluar dari mulutnya.

"Soko? kene mlebu" (Soko? sini masuk) Ucap satu suara serak, dari seraut wajah tua seumuran Mbah Soko setelah menjawab salam dan membukakan pintu.

"Dengaren isuk-isuk wes tekan kene awakmu, enek perkoro opo?"

(Gak biasanya pagi buta gini kamu sampai sini, ada perkara apa?) Tanya lelaki sang pemilik rumah saat keduanya telah duduk berhadapan.

"Perkoro nyowo Kang. Mulo aku rene njalok tolong amreh apik e kepiye?" (Perkara Nyawa Kang. Karena itulah saya kesini mintak tolong untuk baiknya bagaimana?) jawab Mbah Soko dengan suara parau.

"Lah? opo ono sangkutane karo Murti Rahmi?" (Laa? apa ada sangkut pautnya dengan Murti Rahmi?)

"Iyo Kang. Mau bengi Ratrine nyambangi aku. Ra keno di tahan, Komala kudu di jikok Tanggal Telulas sasi pitu mbisok!" (Iya, Kang. Tadi malam Ratri menemuiku. Tak bisa di tahan, Komala harus di ambil pada Tanggal Tiga Belas Bulan Ke Tujuh Nanti!) Ucap Mbah Soko menjawab dugaan dari lelaki tua di hadapannya.

"Angel nek wes urusan karo keluarga iku. Aku yo ra iso opo-opo, mung isone andom dungo lan nyaranke ae, Komala kudu tok lungakne"

(Sulit kalau sudah berurusan dengan keluarga itu. Saya juga tidak bisa apa-apa, hanya bantu Doa dan menyarankan, Komala harus kamu bawa pergi) ujar lelaki tua yang hanya berkaos dalam putih dengan setelan sarung kotak-kotak.

"Nek aku seng gowo lungo gak iso Kang. Tetep ketemu mbuh nandi wae le ku lungo. Misal Kolis seng tak kon jikok, piye menurutmu, Kang Waris?" (Kalau saya yang bawa pergi gak bisa Kang. Tetap ketemu biar di manapun saya pergi. Misal Kolis yang saya suruh ambil, bagaimana menurutmu, Kang?) Sejenak, lelaki tua biasa di panggil Mbah Waris terdiam.

Tak lama, kepalanya yang sudah berhias rambut putih rata manggut beberapa kali seolah mengerti akan suatu pertimbangan.

"Yo apik kui. Tapi, kiro-kiro Komala arep di umpetke ngendi?" (Ya bagus itu. Tapi, kira-kira Komala mau di sembunyikan dimana?) tanya Mbah Waris.

"Nek pinginku, Kolis tak kon gowo Komala nang gone Lekne, Latip" (Kalau inginku, Kolis saya suruh bawa Komala ke tempat pamannya, Latip.) jawab Mbah Soko.

"Yo wes, apik wae kui. Awakmu le ngedek nang kene yo ati-ati. Seng bakal tok adepi dudu menungso meneh, tapi Iblis seng diwei rogo!"

(Ya sudah, bagus kalau itu. Kamu yang menghadang disini hati-hati. Yang akan kamu hadapi bukan manusia lagi, tapi Iblis yang di beri raga!) Sedikit geram suara dan kalimat yang di ucapkan Mbah Waris.

Seperti ada sesuatu yang terasa menyesakkan dadanya saat mengucapkan pesan pada Mbah Soko.
Selesai berbasa-basi sebentar, Mbah Soko berpamitan. Kelegaan sekilas menghias kerutan di wajahnya mendengar dukungan rencananya juga kesanggupan dari anak Mbah Waris untuk menghubungi Kolis, anak pertamanya.

Sesampainya di rumah, Mbah Soko langsung menemui Komala. Tak banyak yang dikatakan tentang rencananya, hanya beberapa pesan kepasrahan terucap, pada diri anak bungsu yang ia sayangi.

"Pak... Bapak mengko piye nek tak tinggal aku? opo gak enek dalan liyo to Pak?" (Pak... Bapak nanti bagaimana kalau saya tinggal? apa tidak ada jalan keluar lainnya Pak?) ucap Komala setelah mendengar penuturan dari Mbah Soko.

"Gak enek Nduk. Iki dalan siji-sijine supoyo awakmu selamet! supoyo mbisuk Bapak ketemu Mbahmu nang alam kono iso ngenger mergo wasiate tak laksanakne temen-temen" (Tidak ada Nduk. Ini jalan satu-satunya supaya kamu selamat! supaya kelak Bapak bertemu Kakek/Nenekmu di alam sana bisa tegak karena wasiatnya di laksanakan benar-benar) terang Mbah Soko dengan mata berkaca.

"Sepurone Aku, Pak. Sepurone wes gawe soro Bapak lan keluarga!" (Maafkan Saya Pak. Maafkan sudah buat sengsara Bapak dan keluarga!) Tangis Komala pun pecah. Rasa sesalnya pun ia tumpahkan dalam pelukan Mbah Soko yang sama tak dapat menahan kucuran air bening dari bola matanya.

Hari itu, sampai dua hari selanjutnya keadaan Mbah Soko dan Komala seperti biasa. Namun ketika di hari ke empat, tepat setelah kedatangan Kolis yang merantau dan telah berdomisili di sebuah pulau Industri bersama sang Istri datang, keadaan pun kembali berubah.

Pertemuan yang seharusnya penuh rasa haru dan bahagia antara orang tua dan anak, berbalik menjadi pertemuan yang mencekam.
Kolis yang saat datang begitu penasaran dengan tujuan bapaknya memanggil untuk pulang, berubah menjadi gelisah.

Di banding Komala, Kolislah yang sudah mengerti tentang cerita masa lalu keluarganya bersangkutan dengan keluarga Murti Rahmi. Oleh sebab itulah, ketika semua yang terjadi telah Mbah Soko ceritakan, raut wajah Kolis pun menegang dan memucat.

Terselip ketakutan dan amarah menggurat dengan jelas bersanding pada wajahnya. Takut karena ia tau betul siapa keluarga Murti Rahmi dan marah pada kecerobohan Adik satu-satunya.

"Pokok e masalah adimu tak pasrahke awakmu. Mangkato sisok bar Subuh, gowo nggone Lekmu Latip, ngomong bapak titip Komala, Selametke nyowone" (Pokoknya masalah Adikmu Bapak serahkan kamu. Berangkatlah besok sesudah Subuh, bawa ke tempat pamanmu Latip, bilang Bapak titip Komala, selamatkan nyawanya) ucap Mbah Soko memberi pesan pada anak lelakinya, Kolis.

"Njur Bapak nang kene dewe piye? gak mungkin Buk Ratri ngejarke masalah iki nek wes ngerti Kom lungo Pak. Opo Bapak melok sekalian ae Pak?" (Terus Bapak disini sendiri gimana? Tak mungkin Buk Ratri membiarkan masalah ini kalau sudah tau Kom pergi Pak. Apa Bapak ikut sekalian saja Pak?) sahut Kolis penuh kekhawatiran.

