Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NANDUR NYAWA (Part 2) - Mulai Terlihat

Setiap Kesuburan Tanah itu, Harus Dibayar Dengan Nyawa Manusia


Hari sudah mulai petang, Kelana dan Sanjaya sudah diizinkan pulang dan istirahat. Mereka berdua pun kembali, berjalan menyusuri jalanan yang tak begitu jauh itu. Ketika sampai di depan rumah, kebetulan ada seorang lelaki melintas membawa sekarung rumput yang entah dari mana dia mengambilnya. Lelaki itu menamati Kelana dan Sanjaya bergantian.

“Kalian orang baru yang tinggal di sini, ya?” tanya lelaki itu.

“Iya” jawab Sanjaya.

“Kalian cukup berani, ya” tandasnya.

“Memang kenapa?” sahut Kelana.

“Nanti kalian berdua juga akan tahu sendiri.” Ucap lelaki itu lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

“Aneh gak sih” kata Kelana.

“Sudah berapa orang aneh yang kita temui dari semalam. Mereka seakan memberi pertanda kepada kita.” Sambungnya.

Sanjaya hanya mendengarkan Kelana berbicara, wajahnya yang bingung pun mudah dikenali oleh Kelana. “Kita lihat aja, Na. Semoga nggak terjadi sesuatu yang tidak-tidak.” Ucap Sanjaya.

Saat sudah dirumah, mereka melakukan aktivitas seperti malam sebelumnya. 

“Belum menemukan sesuatu yang janggal?” tanya Kelana pada Sanjaya saat berada di dalam kamar.

Sanjaya menggeleng, menurutnya, seharian ini semuanya berjalan normal dan biasa saja, hanya badannya saja yang lelah karena baru hari pertama dirinya bekerja.

“Kamu nggak merasa curiga dengan Pak Kasno?” tanya Kelana lagi.

“Apa sih? Aku tahu kamu mudeng hal-hal begituan, tapi janganlah di sini. Ingat tujuan kita, cari uang tambahan.” Tegas Sanjaya.

Lagi-lagi Kelana memikirkannya sendirian. Kelana keluar kamar, duduk di kursi tengah dengan segelas air putih di depannya. Kelana berdiri, ia berkeliling rumah karena belum sempat melihat-lihat. Ada tiga kamar di sini, pertama yang ditempati Pak Kasno, kedua yang ia tempati dengan Sanjaya, dan satunya entah ditempati siapa, Kelana belum sempat melihatnya. 

Beberapa menit berkeliling, Kelana berpikiran untuk mandi. Ia mengambil handuk di dalam kamar, lalu berjalan meunuju belakang rumah. Kamar mandinya berada di luar dan tepat di belakang rumah, dan belakang rumah ini tidak ada halangan apapun, langsung berbatasan dengan tanah yang ditumbuhi beberapa pohon berukuran sedang dan setelahnya baru hamparan kebun teh yang sangat luas. Lampu pijar kuning lima watt menemani Kelana diantara kegelapan malam itu, namun, entah mengapa Kelana kembali merasa tidak enak di dalam perasaannya. Seperti insting yang tiba-tiba saja menyala ketika ada sesuatu mendekat. 

Dugg….

Duggg….

Suara pintu kamar mandi ketika Kelana sudah berada di dalamnya.

“Sabarlah, aku baru masuk” ketus Kelana, karena menurutnya, yang berada di luar adalah Sanjaya.

Dugg…

Dugg….

Dugggg…..

Suara ketukan pintu terdengar semakin keras. Kelana berubah geram, ia pun seketika mengenakan pakaiannya lag, lalu telapak tangan basahnya menyentuh pintu kamar mandi dan membukanya dengan kasar. 

“Jan….” baru saja Kelana hendak mengumpat pada Sanjaya, namun ternyata bukan dia yang berada di balik pintu.

“Sanjaya” panggilnya berulang kali.

Kelana melirik ke dalam rumah, tidak ada Kelana di belakang. Kelana celingukan diantara remang-remangnya cahaya. Ranting dan dedaunan belakang rumah tiba-tiba saja bergoyang. Tidak ada angin, dan pergerakannya terdengar dadakan. Kelana mendelik, menamati lagi dengan jeli, sampai akhrinya matanya melihat sesuatu mengintip dari balik setiap pohon di belakang rumah, bentuknya hanya bulatan-bulatan putih yang menyala. 

