Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NANDUR NYAWA (Part 1) - Awal Mula Kedatangan

Setiap Kesuburan Tanah itu, Harus Dibayar Dengan Nyawa Manusia

Cerita ini bermula dari kedatangan dua pemuda ke sebuah tempat yang menjanjikannya sebuah pekerjaan. Namun, sejak awal kedatangan, banyak kejanggalan-kejanggalan yang mereka temukan. Diawali dengan beberapa orang di sekitar sana yang enggan memberikan informasi terkait keberadaan tempat yang akan mereka gunakan bekerja, hingga teror demi teror yang menghantui mereka ketika tinggal di sana dan bekerja di sana selama dua bulan lamanya.

Apakah mereka berdua akan bertahan hingga akhir dan mampu menguak rahasia besar di balik teror itu? Silakan baca cerita ini hingga tuntas!


NANDUR NYAWA
Awal Mula Kedatangan

“Huhh… Apa yang bisa ku lakukan liburan kali ini?” keluh seorang pemuda yang merasa bosan saat liburan kuliahnya tiba. Tubuhnya bersandar di atas kursi sudut kamarnya, sudah seharian badannya belum tersentuh air karena tidak keluar kamar sama sekali. Kelana, begitu lah orang-orang di sekitarnya memangiilnya. Sudah tiga hari terakhir dirinya merasa gelisah, termenung sendiri di dalam kamarnya karena selalu merasa bosan ketika libur kuliah tiba. Tubuhnya tak terbiasa jika hanya digunakan berdiam diri di kamar kosan. Otaknya berpikir keras apa yang bisa ia lakukan untuk mengisi liburannya kali ini, apa ia harus pulang saja? Namun di rumah ia sama saja tidak ada aktivitas apa-apa, ayah dan ibunya pun belakangan ini jarang di rumah karena mengurusi usaha keluarganya. Mendaki gunung? Itu memang hobinya, tapi mendaki hanya memerlukan waktu dua hingga tiga hari saja, setelahnya dia akan merasa bosan lagi di kamar kosnya. Hingga tak lama kemudian, sebuah kabar datang melalui handphone nya yang berdering, seolah keadaan mengerti apa yang tengah ia rasakan. “Sanjaya” tertulis nama sahabatnya yang meneleponnya di layar handphone nya.

“Lagi di mana. Na?” tanyanya sesaat setelah Kelana mengangkatnya.
“Kos lah, mau di mana lagi.” Jawab Kelana ketus.
“Liburan ini kamu mau kemana? Pulang kah? Atau punya rencana apa?” tanya Sanjaya.
“Entahlah, aku nggak punya rencana apa-apa. Sekarang juga masih mikir enaknya mau ngapain.”
“Nahh! Gimana kalau ikut aku saja?” tanya Sanjaya lagi.
“Kemana? Ngapain?” balas Kelana.
“Kerja.” Jawab Sanjaya
“Jadi,aku ditawari kerjaan pamanku di luar kota. Kamu mau ikut bersamaku tidak? Lumayan bisa untuk tambah-tambah, lagi pula sekarang kan masih libur semester.”
“Wah, menarik juga. Berapa lama?”
“Dua bulan saja.”
“Hmmm, baiklah, gimana kalau malam ini kita ketemu saja untuk membicarakan hal ini?” tanya Kelana.
“Oke, nanti malam aku ke kosmu, sekalian numpang tidur di sana hahaha” ujar Sanjaya sambil tertawa dan mengakhiri teleponnya.

Saat itu, Kelana tak banyak bertanya, ia hanya mengiyakan ajakan Sanjaya. Dari pada nggak ngapa-ngapain di kos-kosan, lebih baik bekerja, meski belum tahu akan digaji berapa, tapi menurutnya akan lumayan untuk mengisi kantong keringnya. Begitu pikirnya.
Malam itu, di kamar kos Kelana, Sanjaya dan Kelana berkomunikasi dengan pamannya mengenai pekerjaan apa yang akan mereka berdua kerjakan. Detik demi detik, menit demi menit berlalu, hingga mereka mengerti jika pekerjaan yang akan mereka berdua lakukan adalah menjaga Gudang teh yang sedang ditinggal cuti oleh penjaga lamanya.