"Ora, Lis. Bapak kudu tetep nang kene go ngedeki ingon-ingone Ratri. Bapak mengko yo di rewangi Kang Waris. Wes, pokok e manuto Bapak. Saiki lereno kono, ben sesok iso seger awak e" (Tidak, Lis. Bapak harus tetap disini untuk menghadang peliharaan-peliharaan Ratri. Bapak nanti juga di bantu Kang Waris. Sudah, pokoknya nurut Bapak. Sekarang istirahat sana, biar besok bisa segar badannya) Ujar Mbah Soko memberi perintah demi mengakhiri obrolannya dengan Kolis.

Masih dengan perasaan bercampur aduk, Kolis akhirnya menuruti Mbah Soko.

Ia melangkah masuk ke dalam sebuah kamar yang biasa di gunakan Mbah Soko istirahat. Tak ketinggalan, sebelum ia masuk ke kamar untuk istirahat, Kolis menyempatkan diri melongok ke kamar adiknya. Sejak dirinya datang belum sepatah katapun berbicara dengan Komala.

Ada rasa iba dalam hatinya melihat wajah ayu adik satu-satunya yang terpejam penuh kelelahan. Walau tak ia pungkiri, terselip rasa jengkel dan marah atas kecerobohannya sehingga mengakibatkan kembalinya urusan yang sudah puluhan tahun terputus.

Rasa lelah akhirnya membawa Kolis ke alam mimpi. Puluhan bahkan ratusan menit ia lalui dalam tenangnya nuansa hawa pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota seperti tempatnya tinggal.

Rasa gelisah, resah bahkan takut sebentar terlupakan. Tanpa menyadari jika itu baru awal dari kengerian yang akan ia lewati hari-hari selanjutnya.

*****

"Lis... Kolis! Kolis..."
Satu teriakan seketika menyentak Kolis yang masih terlelap. Buru-buru ia terbangun dan langsung beranjak dari ranjang lapuk dengan sempoyongan.

Meski belum sepenuhnya ia tersadar, tapi demi mendengar suara bapaknya yang terdengar panik, Kolis melangkah cepat.
Sesampainya di depan kamar Komala, Kolis mendapati sang Bapak tengah berdiri kaku menatap ke dalam kamar. Ia segera menghampiri dan ikut melihat ke dalam.

Kosong, tak ada apapun. Jangankan sosok Komala adiknya, kain selimut dan pakaian-pakaian Komala yang biasa di simpan pada lemari kayu tanpa tutup di sisi kiri ranjang pun tak ada, membuatnya segera menduga-duga penuh kecemasan.

"Iki mesti adimu lungo marani Jasmoro!" (Ini pasti adikmu pergi ke tempat Jasmoro!) geram penuh letupan amarah suara Mbah Soko terdengar di telinga Kolis.

"La perlu opo Kom moro, Pak?" (La perlu apa Kom kesana, Pak?) tanya Kolis penuh kecemasan.

"Adikmu panggah pingin rabi karo Jasmoro. Masio wes bapak jelaske kabeh, tetep ae gak sadar" (Adikmu tetap ingin menikah dengan Jasmoro. Walau sudah Bapak jelaskan semua, tetap saja tidak sadar) jawab Mbah Soko sembari membalikan badan.

"Saiki kudu ketemu Adikmu, ojo sampek terlambat. Bar Subuh engko langsung gowo metu seko deso iki!" (Sekarang harus ketemu Adikmu, jangan sampai terlambat. Setelah waktu Subuh nanti langsung kamu bawa keluar dari Desa ini!) sambung Mbah Soko.

Sembari kembali masuk ke dalam kamar milik Komala.
Kolis tertegun, ia bingung dengan semua kejadian yang kini telah menjadi satu bagian untuknya. Dirinya masih tak tau harus berbuat apa untuk membawa kembali adiknya yang di duga telah kabur ke tempat yang tak seharusnya di datangi.

"Lis, awakmu moro o nang omah e Jasmoro, ora kudu tekan latare. Gowonen iki, ning ojo sampek tok ceblokne lemah masio di ganggu opo ae. Bapak tak moro gone Kang Waris supoyo awakmu iso gowo bali Adikmu" (Lis, kamu datangi rumah Jasmoro, tidak harus sampai halamannya.

Bawalah ini, tapi jangan sampai kamu jatuhkan ke tanah walaupun kamu di ganggu apa saja. Bapak akan ke rumah Kang Waris supaya kamu bisa bawa pulang Adikmu)
Kaget, sudah barang tentu Kolis saat itu. Ia tak menduga jika mendapat perintah yang sangat sulit dan ngeri dari Bapaknya.

Namun demi menyelamatkan sang Adik, mau tak mau Kolis pun mengangguk tanda menerima.
Kolis langsung menerima sebuah kain yang dirinya tau adalah salah satu baju adiknya yang tersisa. Ia pun menggenggam erat baju yang sudah lusuh, seraya berangsur melangkah keluar dari rumahnya.

Kolis baru tersadar bila waktu sudah gelap bertanda malam telah merajai alam. Ia sempat berfikir bila dirinya tertidur dalam lelap cukup lama.
Setelah berjalan ratusan meter, Kolis tetiba saja menghentikan langkahnya sejenak.

Ia menyadari jika ada ke anehan di sekelilingnya. Mulai dari jalan yang ia lalui sampai lingkungan sekitarnya sangat berbeda dari yang ia lihat sewaktu dirinya datang. Walaupun Desa itu bukan tempat ia di lahirkan, tapi setidaknya Kolis berdiam di Desa itu cukup lama sewaktu dirinya masih dalam asuhan sang Ibu saat masih hidup. Kolis pun yakin betul jika tak banyak perubahan yang membuatnya pangling akan keadaan Desa meski telah beberapa tahun meninggalkannya.

Tapi saat ini, dirinya benar-benar merasakan bahwa tengah berada di tempat yang asing.

"Koe arep nandi Le? kok kendel temen dewean?" (Kamu mau kemana Nak? kok berani sekali sendirian?) Hampir saja Kolis melompat kala satu suara wanita tua mengejutkannya dari belakang.

Ia pun seketika beringsut mundur saat memutar tubuhnya dan mendapati satu sosok wanita berpakaian komprang telah berdiri tegak di belakangnya sembari tersenyum menyeringai.

"Sa... Sa, sampean sopo, Mbah?" (Ka... kamu siapa, Mbah?) tanya Kolis dengan terbata.

"Aku yo penghuni kene, kudune aku seng takok, koe sopo terus arep nandi?" (Saya ya penghuni disini, harusnya saya yang bertanya, kamu siapa terus mau kemana?) jawab sosok wanita tua itu sedikit melototkan matanya.

Kolis terdiam. Disamping rasa heran, ia juga mulai tersusupi rasa takut. Apalagi saat matanya melihat dari kilatan cahaya obor berwadah bambu yang ada di tangan kiri sosok wanita tua di hadapannya, tampak keanehan dari wajah sosok itu.

