Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

OYOT MIMANG (Part 1) - Petaka Sebelum Pernikahan

Randu Jajar terlihat dari kejauhan, sepasang pohon randu yang ukurannya sangat besar berdiri di samping kanan dan kiri jalan.


Randu Lanang dan Randu Wedok, begitu masyarakat sekitar menyebutnya tingginya sekitar 40 meter. Lebarnya, 8 orang dewasa melingkar saja belum cukup untuk mengelilingi pohon itu, usianya mungkin sudah ratusan tahun.

“Pak, memangnya terkait pohon itu ada cerita apa lagi pak?”

“Bapak tidak tahu pastinya, namun jika mendengar cerita dari masyarakat sekitar pohon itu memang dikenal keramat, kamu liatnya kaya apa pohon itu le?” tanya Bapak

“Aku melihatnya seperti gapura pak, seperti batas, penanda dari suatu wilayah”

“Nah itu, Bapak juga merasa itu sebuah gerbang menuju arah gunung, atau sebaliknya gerbang menuju arah laut, seperti menjadi batas wilayah gunung dan laut.

Pohon tersebut juga dipercaya sebagai penjaga Desa sekitar, dipercaya kalau ditebang akan mendatangkan mara bahaya. Pernah diceritakan ada beberapa orang mendatangi pohon Randu Jajar ini, mereka datang sekitar pukul 01.00 WIB, ada enam orang,

karena penasaran mereka memotret dua pohon itu. Namun setelah melihat hasilnya rombongan itu ketakutan, karena di foto ada penampakan ular raksasa, dan bola api. Bapak juga merasa pohon ini adalah gerbang menuju dunia lain”

***

Bagian 1 - Dua Kemungkinan

Di sela obrolan santai sore itu, tiba-tiba nada bicara Bapak berubah, wajahnya menatap langit sore Kota Bahari, angin laut berhembus kencang, membuat pohon mangga di halaman rumah bergoyang-goyang, daun-daun kering berjatuhan,

mengotori lagi halaman rumah yang tadinya sudah disapu. Pembicaraan kami yang santai, ditemani teh poci gula batu khas Kota Bahari, berubah menjadi serius. Sebelumnya Bapak terdiam sesaat, raut wajahnya menerawang jauh, posisi duduknya tegak, kaki menyila,

dadanya agak membusung ke depan, sayup-sayup aku mendengar lantunan doa, tipis keluar perlahan dari mulutnya. Beberapa menit aku terdiam, ingin rasanya menanyakan sesuatu padanya, namun aku takut mengganggu.

Nampak jalanan di depan rumah yang biasanya ramai mendadak sepi sesaat, aku tidak tahu apakah ini semua saling berkait. Tiba-tiba Bapak menutup matanya, diangkatlah tangannya sampai depan dada, bapak seperti sedang memohon doa pada Sang Khaliq,

doa apa yang diutarakan, aku tidak tahu. Sesaat kemudian matanya terbuka, tubuhnya kembali lagi seperti biasa, kini Bapak menatapku.

“Gung, ini Bapak punya firasat, semoga firasat Bapak salah ya?”

Aku memicingkan mata. “Memangnya kenapa Pak, kok tiba-tiba serius begini ngomongnya?”

“Nenekmu Gung…” pandangan Bapak kini menatap jauh ke depan

“Nenek Pak? kenapa dengan Nenek, kan sudah tenang di alam sana?” jawabku panik

“Bukan itu yang Bapak maksud, Mbah Utimu di Banjarnegara yang Bapak maksud.”

Kali ini aku terdiam, bahkan saat ini membuat pikiranku jauh lebih panik dari sebelumnya. Ternyata yang Bapak maksud adalah Nenek dari calon istriku Anna, perempuan yang sudah lama sekali aku pacari,

saking lamanya kami berpacaran sering sekali muncul pertanyaan “Kapan nikah?” di setiap acara keluarga besar, teman-teman juga selalu meledek dengan membandingkan hubungan kami dengan usia kredit motor, mobil atau rumah.

Padahal sejatinya pernikahan bukan perkara berapa lama menjalin suatu hubungan, berapa banyak harta yang sudah dihasilkan, dan bukan perkara menjawab pertanyaan yang sering dilontarkan,

masing-masing manusia memiliki waktunya sendiri, pernikahan adalah proses yang suci maka perlu dilakukan dengan niat yang tulus ikhlas.

“Gung, Bapak punya firasat soal acara lamaranmu besok…” pernyataan Bapak membuat aku berpikir keras, Bapak adalah orang yang memiliki firasat yang kuat, entahlah mungkin itu kelebihan yang diberikan Ilahi.

“Ada apa memangnya pak, kok Bapak tiba-tiba membahas acara besok, bukannya persiapan sudah selesai semua?” tanyaku cepat pada Bapak.

“Kita sedang diburu waktu gung, acara besok itu penentuan…”

“Penentuan bagaimana? penentuan aku nikah atau enggak gitu? ya nikah dong pak…” Aku mulai terganggu dengan sikap Bapak.

“Dengarkan Bapak dulu jangan dipotong kalau orang tua lagi bicara”
tegur Bapak padaku.

“Besok itu, kita datang ke Banjarnegara seperti memilih datang kedua acara, antara acara lamaranmu atau takziyah Mbah Utimu”.

Mendengar Bapak berbicara seperti itu hatiku langsung gusar, momen yang dinantikan selama bertahun-tahun kenapa harus berhadapan dengan pilihan yang sulit,

namun itu semua hanya firasat dari seorang manusia, ketentuan tetap yang Maha Kuasa yang memegang, sing gawe urip yang memutuskan semuanya.

“Bapak, agung tau, Mbah Uti di Banjarnegara sedang sakit, tapi kondisinya mulai membaik kok” Aku mencoba meyakinkan Bapak sekaligus menenangkan pikiranku.

“Ya ini kan firasat Bapak, kalau seandainya yang buruk yang terjadi Bapak minta kamu lapang dada ya, jangan sedih, iklas, kita manusia hanya bisa berencana, segalanya sudah diputuskan oleh yang Maha Kuasa”.