“Siapa?” tanyanya.

Kelana maju perlahan dengan matanya yang masih mendelik. Lima langkah kemudian, tidak hanya bulatan-bulatan putih yang ia lihat, melainkan bersamaan dengan wujud mereka semuanya. Sesosok makhluk terbungkus kain putih yang sudah kecoklatan dan bercampur darah. Di kepalanya pun terlihat buntalan kuncup. Dengan mudah Kelana mengenalinya. 

“Pocong janc*k!” ucapnya lugas, umpatannya kini ia keluarkan untuk pocongan-pocongan yang mencoba menakut-nakutinya.

“Kalian pikir aku takut?” teriak Kelana.

Dalam hidupnya, sudah berulang kali Kelana menjumpai pocongan dengan berbagai bentukannya, tak ayal jika ia punya cukup keberanian jika melihat sesuatu hal tak wajar di dekatnya. Kelana kembali ke dalam rumah, namun saat baru sampai ambang pintu, ternyata Pak Kasno sudah berada di hadapannya.

Glekk…

Kelana terhenyak, tubuhnya tersentak mundur hampir tersungkur karena terkejut. Pak Kasno muncul dengan tatapan matanya yang tajam.

“Ada apa, Mas?” tanya Pak Kasno ketus.

“E-e-e… Nggak ada apa-apa, Pak. Saya kaget aja ada tiba-tiba ada bapak di depan saya.” Ucap Kelana terbata-bata.

“Saya sudah sering melihat petaka berawal dari ketidak tahuan dan rasa penasaran. Memang, hal itu bersifat lumrah yang dimiliki oleh setiap manusia, termasuk kamu, Mas Kelana.”

Kelana bingung, ia tidak mengerti dengan perkataan Pak Kasno. Kelana pun kembali berdiri, kembali ke kamarnya tanpa jadi untuk mandi malam itu. Pak Kasno menatap Kelana sinis.

“Sudah? Wajahmu kok sama aja?” tanya Sanjaya. 

“Aku nggak jadi mandi.” Jawab Kelana.

“Kenapa?”

“Nggak apa-apa, ternyata udah dingin airnya.” Alasan Kelana.

Sepuluh menit kemudian gantian Sanjaya, ia ingin mandi malam itu karena siang tadi, tubuhnya banyak mengeluarkan keringat. Kelana pun diam saja, ia tak memberi tahu soal belasan pocong yang di belakang sana.

“Biar dia tahu sendiri kejanggalan di sini.” ucap batin Kelana.

Benar saja, tidak lama sejak Sanjaya keluar kamar, ia kembali lagi dengan wajah tak enak. 

“Kamu mencoba membohongiku? Apa yang kau temui di belakang tadi?” tanya Sanjaya.

Tidak langsung menjawab, Kelana malah menertawainya. “Memangnya apa?” timpal Kelana sambil tertawa.

“Kamu pikir aku nggak bisa lihat setan-setan itu berkeliaran di sana?” balas Sanjaya.

Kelana masih tertawa. “Aku kan sudah bilang, aku yakin, lama-lama mereka akan memperlihatkan semuanya.” Ucap Kelana.

“Tapi, seperti katamu, kita jalani dulu saja dan aku ingin tahu ada rahasia besar apa yang Pak Kasno tutupi tentang rumah ini atau Gudang itu” terang Kelana.

Sanjaya mengangguk, ia sama sekali tak merasa takut dengan perkataan Kelana. Mereka berdua sudah bersahabat lama, ini bukan pertama kalinya. Kelana mengeluarkan bungkusan kain di dalam tasnya, ukurannya kecil, hanya seukuran koin seratus rupiah bergambar rumah gadang. 

“Kamu membawanya?” tanya Sanjaya.

“Kemana pun.” Jawab Kelana.

Mulai dari sini, niat Kelana dan Sanjaya tidak lagi hanya bekerja, namun lebih dari sekadar itu.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close