"Ojo tok tanggepi! terus mlakuo Lis!" (Jangan di tanggapi! terus berjalan Lis!) Satu bisikan tegas nyaring menusuk telinga Kolis. Ia pun terperanjat, kaget kala tau suara itu adalah suara Bapaknya sendiri. Kolis akhirnya membalikan badan.

Mengabaikan sosok wanita tua yang menggapai-gapaikan tangannya seolah ingin memamerkan kuku-kuku runcing panjang dan hitam. Hawa lembab seakan tak berudara dirasakan Kolis ketika dirinya semakin melangkah jauh. Tubuhnya berkeringat bukan karena rasa lelah, melainkan tekanan rasa takut yang amat luar biasa.
Ingin rasanya Kolis saat itu berbalik dan kembali, namun teringat keselamatan sang Adik dan pesan dari sang Bapak, Kolis menguatkan tekadnya.

Pelan dan tak ada suara langkah kaki Kolis yang terus menyusur jalanan lurus tak berlubang. Walau terlihat gelap, tapi Kolis seolah tertuntun. Ia sama sekali tak kesulitan, menerobos kabut-kabut tipis yang menutup jarak pandangnya.

Setiba Kolis di sebuah Gapura besar berhias ukiran Naga melingkar, ia terdiam sejenak. Menatapi tiap lekuk bangunan gapura yang baru pertama di lihatnya, dan ia rasa begitu sempurna.

"Ojo mbok delokne moto nogo kui, Lis! mlebuo, rasah ngagas opo ae seng ono nang ngarep utowo samping-sampingmu. Cepet! wektumu ora akeh!" (Jangan kamu lihat mata naga itu, Lis! masuklah, tidak usah hiraukan apapun yang ada di depan atau di samping-sampingmu. Cepat! waktumu tidak banyak!)

Kembali Kolis terjingkat saat suara Bapaknya membisik di telinganya. Hal itu pun menyadarkan Kolis jika kini dirinya tak sendiri di tempat itu. Di depannya, tampak beberapa orang berwajah pucat pasi tengah menatapinya.

Seketika tubuh Kolis merinding, apalagi saat ia menoleh di kanan kirinya, puluhan pasang mata juga sedang menatap padanya dengan tatapan kosong. Bukan hanya merinding akan wajah dan cara mereka memandang, tapi juga akan aroma tubuh mereka yang kental antara perpaduan Kapur Barus dan bunga kamboja.

"Ojo mbok gagas, mlebu saiki!" (Jangan kamu hiraukan, masuk sekarang!) lagi, satu sentakan suara membulatkan keberanian Kolis.

Ia pun melangkah meski lututnya terasa lemas dan gemetar. Satu dua hingga beberapa kali dirinya berpapasan dengan sosok-sosok itu, membuat dadanya terasa sesak tersusupi aroma khas mayat dari tubuh mereka. Namun Kolis terus melangkah pelan, cercahan bisik suara Mbah Soko menguatkan dirinya, seakan tau bila ia tak sendiri. Kurang lebih tiga ratus meter setelah ia melewati Gapura itu, tibalah Kolis di sebuah taman bercahaya redup bersuara riuh gemericik air yang mengalir.

Ia terpaksa kembali berhenti, kala di depannya terdapat tiga buah jalan berbeda arah dengan sama-sama berhiaskan lampu obor berwadah tembaga.
Bingung dan ragu Kolis untuk menetukan salah satu jalan yang akan ia lalui.

Ia tertegun sebentar menatap tiga jalan beralas bebatuan bersusun rapi, dengan tatanan aneka kembang di sisi kanan kiri yang sama persis. Namun tak lama, Kolis akhirnya memilih jalan di sisi kanan. Bukan tanpa alasan dirinya memilih itu, tapi ia memantapkan pilihannya oleh satu sebab jalan itu tampak berbeda, atau tepatnya di ujung depan taman. Dimana, mata Kolis melihat sebuah patung sesosok wanita berkebaya, kokoh berdiri dengan balutan patung ular hitam melingkari.

"Koe kudu cepet mlebu rono Lis! gowo Adikmu sak durunge acara Srengginan rampung! Bapak karo Mbah Waris mek sanggup ngawal tekan kene, sak bare Bapak serahke awakmu! ojo lali dungo, Lis" (Kamu harus cepat masuk kesitu Lis! bawa Adikmu sebelum acara Srengginan (ritual rutin) selesai! Bapak sama Mbah Waris cuma sanggup ngawal sampai disini, setelahnya Bapak serahkan dirimu! jangan lupa berdoa, Lis.) Satu bisikan sekali lagi menguatkan juga meluruhkan jiwa Kolis. Sebab dari kalimat itu, Kolis sadar jika satu kakinya sudah melangkah melewati jalan itu, maka dirinya harus berusaha sendiri.
Beriring lantunan Doa dalam hati, Kolis pun mengayunkan kakinya menapak jalan bebatuan hitam yang tersusun. Melewati barisan aneka kembang setinggi perut, menembus kepulan asap tipis dari corong obor yang berjejer rapi.

Puluhan menit Kolis berjalan sembari menahan degupan jantung yang tak beraturan. Keringatnya deras mengucur, walau tempat itu dirasa begitu sejuk olehnya. Tak ada apapun sedari Kolis melangkah melewati jalan itu.

Membuatnya sedikit mempercepat langkah berharap bisa segera menemukan sang Adik. Namun, ketika dirinya tinggal berjarak tiga meteran dari patung sosok wanita berkebaya, tiba-tiba tubuhnya melemah, kedua kakinya serasa tak bertulang, terpaku diam tanpa mampu bergerak.

"Suruppp pati, lebur ing wewening wengi iki..."
Sebaris bait lantunan tembang beriring pegon peloq, tetiba saja terdengar begitu dekat di rasa Kolis, seolah berada tepat di samping kirinya, semakin membuat tubuhnya kaku pucat tak berdarah.

Alunan peloq pegon mengiring tembang Jawi kuno, sayup dan semakin lirih menggema di telinga Kolis. Tak lama suara itu menjauh dan hilang dari pendengaran Kolis.

Sebentar Kolis menoleh di kiri dan kanannya, namun hanya hembusan angin serta gemericik air dalam lingkaran kolam, mengalir mengelilingi patung sosok wanita berwajah tak asing baginya.
Tubuh Kolis berangsur pulih setelah kaku bagai mati rasa.

Ia kemudian mencoba kembali menjejakan tapak kakinya, berniat meneruskan mencari keberadaan sang Adik.
Setibanya Kolis tepat di depan patung sosok berwajah ayu dengan kebaya slempang menyebelahi patung ular hitam, lagi-lagi Kolis tergelak kaget.