Ucap Bapak sambil berdiri dan meninggalkanku yang masih duduk termenung, mungkin maksud Bapak baik, namun kenapa harus dikatakan di tengah hal yang kunantikan sejak lama, hal yang sudah aku tunggu sejak lama. Kini perasaanku bercampur aduk,

antara bahagia atau harus bersedih aku tidak bisa membedakannya. Dalam hatiku yang paling dalam kupanjatkan doa agar semuanya berjalan lancar.

“Mbah Uti, tunggu aku, aku akan datang menepati janji”

Esok paginya kami sekeluarga sudah mempersiapkan semua hal, hari ini adalah hari dimana aku akan melamar Anna, waktu yang kunantikan sejak lama, hubungan yang dibina sejak awal masuk kuliah, tepatnya di semester 2, sampai melakukan penelitian bersama dan lulus bersama,

di sini kami membuktikan jika hubungan dibawa dengan niat baik maka akan menghasilkan hal yang baik pula, mungkin pernyataan “kita gak bisa berang dulu, mau konsentrasi untuk ujian, penelitian dan sebagainya”

itu hanya alasan untuk mengakhiri hubungan yang sudah membosankan, nyatanya kami bisa berkolaborasi dalam sebuah penelitian tugas akhir walaupun jurusan yang kami ambil sangat berbeda.

Perjalanan hubungan kami tidak selamanya mulus, tapi setidaknya dalam waktu yang lama aku dan Anna berhasil memperjuangkannya, dimana mungkin pada saat yang sama banyak hubungan percintaan yang sudah dijalani bertahun-tahun namun harus kandas di tengah jalan,

berakhir dengan menyedihkan, bahkan bisa dikatakan seperti hanya menjaga jodoh orang saja, aku bersyukur dengan hubungan yang aku jalani dengan Anna, selalu diberikan kemudahan dan kelancaran sampai akhirnya hari ini aku akan melamar Anna.

Akhirnya seluruh sanak saudara sudah berkumpul, jumlahnya bisa dikatakan lebih dari 30 orang, terdiri dari beberapa keluarga. Aku heran, sebenarnya bisa saja hanya aku dan keluargaku yang pergi ke Banjarnegara,

tapi tidak dengan keluarga besarku yang masih menerapkan mangan rak mangan kumpul, apapun kondisinya harus berkumpul, ibaratnya seperti itu. Jadi saat mengetahui keponakannya akan melamar seorang gadis, mereka akan marah jika tidak diajak.

Aku hanya bisa mengiyakan, segalanya sudah dipersiapkan, mobil tidak hanya penuh dengan keluargaku, tapi yang dibawa untuk acara lamaran jumlahnya sudah seperti orang yang mau melakukan prosesi akad nikah saja,

dari makanan, buah-buahan, oleh-oleh sampai keperluan sandang, ternyata semua tak sesederhana yang ada dipikiranku.

“Gung, jaraknya jauh gak dari Tegal, perjalanan berapa jam?”
tanya Pak Lek ku

“Lumayan lek, ya sekitar 4 sampai 5 jam” jawabku.

“Lumayan ya le, jauh juga, kok bisa dapat calon ditempat sejauh itu?”

“pacaran dari kuliah lek, kan sudah sering cerita”

“maaf lupa, maklum kan kamu sering tuh bawa teman perempuan, gak kamu pacarin semua toh?” tanya Pak Lek meledekku.

“ngawur, emangnya aku laki-laki apaan?” kami pun tertawa bersama, tiba-tiba Bapak datang menghampiri kami.

“Ayo Gung, wis wayahe (sudah waktunya) kamu masih ingat pembicaraan kemarin sore kan?” pertanyaan Bapak membuat aku dan Pak Lekku terdiam.

“Baik Pak, ini semua sudah siap kok tinggal berangkat saja” jawabku.

Semua orang masuk ke mobil masing-masing, aku berada satu mobil dengan keluargaku yang ditemani seorang supir. Tepat pukul 10:00 WIB kami semua berangkat menuju Banjarnegara,

tak lupa kami semua memanjatkan doa agar segalanya berjalan lancar. Perjalanan pun dimulai, rombongan berjalan secara beriringan, memutuskan untuk lewat Pemalang saat menuju Banjarnegara, karena untuk mempercepat waktu, namun jalan yang kami lewati nantinya cukup menantang.

Tanjakan tinggi turunan cukup curam, jalan yang berliku, luas jalan yang tidak cukup lebar sudah menanti kami semua. Kami sebenarnya bisa menggunakan jalur lain, namun jaraknya lebih lama karena agak memutar.

Awal perjalanan kami rasakan sangat lancar, mobil beriringan rapi melakukan konvoi dengan kecepatan yang stabil. Mobil yang keluargaku tumpangi berada paling depan, dengan aku sebagai kompasnya. Baris pertama diisi oleh supir dan aku, sedangkan Ibu dan Bapak serta Adik pertamaku

berada di bangku kedua, Bangku ketiga diisi oleh Adik keduaku dan nenek angkat kami. Saat mobil melaju beberapa kali bapak membuka kaca, dan melemparkan satu genggam beras kuning ke pinggir jalan.

“Pak, gunanya apa beras kuning yang Bapak sebar itu?” tanyaku di sela perjalanan

“Buat buka jalan gung…”

“Bukannya jalan udah terbuka ya? mending buat bikin nasi goreng lah pak hehehe” celetuk Adik keduaku yang memang suka sekali bercanda bahkan di waktu yang kurang tepat.

“sembarangan kamu dik, Bapak belum bicara dah nyerobot aja…” tegurku

“yo gitu Mas, bocah semprul kebanyakan micin, nek ngomong gak ono rem…” adik pertamaku mulai meledek adik keduaku.

“Sudah, gak udah do ribut, udah pada gede-gede masih saja suka ribut loh ya…” tegur Ibu.

“Ya wajar kan kami anak laki-laki” kami bertiga bicara secara bersamaan dan ketawa, kata-kata itu sering kali dipakai Bapak untuk menormalisasi sikap kami bertiga yang sering ribut kecil, adu argumen, sampai saling ejek, ya karena kami bertiga laki-laki.

