Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

SUMUR PATI (Part 23) - Kembalinya Sang Jagoan


JEJAKMISTERI - Hari masih pagi, saat jeep tua berwarna hitam itu keluar dari halaman rumah kost yang lumayan besar, lalu merayap pelan menyusuri jalanan kota Atlas yang mulai ramai dengan segala aktifitas warga. Pengemudinya, seorang gadis berwajah tegas dengan rambut hitam panjang terikat ke belakang dan bandana warna putih yang melingkar di lehernya, nampak mengangguk angguk mengikuti alunan musik cadas yang mengalun dari radio tape yang terpasang di dashboard mobil tua itu.

Sesekali gadis itu bersenandung pelan mengikuti alunan suara dari vokalis band rock favoritnya. Wajahnya yang berbinar jelas menampakkan keceriaan. Hari ini hari terakhir dari ujian tengah semester yang harus dijalaninya. Dan ia sangat yakin, ia akan mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.

Namun bukan itu yang membuat si gadis terlihat sangat bersemangat. Tapi rasa rindu terhadap keluarganya di desa yang telah sekian lama ia pendam, sebentar lagi akan segera tertuntaskan. Selepas ujian akan ada libur panjang, yang berarti ia bisa pulang dan berkumpul kembali dengan kedua orang tua serta adik semata wayangnya di desa.

Mobil itu terus melaju pelan, membiarkan kendaraan kendaraan lain mendahuluinya. Tak perlu terburu buru, pikir gadis itu. Toh hari masih sangat pagi. Jarak dari tempat kostnya ke kampus memang tak terlalu jauh, dan ujian baru akan dimulai sekitar satu jam lagi.

"Asem!" tiba tiba gadis itu merutuk, saat musik kesukaan yang ia dengar belum sampai tuntas tiba tiba dipotong dengan siaran berita pagi. Sebelah tangan gadis itu lalu bergerak untuk mengganti saluran gelombang radio. Namun niatnya itu segera ia urungkan, begitu telinganya mendengar si pembawa berita mewartakan sebuah kabar yang membuatnya tersentak kaget.

"Para pendengar yang budiman, sejenak kita ikuti berita pagi bersama saya Bambang Hermawan. Berita penting! Sebuah musibah telah melanda kota kecamatan S di kabupaten W beberapa hari belakangan ini. Wabah yang belum diketahui secara pasti apa penyebabnya itu dengan cepat menyebar hingga hampir ke seluruh wilayah di kecamatan S. Menurut beberapa narasumber yang berhasil kami wawancarai, wabah ini berawal dari sebuah desa yang bernama Kedhung Jati. Dan karena wabah ini dianggap sangat berbahaya, maka pihak yang berwajib terpaksa menutup kota ini sampai waktu yang belum ditentukan. Belum diketahui secara pasti tentang adanya korban, namun..."

"As*!" bagai tersengat aliran listrik bertegangan tinggi, gadis itu tersentak, lalu menginjak pedal gas dalam dalam, hingga jeep tua yang awalnya berjalan pelan itu melesat cepat menerabas ramainya arus lalu lintas.

Sumpah serapah dan suara klakson dari pengendara lain sudah tak dihiraukan oleh gadis itu. Ia terus saja memacu mobilnya bagai orang kesetanan. Wajahnya yang semula cerah ceria berubah menjadi penuh ketegangan. Sebelah tangannya dengan lincah mengendalikan stir sambil sesekali mengoper gigi persnelling, sementara tangan yang satunya lagi dengan cepat menyambar ponsel yang tergeletak diatas dasboard dan menghubungi beberapa nomor yang sialnya tak satupun yang bisa dihubungi.

"Wedhus!" kembali gadis itu mengumpat, seolah menyahuti suara mbak mbak operator yang mengatakan bahwa nomor yang ia hubungi sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Hingga akhirnya, nomor terakhir yang dia hubungi bisa tersambung juga.

"Neng ngendi Mbul?" (dimana Mbul?) tanpa basa basi lagi gadis itu langsung berseru keras saat di seberang si pemilik nomor menerima panggilannya.