Berawal dari dengus nafas dan desis berbau busuk menerpa wajahnya, menjadi tanda kemunculan sebuah bayangan hitam.
Klebatan bayangan itu meliuk-liuk dan mengitari Kolis. Mata Kolis sendiri seperti tergerak mengikuti gerakan bayangan itu beberapa saat, hingga kemudian berhenti dan menjelma jelas menjadi sesosok wanita bergaun putih dengan tebaran bau kapur barus menyengat tajam.

"Durung wayahe Koe merene! kudune mengko nang Tanggal Telulas Sasi Pitu! Saiki wes kadung, opo perlumu!?"

(Belum saatnya Kamu ke sini! harusnya nanti Tanggal Tiga Belas Bulan Ketujuh! Sekarang sudah terlanjur, apa perlumu!?)
Pelan dan lembut namun tegas suara sosok itu menyapa Kolis. Hal itu langsung kembali merontokkan keberanian Kolis.

Apalagi ketika matanya beradu pandang dengan bola mata sosok itu, jantung Kolis seolah berhenti berdetak.

"Nyowo loro wong tuo seng ngeterke Koe merene ora bakal iso ngambah Garba iki! Koe dewe nduwene opo, bocah kemendel!" (Nyawa dua orang tua yang mengantarmu kesini tidak akan bisa masuk ke dalam Garba ini! Kamu sendiri punya apa, bocah sok berani!)
Lagi, Kolis hanya diam tertunduk. Rasa takutnya sudah tak terukur. Jiwanya terasa mati.

Jangankan untuk menyahut, mendongakkan kepala saja terasa berat.

"Gawanen rene kui seng tok cangking, bakal metu utuh awakmu nek Koe manut!" (Bawa ke sini itu yang Kamu pegang, akan keluar utuh anggota badanmu kalau Kamu nurut!)

Mendengar ucapan sosok wanita bernada perintah disertai ancaman, kali ini Kolis tersentak. Ia teringat jika di tangannya tergenggam kain lusuh milik Adiknya, juga pesan dari Bapaknya.

"Ora! ora bakal tak serahke barang iki sak durunge aku ketemu Adeku! minggiro, aku gak enek perlu opo-opo, mek arep ngejak Adikku bali!" (Tidak! tidak akan Saya serahkan barang ini sebelum Saya bertemu Adiku! menyingkirlah, Saya tidak ada perlu apa-apa, hanya ingin mengajak Adikku pulang!)

Entah mendapat keberanian dari mana Kolis tegas bersuara menolak permintaan sosok wanita itu. Tak hanya menjawab, dirinya pun mampu menegakkan kepala serta sanggup menatapi sosok wanita itu, yang tengah melototkan bola matanya tajam.

"Ancen kudu di warah toto corone merdayoh nang kene, koe!" (Memang harus di beri pelajaran tata caranya bertamu disini, Kamu!) Sengit ucapan sosok itu, mendapati penolakan dari Kolis.

Selepas berucap, sosok wanita itu menjulurkan tangan berkuku putih tajam mengkilap ke arah kain yang di genggam erat Kolis. Ia berniat merebut paksa. Namun, sebelum tangan sosok itu sampai, tiba-tiba saja ia menarik mundur bersamaan tubuhnya yang ikut beringsut.

"Ora saiki waktune Jangi. Ben bocah kui gowo Adine bali, tetengerku ora bakal ilang" (Bukan sekarang waktunya Jangi. Biarkan anak iki membawa Adiknya pulang, talipatiku tidak akan hilang)

Sosok wanita tua yang di panggil Jangki merunduk, sebelum akhirnya menjauh dan melayang pudar bagai awan serta dalam sekejap lenyap di sekitaran patung.
Sedang Kolis, ia terhenyak mendengar suara pelan nan lembut tanpa wujud, namun mampu membuat sosok Jangki mematuhinya.

"Gowonen Adikmu muleh, cah bagus. Tapi ilingo, mbisok bakal tak jikok, pas titiwancine" (Bawalah Adikmu pulang, cah bagus. Tapi ingatlah, kelak akan Saya ambil, saat tepat waktunya) Mendengar suara itu Kolis tertegun.

Sejenak ia menelaah kalimat bernada perintah juga sebuah pesan, dari sosok tak berwujud yang ia yakin adalah seorang wanita. Tapi belum mengerti maksud yang terkandung di dalamnya.
Tak mau berpikir terlalu lama, Kolis memutuskan untuk segera mencari Komala.

Mengabaikan makna dari ucapan sosok tak berwujud, menuruti keinginannya agar segera keluar dari tempat yang sangat asing dan mengerikan itu.

Setapak demi setapak Kolis lalui jalan bersusun batu, berpagar aneka kembang yang lebarnya tak lebih dari dua meter. Walaupun tanpa ada gangguan, namun perasaan was-was dan takut masih lekat bergelanyut.

Kelokan demi kelokan terus Kolis susuri, tiga buah jembatan kecil tanpa pegangan pun telah Kolis lewati. Namun sejauh itu, ia belum menemukan tanda-tanda keberadaan Komala. Hingga, sampailah Kolis di ujung taman dengan sebuah gapura kecil melengkung, ia di sambut hamparan tanah luas yang terdapat puluhan gundukan tanah layaknya sebuah tempat pemakaman.
Kolis ragu untuk melewati gapura kecil dan masuk ke area berhawa lembab di depannya. Sekilas Kolis mengedarkan pandangannya, mencoba mencari-cari keberadaan Komala.

Tapi hanya siutan-siutan awan tipis dan angin dingin yang sepintas terlihat seperti bayangan saling berlompatan tertangkap matanya.
Kolis yang mulai bergidik ngeri, akhirnya membalikan tubuh. Melangkah cepat segera ingin mencari di tempat lain.

Sayang, baru saja tujuh langkah ia berjalan, kembali harus di hentikan oleh sebuah suara.
Bukan panggilan, bukan pula sentakan yang membuat Kolis terdiam dan kembali berbalik. Tapi suara tangis merintih memilukan dari arah sisi kiri tanah lapang, persis di sebelah gundukan tanah paling tinggi tanpa penanda. Tangisan itu semakin terang dan jelas di telinga Kolis, kala dirinya memberanikan melintasi gapura batas antara taman dan tanah lapang.
Semakin jauh berjalan, suara tangisan itu semakin meyakinkan Kolis.

Tanpa ragu lagi, Kolis mempercepat ayunan kakinya. Tak berapa lama akhirnya Kolis sampai di tempat, di mana suara itu benar-benar suara Komala yang sedang duduk tersimpuh, di apit dua buah gundukan tanah.

"Nduk, ayo bali" (Nduk, ayo Pulang) Ucap Kolis sedikit senang telah menemukan Adiknya.

"Nduk... Nduk. Awakmu ngopo nangis nang kunu? ayo bali saiki" (Nduk... Nduk. Kamu kenapa nangis di situ? ayo pulang sekarang)

Kembali Kolis memanggil dan mengajak Komala untuk pulang. Namun Komala seperti tak mendengar dan menghiraukannya. Komala masih terus menangis pilu sembari meremas-remas tanah berwarna merah di hadapannya.