Dalam istilah Jawa Jika sebuah keluarga punya tiga anak dan semuanya laki-laki, maka disebut cukit dulit.
“Beras ini berguna membuat terang jalan, membuka jalan yang kita lewati, menghindarkan kita dari hal-hal yang tak kasat mata,

yang berniat buruk sama kita semua” Bapak menjawab pertanyaanku di awal dengan tenang dan tak lupa senyum manisnya.

“Percaya tidak percaya kadang jalan yang kita lewati bisa jadi banyak menyimpan misteri pada waktu sebelumnya,

kita tidak pernah tahu sudah berapa kali terjadi kecelakaan, apakah ada tumbal proyek di jalan yang kita lewati ini, fungsi dari beras kuning ini sebagai tameng, agar kita semua terbebas dari mara bahaya, tipu daya dan hal-hal yang tidak terlihat oleh mata”

Bapak menjabarkan secara rinci tentang apa yang beliau lakukan.

Mengenai beras kuning aku jadi ingat dengan Suku Dayak Maanyan yang dikenal dengan suku Dayak Barito Timur yang berada di kawasan Kalimantan Tengah.

Hal yang cukup dikenal dari suku ini adalah kekuatan beras kuning yang konon bisa membuat para penjahat ketakutan, setidaknya itu yang aku baca dari sebuah artikel saat ingin tahu cerita soal ragam kekuatan magis yang ada di Nusantara.

Bahkan di beberapa daerah, beras kuning menjadi hal penting pada setiap acara yang sifatnya sakral.

“Bapak, kita dulu sering sekali ke sini ya pak?” aku menunjuk sebuah tempat yang kami lewati, yang mengingatkanku kenangan saat masih kecil dulu.

“Oalah iya, itu Makam Syeh Pandan Jati, iya ya, sudah jarang datang ke sini sama kamu, terakhir saat kamu lulus SMK”

“Emangnya itu makam siapa Pak?” tanya adik keduaku

“Ki Pandan Jati, atau di masa ini kita menyebutnya Syeh Pandan Jati,

Beliau merupakan salah satu penyebar Islam di daerah ini. Syeh Pandan Jati diyakini sebagai salah satu Waliyullah yang pernah menjalankan syiar Islam semasa hidupnya. Dalam sejarahnya,

Ki Pandan Jati sendiri adalah seorang tokoh atau pembesar Kerajaan Mataram yang mengasingkan diri ke daerah barat tepatnya di kawasan hutan Bantarbolang. Ki Pandan Jati mengasingkan diri karena ia dituduh dan difitnah telah melakukan korupsi dan dihukum seumur hidup.

Saat berada di tengah hutan itulah Ki Pandan Jati lantas bertemu dengan Mbah Bantarbolang, seorang pertapa sakti nan mumpuni. Karena merasa iba dan tersentuh oleh kebaikannya, Mbah Bantarbolang lantas mengizinkan Ki Pandan Jati untuk tinggal dirumahnya. Sambil berurai air mata,

Ki Pandan Jati pun mulai menceritakan kisah hidupnya yang sedang didera fitnah. Sejak itu, Mbah Bantarbolang pun merasa semakin yakin kalau Pandan Jati adalah orang yang baik hati. Ki Pandan Jati kemudian diangkat menjadi murid dan digembleng dengan bermacam ilmu kanuragan

dan juga budi pekerti. Bersama murid Mbah Bantarbolang yang lain yaitu Ki Palintaran, Ki Pandan Jati lantas menjelma menjadi pribadi yang sangat tangguh secara lahir dan batin.” Jawaban Bapak membuatku melongo,

tempat yang pernah aku & Bapak kunjungi adlh makam orang sepenting itu.

“Ngapunten pak, itu kan Bapak dan Mas Agung waktu ziarah memohon doa sama yang ada di makam tersebut, apa itu tidak apa-apa, bukannya kita hanya memohon dan meminta pada Allah SWT saja?” Tanya Adik pertamaku.

“Le, apa yang dilakukan Bapakmu itu adalah upaya dalam mendoakan leluhur kita, yang sudah menyebarkan banyak manfaat di masa lalu dan dirasakan kita semua di masa ini, bukan memohon dan berdoa pada beliau yang sudah dipanggil sang khalik.

Shalawat, dzikir dan doa yang dipanjatkan itu semua tujuannya untuk mendoakan semoga beliau selalu diberikan kebaikan dan diberikan tempat terbaik di alam sana” Ibu menjawab pertanyaan Adik pertamaku dengan cukup jelas.

“Injeh, paham kulo sakniki Bu” Jawab adikku yang sudah mengerti akan apa yang dijelaskan oleh Ibu.

“Pemalang itu banyak cerita, banyak tempat-tempat yang gak boleh sembarangan dilewati, perlu permisi, tetap jaga sikap, sopan santun pada semuanya” timpal Bapak .

“Semua itu dalam artian, warganya pak?” tanya adik Kedua ku.

“Ya semua, baik yang terlihat dan tidak terlihat” jawab Bapak.

Tak terasa mobil yang kami tumpangi sudah masuk ke dalam daerah Kabupaten Pemalang, bahkan sudah melewati banyak hutan dan daerah di dalamnya. Aku melihat Pak Sopir yang dari tadi diam dan fokus menyetir. Kemampuan mengendarainya bisa dikatakan bagus,

dengan jalan yang berliku-liku mobil yang dibawanya cukup halus, membuat kami merasa nyaman saat berada di dalam kendaraan.

“Pak sopir diam saja ini, fokus sekali?” aku mencoba membuka pembicaraan agar pak sopir tidak mengantuk.

“Iya nih mas, kok seru ya ceritanya, tapi saya menganggap itu semua hanya cerita legenda saja sih, selama hidup saya tidak pernah mengalami hal-hal mistis seperti yang sering diceritakan orang-orang di sekitar saya, mau percaya wong saya belum ngalami hehehe”

“Memangnya Pak Sopir pengen mengalami?” tanya Bapak

“Amit-amit, kalau bisa jangan sampai mengalami hal yang tidak masuk akal lah Pak” jawab Pak Supir.