"Isih neng kost-an," (masih di kost-an) jawaban bernada malas terdengar dari seberang. Sepertinya si pemilik nomor baru saja terbangun dari tidurnya.

"Metuo! Enteni aku neng ngarep kost-anmu! Saiki!" (keluar! Tunggu aku di depan kost-anmu! Sekarang!)

"Lho, enek opo to? Kok tumben tumbenan..." (lho, ada apa to? Kok tumben tumbenan...)

"Ra sah nyoc*t! Metu wae! Cepet! Nganti telat tak antemi kowe!" (nggak usah banyak nanya! Keluar saja! Awas kalau sampai enggak! Kuhajar kamu!)

""Iyo iyo, iki lagi..." (iya iya, ini lagi...)

Tanpa menunggu si penerima telepon melanjutkan ucapannya, gadis itu lalu memutuskan sambungan. Matanya lalu sibuk mencari tempat memutar balik, karena tempat kost yang ingin ditujunya itu memang berada di trmpat yang berlawanan dengan arah laju mobilnya. Dan begitu ia mendapatkan tempat untuk memutar balik, tanpa sedikitpun mengurangi kecepatan gadis itu membanting stir hingga jeep tua itu bermanuver tajam. Sebelah rodanya sampai sedikit terangakat. Moncong jeep itu juga nyaris menyambar gerobak tukang bubur yang sedang melintas di pinggir jalan.

"Wedhus! Kirik wedok tenan!" si pemilik gerobak mengumpat keras sambil mengacungkan tinjunya.

"Cuangkemmu!" tak kalah keras gadis itu membalas umpatan si tukang bubur sambil mengacungkan jari tengahnya keluar jendela.

Mobil itu terus melaju, membelah jalanan yang semakin ramai. Hingga saat tiba di sebuah persimpangan kembali bermanuver ke arah kiri, memasuki jalanan kampung yang tak seberapa lebar, lalu berhenti mendadak di hadapan seorang pemuda yang tengah berdiri di depan sebuah rumah kost.

"Mlebu!" (masuk!) sentak gadis itu sambil membuka pintu depan bagian kiri mobilnya.

"Sik to, enteni sedhelok, tak salin sik! Mosok mung nganggo kolor karo kaos ngene!" (sebentar to, tunggu sebentar, tak ganti baju dulu. Masa cuma pake kolor sama kaos begini.) si pemuda yang menyadari ada gelagat yang tak baik dari sorot mata si gadis, mulai bisa meraba apa yang sebenarnya telah terjadi.

"Mlebu! Opo perlu tak seret?!" (masuk! Apa perlu kuseret?!)

"Iyo iyo," (iya iya) tanpa banyak cakap lagi si pemuda segera naik dan duduk disebelah sang gadis.

"As* kowe yo Mbul!" (anj*ng kamu ya Mbul!") dengan kasar tangan kiri si gadis merenggut kerah t-shirt yang dikebakan oleh pemuda itu, sementara kakinya kembali menginjak pedal gas.

"Sik to, ada apa ini? Kok pagi pagi begini kamu sudah kayak orang kebakaran jenggot gitu?" Lintang, si pemuda itu terlihat begitu tenang menghadapi keberingasan sikap si gadis.

"Jangan bilang kalau kamu ndak tau apa yang tengah terjadi di desa!" dengus Wulan, si gadis pengemudi jeep itu kasar.

"Jadi kamu juga sudah tau ya?"

"Kirik tenan kowe Mbul! apa maksudmu menyembunyikan semua ini dariku hah?!" Wulan melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah t-shirt Lintang, lalu dengan cepat mengoper gigi dan menambah kecepatan.

"Lha kan kita sedang menghadapi ujian Lan. Lagipula sudah ada Bu Ratih dan Pak Modin di desa. Aku yakin mereka berdua mampu mengatasi masalah ini!"

"Bodoh!" kembali gadis itu mendengus. "Kalau mereka bisa mengatasi, masalah ini tak akan menyebar kemana mana. Barusan kudengar berita di radio, musibah ini sudah menyebar sampai satu kecamatan. Kau benar benar bodoh Mbul! Awas saja! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan keluargaku, aku tak akan mengampunimu!"

