Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NANDUR NYAWA (Part 3) - Tanah Tumbal

Setiap Kesuburan Tanah itu, Harus Dibayar Dengan Nyawa Manusia


Keesokan harinya, Kelana bangun dengan keadaan tidak seperti biasanya, semua badannya terasa pegal, terlebih lagi sendi-sendi di seluruh tubuhnya, semuanya terasa linu. 

“Badanku terasa sakit semuanya.” Tukas Kelana pada Sanjaya.

“Mandi saja, biasanya akan sedikit mereda jika sudah mandi.” Saran Sanjaya.

Kelana memutuskan mandi lebih pagi dari biasanya. Ya, karena memang benar juga apa yang disarankan Sanjaya, mandi adalah salah satu cara agar tubuh terasa lebih bugar, apa lagi air di sini setiap pagi dan malam hari dinginnya sudah seperti es. Tidak tau mengapa, Kelana tidak pernah merasa tenang saat mandi di kamar mandi itu, disetiap guyuran air yang membasahi tubuhnya, ia merasa ada yang memerhatikannya di dekatnya. Tapi Kelana tak begitu menghiraukan hal itu. Mungkin jika ia melihatnya, dengan ringan ia akan menendangnya sekeras mungkin. 

“Setan janc*k” umpatnya biasanya jika terkejut melihat sosok-sosok yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

Selama beberapa hari, Kelana terus merasakan demikian. Seperti ada sesuatu yang terus mengintainya tapi Kelana tidak bisa melihatnya.

***

Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan Gudang. Dari ruang kemudinya, tampak keluar seorang pria paruh baya yang belum Kelana kenal sebelumnya. Seluruh pekerja yang melihatnya segan dan membungkukkan badannya. “Siapa dia sampai sebegitu dihormatinya?” pertanyaan Kelana.

Laki-laki paruh baya itu melangkah pelan ke dalam Gudang, Pak Kasno yang menyadari kehadirannya pun menghampirinya. 

“Juragan Salman, njenengan ke sini kok tidak memberi kabar saya terlebih dulu.” Ucapnya.

Kelana manggut-manggut, barulah dia tahu, jika dia lah juragan Salman, yang selama ini hanya ia dengar dari mulut-mulut para pekerja. Dia terlihat bijaksana dan berwibawa dengan kaca mata hitam di wajahnya. Tapi, perasaan tak enak Kelana hadir lagi, perasaan yang biasa ia rasakan ketika ada hal tak wajar mendekatinya. Kelana mencoba membaca rapalan doa untuk menetralisir perasaannya, namun, rupanya juragan Salman kini berjalan ke arahnya, tersenyum kecil sembari menatapnya dengan wajah tak biasa.

“Kasno! Siapa dia?” tanya juragan Salman.

“Pekerja baru, Juragan.” Ucapnya.

“Apa dia yang pernah kamu ceritakan kemarin?” 

Degg….

Kelana tersentak mendengar ucapannya, apa yang sudah Pak Kasno katakan dengannya? Merasa curiga.

Pak Kasno mengangguk. Tandanya benar. Juragan Salman menepuk bahu Kelana sebanyak tiga kali, “Bekerja lah sesuai dengan kewajiban yang telah diarahkan oleh Pak Kasno.” Ujarnya. Tergambar senyuman misterius di wajah juragan Salman, seperti menyimpan makna di baliknya. Kelana hanya tersenyum, menghormatinya karena dia adalah pemilik Gudang tempatnya bekerja. 

Setelahnya, juragan Salman berkeliling Gudang, melihat tumpukan karung-karung yang tersimpan di dalam gudangnya. Meski begitu, mata Kelana tak lepas memperhatikannya, ada disatu titik di mana juragan Salman terlihat mendekati kendi-kendi di sudut Gudang, menaburinya dengan bubuk di tangannya. Teka-teki di otak Kelana semakin bertambah lagi. Kelana mencari Sanjaya yang sejak tadi entah di mana batang hidungnya, untuk menyampaikan temuan baru yang ia lihat. 

“Sanjaya!” panggilnya. Kelana menceritakan semuanya, persis dengan apa yang ia lihat dan ia rasakan.

“Itukah orangnya?” tanya Kelana.

Kelana berbalik, ia melihat juragan Salman kini berada tak jauh di belakangnya sedang memandanginya dari kejauhan, wajahnya menyeringai.
***

Sore harinya, pukul lima. Kelana dan Sanjaya bernjak pulang dari Gudang paling akhir dari pekerja lainnya karena diberi pekerjaan tambahan oleh Pak Kasno. Di belakang Gudang, seorang wanita renta dengan karung sak berisikan rumput di punggungnya mendekati Kelana. Namanya Mbah Sri, dia memperkenalkan namanya sebelum melontarkan pertanyaannya.

“Nak, apa yang kamu cari kok kerja di sini? Saya lihat, kamu sepertinya asalnya jauh dari sini.” 

“Cari apa bagaimana maksudnya ya, Mbah?” tanya Kelana.

“Saya tahu kemampuanmu. Makanya, saya tanya begitu.”

“Saya hanya cari uang tambahan di sini, Mbah. Saya mahasiswa yang sedang liburan dan merasa sayang kalau digunakan untuk jalan-jalan dan menghabiskan uang.”

“Kamu tahu resikonya kalau kerja di sini?”

“Resiko?” balas Kelana.

“Bisa mati.” Ucap Mbah Sri dengan suara berbisik.

Sanjaya yang sedang melintas tiba-tiba saja ikut mendengarnya. “Mati? Apa maksudnya mati?” sahut Sanjaya. 

“Hampir setiap malam, kalian akan dihantui oleh mereka-mereka yang sudah jadi korban sebelumnya.”

“Saya sudah kenal lama dengan juragan pemilik Gudang dan kebun teh di sekitar sini. Daun teh yang ia jual memang terkenal bahkan hingga ke luar jawa. Tapi, tidak banyak yang tahu, kemahsyuran yang ia peroleh itu melalui cara yang tidak benar.” 

Kelana tidak bicara lagi, memikirkan masalah yang terus berputar di kepalanya akhir-akhir ini. Namun Sanjaya, kini gantian ia yang mencecar Mbah Sri.

“Mbah tadi bilang jika sudah kenal lama dengan juragan Salman, dan mengatakan jika semua ini dia peroleh dengan cara yang tidak benar. Memang, cara apa yang mbah maksud?”

“Setiap kekayaan dan kesuburan kebun miliknya, harus dibayar dengan tumbal manusia yang dikubur di atas tanah ini.”

Kelana tersentak, Sanjaya apalagi. Mereka berdua hanya bisa menelan ludah, merinding, ternyata benar dugaannya selama ini, tanah ini adalah tanah tumbal. 

“Saya tidak bisa membantu banyak, setiap orang baru datang untuk bekerja di sini, saya selalu bantu dengan memberi tahunya soal ini. Tapi, mereka yang tidak mempercayainya, pasti akan hilang secara tiba-tiba.”

“Tapi, Nak. Ilmu yang kamu punya cukup lumayan. Berhati-hatilah.” Ucap Mbah Sri, sebelum ia pergi dengan menenteng karuk sak rumput di punggungnya.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close