Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

NANDUR NYAWA (Part 4 END) - Pertarungan

Setiap Kesuburan Tanah itu, Harus Dibayar Dengan Nyawa Manusia


Malam itu angin terasa lebih kencang dari biasanya, meyeruak di antara celah kayu rumah yang tak tertutup sempurna. Hal itu lantas membuat Kelana terbangun seketika dengan sedikit menggigil. Saat matanya terbuka sempurna, ia terkejut, tak tahu dari mana dana pa yang terjadi sebelumnya, tiba-tiba di atas tubuhnya melayang tiga sosok pocong yang ketiganya menatap Kelana dengan mata memerah penuh darah. 

“Jaya! Bangun! Sanjaya!” Kelana berusaha membangunkan Sanjaya yang masih terlelap dengan menggoyangkan tubuhnya menggunakan kaki.

“Apa, Na?” jawabnya singkat tanpa membuka mata.

“Buka matamu! Jika tidak, malam ini nyawamu akan hilang.” Ucap Kelana.

Beberapa detik kemudian, Sanjaya membuka mata, seketika ia tersentak karena sama terkejutnya dengan Kelana.

“Na! Ngapain pocong-pocong ini di sini.” Ucap Sanjaya panik.

“Makanya, aku membangunkanmu sekarang.” Balas Kelana.

“Apa kalian datang untuk mengantarkan nyawa? Jika tidak, berhentilah mencari tahu dan mencampuri urusan ini.” Sebuah suara berat tiba-tiba saja muncul diantara ketiga pocong itu. Tapi, Kelana bisa memastikan, jika suara itu bukan berasal dari pocong-pocong itu.

“Siapa? Siapa yang berbicara? Aku tahu suara itu bukan berasal dari mulutmu pocong-pocong sialan!”

Dia tertawa. “Nggak penting siapa aku, yang terpenting kamu tidak perlu mencampuri masalah ini. Jika tidak, maka kalian berdua akan ku jadikan tumbalku selanjutnya.” Ungkapnya.  

“Ingat, jangan berani-beraninya mencampuri masalah di sini. Kalian tidak tahu siapa yang kamu lawan.” Imbuhnya.

Tak berapa lama setelah itu, ketiga pocong itu menghilang, berubah menjadi butiran hitam yang terbang bersamaan dengan angin yang bertiup.  Kelana menatap Sanjaya. “Sekalipun taruhannya adalah nyawa, mereka tidak akan bisa mengancamku.”

“Kamu tidak takut kan?” tanya Kelana.

Sanjaya masih mengatur napasnya yang belum teratur. “Terserah lah, berkawan denganmu memang penuh resiko, yang penting aku akan berlindung di balik badanmu.” Ucap Sanjaya yang membuat Kelana tertawa.

“Kejahatan tidak akan bertahan lama, cepat atau lambat, dia akan runtuh juga tepat pada waktunya.” Ucap Kelana. Kelana meyakini, jika dia mendatangi sebuah tempat dan menemukan sebuah ketidakbenaran di sana, maka itu adalah tugas yang diberikan oleh Yang Kuasa kepadanya, mesiki harus mengorbankan nyawa.

***

Esoknya, seharian Kelana menanti kehadiran seseorang lagi di belakang Gudang. Seseorang yang ia percaya bisa membantunya dalam masalah ini. Ya, orang itu tidak lain adalah Mbah Sri.

“Pak, apa bapak kenal dengan ibu-ibu yang biasa cari rumput di sekitar sini?” tanya Kelana pada setiap orang yang lalu-lalang di sekitar Gudang.

Satu dua orang tidak mengetahuinya, sampai orang kelima yang ia tanya, barulah Kelana mendapatkan jawabannya. “Mbah Sri? Dia tidak punya rumah, dia tinggal di gubuk di dekat bukit sana.” Ucap seseorang yang memberitahu Kelana. 

Sore hari itu juga, selepas pekerjaannya di Gudang selesai, Kelana mengajak Sanjaya untuk menghampiri Mbah Sri di gubuknya. Baru ini mereka berdua berjalan agak jauh keluar dari area Gudang. Orang-orang yang melihat mereka berdua pun menatap mereka dengan bingung, mungkin belum pernah melihat mereka berdua sebelumnya.

Saat sudah tak jauh dari gubuk Mbah Sri, mereka mendapati pintu kecil di sana sudah terbuka.

“Assalamualaikum.” Ucap Kelana memberi salam.

Taka da jawaban, Mbah Sri seperti tidak berada di dalamnya.