Lintang terdiam. Pemuda itu menghela nafas panjang dan menyandarkan punggungnya pada sandaran jok. Sudah sejak lama ia mendapat firasat buruk, tapi ia tak menyangka kalau kejadiannya akan separah ini. Ia memang tak tau pasti, apa yang sebenarnya telah terjadi di desa. Tapi dari ucapan Wulan barusan, ia bisa menduga, musibah apa yang sedang melanda desa mereka.

Lintang lalu mengeluarkan ponsel dari saku celana kolornya, mencoba menghubungi nomor emaknya di desa. Namun ternyata tak tersambung.

"Percuma Mbul! Komunikasi ke desa sepertinya juga terputus total! Entah apa sebenarnya yang telah terjadi! Aku cuma berharap, semoga kedatangan kita belum terlambat!"

Lintang kembali diam, sementara Wulan terus memacu jeep tuanya, melesat ke arah timur, membelah jalanan yang semakin ramai oleh hiruk pikuknya lalu lintas. Beruntung, Wulan adalah seorang pengemudi yang handal. Semenjak usia belasan tahun ia sudah diajari mengemudi oleh ayahnya. Hingga jarak dari kota Atlas ke Kedhung Jati yang biasanya memakan waktu tiga jam lebih itu bisa mereka tempuh hanya dalam waktu satu setengah jam saja.

Sampai di perbatasan kota kecamatan S, Wulan mengurangi laju kendaraannya. Dari kejauhan ia sudah melihat beberapa petugas kepolisian yang memblokade pintu masuk ke kota itu.

"Mohon maaf mbak, untuk sementara arus lalu lintas ke kota S ditutup, silahkan putar balik," seorang petugas polisi menghampiri mobil Wulan.

"Ini penting Pak, tolong ijinkan kami lewat. Kami warga Kedhung Jati, dan ..."

"Sekali lagi maaf Mbak, jalan untuk sementara kami tutup. Jadi silahkan putar balik dan kembali di lain waktu." ujar petugas polisi itu lagi.

"Pak, ini..."

"Silahkan putar balik Mbak!"

"Wedhus!" habis sudah kesabaran Wulan. Gadis itu lalu kembali menginjak pedal gas dan kopling secara bersamaan, hingga suara mesin mobil itu menderu deru, menarik perhatian beberapa petugas yang sedang berjaga.

"Hei, ada apa ini?" seru salah seorang petugas.

"Ini komandan, ada orang yang mau nekat masuk ke kota S!" jawab petugas yang barusan berbicara dengan Wulan.

"Cepat buka portalnya! Atau aku akan nekat menerobosnya!" Wulan berteriak sambil mengeluarkan kepalanya dari kaca jendela samping.

"Hei! Tunggu! Jangan nekat!" beberapa petugas berusaha menghalangi jeep tua itu. Wulan sengaja menghentak hentakkan laju mobilnya, berusaha menggertak para petugas itu.

"Edan! Jangan nekat Lan! Kau mau menabrak petugas polisi heh?!" Lintang mulai cemas dengan ulah sahabatnya itu.

"Hmmm, sepertinya mereka perlu diberi sedikit pelajaran Mbul," Wulan lalu mematikan mesin mobilnya, membuka pintu dengan kasar, lalu keluar dan melangkah dengan bergegas menghampiri para petugas yang berusaha menghadangnya itu.

"Untuk terakhir kalinya, kuminta kalian untuk membuka portal ini, atau ..."

"Atau apa? Kamu anak kemarin sore mau mengancam kami hah?! Kami sedang bertugas disini, jadi mohon pengertiannya. Kalau kamu masih nekat juga, maka kami juga tak akan segan segan untuk mengambil tindakan tegas!"

"Oh, begitu ya? Coba saja kalau kalian bisa!" Wulan lalu bergegas menuju ke arah portal yang dipasang melintang di tengah jalan itu dan berusaha untuk membukanya.