“Percaya gak percaya, yang penting kita selalu menjaga sikap saja di setiap tempat, toh tujuannya baik kan?, kita tidak bisa memaksa orang lain untuk selalu percaya argumen kita, bukan begitu Pak supir? hehehe” aku mencoba mencairkan suasana, biar tidak tambah serius.

“wayahe, wayahe, wayahe” Adik keduaku tiba-tiba berteriak kencang dari bangku belakang, membuat riuh suasana di dalam mobil.

“Wayahe opo dik? waktunya untuk apa?” tanyaku.

“Pohon Randu Mas, yang kembar itu loh, aku seneng kalau lewat sini pasti ketemu pohon itu, guede buanget itu pohon, usianya dah berapa ya Pak?” tanya adikku yang sangat tertarik soal cerita pohon besar itu.

“Oh Randu Jajar ya, ada yang menyebut itu sepasang loh, Randu Lanang sama Randu Wedok, Gede banget ya, itu tingginya sekitar 40 meteran, lebarnya 8 orang dewasa melingkar saja belum cukup buat mengelilingi pohon itu,

usianya sudah ratusan tahun, Bapak belum pernah mendengar sudah berapa tahun usianya sekarang, yang jelas sudah tua pohon itu ” Jawab Bapak.

Akhirnya kami melewati pohon tersebut tak lupa Bapak meminta tolong Pak supir untuk membunyikan klakson sebanyak tiga kali, klakson di sini sebagai cara izin atau permisi jika melewati tempat yang dianggap keramat.

Sebenarnya tujuannya juga sebagai tanda ada mobil atau tidak dari arah berlawanan, karena kondisi jalan saat melewati pohon tersebut menikung tajam, berkelok dan menanjak, jadi perlu hati-hati jika melewatinya.

Jalan setelah melewati 2 pohon Randu besar atau biasa disebut Randu Jejer oleh masyarakat sekitar itu, menanjak tinggi, karena wilayah ini sudah masuk wilayah pegunungan yang letaknya berada di tengah Pulau Jawa,

jadi wajar saja jika jalan yang kita lewati sekarang lebih menanjak dari sebelumnya. Namun perjalanan kami jadi ringan karena disuguhkan keindahan alam yang masih hijau terbentang memanjakan mata.

Semoga alam selalu dijaga, karena manfaatnya akan lebih banyak dinikmati anak cucu kita nantinya.

Sampai saat kami melewati 2 pohon besar itu perjalanan kami masih dikatakan cukup lancar, rombongan di belakang juga masih mempertahankan formasi konvoinya, tidak ada mobil saudara yang bermasalah atau tertinggal. Setelah melewati pohon besar itu,

masih banyak pertanyaan yang ada di kepalaku, tanpa menunda aku tanyakan saja kepada Bapak.

“Pak, memangnya terkait pohon itu ada cerita apa lagi pak?”

“Bapak tidak tahu pastinya, namun jika mendengar dari cerita masyarakat sekitar pohon itu memang dikenal keramat, kamu liatnya kaya apa pohon itu le?” tanya Bapak.

“Aku melihatnya seperti gapura pak, seperti batas, penanda dari suatu wilayah”

Nah itu, Bapak juga merasa itu sebuah gerbang menuju arah gunung, atau sebaliknya gerbang menuju arah laut, seperti menjadi batas wilayah gunung dan laut. Pohon tersebut juga dipercaya sebagai penjaga Desa sekitar, dipercaya kalau ditebang akan mendatangkan mara bahaya.

Pernah diceritakan ada beberapa orang mendatangi pohon Randu Jajar ini, mereka datang sekitar pukul 01.00 WIB, ada enam orang, karena penasaran mereka memotret dua pohon itu.

Namun setelah melihat hasilnya rombongan itu ketakutan, karena di foto ada penampakan ular raksasa, dan bola api.” tutup cerita Bapak.

“Lah, kaya gak ada kerjaan aja, jam 1 pagi datang ke tempat itu, rumah warga saja tidak ada, sawah semua kan di sekitaran pohon itu?” balasku

“Entahlah, kadang ada juga manusia yang berburu barang-barang atau senjata yang mengandung kekuatan gaib, atau mungkin mereka sedang melakukan perjalan dan berhenti di sekitar pohon itu,

yang terpenting kita manusia yang menjadi bagian dari alam semesta harusnya bisa menjaga untuk tidak mengotori atau bahkan sampai merusak pohon. Pohon itu salah satu sumber kehidupan. Sudah sewajarnya alam perlu dijaga dan dilestarikan agar kehidupan berjalan seimbang.”

Obrolan saat ini membuatku sedikit mengalihkan pikiranku akan waktu yang terus berjalan, jika teringat kembali, ingin rasanya bisa menghentikan waktu sejenak.

Dalam hatiku masih terus muncul pertanyaan, apa yang akan menyambut kedatangan kami saat tiba di Desa calon Istriku, semoga bukan berita duka, aku tahu Mbah Uti adalah salah satu anggota keluarga Anna yang sering menanyakan padaku kapan akan menikahi cucunya,

ya wajar saja, beliau sudah berumur, ingin melihat cucu terakhirnya berdiri bahagia di pelaminan adalah sebuah keinginan yang sangat dinantikan dalam hidupnya.
Dalam usianya yang sudah senja, apalagi yang dikejar dalam hidup, kalau bukan kebahagiaan cucunya.

Mobil melaju mulai meninggalkan Pemalang, sekarang yang kami hadapi adalah jalan yang menurun. Sesekali aku menyuruh adik keduaku untuk mengecek ke belakang, memastikan tidak ada mobil rombongan yang tertinggal. Aku rasa agak berlebihan memang,

untuk acara lamaran saja ada total ada 4 mobil yang berangkat ke Banjarnegara. Selama perjalanan aku mencoba menenangkan pikiranku, tiba-tiba ada telpon masuk dari Anna.

“Sudah sampai mana Le?”

“Masuk Purbalingga, gimana persiapan di rumah?”

“Sejauh ini lancar saja, kok aku deg-degan ya?”

“Aku juga tau, ndhuk gimana keadaan Mbah Uti?”

“Alhamdulillah semakin membaik dari yang terakhir kali, ya sudah kamu hati-hati ya?” Jawab Anna yang terkesan menutupi sesuatu.