“Assalamualaikum.” Kelana mengulang salamnya lagi.

Namun, karena masih belum mendapatkan jawaban, kedua kaki Kelana melangkah masuk ke dalam gubuk, menyampingkan prinsip kesopanan yang selama ini dia pegang teguh. 

“Nak” panggil seseorang wanita dari kejauhan. Ya, wanita itu adalah Mbah Sri. Dia baru saja pulang dari mencari rumput karena dia masih memanggul karung berisikan rumput di punggungnya.

“Ada perlu apa? Kok tahu gubuk saya berada di sini?” tanya Mbah Sri.

“Iya, Mbah. Saya tanya ke orang-orang yang lalu lalang di dekat Gudang. Maaf jika saya tidak bilang terlebih dahulu sebelumnya, Mbah” Jawab Kelana.

Mbah Sri melangkah masuk ke dalam gubuknya, “Mau apa, Mas?” tanya Mbah Sri lagi.

“Soal kemarin.” Ucap Kelana singkat.

“Masuklah.” Suruh Mbah Sri. 

“Apa dirimu sudah yakin dengan yang akan kamu lakukan?” tanya Mbah Sri.

“Apa Mbah percaya, saya bisa menghentikan juragan Salman?” tanya Kelana.

“Mungkin. Dulu, sudah pernah ada yang mencoba menghentikannya. Tapi berakhir dengan kekalahan.” Ujar Mbah Sri.

“Tidak, saya tidak akan berakhir sama, saya tidak bisa membiarkan hal seperti itu terus dilakukan. Saya tidak sendiri, Mbah. Saya dibantu teman saya. Iya gak?” ucap Kelana dan menoleh ke Sanjaya.

Sanjaya menghela napas. “Apa boleh buat.” Ucapnya singkat.

Mbah Sri menatap Kelana dan Sanjaya satu-persatu cukup lama, sebelum akhirnya mulai berbicara. “Jika kalian ingin menghentikannya, apa kalian lihat beberapa sajen yang sengaja diletakkan di dalam Gudang? Berapa jumlahnya?” tanyanya.

“Di setiap titik itu, tak jauh dari area itu, di dalam tanahnya ada sebuah benda yang sengaja dia tanam untuk tempat para iblis-iblis itu. Di setiap malam-malam tertentu, dia akan menumbalkan nyawa manusia sebagai persembahan bagi mereka dan dikuburkan juga di dalam tanah sekitaran Gudang dan kebun.”

“Tugasmu, cari semua benda yang ditanam itu, kemudian hancurkan.” Ucap Mbah Sri.

“Lalu? Apa setelah itu semuanya akan berakhir?” 

“Memang kedengarannya mudah, namun, di dalam Gudang sana ada orang-orang kepercayaan Salman termasuk Kasno yang mengawasimu kapan saja.”

“Tapi, itu hanya salah satu pilihan dan Mbah sendiri tidak tahu apakah dengan cara itu apa bisa menghentkannya. Yang Mbah tahu dan yakin bisa menghentikannya adalah dengan cara menyerangnya secara langsung. Perjanjian itu akan hancur ketika si pembuat janjinya lenyap. Apa kalian paham?”

Kelana mengangguk, Sanjaya pun sama. Namun, mereka bingung, dengan cara apa mereka bisa menyerang juragan Salman, sedangkan mereka sendiri baru bertemu dengannya satu kali.

“Bagaimana cara menyerangnya, Mbah? Jangankan memiliki masalah lalu menyerangnya, ngobrol dengannya saja hanya satu kali kemarin.” Ungkap Kelana.

“Dia bukan orang seperti yang kalian lihat. Kalian merasa belum punya masalah dengannya, tapi tidak baginya, apa lagi kalian orang yang berusaha meruntuhkannya, Mbah yakin dia sudah menyadarinya.” 

“Jangan sampai nyawamu hilang di tangan mereka. Mbah ada sesuatu untuk kalian berdua, duduklah bersila dan menghadap kesini.” Ucap Mbah Sri.

Tanpa bertanya, Kelana dan Sanjaya melakukannya. “Tutup matamu.” Suruh Mbah Sri. Entah apa yang dilakukan Mbah Sri. Kelana tidak bisa melihatnya. Namun, diantara dinginnya udara, Kelana merasakan kedua tangan Mbah Sri menempel di kepalanya. Kelana merasakan ada yang mengalir melalui kepalanya menuju seluruh anggota tubuhnya. Mbah Sri memijit punggung Kelana yang lama-lama menjadi tekanan yang perlahan semakin keras. 