“Lalu, mau naik apa kita ke sana?” tanya Kelana.
“Motor saja, gimana? Motormu udah biasa buat jalan jauh, kan?” balas Sanjaya.
“Hmmm. Iya memang sudah biasa sih, coba besok aku cek dulu. Kita berangkat tiga hari dari sekarang, kan?” tanya Kelana
“Iya” ujar Sanjaya.
Malam itu, adalah pertemuan terakhir mereka sebelum akhirnya bertemu lagi saat akan memulai perjalanan mereka.

***

Tiga hari berselang, mereka berdua berangkat, memacu honda CB tua milik Kelana dengan hati-hati. Kelana menarik gas kemudinya, meninggalkan kota tempatnya mengenyam pendidikan. Desa Gondang, itu lah tujuan mereka menurut penuturan paman Sanjaya.

“Aku belum pernah ke sana. Berapa jam kira-kira?” tanya Kelana.
“Kurang lebih enam jam” jawab Sanjaya.
Jalanan lumayan ramai saat itu, ditambah cuaca panas menyebabkan mereka berdua kerap menepi sekadar mendinginkan tubuh yang terbakar sinar matahari.
“Kenapa cuaca sekarang panas sekali, sih!” umpat Kelana merasa kesal.
“Sudahlah, Na. Dinikmati saja.” Tutur Sanjaya seraya menenggak sebotol air di tangannya.
Kelana hanya menghela napas panjang. Kehidupan mahasiswa perantauan memang cukup sulit, apa lagi dia tidak terbiasa meminta-minta uang kepada orang tuanya, berapapun pemberiannya, dia terima tanpa protes. Sehingga, jika ada ajakan dan peluang kegiatan yang dapat menghasilkan uang, dengan senang dia akan mengiyakannya.
“Ayok” ajak Kelana melanjutkan perjalanan lagi.

Di sepanjang jalan, mereka berdua hanya melihat jalanan, sambil berdiskusi soal kemana arah jalan mereka selanjutnya. Di beberapa titik, mereka berdua pun saling bergantian mengemudi. Selang beberapa jam kemudian, bersamaan dengan matahari yang hampir tenggelam, sebuah gapura besar bertuliskan kota tujuannya sudah berada di depan mata. Dari sini, kurang kebih satu jam lagi perjalanannya.

“Berhenti atau langsung?” tanya Sanjaya yang kini memegang kemudi.
“Terserah, kalau capek ya minggir, kalau enggak, lanjut gas aja.” ujar Kelana.

Tanpa menjawab, Sanjaya menambah kecepatannya, itu artinya dia memilih langsung melanjutkan perjalanannya dari pada menepi untuk beristirahat.
Lama kelamaan, kondisi jalanan semakin lengang, kontur jalanan pun berubah menjadi naik dan turun.

“Apa sebentar lagi sampai?” tanya Kelana.
“Mungkin iya. Gantian kamu yang depan, biar aku komunikasi dengan pamanku lagi.” Ucap Sanjaya.

Di salah satu persimpangan jalan, ketika cukup lama menggerus aspal yang tak lagi mulus, Sanjaya mengarahkan motor ke tepi jalan, ke depan warung yang berdiri di antara jalanan yang sepi.

“Aku mau menelepon pamanku, sekalian ngopi.” tukas Sanjaya.
Sanjaya dan Kelana masuk ke dalam warung, menghampiri seorang pria pemilik warung tersebut. Sudah ada dua pemuda yang sudah duduk di dalam warung itu,
“Kopi hitam panas dua.” ucap Sanjaya.