“Oke, bilang sama Mbah Uti cucunya lagi OTW”

“Iya, cepat sampai, aku kangen”

“Iya, aku juga kangen sama kalian semua, sama Mbah Uti juga”

“Selalu berdoa ya Le, semoga semua berjalan dengan baik”

“Amin, aku tutup telponnya ya” telpon ku tutup agar aku bisa tetap fokus menjadi kompas di perjalanan ini.

Aku menengok ke belakang, beberapa orang di dalam mobil sudah tertidur pulas, tinggal Bapak saja yang masih sadar, sesekali membuka jendela dan melemparkan beras kuning dalam wadah yang digenggamnya.

Kata Bapak beras ini harus habis, syukur-syukur bisa pas habisnya saat sampai tempat tujuan.

Akhirnya gerbang selamat datang Kabupaten Banjarnegara terlihat, terpampang sebuah slogan yang tertulis di papan selamat datang “ Gilar-gilar Banjarnegara”

itu merupakan slogan yang mewakili sembilan aspek kehidupan mencerminkan cita-cita kota Banjarnegara. Aspek tersebut yaitu bersih, tertib, teratur, indah, aman, nyaman, tentram, sopan, sehat.

Ya setidaknya itu yang aku rasakan saat berkunjung ke Banjarnegara, tempatnya masih asri, udaranya masih bagus, suasana desanya yang alami menjadi tempat melepas beban kehidupan sesaat, semoga bisa terus ditingkatkan,

kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tak selang beberapa lama, akhirnya aku melewati landmark daerah ini, patung tukang dawet, ya selain sebagai penghasil salak,

daerah ini sangat terkenal dengan minuman traditional Dawet Ayu khas Banjarnegaranya, favoritku yang ada di dalam pasar induk, rasanya mantap, apalagi yang dicampur dengan durian.

Setelah melewati pusat Kabupaten Banjarnegara, kami disambut dengan jembatan panjang yang melintang melewati hamparan Sungai yang luas, arus sungai cukup deras, terlihat masih banyak orang yang memancing di sekitar jembatan, kubuka kaca mobil,

untuk merasakan betapa sejuknya udara desa. Setelahnya kami melewati jalan menanjak berkelok, tak selang beberapa lama, rombongan mobil kami pun memasuki perkebunan salak milik warga, kondisi jalan yang kami lewati tak terlalu bagus, menanjak, berliku dan terdapat banyak lubang,

jalan ini sering dilewati oleh truk pengangkut salak, pernah diperbaiki tapi rusak lagi, mungkin karena terlalu sering dilewati kendaraan besar, padahal ukuran jalannya bisa dikatakan kecil, hanya muat satu kendaraan besar.

Aku melihat langit saat itu, cuaca sepertinya mendukung, langit sangat cerah hari itu, daerah Banjarnegara yang terletak tak jauh dari dataran tinggi Dieng, biasanya turun hujan saat siang hari, namun kali ini semesta sepertinya ikut mendukung acara hari ini,

dalam hati aku masih berdoa, semoga acara lamaran berjalan lancar.

Akhirnya kami pun masuk jalur utama desa yang kami tuju, jalannya hanya muat dengan satu mobil, lebih kecil dari jalan yang ada di kebun salak tadi.

Beberapa warga Desa keluar rumah melihat iring-iringan mobil yang masuk wilayah mereka. Aku sadar kedatangan kami semua memancing perhatian mereka, aku masih merasa apa yang dilakukan keluarga besarku agak berlebihan,

tapi mau bagaimana lagi aku tidak bisa menolak permintaan mereka, pun saat aku sampaikan kabar soal jumlah yang akan datang saat acara lamaran ini membuat Anna kaget, karena harus mempersiapkan tempat lebih.

“Gung gung, bisa loh kamu nemu wanita di slempitan gunung gini, jalannya tadi itu loh ampun” celetuk Bu Lek

“Wong jodohnya dapetnya di sini ya di sini to Bune, namanya cinta sejauh apapun itu akan ku jalani” Pak Lek membalas pertanyaan Bu Lek sambil meledek

“HALAH, GOMBAL, DASAR LAKI-LAKI”

“Loh kok gombal, bener kan Gung? namanya juga perjuangan kan ya?”

“Iya Pak Lek, mari Bu Lek masuk ke dalam, di sana nanti Bulek bisa beristirahat sejenak” kataku sambil tersenyum melihat tingkah konyol mereka

Kami disambut oleh pihak keluarga Anna, Ibu dan Bapak dari Banjarnegara menyambut paling depan, satu persatu kami semua masuk ke rumah. Karena tamu yg datang banyak, sedangkan rumah memiliki luas yang terbatas, akhirnya beberapa tamu berada di luar. Aku kaget, kok ssebanyak ini?

Tak lama berselang beberapa orang mengeluarkan suguhan untuk para tamu.
Aku langsung menemui Bapak dan Ibu dari calon istriku, menanyakan persiapan mereka, aku juga meminta izin pada Ibu untuk melihat sebentar saja kondisi Mbah Uti sekarang,

dengan senang hati Ibu mengantarkanku ke kamar Mbah Uti. Pintu kamar dibuka, aku melihat tubuh Mbah Uti terbujur kaku di kasurnya, kepalanya menengok ke arahku, aku langsung masuk duduk di sebelahnya, melihatnya dari dekat,

ada beberapa kata yang keluar, yang terdengar tidak jelas dari mulutnya,
yang membuatku tersenyum karena yang Bapak katakan tidak terjadi, namun sedih melihat kondisinya sekarang.

Mbah Uti hanya mengangguk, aku segera berdiri meninggalkannya, beberapa orang sudah mencariku, acara lamaran akan segera dimulai. Calon mertuaku menuntunku keluar kamar, badan terasa lemas setelah melihat kondisi Mbah Uti,

namun pikiranku harus tetap fokus pada acara lamaran yang akan dilaksanakan hari ini. Para tamu dari pihak keluarga sudah duduk rapi, aku duduk di kursi yang sudah disediakan, duduk paling depan diapit oleh Bapak dan Ibuku, di sebelah mereka ada adik-adikku.