“Mbah, apa yang mbah lakukan?” tanya Kelana, dia merasa sedikit kesakitan.

“Diam saja, aku beri sedikit kekuatan yang bisa untuk melindungimu nanti.” Terang Mbah Sri.

Selesai dengan Kelana, Mbah Sri pun melakukan hal yang sama kepada Sanjaya. Memang malang nasib Sanjaya berteman dengan Kelana, karena selalu dihadapkan dengan hal-hal yang diluar nalar dan dipaksa menikmatinya. 

***

Mbah Sri tadi. Hingga, tak terasa ia pun terlelap bersama dengan Sanjaya yang ikut terlelap juga. 

Rasa-rasanya belum lama terlelap, gemuruh angin membangunkan Kelana, memanggil kembali kesadarannya yang belum lama hilang. Diantara gelapnya malam, matanya kembali terbuka, udara terasa lebih menusuk karena angin yang bertiup tak beraturan. Kelana bangun, bermaksud ingin melihat keluar melalui celah kamar, tapi, di situ ia tidak melihat keberadaan Sanjaya.

“Kemana Sanjaya?” tanyanya.

Kelana bingung Kemana dia sampai tiba-tiba menghilang begitu saja tengah malam begini. Padahal ia biasa terbangun ketika mendengar Sanjaya ketika hendak keluar kamar. Kelana mencarinya ke setiap sudut rumah, bahkan mencarinya hingga belakang.

“Sanjaya!” panggilnya, namun masih belum menemukan keberadaan Sanjaya.

Sekarang, Kelana berjalan ke depan rumah, memandangi Gudang yang terlihat samar karena kabut tipis yang menutupinya. 

“Sanjaya!” panggilnya lagi.

Samar-samar Kelana melihat dua orang sedang berdiri di dekat tiang-tiang depan Gudang. 

“Sanjaya?”

Kelana menyipitkan mata, mencoba melihat dengan jelas kedua orang yang terikat di tiang Gudang. Kelana melangkah pelan ke sana. Semakin mendekat, firasatnya semakin tidak enak.

“Sanjaya? Mbah Sri?”

Mata Kelana membelalak kala menyadari dua orang tersebut adalah sahabatnya dan Mbah Sri. Keduanya terikat di tiang Gudang dengan tali yang biasa digunakan untuk mengikat karung-karung teh. 

“Sanjaya! Apa yang terjadi?” tanya Kelana. Tubuh Sanjaya dan Mbah Sri penuh darah, dan keadaan mereka berdua pun terlihat lemas. Tak peduli dengan apa yang terjadi setelahnya, Kelana pun berusaha melepaskan ikatan yang melilit tubuh Sanjaya dan Kelana. Kelana memapah keduanya, berjalan menuju rumah dengan susah payah. 

“Itu sebabnya jika berani melawanku!” 

Teriak seseorang dari Gudang. Suara itu tidak asing di telinga Kelana. “Setelah dua orang kepercayaanmu itu, apa keberanianmu masih ada?” teriaknya lagi. 

Setelah memastikan Sanjaya dan Mbah Sri di tempat aman, Kelana berbalik arah, berjalan sendiri ke tengah pekarangan. “Apa itu anda juragan? Sampai kapan perjanjianmu dengan iblis itu akan anda lakukan? Itu bukan tindakan benar, Juragan!” ucap Kelana kepada orang itu yang tidak lain adalah juragan Salman dan satu orang kepercayaannya, Pak Kasno. Tidak terbesit sedikitpun dalam benak Kelana, jika ia akan berhadapan dengan juragan Salman secepat ini.

“Bocah sepertimu, tidak perlu mengajariku!” balas juragan Salman.

“Baiklah, kalau kamu ingin mencoba menghentikanku.” Ucap juragan Salman.

Juragan Salman kini terdiam, kepalanya mendongak seperti sedang mengundang sesuatu. Beberapa saat kemudian, muncul satu sosok makhluk dari balik Gudang. Sosok yang sudah tidak asing lagi bagi Kelana. Sesuai dengan dugaannya, ternyata memang betul, sosok itu adalah perewangan juragan Salman. Sosok itu berdiri tepat di depan juragan Salman, dan untuk pertama kalinya, sosok itu menyeringai, menampakkan dua taringnya di dua sudut mulutnya yang panjang, tajam dan berlumuran darah.