"Benar benar nekat! Tahan gadis itu!" seorang petugas berseru. Petugas yang lain lalu berusaha mencegah tindakan nekat Wulan dengan menarik bahunya. Tindakan yang akhirnya berakibat sangat fatal, karena dalam waktu hanya sepersekian detik saja, nyaris tak terlihat oleh mata telanjang, tubuh si petugas itu telah terbanting dan terkapar di hadapan Wulan.

"Jangan coba coba menyentuhku dengan tangan kotormu!" dengus Wulan.

"Klik!" sebuah suara terdengar dari arah belakang Wulan, disusul dengan sebuah benda dingin yang menempel di tengkuk gadis itu.

"Jangan bergerak! Kamu sudah sangat keterlaluan dengan menyerang petugas kami! Jadi jangan salahkan kami kalau kami juga bertindak tegas!"

Wulan dengan cepat berbalik, hingga moncong pistol yang awalnya menodong tengkuknya itu kini tepat berada di depan wajahnya. Gadis itu menatap sinis ke arah si petugas pemegang pistol, dan tanpa disangka sangka, Wulan menyambar tangan si petugas dan menempelkan ujung laras pistol itu di dahinya.

"Tembak!" sentak gadis itu keras. "Ayo tembak! Tapi kalau aku tak mati, kalian semua yang akan mati!"

Gemetar tangan si petugas pemegang pistol. Ketegangan jelas terasa, menghantui para petugas lain yang seolah dikomando segera meraba senjata yang terselip di pinggang mereka masing masing.

Lintang yang menyaksikan kejadian itu dari dalam mobil hanya bisa menggeleng gelengkan kepala. Tingkah konyol sahabatnya itu, sepertinya hanya akan menambah masalah saja. Pelan pelan pemuda itu lalu membuka pintu mobil, turun, lalu meliuk liukkan pinggangnya sebentar untuk mengurangi rasa pegal di punggungnya.

"Merepotkan saja," sungut pemuda itu pelan. "Kalau aku ndak turun tangan, ndak akan selesai ini masalahnya."

Lintang kembali menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya kuat kuat, sebelum akhirnya berteriak lantang. "Bapak bapak petugas yang terhormat, kita semua punya urusan masing masing ya, jadi tolong, biarkan kami lewat dan menyelesaikan urusan kami, dan bapak bapak semua juga bisa kembali meneruskan tugas yang sedang bapak bapak semua emban!"

Getaran suara Lintang menelusup ke semua indera pendengaran para petugas itu, disertai dengan sebentuk hawa dingin yang menelusup sampai ke relung hati mereka. Dan, bagai kerbau yang dicocok hidungnya, para petugas itu segera menuruti apa yang telah dikatakan oleh Lintang barusan. Si petugas yang sedang menodongkan senjatanya ke arah Wulan mundur pelan pelan, lalu mengunci dan menyarungkan kembali senjatanya. Sementara beberapa petugas yang lain bergegas membuka portal yang melintang menghalangi jalan.

"Gampang kan? Gitu aja kok pake ngotot," Lintang mengerling ke arah Wulan, lalu berbalik dan kembali masuk kedalam mobil. Wulan yang nampak masih kesal mau tak mau ikut menyusul, lalu kembali menjalankan mobilnya melintasi portal yang kini telah terbuka lebar, meninggalkan para petugas yang masih terbengong memandingi kepergian mereka. Hingga saat jeep hitam itu menghilang di tikungan jalan, barulah para petugas itu tersadar.

"Hei, apa yang terjadi? Kenapa portalnya terbuka? Dan kenapa mobil jeep itu bisa lewat?"

Mau tak mau Wulan tertawa geli menyadari keisengan Lintang barusan. "Bisa bisanya kamu mengerjai para petugas itu Mbul."

"Itulah! Ndak semua masalah itu harus diselesaikan dengan kekerasan Lan. Kadang akal lebih diperlukan untuk menyelesaikan masalah," sahut Lintang santai, sambil bersandar pada sandaran tempat duduk.

Jeep hitam itu terus melaju, menyusuri jalanan kota S yang sunyi sepi. Tak ada satupun kendaraan yang melintas. Tak nampak seorangpun yang terlihat beraktivitas di sepanjang jalan yang mereka lalui. Kota ini benar benar telah berubah menjadi seperti kota mati.