Yang ditunggu akhirnya tiba juga, dari lantai dua Anna turun didampingi oleh Ibunya, setelah sebelumnya menemaniku bertemu Mbah Uti, kini dia duduk berhadapan denganku yang dipisahkan beberapa jarak yg nantinya digunakan oleh wakil dari masing-masing keluarga memberikan sambutan.

Mata kami saling memandang, senyum-senyum kecil seperti menjadi cara kita berkomunikasi sekarang. Perwakilan dari keluargaku Mas Min berdiri dan melakukan pidato sambutan yang isinya tentang maksud dan kedatangan kami saat ini datang ke Banjarnegara.

Mas Min dipilih memang karena kapasitas tata Bahasa Jawanya yang fasih, dia sangat menguasai Bahasa Jawa Kromo Inggil, saat mendengarkan pidato sambutannya seperti sedang mendengarkan Dalang sedang membawakan lakon dalam pentas pewayangan Jawa.

Setelah itu acara dilanjutkan mendengarkan pidato penyambutan dari pihak keluarga Anna, sambil mendengarkan para tamu yang hadir menikmati hidangan ringan yang ditemani dengan teh atau kopi yang sudah disediakan.

Tiba saatnya, aku dan Anna berdiri, berhadapan saling memandang, tanganku membuka kotak cincin yang sedari tadi sudah aku bawa, tubuhku seakan kaku sesaat, mulutku rasanya terkunci dari dalam, otak bekerja lebih keras dalam menyusun

kata-kata yang akan diucapkan, rasanya aku harus mengumpulkan tenaga terlebih dahulu, mencoba menenangkan tubuhku yang rasanya ingin ambruk saja, semua rasa bercampur aduk jadi satu. Aku coba fokus, menutup mataku sejenak, berusaha untuk menenangkan diri.

“Aku sudah menunggu saat ini untuk waktu yang lama. Untuk mengatakan ini, aku butuh banyak waktu. Mempertimbangkan segala hal yang mungkin terjadi.
Bermunajat pada Ilahi untuk menentukan pilihan yang paling tepat. Berkali-kali ku tanya pada hatiku sendiri.

Sudah tepatkah pilihanku? Dan berkali-kali pula jawabanku tetap sama. Kini maukah kau menikah denganku?”

“Tentu, aku mau” Jawab Anna singkat.

Ku keluarkan cincin dari kotaknya, ku pasangkan pada pada jari manis di tangan kirinya. Setelah melihat itu semua tamu yang hadir kompak mengucapkan “alhamdulillah” semuanya bertepuk tangan memberikan ucapan doa agar diberi kelancaran sampai

hari pernikahan tiba. Bahagia rasanya hari ini, namun di tengah kebahagiaan ini aku masih saja memikirkan kondisi Mbah Uti. Sosoknya seperti tak dirasakan namun aku tau beliau masih ada, maklum Mbah Uti selalu memperlakukanku dengan baik,

memperhatikanku sampai kadang membuatku tidak nyaman karena takut merepotkan, beliau selalu bercerita tentang cucunya saat kecil dulu. Aku seperti menemukan lagi sosok seorang nenek dalam diri Mbah Uti,

setelah lama aku ditinggal Eyang Kakung dan Uti ku yang sudah lebih dulu menghadap Sang Khalik.
Rasa syukur berkali-kali kupanjatkan atas kelancaran acara hari ini, Bapak sekarang sedang berada di kamar Mbah Uti,

memijat kaki dan tangannya, aku dan keluargaku berada di depan kamar Mbah Uti, benar-benar respon yang cepat sekali, setelah senang karena acara berjalan lancar, kini kami semua dihadapkan kondisi Mbah Uti yang ternyata sedang tidak baik-baik saja.

“Bu, niki Mbah sampun dibetho teng dokter dereng?” tanya Bapakku pada Ibu dari calon istriku, menanyakan apakah sudah dibawa ke dokter atau belum.

“Sampun pak, Mbah niku pun satu minggu teng Rumah Sakit, dua hari lalu keadaannya sudah membaik, dan diperbolehkan untuk pulang” Jawab calon Ibu mertuaku.

“Geh dipundongakaken mawon ben tambah sehat nggeh Mbah? supoyo saget ningali putune nikah tahun niki geh mbah” (Ya sudah, didoakan saja supaya tambah sehat ya Mbah? supaya bisa melihat cucunya menikah tahun ini).

Bapak mencoba menghibur Mbah Uti. Namun aku melihat seperti ada yang disembunyikan dari senyum Bapak, senyum yang sepertinya menahan kesedihan yang sama pula.

Acara berjalan lancar seperti yang diinginkan, rasa sedih dan bahagia bercampur jadi satu. Aku bersyukur semua berjalan sesuai rencana, apa yang diutarakan Bapak kemarin tidak terjadi, aku anggap itu sebagai tebakan Bapak saja.

Kadang aku menghindari untuk percaya dengan hal-hal seperti itu, aku yang sudah kerja di Jakarta, Kota besar yang menjadi pusat dari segala hal di negeri ini, membuat cara berpikir ku lebih memilih untuk realistis, namun dalam keluargaku kebudayaan Kejawen masih kental,

Bapak seperti orang yang dipilih oleh leluhurnya untuk melanjutkan banyak hal yang sudah diwariskan turun-temurun. Namun jika teringat masa lalu, banyak hal ganjil dalam hidupku pernah terjadi, dan memang tidak bisa diterima secara logika,

aku seperti manusia yang posisinya berada di tengah-tengah antara hal yang bisa dicerna dengan logika dan hal yang memang tidak masuk logika tapi terjadi nyata.

Segala rangkaian acara sudah selesai, kami semua duduk kembali di tempat masing-masing. Mas Min maju ke depan menyampaikan kata penutup sekaligus berpamitan untuk kembali lagi ke Tegal.

Pidato penutup Mas Min dilanjutkan lagi oleh perwakilan dari pihak keluarga Anna, akhirnya semua yang hadir berdiri, berjalan perlahan memberi selamat padaku dan Anna secara bergantian, setelah itu satu per satu tamu meninggalkan rumah calon istriku.