Ia sama sekali tak menoleh sedikitpun ke arah Kolis yang berdiri di sebelah gundukan tanah paling tinggi.
Kolis sendiri mulai bingung. Berkali-kali ia mengulang memanggil Komala, tapi tetap saja Komala tak menggubris.

Sampai akhirnya, Kolis yang tak sabar lagi berjalan mendekat dan meraih lengan Komala.

"Ayo bali! iki dudu panggonanmu!" (Ayo pulang! ini bukan tempat tinggalmu!)
Kali ini usaha Kolis berhasil.

Komala menghentikan tangisannya dan mendongakkan kepala seperti terkejut dengan cengkraman tangan di lengannya.

"Kang" (Kak) Hanya itu, ucapan yang keluar dari bibir Komala, selebihnya kembali menunduk masih dengan meremas tanah dan bersengguk.

Antara iba dan juga takut Kolis menyaksikan hal itu, melihat kondisi sang Adik yang sudah layaknya seonggok mayat hidup. Sebentar Kolis mengedarkan tatapan ke segala penjuru tempat itu. Sekelip memandang, tak ada yang tertangkap matanya.

Tak mau lagi larut dalam suasana menyeramkan, Kolis akhirnya menarik paksa Komala. Sedikit penolakan dari Adiknya tak membuat Kolis melepasnya.
Sepersekian detik dan menit Kolis berjalan dengan cepat sambil menggandeng lengan Komala, melewati gundukan-gundukan tanah tanpa nisan, yang mendadak menebar bau kapur barus menyengat tajam, mengalahkan bau khas tanah pemakaman.
Tak hanya itu, keganjilan lain pun di rasa Kolis saat tiap-tiap dirinya melewati gundukan tanah, selalu terdengar suara merintih dan tangisan menyayat.

Semakin cepat langkah Kolis, semakin banyak gundukan yang dirinya lewati, semakin membuat tempat itu ramai dengan tangisan-tangisan saling bersahutan.
"Kang, iku podo arep melu" (Kak, itu mereka mau ikut)

Tersentak Kolis mendengar ucapan Komala yang tiba-tiba berhenti dan menunjuk ke arah belakang. Mau tak mau dirinya pun mengikuti petunjuk Komala.
Seketika itu juga tubuh Kolis mempias pucat, melihat puluhan sosok-sosok berbalut kain putih lusuh, telah berdiri tepat di belakangnya

Puluhan sosok-sosok itu segera menjulurkan tangan kanan mereka layaknya melambai kaku, saat tau Kolis dan Komala berhenti. Namun Kolis segera tersadar bila niatnya hanya membawa pulang sang Adik.

"Ora usah di gatekne! ayo, dewe kudu cepet metu, melas Bapak wes nunggu" (Tidak usah di hiraukan! ayo, kita harus cepat keluar, kasihan Bapak sudah menunggu) Ucap Kolis di sela-sela ketakutannya.

"Tapi yo melas konco-koncoku iki, Kang. Podo pingin melu" (Tapi ya kasihan teman-temanku ini, Kang. Semua ingin ikut) sahut Komala lirih masih berjeda dengan sesenggukan.

Kolis terdiam, ia menatap lekat wajah Komala yang pucat, ia tau bila Adiknya dalam kesadaran yang tersandra. Kolis akhirnya teringat kain lusuh yang masih dalam genggamannya, kemudian segera menutupkan ke wajah pucat Komala, sesuai dengan pesan dari Bapaknya.

Tak lama setelah itu Komala terdiam, tapi berbeda dengan puluhan sosok-sosok di belakangnya. Tangisan mereka terdengar mengencang, tubuh mereka pun melayang bagai bayang-bayang berputar mengeliling.

Selagi Komala terdiam, Kolis yang sudah ketakutan segera dengan cepat membopong dan membawa Komala keluar melewati kembali gapura kecil melengkung. Mengabaikan suara tangis dan lambaian tangan terbungkus kain lusuh, dari sosok-sosok di belakangnya.

Kolis terus berjalan cepat, bahkan setelah melewati patung sosok wanita berlingkar ular hitam, ia berlari tanpa mempertimbangkan berat tubuh Komala yang ada di pundaknya.
Puluhan meter, ratusan meter telah Kolis lalui.

Nafasnya yang sudah tak teratur, seirama dengan degup jantungnya. Tapi, dirinya enggan untuk berhenti, walau sebentar.
Kolis benar-benar merasakan, jika tak ada lagi bagian dari tubuhnya yang tak terbasahi oleh keringat.

Namun tak menyurutkan langkah kakinya yang terus berlari, meski telah meninggalkan jauh gerbang gapura besar awal dirinya masuk di tempat yang tak ingin lagi ia memasukinya.

"Brukkk!... Akhhh...."

Kolis akhirnya terjatuh, mengerang pelan sembari memegang lututnya yang bergetar hebat entah karena rasa lelah atau luapan rasa takut. Tapi di balik itu, kelegaan segera menggurat di wajahnya yang di penuhi titik-titik air bening kala matanya menatap ke depan, terlihat kerlipan cahaya dari rumah-rumah warga. Semangat Kolis akhirnya kembali tumbuh. Ia segera mengangkat tubuh Adiknya yang tertidur, berjalan melewati tempat tak lagi berhawa lembab.

"Syukur Lis awakmu selamet"(Syukur Lis Kamu selamat)

Satu suara tak asing akhirnya mengakhiri perjuangan Kolis malam itu. Dirinya yang baru tiba di halaman, di sambut haru Mbah Soko dan Mbah Waris. Rasa lelah, ngeri, takut, kini telah mereda setelah satu gelas berisi air dingin pemberian Mbah Waris, tak bersisa masuk tenggorokannya. Ia langsung menghempaskan tububnya di lantai tanah ruang tamu rumah sederhana milik orang tuanya. Matanya sebentar terpejam sembari mengatur ritme nafasnya yang belum teratur, tanpa memperdulikan kondisinya yang kotor.

"Ijek ono wektu telung jam, Lis. Istirahato, mari ngunu lek budal, gowo Adimu nang gone Lekmu Latip. Ojo ngasi kedisian Srengenge" (Masih ada waktu tiga jam, Lis. Istirahatlah, setelah itu segera berangkat, bawa Adikmu ke tempat Pamanmu Latip. Jangan sampai keduluan Matahari terbit)

Kolis hanya diam, ia masih memejamkan mata meski mendengar ucapan Bapaknya. Dalam benak, Kolis merasa lelah, akan tetapi, ia tak bisa lagi menolak. Sebab ini adalah awal permulaan baginya.

"Lis, tangio. Delok neh awakmu kudu budal" (Lis, bangun. Sebentar lagi Kamu harus berangkat)
Sedikit tergagap Kolis merasakan ada sentuhan dan suara yang membangunkannya.