Tak berapa lama pria pemilik warung itu datang membawa dua gelas kaca kepada mereka berdua. Sanjaya mencoba tanya dengannya, soal desa dan Gudang teh tempatnya bekerja besok. Jika dia tahu kan tidak perlu lagi menelepon pamannya, begitu pikir Sanjaya.

“Pak, apa boleh saya bertanya?”
“Nanya apa, Mas?” balasnya.
“Desa Gondang di mana, ya?”
“Mau apa malam-malam ke sana, Mas?”
“Apa di sana ada Gudang teh? Saya hendak ke sana.” Ucap Sanjaya lagi.

Pria itu awalnya tengah merapikan gelas di sudut mejanya, tiba-tiba saja menghentukan aktivitasnya. Dia menoleh dan memperhatikan Sanjaya dan Kelana dengan seksama.

“Mau apa ke sana, Mas?” tanyanya dengan wajah datar, berbeda dengan ekspresinya sebelumnya.Ia terlihat enggan menanggapi pertanyaan Sanjaya.
“Ketemu saudara saya di sana, Pak.” Jawab Sanjaya.
Pria itu beranjak, mengambil gelas kopi Sanjaya dan Kelana yang baru habis separo.
“Kenapa orang ini?” tanya Kelana.
“Aku juga nggak paham, Na”
Kelana melirik ke arah dua orang pengunjung warung di dekatnya lalu berbisik pada Sanjaya. “Coba tanya mereka, aku rasa mereka lebih tahu.”
Tanpa basa-basi lagi, Sanjaya bertanya kepada dua orang yang tengah menyantap mie instan itu. “Permisi, apa boleh saya bertanya jalan ke desa Gondang? Ke arah Gudang teh yang ada di sana?”

Salah satu dari mereka seketika tersedak, terkejut mendengar pertanyaan Sanjaya. Mereka berdua saling berbisik sambil melirik ke arah pria pemilik warung yang sudah lebih dulu mengabaikan Sanjaya dan Kelana. Mereka menggeleng, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya yang tidak berhenti mengunyah itu.

“Ada apa dengan mereka?” tanya Sanjaya.
Seketika itu Kelana mengajak Sanjaya keluar, dan meninggalkan uang lima ribu di atas meja. “Aneh sekali orang-orang di sini, kenapa mereka? Seperti enggan memberi tahunya pada kita. Apa tampang kita mirip tampang maling?” keluh Kelana kesal.

Kelana mendorong motornya menjauh dari warung itu, lalu Sanjaya mencoba menelepon pamannya, namun keadaan masih belum memihak pada mereka, kartu seluler Sanjaya tidak menangkap sinyal di sana.

“Ah, sial, nggak ada sinyal!” gumam Sanjaya.

Kelana menghela napas panjang, menatap jauh ke arah jalan yang tidak ia ketahui kemana ujungnya itu. “Ini sebabnya kalau nggak tanya dulu dari awal.” keluh Kelana. Kelana kembali menyalakan motornya, meminta Sanjaya untuk naik lagi di belakangnya. “Meski ke depan nggak tahu kemana arahnya, tapi ku rasa, diam saja di sini bukanlah hal yang tepat.” ucap Kelana.
Kelana sudah menginjak gigi motornya, tangannya pun sudah bersiap memutar gasnya, namun sepersekian detik sebelum itu, seorang pria tua tiba-tiba muncul dari belakang mereka.

“Mau ke mana, Mas, malam-malam begini? Berbahaya jika jalan malam-malam begini” tanyanya dengan suara berat.
Tidak ada yang aneh dengan penampilan pria itu, yang aneh hanya dari mana dia munculnya.
“E-e-e… ke desa Gondang, Pak” jawab Kelana.
“Ohh, sudah tidak jauh lagi jika dari sini. Tapi, mau apa dua pemuda seperti kalian ke sana?” timpalnya.
“Mau kerja, Pak. Jaga Gudang teh.” jawab Sanjaya

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya
close