Kini setelah semua tamu keluar tinggal kami berdua dan keluarga inti yang berada di dalam rumah. Bapak melakukan pembicaraan dengan keluarga calon istriku. Merencanakan pernikahan yang akan digelar setelah acara lamaran ini.

Bapak sedari tadi sibuk menghitung tanggal lahir kami, atau biasa disebut weton dalam budaya Jawa. Weton dari aku, Anna, Bapak, Ibu, serta calon besan, dihitung. Angka-angka yang muncul akhirnya memberikan jawaban kapan akan dilaksanakannya pernikahanku.

Perhitungan weton Bapak lakukan untuk mencari hari paling baik, semua hari memang baik, tapi menurut Bapak, hari paling baik dalam hidup seseorang itu berbeda-beda, apalagi pernikahan adalah acara sakral, momen penting dalam hidup,

di mana dua manusia dan dua keluarga bersatu, diharapkan dengan pemilihan tanggal pernikahan yang tepat, akan mengantarkan satu keluarga baru, menuju gerbang kehidupan yang kuat dalam berbagai aspek, dan selalu dalam perlindungan Ilahi.

Pada dasarnya diriku tak terlalu paham akan perhitungan weton yang digabungkan dengan tanggal pernikahan yang akan dilaksanakan, namun Bapak pernah mengatakan, angka yang dihitung akan diproyeksikan pada lima unsur. Sri, Lungguh, Gendhong, Lara, dan Pati.

Sri memiliki makna kemakmuran, kesuksesan, kewibawaan. Lungguh biasa dikaitkan bernasib baik dalam menjalanjan hidup. Gendhong mudah dalam mencari rezeki dari setiap yang dikerjakan. Lara memiliki nasib yang tidak baik, karena arti lara sendiri adalah sakit.

Pati dalam Bahasa Jawa memiliki makna mati atau musibah, dalam urusan pekerjaan, keluarga dan bahkan kehidupan. Jelas Bapak sangat menghindari angka yang di dalamnya memproyeksikan Lara dan Pati.

Akhirnya setelah lumayan lama menghitung tanggal pernikahan yang diusulkan, kami semua menyepakati satu tanggal.

Prosesi lamaran selesai, penentuan dilaksanakannya pernikahan juga sudah selesai, kini saatnya kami semua berpamitan kembali ke kota asal. Rasa kangen bertemu calon istri belum sepenuhnya hilang, namun tak lama lagi kami akan disatukan dalam satu ikatan suci.

“Nduk aku pamit pulang dulu, aku masih kangen, tapi aku harus segera kembali ke perantauan untuk melanjutkan pekerjaanku”

“Iya, padahal aku masih kangen, sebentar sekali rasanya” rengek Anna.

“Yang sabar ya Nduk, sebentar lagi, beberapa bulan lagi kita akan disatukan” aku coba memberi penjelasan pada calon istriku.

“Yowes, pulang sana, awas macem-macem di kota besar, tak kutuk kamu jadi ayam, biar bisa tak bikin opor”

“Serem banget doamu akh… doain aku sukses dong hehe.”

“Iyo, ya udah salam buat semua keluargamu yang ruame banget, tetap jaga kesehatan, tetap berkabar ojo ngilang.”

“Sopo sing meh ilang? Haaaah, yowes aku titip Mbah Uti ya, jaga selalu kesehatanmu dan semuanya, terkhusus Mbah Uti, aku jalan dulu ya Assalamualaikum.”

“Waalaikummussallam, hati-hati.”

Tak lupa aku berpamitan dengan keluarga Banjarnegara, selesai kami saling berpamitan, kami semua kembali lagi masuk mobil, bersiap melanjutkan perjalanan kembali ke Kota Bahari.

Waktu sudah cukup sore saat itu, ku lambaikan tanganku keluar jendela mobil, Anna melambaikan tangannya ke arahku, senyumnya perlahan hilang dibarengi dengan laju mobil yang terus berjalan meninggalkan desa.

Rasanya lega, sesi awal pernikahan sudah dilalui dengan baik, sekali lagi aku bersyukur apa yang dikatakan Bapak tidak terjadi, dan aku berdoa agar Mbah Uti selalu sehat, agar bisa menyaksikan cucunya berdiri di pelaminan.

Rombongan tak lagi berjalan beriringan, mobil menuju jalur paling dekat dengan kota tujuan masing-masing. Aku masih pada jalurku seperti semula, melewati kembali Pemalang dan juga Pohon besar, Randu Jajar.

Sesekali aku tertidur dan terbangun kembali saat perjalanan, semua keluargaku terlihat sudah lelah. Semuanya terlihat tidur, kecuali Bapak dan Pak Supir.

Sayup-sayup saat aku tertidur aku masih bisa mendengar mereka berdua saling berbicara, aku yang tak punya tenaga lagi, dan besoknya harus kembali ke Jakarta untuk bekerja memilih untuk istirahat saja.

Tepat pukul 11 malam aku dan keluargaku tiba di rumah, pak sopir langsung melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya, kami semua langsung istirahat, karena besoknya harus melanjutkan pekerjaan, aku juga mempersiapkan segalanya untuk kembali berangkat ke Jakarta.

Bapak masih merokok di depan rumah dengan ditemani teh pocinya.

“Gak tidur Pak? besok berangkat dagang kan?”

“Belum Gung, Bapak masih kepikiran Mbah Utimu?”

“Kenapa lagi sih pak?” nada bicaraku agak kesal kembali mendengar bicara Bapak. Namun agar tetap santai aku membakar sebatang rokok dan duduk di sebelah Bapak.