"Aduso kono, ben seger meneh awak e. Ko gek nang ngarep, di tunggu Mbah Waris"

(Mandi dulu sana, biar segar bugar lagi badanmu. Nanti terus ke depan, di tunggu Mbah Waris) Sebentar Kolis terdiam. Kemudian mengeliat beberapa kali, setelah mengangguk tanda mengerti dengan apa yang di ucapkan Mbah Soko.

Kolis segera bangkit dari ranjang berkasur kapuk berbungkus kain lusuh penuh tambalan. Ia tau bahwa tak lama lagi dirinya harus melakukan perjalanan membawa pergi Komala, Adiknya yang dalam masalah besar.
Sambil melangkah pelan, Kolis kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu.

Di mana dirinya berjuang dalam kengerian yang baru pertama ia alami. Membayangkan semuanya, Kolis seketika merinding ngeri. Jiwanya masih menyisakan rasa takut, walau telah lepas dari ke angkeran kediaman Rahmi Murti.

Guyuran demi guyuran air dari cakupan gayung terbuat dari tempurung kelapa, langsung membasahi tubuh tegap Kolis. Dingin, namun sangat di rasa segar olehnya.

Beberapa basuhan kembali dan lagi gayung di tangan Kolis meraup air dalam gentong bulat terbuat dari tanah liat tersiram di tubuhnya. Melenakan dan melonggarkan sejenak tanpa memikirkan beban.

Akan tetapi, saat tangan Kolis mengusapkan sabun ke bagian atas tubuhnya untuk yang kedua kali, mendadak sabun itu terlepas dan jatuh ke dalam gentong air yang jernih dan masih tersisa setengahnya. Dan mau tak mau Kolis pun berjongkok untuk mengambil.

Baru saja tangan kanan Kolis akan masuk ke dalam air, tetiba saja ia tarik kembali. Mulutnya ternganga seakan ingin berteriak, tapi tak ada suara yang mampu ia keluarkan.
Beberapa detik Kolis terdiam dalam keterkejutannya.

Ia mencoba mencerna tentang apa yang baru saja matanya lihat di dalam gentong. Bertanya-tanya dalam hati, akhirnya Kolis memberanikan diri untuk memastikan apa yang di lihatnya. Bermodal lampu sentir bertutup kaca bulat memanjang, Kolis pun mendekat.

Perlahan membungkuk, sembari menahan degup jantung yang mulai terpacu.
Amis, aroma yang tercium pada sisa air di dalam gentong. Tapi hal itu belum meyakinkan Kolis sepenuhnya. Hingga lima tarikan nafas kemudian, Kolis beringsut mundur.

Wajahnya memucat, mulutnya terbungkam, jiwanya kembali gonjang kala menyaksikan dengan jelas helaian rambut menumpuk. Tak hanya itu, mata Kolis juga melihat air yang tadinya jernih berubah mengental berwarna merah kehitaman dengan aroma anyir menyengat.

Belum lagi hilang rasa takut dan kaget dalam diri Kolis, tiba-tiba saja tubuhnya yang masih terbalut handuk, tersentuh sapuan angin teramat dingin.
Kolis mundur, dan keluar dari bilik bertutup dinding dari anyaman bambu.

Namun baru satu langkah, kembali di kejutkan sebuah nyanyian lirih dari suara sesosok wanita dari dalam bilik. Jiwa Kolis benar-benat tercekat. Ia berusaha sekuat tenaga ingin membalikan tubuh, tapi seperti tertahan satu kekuatan besar hingga hanya keringat dingin yang deras mengucur.

"Plakkkk....!"
"Ayo cepet mlebu!" (Ayo cepat masuk!) Sampai beberapa lama, akhirnya kaki dan anggota tubuh Kolis yang lain mampu bergerak, saat sebuah tepukan keras menampar bagian pundaknya yang tak terbalut kain.

Segera ia melangkah cepat, mengikuti sosok yang menyadarkannya dan tak lain adalah Mbah Waris.

"Gek salin terus mangkat wae, Lis! Adikmu yo wes siap" (Cepat ganti baju terus berangkat saja, Lis! Adikmu juga sudah siap) Ucap Mbah Soko yang terlihat panik.

Ia seperti mengetahui yang baru saja Kolis alami. Sehingga memerintahkan Kolis untuk segera berangkat.
Lima menitan Kolis di dalam kamar, saat keluar ia telah rapi sambil menenteng tas slempang berwarna hitam.

Ia sedikit kaget ketika melihat Komala duduk terbengong dengan wajah masih pucat. Tatapannya seolah kosong, serta terlunglai tak bertenaga.

"Iki rungokno, Lis. Bungkusan iki mengko, guwak en nang tengah segoro. Ojo sampek enek moto weroh kejobo awakmu karo Komala tok. Misal bar naburke awakmu weruh opo wae, ojo pisan-pisan mbalek rene sak durunge Adikmu tekan gone Latip" (Ini dengarkan, Lis. Bungkusan ini nanti, buang di tengah laut. Jangan sampai ada mata melihat kecuali Kamu dan Komala saja. Andai setelah menaburkan Kamu melihat sesuatu apa saja, jangan sekali-kali kembali ke sini sebelum Adikmu sampai di tempat Latip) Ucap Mbah Soko memberi pesan.

"Soko! Opo wes siap tenan Koe kok ngongkon guwak kui nang segoro? opo gak njajal coro liyo? Koe ngerti artine nek barang kui di guwak? berarti Koe..." (Soko! Apa benar Kamu sudah siap, dengan menyuruh membuang itu di tengah laut? apa tidak mencoba cara lain? Kamu tau artinya jika barang itu di buang? artinya Kamu...)

Mbah Waris yang tadinya hanya melihat dan diam, tiba-tiba bersuara. Namun pada kalimat terakhir ia tak dapat meneruskan. Membuat Kolis yang dengan seksama mendengarkan, mengernyitkan kening.

"Aku wes siap, Kang. Penting Anak-anakku iso selamet. Aku dasare yo wes tuo. Kesel kudu nutup terus urusane karo Iblis Murti Rahmi" (Saya sudah siap, Kang. Terpenting Anak-anakku bisa selamat. Saya juga sudah tua. Lelah harus nutup terus urusan dengan Iblis Murti Rahmi)

Timpal Mbah Soko pelan penuh kepasrahan.
Melihat perubahan sikap dua lelaki tua di depannya, Kolis semakin bingung penuh penasaran. Dirinya yakin jika ada sesuatu yang di sembunyikan darinya. Tapi untuk bertanya, Kolis seperti tak di beri waktu oleh Mbah Soko.

Dirinya lalu segera berpamitan setelah sebuah sepeda motor milik Anak Mbah Waris sampai di halaman.
Raut kesedihan menyirat jelas dari sela-sela keriput kulit wajah Mbah Soko saat melepas kepergian dua Anaknya.