“Saya sudah memperingatkanmu untuk tidak ikut campur dengan urusanku, apa lagi semua ini yang telah ku bangun selama ini, Mas Kelana. Tapi kamu tidak mau mendengarkan perkataanku. Sekarang, kamu akan mendapatkan imbasnya.” Ucap juragan Salman bersamaan dengan kemunculan sosok itu.

“Kejahatan tetaplah kejahatan. Melakukan sebuah perjanjian dengan iblis bukanlah hal yang benar. Saya akan mengakhiri semua kegilaan ini! Sudah cukup banyak nyawa yang juragan korbankan.” Ucap Kelana. 

Kelana menggenggam jimat yang ia punya, diletakkannya di atas tanah kemudian dibacainya dengan mantra. Perlahan, jimat itu mengembang, ukurannya membesar hingga membentuk sebuah belati yang siap ia gunakan untuk melawan juragan Salman dan perewangannya.

“Aku sudah siap!” ucap Kelana pelan, meyakinkan dirinya sendiri.

Kelana mengangkat belatinya, kemudian berlari ke arah juragan Salman yang dilindungi oleh perewangannya. “Setan bedebah!!!” teriak Kelana dengan beringas.

Suara hantaman keras terdengar beradu cumiakkan setiap telinga yang mendengarnya. Beberapa kali Kelana terhuyung mundur, namun kembali menerjang perewangan juragan Salman lagi. Mereka berdua bertarung sengit dan menyerang satu sama lain.

“BUG!!”

Kelana hampir menghunuskan belatinya tepat di kepala iblis itu, namun dengan tenaga dalamnya, juragan Salman berhasil melemparkan tubuh Kelana cukup jauh. Juragan Salman tertawa melihat Kelana yang berusaha berdiri tegak setelah terlempar jauh. Sanjaya terlihat bangkit, mendekati Kelana walau masih dalam keadaan lemas.

“Apa yang bisa aku bantu, Kelana? Tidak mungkin aku hanya diam saja melihatmu bertarung sendirian seperti ini.” Ucap Sanjaya saat sudah mendekati Kelana.

“Apa keadaanmu sudah baik?” tanya Kelana.

“Sudah jauh lebih baik. Mbah Sri yang membantuku cepat pulih seperti ini.” Ujar Sanjaya.

“Kamu masih ingat rapalan yang pernah ku ajarkan kepadamu? Soal menyerap energi dan mengirimkannya kepadaku?” tanya Kelana.

“Iya, semoga aku masih mengingatnya. Akan aku coba.” Balas Sanjaya.

Di antara dinginnya malam dan di atas tanah yang di dalamnya terkubur seluruh jasad tak bersalah ini, seluruh tekad Kelana semakin lama semakin tinggi untuk mengakhiri semua semua kajahatan yang dibuat oleh juragan Salman.

“Jika malam ini akan ada satu nyawa yang akan hilang, bisa kupastikan, nyawa itu adalah nyawamu, Juragan!” gertak Kelana.

Sekarang, Kelana berdiri diam, matanya terpejam dan mulutnya merapalkan mantra untuk menambah energi di dalam badannya. 

“Tumbalku kali ini, mungkin akan menjadi persembahan spesial dan membuat hartaku dengan cepat berlipat ganda.” Teriak juragan Salman sambil tertawa kencang.

Kelana sudah siap, dengan cepat dia melesat menyerang perewangan juragan Salman lagi. Meski kalah besar, tak sedikitpun nyali Kelana menciut. Kelana berusaha menghujamkan belatinya ke sosok itu. Kelana kembali terlempar, kali ini lebih keras hingga mulutnya mengeluarkan darah. Juragan Salman yang melihatnya pun tertawa keras menertawainya.

“Ini tanahku, kamu tidak akan bisa melawanku!” teriak juragan Salman.

“Kelana! Menurutku, setan itu hanya alatnya saja, yang utama adalah juragan Salman. Lebih baik kamu langsung menyerangnya saja, biar aku yang mengalihkan perhatian setan itu.” Ujar Sanjaya. 

“Apa kamu bisa melawannya?” tanya Kelana.

“Apa kamu tidak ingat, aku pernah bertarung dengan setan begini sebelumnya?” ucap Sanjaya dan dibalas dengan senyum oleh Kelana.

“Apa kamu aman, Kelana?” tanya Sanjaya.

Kelana mengangguk, lalu kembali bangkit dan bersiap menyerang lagi. Sekarang, Kelana dan Sanjaya bersiap menyerang bersama. 

Tak sampai lima menit, mungkin hanya dua menit. Di seberang, juragan Salman dan ingonnya masih terus memperhatikan Kelana sambil meledeknya.