“Tadi Bapak lihat Mbah Utimu tuh, dari raut mukanya yo seneng tapi yo sedih, seneng karena kamu datang, sedih karena ada hal yang Bapak gak tahu Gung”

“Sudahlah Pak, Mbah Uti sehat kok tadi, kulo yakin Pak, sehabis ini Mbah Uti akan sehat kembali,

karena tau kalau cucunya akan menikah, maaf mungkin yang kemarin itu cuma perasaan Bapak saja, nyatanya tadi kita lancar melaksanakan acara lamaran, kita doakan saja agar segalanya berjalan lancar sampai hari yang sudah ditentukan"

“Semoga Gung, bapak juga inginnya begitu, semoga doa baik kita didengar Allah SWT”

“Amin Pak, semoga segalanya dilancarkan”

Kami melanjutkan obrolan sambil bersantai dan beristirahat, Bapak banyak menceritakan soal leluhur, sampai tentang apa yang terjadi pada kakinya,

tentang apa yang beliau lakukan dalam memperjuangkan nasib keluarganya. Aku merasakan bahwa obrolan ini sudah tak santai lagi, tapi aku sangat tertarik, baru kali ini Bapak bercerita banyak hal tentang pengalaman dalam hidupnya,

Jam dinding sudah menunjukan pukul 1 dini hari, aku dan Bapak memutuskan untuk masuk ke rumah setelah asyik mendengarkannya bercerita. Baru saja ingin menutup pintu handphone ku berbunyi, terlihat di layar gawaiku nama Anna, secepat mungkin aku angkat telpon darinya.

“Hallo Nduk?”

Dari dalam telepon aku mendengar Anna menangis, perasaanku langsung tidak karuan, secara cepat otakku memproses banyak pertanyaan akan sikapnya, belum sempat menanyakan sesuatu, mulutku sudah terkunci dengan kabar yang disampaikan oleh Anna

“Hallo Nduk?”

“Mbah Uti, Mbah Uti Le, Mbah Uti…”

“Kenapa Mbah Uthi Nduk? sakit lagi ?”

“Mbah Uthi udah gak ada, Mbah Uthi sudah pulang Le…”

Sejenak aku terdiam, perasaanku tak karuan, sedari tadi ternyata ini yang ditunggu, dari awal kedatangan kami semua memang sudah ditunggu Mbah Uthi.

Apa yang dikatakan Bapak adalah informasi secara tak langsung untuk segera datang ke Banjarnegara, saat terakhirnya hanya cukup untuk menyaksikan cucunya dilamar. Waktunya sudah tiba, dan manusia tidak bisa melawan kehendak-Nya.

“Kapan Mbah Uthi dimakamkan?”

“malam ini juga..”

“tunggu aku, aku jalan pakai motor”

telepon kumatikan, sesegera mungkin aku menyiapkan segalanya, kunci dan helm sudah aku ambil, saat akan mengeluarkan motor, Bapak keluar dari kamarnya.

“Gung ojo nekad iki wes wengi..” Bapak melarangku untuk melakukan hal nekat karena waktu sudah malam.

“Mbah Uthi udah gak ada Pak, Aku kudu datang ke pemakaman”

“Kamu sudah datang, sudah masukan lagi motornya!” perintah Bapak padaku.

“Tidak Pak, aku kudu datang untuk penghormatan terakhir, waktu Eyang Kakung dan saat Eyang Uthi meninggal, aku gak ada disebelahnya, masa saat Mbah Uthi juga Pak…?!”

Handphone-ku berbunyi kembali , aku segera meletakkan motor, kuangkat telepon dari Anna, namun yang berbicara kali ini bukan dia, melainkan calon Ibu mertuaku.

“Gung jangan nekad, iklaskan Mbah Uthi ya, beliau sudah tenang, kamu tetap disitu ditempatmu,
jalan malam hari dengan motor menuju Banjarnegara penuh dengan resiko, jangan sembarangan kamu, jangan nekad jangan melanggar pantangan” namun tiba-tiba sambungan komunikasi kami terputus.

Aku duduk lemas di depan teras, kata-kata calon mertuaku masih aku pikirkan, namun tiba-tiba Bapak datang dari belakang menepuk pundakku.

“Gung ojo nekad, perjalan Mbah Uthi sudah selesai, perjalananmu masih panjang, sudah Ikhlaskan…”

Malam itu , bagiku terasa sangat dingin.

BERSAMBUNG

Selanjutnya di part 2:
Aku jatuh tersungkur tepat di tepan kamar mandi, kepala ku saat itu terasa sangat berat. Mataku tertuju ke bawah, tiba-tiba aku melihat sosok yang tengah mengenakan, kain batik khas Jawa, lalu terdengar suara wanita dari atas kepalaku,

“Le, hati-hati, awakmu kui, wes ditunggu, awakmu kui sing dipilih...”

Sayup-sayup suara itu mulai menghilang secara perlahan, beberapa saat kemudian tubuhku benar-benar jatuh, yang kulihat hanyalah kegelapan.

Saat ku mulai tersadar, aku terkajut tatkala mendapati tubuhku sudah berada di kamar, mataku langsung tertuju pada Ibu, yang duduk memegang kakiku dan saat itu juga aku melihat ekspresi Ibu, tersenyum lega dalam tangisnya..

“Ya Allah le, kamu sudah sadar?, Ibu khawatir le, Ibu khawatir...”

“Memangnya ada apa denganku bu?”

BERSAMBUNG

Selanjutnya
Part 2 - Pertanda

Kami semua larut dalam canda dan tawa pada malam itu, setelah cukup lama masing-masing dari kami menuju kamar, beristirahat untuk melanjutkan kegiatan esok hari.

Tersisa aku dan Bapak duduk berdua, biasanya kalau sudah seperti ini situasainya, akan ada sesi wejangan dari Bapak, bisa jadi sambil bercanda atau sebaliknya pembicaraan akan lebih serius.

“Kamu berangkat ke Banjarnegara kapan?”

“Besok pak, hari sabtu, malam hari, biar bisa mempersiapkan beberapa hal saat berada di Banjarnegara.”

“Besok? Malam hari? Nantinya saat perjalanan kamu mau lewat mana?” terlihat ada kegelisahan pada wajah Bapak.

“Pemalang Pak, kan sudah biasa lewat situ, tapi baru kali ini sih lewat daerah itu saat malam hari...”

“Hati-hati, dikondisikan ya, jalan yang kamu lewati ini bukan jalan sembarangan, banyak petilasan dan bangunan keramat yang akan kamu lewati, sopan santun harus dijaga, belum lagi nantinya kamu melalui hutan sebanyak tiga kali, benar kamu mau lewat situ?”

*****
Selanjutnya
close