Meski tak ada air bening yang menggulir, perasaan mendalam begitu di rasakan juga oleh Kolis. Dirinya merasa betul ketika deru Motor Dua Tak, melaju pelan meninggalkan halaman rumah tempat bermain saat ia kecil, seolah menjadi tilas dan pertemuan terakhir dengan Sang Bapak yang baru satu hari satu malam bertemu, setelah setahunan ia tak pulang.
Sunyi, sepi, suasana desa yang tengah di lalui Kolis.

Entah karena sudah masuk waktu dini hari, atau memang keadaan Desa yang belum terlalu padat penduduknya.
Kolis yang duduk di belakang, mengapit tubuh Komala dengan kondisi masih seperti linglung, mulai kembali merasakan sesuatu tak nyaman dalam hatinya.

Jalanan mulai sedikit licin, berlumpur dan banyak berlobang, saat memasuki area persawahan. Membuat Motor berkoplin melaju pelan serta bergunjang. Namun bukan hal itu yang membuat Kolis resah. Melainkan, ada sesuatu atau tepatnya ia merasa di belakangnya banyak sosok mengikuti.

Sesekali Kolis memalingkan wajah. Merasai satu gesekan angin lembut menyembur di leher belakang. Tetapi ia tak melihat apapun.
Keadaan itu berlangsung selama dalam perjalanannya menuju sebuah tempat terang nan ramai.

Hiruk pikuk para pedagang, lalu lalang rutinitas pembeli dan penjual jasa telah memenuhi Ibu Kota Kabupaten tempat di mana ia di besarkan.
Setelah berbasa-basi dan mengucapkan terima kasih.

Kolis memapah Komala masuk ke dalam sebuah ruangan tempat penjualan tiket Bus yang akan mengantarnya menuju ke kediaman sang Paman, Latip.
Hari pun mulai terang, tepat saat Matahari mulai muncul dengan congkak, sebuah Bus besar dan panjang melaju pelan ke arah tempat Kolis.

Hanya menghabiskan segelas kopi hitam, Bus itupun kembali meneruskan perjalanan dengan membawa puluhan penumpang, termasuk Kolis dan Komala yang duduk di bagian sedikit belakang.

Dentuman musik dari DVD yang terpasang di depan, bakal mengiringi perjalanan Kolis selama belasan jam. Dirinya yang sudah beberapa kali mendatangi rumah Latip, tau dan hafal jalanan serta suasana di dalam Bus.

Tapi untuk kali ini, dirinya benar-benar tak bisa menikmati seperti sebelumnya.
Beberapa kali Kolis menghempaskan nafas berat sambil menoleh ke arah Komala yang terpejam dengan menyandarkan kepala di bagian pinggir kaca bus.

Rasa sesal, iba, sayang dan takut membaur dalam jiwa Kolis melihat keadaan Adik satu-satunya. Meski awal dalam hatinya menyimpan amarah, tetapi terpupus oleh nurani yang tak bisa di lepas karena ikatan darah.

Beberapa jam telah berlalu. Kolis sesekali tertidur, sesekali terjaga sembari melihat Komala. Pikiran dan tubuhnya yang seharusnya membutuhkan istirahat, terkalahkan rasa gelisah. Hingga tiba saat Bus berhenti di tempat yang akan dirinya jadikan penyelesaian wasiat Bapaknya, kegelisahan Kolis semakin kuat mengikat.
Butuh waktu tiga puluhan menit untuk Bus masuk ke dalam sebuah kapal besar. Menunggu sebentar, sampai sang Kondektur memberi perintah agar para penumpang turun guna menikmati perjalanan dan suasana di laut lepas.

Enggan rasanya bagi Kolis untuk turun, bukan hanya karena kondisi Komala, tetapi juga perasaannya yang semakin tak menentu. Kolis sendiri tidak tau asal mula perasaan itu. Entah dari sisa ketakutannya, atau karena ada sumber yang lain.

Tertatih dan pelan akhirnya Kolis turun sambil memapah Komala. Ia tak lagi canggung dengan tatapan mata para penumpang lain, seperti merasa iba. Mungkin bagi yg lain, saat itu menjadi momen yang indah dalam sebuah perjalanan, tapi bagi Kolis, saat itu terasa seperti waktu berduka.

Tiga kali suara terompet atau sirine, menjadi tanda di mulainya pelayaran. Sorak sorai para penumpang, seperti tak mampu mengikis jiwa Kolis yang semakin di rundung was-was dan gelisah.

Kolis yang masih berusaha memaksa jiwanya tegar, terus melangkah pelan menyusur Dak paling bawah kapal, guna mencari tempat yang sesuai dengan pesan Mbah Soko.
Meski sering tertatih dan kesusahan, Kolis terus mencari sembari menghitung waktu dari mulai kapal berjalan.

Hal itu dirinya lakukan demi waktu yang pas untuk tepat berada di tengah-tengah laut. Ia yang hafal lamanya perjalanan, tak sulit menghitung. Namun, kala dirinya menemukan tempat yang di rasanya pas, lagi-lagi Kolis harus kuat-kuat menepis lingkaran rasa mendebarkan yang tiba-tiba muncul.
Kali ini bukan tanpa alasan Kolis tersusupi rasa takut, ia yang tengah berdiri menunggu di tepian dinding kapal, tetiba membaui sesuatu yang tak asing lagi baginya, Kapur Barus.

"Ojo mbok buwak, Le. Opo tegel Koe mateni Bapakmu dewe?" (Jangan kamu buang, Le. Apa tega Kamu membunuh Bapakmu sendiri?) pelan dan lembut suara yang tiba-tiba terdengar di telinga Kolis. Tapi hal itu justru membuat jiwa Kolis tercekat.

"Sopo sampeyan, Buk!?" (Siapa Kamu, Buk!?) Tanya Kolis sedikit terserak, demi menutupi rasa kagetnya terhadap kehadiran sosok wanita bertapi kain jarit dengan paduan sanggul menghias indah di kepalanya.

Wanita berwajah ayu nan keibuan itu tak menyahut, ia berjalan gemulai menyamping ke kiri dari tempat Kolis berdiri. Sebentar ia melirik ke arah Komala, sebelum wajah ayunya berpaling menatap lautan lepas.

"Iku jenenge Pancer papate Bapakmu seng di campur geteh angete Adikmu. Masio tok buwak nang laut iki, ora kiro iso nylametno Adikmu. Mongko, kapan wes di guwak, nyowone Bapakmu seng ke larung"

(Itu namanya Empat Pancer (ari-ari yang sewaktu lahir di simpan hingga mengering) Bapakmu yang di campur darah manisnya Adikmu. Walaupun Kamu buang di laut ini, jangan kira bisa menyelamatkan Adikmu. Padahal, kalau sudah di buang, nyawa Bapakmu yang terhanyut)

Singkat namun mampu menggetarkan jiwa Kolis, penjelasan dari wanita berbaju renda panjang, bermanik-manik hitam dengan aroma kapur barus khas mayat, menyebar dari tubuhnya.