“Aku tidak akan kalah!” teriak Kelana sambil tertawa membalas juragan Salman.

Kelana kembali melesat, kali ini langsung ke arah juragan Salman. Kelana menyerangnya dengan beringas, Pak Kasno yang berada di dekat juragan Salman pun tak kuasa menahan kekuatan Kelana yang meningkat. Kelana mendaratkan tinjunya ke wajah juragan Salman. 

“Kelana!” teriak Sanjaya di belakangnya. Kelana menoleh ke arahnya, melihat Sanjaya yang berhasil memojokkan setan perewangan juragan Salman.

“Tangkap ini, Sanjaya!” 

Kelana melemparkan belatinya sampai mengeluarkan kilatan-kilatan cahaya. Sanjaya pun dengan sigap menangkapnya, dan tanpa berlama-lama menancapkan belati itu ke jantung perewangan juragan Salman.

“Mati kau setan sialan! Perjanjianmu dengan manusia itu akan berakhir sekarang juga!” teriak Sanjaya saat menancapkan belati itu. Tubuh Sanjaya oun terpental beberapa meter dan setan itu berhasil takluk di tangannya. 

“Ternyata kamu hebat juga Sanjaya” puji Kelana.

“Kau lihat itu juragan? Kejahatan tidak akan bertahan lama, nyawamu sekarang berada di tanganku dan sahabatku. Tanpa perewanganmu itu, bisa apa kamu?” ucap Sanjaya. 

Juragan Salman mundur beberapa langkah, wajahnya seperti sedang merencanakan sesuatu, ternyata ia belum ingin menyerah begitu saja. Ia kembali merapalkan mantra, entah mantra apa yang ia baca hingga timbul teriakan kesakitan yang berasal dari Mbah Sri.

“Apa yang juragan lakukan?” tanya Kelana.

Kelana berlari menghampiri Mbah Sri, di sana, ia menemukan Mbah Sri terkapar bersimbah darah yang masih mengalir dari mulutnya.

“Mbah Sri!” teriak Kelana dan dihampiri Sanjaya juga.

Tapi, malam itu adalah napas terakhir Mbah Sri. Mbah Sri seketika mati entah apa yang dilakukan juragan Salman kepadanya. Melihat itu, emosi Kelana semakin tersulut. Kemarahannya tak terbendung lagi melihat Mbah Sri yang sudah tidak bernyawa lagi.

“Manusia iblis!!!” umpat Kelana.

“Kelana! Tahan dirimu!” ucap Sanjaya.

“Kemarikan belati itu. Manusia sepertinya tak pantas dikasihani. Persetan dengan moral karena menghabisi nyawa sesame manusia. Kematiannya sudah diharapkan banyak orang, dan mala mini, harapan orang-orang itu akan aku wujudkan.” Kelana benar-benar marah dan Sanjaya benar-benar merasakan energi kuat di tubuh Kelana.

“Arrrggghhhh” teriak Kelana, bersamaan dengan itu dia berlari ke menuju juragan Salman yang sudah lemah. Kelana membaca sebuah rapalan mantra untuk menambah energi di belatinya hingga mengeluarkan sebuah kilatan cahaya yang menyelimutinya.

“Juragan Salman! Kematianmu sudah di depan mata! Coba saja jika kau ingin menghentikanku, terima ini!!!” teriak Kelana dan menghujamkan belati itu ke arah dada juragan Salman. 

Dengan tenaga dalamnya, juragan Salman berusaha menghalaunya, Pak Kasno pun turut membantunya. Mereka bertiga kini beradu kekuatan dan sama kuatnya. 

“Sanjaya!!!!” panggil Kelana.

Sanjaya menghampiri Kelana, membantu Kelana meraih belati di tangannya. Kelana kembai merapalkan mantra dan melafalkan doa kepada Yang Kuasa. Hingga, beberapa detik kemudian, Kelana dan Sanjaya berhasil menancapkan belati itu tepat di dada juragan Salman. Tusukan itu menimbulkan dentuman keras hingga membuat semuanya terpental. 

Saat itu, juragan Salman mati dengan keadaan tubuhnya menghitam. Pak Kasno masih hidup, namun tangannya lumpuh karena terkena efek dari belati Kelana. 

Malam itu, ketakutan di desa Gondang sirna bersamaan dengan berita kematina juragan Salman. Pak Kasno pun sejak saat itu dikucilkan oleh para warga di sana. Gudang teh milik juragan Salman pun ditutup dan kebun-kebunnya kini dijual.

Tamat
close