"Gila! Apa yang sebenarnya telah terjadi Mbul? Kenapa kota ini menjadi seperti kota mati begini? Kemana semua orang?" Wulan mengedarkan pandangannya le segala penjuru, sambil terus melajukan kendaraannya melintas di depan pasar kota kecamatan.

"Benar benar gila! Bahkan di pasarpun sama sekali tak ada orang. Padahal hari masih pagi. Dan, barang barang yang berserakan di depan pasar itu..."

"Sudahlah, fokus saja menyetir, agar kita segera sampai di desa. Nanti juga kita akan segera tau apa yang sebenarnya telah terjadi." lagi lagi Lintang berujar santai.

"Kamu tuh menyebalkan Mbul! Sebenarnya kamu sudah tau kan apa yang terjadi? Kenapa kau tak memberitahuku Mbul?"

"Kau pikir aku paranormal yang bisa mengetahui segalanya Lan?"

"Ya siapa tau aja. Selama ini kan..., eh, apa apaan ini?" Wulan menghentikan laju kendaraannya saat mereka memasuki gerbang desa Kedhung Jati. Mata gadis itu nanar menatap keadaan desa yang benar benar telah porak poranda. Beberapa pohon besar tumbang menghalangi jalan. Jelas mereka tak akan bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan kendaraan.

"Hmmm, sepertinya mulai dari sini kita harus berjalan kaki Lan," Lintang turun dari kendaraan, diikuti oleh Wulan. Keduanya lalu berjalan pelan menyusuri jalanan yang juga sunyi senyap itu.

"Perasaanku semakin tak enak Mbul," desis Wulan.

"Jaga emosimu Lan, apapun yang terjadi, tetaplah tenang. Ingat, emosi tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah." Lintang yang juga merasakan perasaan yang sama yang juga dirasakan oleh Wulan, mulai merasa was was. Pemuda yang memiliki insting tajam itu sedikit banyak mulai bisa meraba, masalah apa yang sedang menunggu mereka di desa.

Keduanya terus melangkah, semakin jauh memasuki desa. Angin mulai berhembus kencang, seolah menyambut kedatangan keduanya. Sebuah sambutan yang kurang ramah, karena Lintang mulai merasa beberapa makhluk tak kasat mata tengah memperhatikan mereka. Tanpa sepengetahuan Wulan, Lintang sedikit menekan energi didalam tubuhnya untuk menetralisir aura jahat yang sedang mengincar mereka itu.

"Ini benar benar diluar dugaanku," batin Lintang sambil terus memperhatikan suasana di sekelilingnya. "Makhluk makhluk ini, aura mereka terasa begitu kuat! Pantas saja kalau Bu Ratih dan Pak Modin belum bisa mengatasinya. Mudah mudahan saja...."

"Mbul, kamu juga merasakannya itu?" Wulan yang juga telah mempertajam indera batinnya berbisik tajam. Lintangpun tanggap dengan apa yang dibisikkan oleh gadis itu. Ia segera mempertajam indera batinnya. Benar saja, sayup sayup dari pertengahan desa terdengar suara ledakan ledakan kecil. Samar samar juga terlihat kilatan kilatan cahaya aneh di kejauhan sana. Jelas, ini adalah sebuah pertarungan.

"Mbul, itu...., astaga! Bu Ratih Mbul! Aku yakin..., sial! Ini tak bisa dibiarkan!" secepat kilat Wulan melesat ke arah asal suara itu. Sekilas Lintang melihat kilatan aneh di mata sang gadis yang kini telah menghilang dari pandangannya itu. Kilatan yang menjadi pertanda bahwa hal buruk akan segera terjadi.

"Ah, lagi lagi, sudah dibilangin kalau..., dasar keras kepala!" Lintang mendengus kesal, lalu mau tak mau pemuda itu ikut melesat menyusul si gadis keras kepala itu menuju ke pertengahan desa.

BERSAMBUNG

*****
Selanjutnya

*****
Sebelumnya
close