"Percoyo ora percoyo, iku seng bakal kedaden" (Percaya tidak percaya, itu yang akan terjadi) Sambung wanita berkulit putih bersih, mencoba meyakinkan Kolis.
Selintas pikiran Kolis mengambang. Keraguan yang mulai menyusup, menghantarkan pikiran Kolis tentang firsatnya sedari awal meninggalkan rumah Bapaknya.
Akan tetapi, di saat kebimbangannya hampir menguasai, sekelebat kalimat pesan dari Bapaknya muncul terngiang.

"Seko ngendi Sampeyan ngerti perkoro iki? lan, sopo sebenere Sampeyan?" (Dari mana Kamu tau masalah ini? dan, siapa sebenarnya Kamu?) tanya Kolis memberanikan diri, seraya berharap bisa tau dengan siapa dirinya berhadapan.

"Durung saiki Koe kudu ngerti sopo aku! mengko, nek wes mongsone, koe yo bakal ngerti lan dasare ora suwe meneh wektune" (Belum sekarang Kamu harus tau siapa Saya! nanti, kalau sudah saatnya, Kamu bakal tau dan waktunya pun sudah tidak lama lagi) jawab sosok wanita itu sedikit menyengit.

"Pikiren omonganku, pilihan ono nang tanganmu saiki!" (Pikirkan ucapanku, pilihan ada di tanganmu sekarang!) sambung wanita yang kini wajahnya memerah, menatap nyalang ke arah Kolis dan Komala.
Belum sempat sepatah ucapan keluar dari mulut Kolis, sosok yang muncul secara tiba-tiba itu membalikan tubuh.

Melangkah pelan tanpa menimbulkan suara, seolah tapak kakinya tak menyentuh lantai besi kapal.
Setelah sosok wanita itu menghilang tertutup sekatan ruang kapal, Kolis segera menghitung putaran waktu.

Meski sempat goyah, tapi dirinya tetap akan melakukan apa yang telah di wasiatkan oleh Mbah Soko, Bapaknya.
Perkiraan waktu akhirnya di rasa pas oleh Kolis. Ia pun segera mengeluarkan sebuah bungkusan kain putih berlipat-lipat, dari tas hitamnya.

Sebelum dirinya melaksanakan, sejenak ia menatap Komala yang belum berubah sedikitpun keadaannya. Lalu dengan pelan di sandarkannya sang Adik pada dinding besi kapal, dengan penuh rasa iba.
Kolis sangat berharap setelah ia melakukan pesan dari Bapaknya, Komala bisa pulih dan tentunya terlepas dari ikatan keluarga Murti Rahmi. Perlahan satu persatu tangan Kolis mulai membuka lipatan kain putih yang ia bawa menepi. Deburan ombak air laut akibat membentur dinding kapal, seolah berubah raungan menggema kala lipatan terakhir terbuka.

Antara wangi minyak berpadu anyir menyusup ke hidung Kolis saat ia mendekatkan wajahnya demi melihat apa sebenarnya yang ada di bungkusan itu. Segulung rambut hitam menggumpal dan menyatu dengan darah kental, serta tanah lembut berwarna merah yang melumuri seonggok daging kering terlihat di mata Kolis.
Setelah di rasa tepat di tengah-tengah laut, Kolis tanpa ragu segera membuang gulungan rambut dan menaburkan tanah beserta gumpalan seonggok daging itu.

Seketika itu juga, lengkingan menyayat dari suara lelaki tua menggema jelas di telinga Kolis.

"Bapak!" gumam Kolis saat mengenali suara teriakan itu.
Tak lama setelah suara melengking itu hilang, alam sekitar di rasa Kolis berputar cepat. Membuat dirinya terhuyung ke belakang, sebelum satu klebatan bayangan menggambar di pelupuk matanya.

Klebatan itu bagaikan rekaman yang memutar sebuah kejadian dengan jelas. Di mana, Kolis melihat Bapaknya yang tengah berteriak kesakitan akibat tersayat ribuan rambut hitam yang melilit kuat.

Tubuh kurusnya di penuhi darah, matanya sayu penuh genangan air bening serta kulit kepala sedikit terkelupas dengan dua telingannya yang telah tertanggal lepas.

"Brukkkk....!"

Hempasan yang mendorong kuat tubuh Kolis, akhirnya mengakhiri bayang-bayang kengerian yang di alami Mbah Soko. Entah itu benar terjadi atau hanya bayangan semata, tapi bagi Kolis, hal itu membuatnya sangat terpukul.

Ingin rasanya saat itu ia kembali ke Desa tempat Bapaknya tinggal untuk memastikan. Namun lagi-lagi ia teringat pesan-pesan Bapaknya yang tak boleh dilanggarnya.
Hanya harapan beriring Doa dalam hati yang sanggup Kolis lakukan.

Ia kemudian bangkit setelah menyeka keringat di wajahnya yang pucat pasi, kembali ke tempat dirinya menyandarkan Komala.
Sesampainya Kolis di tempat Komala, hal aneh kembali terlihat.

Bila dalam puluhan jam yang lalu Adiknya hanya terbengong, kini terlihat seolah baru tersadar dan kembali seperti Komala yang dirinya kenal.

"Kang....?" Satu ucapan dari bibir Komala langsung meyakinkan Kolis, jika yang kini di hadapannya adalah Komala yang telah kembali.

"Awakmu wes sadar, Nduk?" (Kamu sudah sadar, Nduk?) tanya Kolis setengah girang, melupakan sejenak kejadian yang baru saja ia alami.

"Aku kenek opo, Kang? terus iki dewe saiki nandi?" (Saya kenapa, Kang? terus ini kita sekarang di mana?) balik Komala bertanya, yang terlihat bingung

"Dewe nang kapal, Nduk. Arep dolan gone Lek Latip" (Kita di Kapal, Nduk. Mau main ke tempat Paman Latip) sahut Kolis datar.

"Lho... la Bapak nandi, Kang? opo gak melu?" (Lah... la Bapak mana, Kang? apa gak ikut?) Kali ini pertanyaan Komala tak mampu langsung di jawab Kolis.

Kembali memori di kepalanya memutar gambaran kejadian Bapaknya. Membuatnya ragu untuk menjawab.

"Bapak nyusul keri. Lagek arep ngrampungke tanggungane disek.(Bapak nyusul belakangan. Lagi mau merampungkan tanggungannya dulu) jawab Kolis berbohong.

"Aku ngerti Kang, opo tanggungane Bapak!" (Saya tau Kang, apa tanggungannya Bapak!) timpal Komala.

"Maksudmu?" sahut Kolis sembari mengrutkan kening.

"Iyo, tanggungane Bapak ki urusan masalahku karo Mas Jas!" (Iya, tanggunanya Bapak tu urusan masalahku dengan Mas Jas!) tukas Komala sinis.

Kolis sendiri terperanjat mendengar ucapan Komala. Ia tak menyangka bila Adiknya masih teringat Jasmoro, lelaki satu-satunya dalam keluarga dan juga calon pewaris tunggal TRAH MURTI RAHMI.

[BERSAMBUNG]

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close